20. The Lowest

Fanfiction Series 10231

?

Suasana di Serim High hari ini benar-benar tidak bisa dikatakan sebagai suasana terbaik.

Kerana dari awal pagi lagi, Kepala Sekolah sudah harus berhadapan dengan Pejabat Pendidikan untuk membahas kasus bullying yang menyebabkan kematian seorang siswa.

Dan ketegangan itu terus berlangsung sehingga ke habis waktu persekolahan.

Kasus kali ini benar-benar memburukkan imej Serim High apatah lagi berlaku pada hari ulang tahun sekolah yang ke 100.

Beliau benar-benar marah dengan kejadian ini kerana telah memburukkan nama Serim High di mata orang tua yang sudah mempercayai anak mereka untuk datang ke sekolah mereka.

Dan kerana itu juga, Kepala Sekolah bertindak tegas. Kibum di-drop out dari sekolah serta merta sementara teman-temannya digantung dua minggu.

Ketika ini, kelas-kelas di Serim High sedang mempunyai waktu luang. Guru-guru semua sedang berada di bilik mesyuarat, membincangkan isu perundungan terburuk sepanjang sejarah penubuhan Serim High.

"Terasa kosong ya gak ada Gya?" Ucap Yuqi yang sedang duduk di dalam kelas Jung Gya. Tepatnya di tempat duduk cewek itu sendiri.

"Gue juga rasa kosong nih. Selalu gue yang bakalan jemput dia sama Gyo. Ngeganggu dia sampai dia ngomel-ngomel." Mark yang entah kenapa juga berada di sana menyambung.

"Kangen gue." Yuqi memutarkan tubuhnya menghadap jendela.

Setelah mereka disuruh pulang semalam, mereka belum lagi menghubungi Jung Gya. Kalau ingin mengharapkan Jihoon untuk mengabari, sepertinya tidak akan.

Cowok itu kan memang gak suka sama mereka.

Di lain kelas, Jeno, Jaemin, Renjun, dan Haechan duduk bersama. Kecuali Jeno. Cowok itu lebih memilih untuk duduk di pojokan. Dan Jaemin, biarpun masih bersama Renjun dan Haechan, ia lebih memilih untuk belajar.

Membuka buku dan pura-pura tunduk sedangkan di dalam hati, berjuta kekhawatiran ada di fikirannya.

Bermula dari keadaan Jung Gya, sehinggalah fakta yang diketahuinya belum lama ini.

Tentang Jung Gya yang bersaudara dengan Kim Lia, alias, tunangannya Lee Jeno juga salah satu pemilik perusahaan yang bekerjasama dengan perusahaan mereka.

Kemarin, Jaemin menghilang dua hari kerana bertemu bundanya di Busan. Ia menyelidiki salasilah keluarga Kim Lia. Benarkah rekan perniagaannya itu punya anak selain Kim Lia dan kakaknya.

Kenapa Jung Gya dan Jung Gyo seakan-akan bukan berasal dari keluarga itu. Kemarin juga, di rumah Jung Gya tiada kelibat mereka. Hanya orang tua Jihoon yang sempat mereka temui semalam, Dokter Jennie—dokter peribadi Gyo dan jiran selaku penjaga resmi si kembar.

Juga, mereka tidak menggunakan marga Kim seperti Lia.

Selain orang orang yang disebutkan, tiada kelibat ahli keluarga besar Kim yang datang.

Semuanya bermain-main di minda Jaemin.

Namun, terlepas dari semua persoalan itu, Jaemin tidak menemui bahkan satu maklumat pun. Tampaknya keluarga itu benar-benar menutup kebenaran.

"Gue jujur ngerasa serba salah juga sih sama si bisu." Haechan yang baru mengangkat kepala berbicara perlahan.

Membuatkan Jaemin dan Renjun memandang ke arahnya bersamaan.

Menyandarkan tubuh ke sandaran kerusi, Haechan menghela nafas berat. "Harusnya gue cepat cepat kabarin Jeno. Supaya hal itu gak terjadi. Tapi, perhatian gue malah teralihkan."

Diam kemudian, Renjun mahupun Jaemin tidak memberikan respon pada kata kata Haechan.

"Udah jadi kayak gini, gue merasa berdosa banget sama si bisu, sama Jung Gya. Padahal, biarpun gue selalu ngerjain tuh berdua, gue udah anggap mereka kek teman kok. Kek kita kita, geng Nevada."

Memang, pepatah orang itu ada benarnya.

Kita akan lebih menghargai seseorang saat sudah kehilangan.

Itu yang sebenarnya dirasakan Haechan ketika ini. Seperti sekarang, cowok itu kelihatan uring-uringan kerana ruang kosong yang ditinggalkan kembar Jung. Dan tanpa diberitahu pun, geng Nevada lainnya pasti merasakan hal yang sama.

Tidak pasti dengan Jeno. Manusia berhati dingin itu sukar ditebak. Kadang, perhatiannya kepada Jung Gya kelihatan benar-benar ikhlas dan tulus. Tapi tidak urung juga, dia kelihatan seperti psikopat yang posesif.

Terutama sama Jung Gya.

Ahh, memang, isi fikiran Lee Jeno sukar ditebak oleh orang sekeliling. Andai ditanya, dia merasa menyesal atau tidak, hanya Jeno yang tahu.

Brukkkk!!!

Perhatian mereka bertiga langsung teralihkan apabila seseorang tiba-tiba mendobrak meja yang diduduki mereka hingga membuatkan Haechan terjengkal dari kerusi. Kepalanya sampai terantuk pada dinding kelas.

Murid-murid cewek sudah mulai berteriak kaget melihat dua murid cowok yang sedang baku hantam.

Seketika, suasana kelas kedengaran berantakan kerana dua cowok yang saling bertumbukan dan sampai memecahkan pasu di atas meja guru.

"LO NGOMONG YANG ENGGAK ENGGAK LAGI, GUE PECAHIN MULUT LO!!"

"YANG GUE OMONGIN EMANG BENAR BANGSAT!! LO JUAL JUNG GYA KE KIBUM BUAT NYELESAIIN MASALAH GENG KALIAN KAN?!!"

"SIALAN!!"

Belum habis keterkejutan Haechan akibat kejengkal dari kerusi, sekali lagi ia harus pasrah saat hidungnya tersembam ke atas lantai kelas dingin apabila Jeno melayangkan penumbuk sehingga membuat Joshua terpelanting ke arahnya.

Iya, dua orang yang sedang berantem di dalam kelas itu adalah Lee Jeno dan Joshua.

Salahkan, Joshua yang tiba-tiba sahaja menyerang Lee Jeno.

Keributan itu mahu tak mahu menarik perhatian anak anak kelas sebelah untuk ikut menjenguk. Bahkan Lia yang menyaksikan kejadian itu dari koridornya ikut berlari menuruni tangga.

"Sialan!! Lo pikir cuman lo yang bisa berantem?! Hah!! Gue juga bisa!!" Teriak Joshua yang kini sedang menerjang tubuh Jeno beberapa kali.

Setelah puas, Joshua berjongkok di sebelah Jeno dan mencengkam kerah seragam Jeno, mendekatkan wajah Jeno ke hadapannya.

Joshua tersenyum miring, dan berbisik perlahan pada Lee Jeno. "Mumpung tuh cewek udah gak dara, mending lo jual ke gue. Biar geng gue lagi yang nyicipin dia."

Namun tampaknya Joshua salah tindakan, hal seterusnya yang terjadi adalah Jeno kembali bangkit dan kembali menyerang Joshua.

Mereka bergelut lagi bahkan teman-teman Jeno sendiri tidak bisa menghentikan kebrutalan Lee Jeno. Dia menghajar Joshua sepenuh hati tanpa ampun.

Lia yang baru sampai juga berteriak beberapa kali meminta Jeno berhenti namun tidak digubris. Jeno masih saja menghajar Joshua yang sudah berbicara kotor mengenai Jung Gya di hadapannya.

"Berhenti!!"

Dan akhirnya pergelutan itu bisa dileraikan setelah kedatangan Lee Sooman, Kepala Sekolah Serim High —bersama beberapa orang guru—di kelas itu.

Sontak tangan Jeno yang sudah terangkat ingin menumbuk Joshua terhenti.

"Apa yang kamu lakuin?!! Lee Jeno!!"

Mendengar suara nyaring sang Kepala Sekolah, anak anak yang tadinya sedang berkumpul menjadi penonton langsung bubar. Menyisakan Joshua yang terbaring separuh pingsan di atas lantai, dengan Jeno di atasnya.

"Apa yang kalian lakuin hah!? Apa tidak cukup kasus perundungan yang udah mengorbanin teman kalian sendiri?! Seorang lagi masih trauma sampai harus dirawat?! Apa belum cukup?!"

Tidak bisa dipungkiri, anak-anak langsung kicep mendengarnya. Guru yang paling jarang bersuara apatah lagi sampai meninggi suara, kini berdiri di hadapan mereka.

"Saya sangat kecewa sama kalian kerana udah membiarkan isu bullying ini di sekolah kita! Harusnya kalian saling melindungi, bukan saling bekerjasama menindas orang yang lebih lemah! Tidak pasal-pasal, seorang adik kehilangan saudaranya. Padahal kalian tahu mereka anak yatim! Di mana hati nurani kalian!??"

Marah pria separuh baya itu sembari memicit keningnya. Memandangi satu persatu wajah anak muridnya yang masing-masing sudah menunduk.

Dia sudah cukup pusing apabila wali Jung Gya dan Jung Gyo datang ke sekolah bersama tim hukum untuk menuntut sekolah mereka di mahkamah.

Untung saja ia bisa diselesaikan dengan baik dengan perjanjian untuk mengeluarkan semua pembuli dari sekolah.

Belum juga habis ia merasa lega, ada pergaduhan lagi yang terjadi. Dan malang lagi, kali ini ia berpunca dari Lee Jeno, anak penyumbang terbesar mereka. Jika sudah seperti ini, dia tidak bisa melakukan apa-apa selain daripada menghukum Lee Jeno.

"Mulai hari ini, saya sudah gak mau ada kasus pembulian apatah lagi siswa yang bergaduh sesama sendiri. Mahu jadi apa kalian?" Putusnya kemudian memandang Pak Kyungsoo, guru disiplin yang ikut dengannya.

"Saya minta Pak Kyungsoo untuk mengurus kasus ini dan pastikan semua yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam kasus perundungan untuk diberikan hukuman sesuai kesalahan mereka masing-masing. Saya sudah tidak mahu menyimpan murid yang seperti ini."

Sang Kepala Sekolah langsung berlalu dari sana. Meninggalkan guru disiplin, Pak Kyungsoo untuk berurusan dengan Jeno dan Joshua yang masing-masing sudah babak belur.

"Kalian berdua ikut bapak ke BK. Sekarang!" Perintah nya garang.

"Jen, kamu gak papa kan? Baik-baik aja kan? Ada yang cedera gak?" Soal Lia sembari memeluk lengan Jeno erat bersama sebelah tangannya yang mengusap lembut hujung bibir Jeno.

Sungguh ia khawatir saat melihat Jeno yang terlibat perkelahian dengan Joshua. Tahu saja cowok keturunan Korea-China itu seperti apa.

Namun tak sesuai ekspektasi, Jeno langsung tidak merespon pertanyaan Lia dan malah menarik lengannya daripada pautan gadis di sebelahnya.

Tanpa sepatah kata, Jeno berpusing, sempat mengambil tas ranselnya sebelum bergegas keluar dari sekolah.

________________________________________________

"Gimana mom? Gya mau makan?"

Rose' yang baru saja melangkah keluar dari kamar Jung Gya mengeluh nafas perlahan usai mendengar soalan suaminya.

Tanpa sedar, ia ikut mengeluh.

Walaupun tanpa diberitahu, dia tahu jawabannya. Gadis itu belum mahu makan.

Sudah jenuh isterinya berulang-alik ke kamar gadis itu tapi hasilnya tetap sama saja. Jung Gya memilih untuk berdiam diri dan menolak untuk makan.

"Dad tadi gimana? Lancar urusannya?"

Wanita berambut perang sepinggang bernama asli Park Chaeyong itu melontarkan soalan kepada sang suami yang sedang duduk di sofa ruang tengah sembari menghirup kopi dari cawannya.

Kelihatan sekali pria itu lelah.

"Yah begitu. Kepala Sekolah menolak saat dad beritahu akan menuntut mereka ke pengadilan dan menarik semula tajaan. Tapi dad udah gak peduli. Mereka harus bertanggungjawab." Katanya tegas sebelum menghirup lagi air kopi buatan isterinya.

Rose' yang mendengarkan kata kata suaminya ikut mengangguk.

Pasangan suami isteri itu datang pagi-pagi dengan penerbangan pertama dari Melbourne menuju ke Korea Selatan sebaik sahaja mendapat perkhabaran duka mengenai Jung Gyo.

Hanya Tuhan yang bisa mengerti betapa kagetnya mereka saat menerima berita ini daripada anak lelaki mereka.

"Oh iya, anak kita mana mom?"

"Kayak gak kenal anak kamu gimana aja. Dia ke kantor tadi. Pengen ngurusin berkas perusahaan. Kan bulan depan, cawangan Korea kita udah mau buka nih."

Mendengar jawaban itu, Park Chanyeol hanya mengangguk sebagai balasan. Baru teringat bahawa mereka akan membuka cawangan perusahaan baru yang akan dikendalikan oleh putra semata wayangnya nanti.

"Nah, tuh dianya udah pulang kayaknya." Kata Rose' yang sebelumnya ingin mengambil tempat di sebelah suaminya lalu berlalu ke pintu rumah untuk menyambut kedatangan putra mereka yang bahkan belum sempat ditemui.

Beberapa detik kemudian, Jihoon dan Jaehyun berjalan menuju ke ruang tengah tempat kedua orang tua Jihoon berada.

Kedua cowok itu mengambil tempat di sofa ruang tamu. Ada hal penting yang harus mereka bicarakan bersama.

Ini mengenai masa depan Jung Gya dan kehidupan gadis itu ke depannya.

"Gimana? Udah kelar urusannya? Semua baik-baik aja kan?" Tanya Park Chanyeol pada putra tunggalnya yang kelihatan lelah bersandar pada sofa sembari menutup mata.

"Dad, kalau iya, kasih anaknya minum dulu dong. Kan merekanya baru nyampe. Masa udah ditanya-tanya soal kerja sih?" Protes Rose' yang geleng kepala melihat kelakuan workaholic suaminya.

Sedangkan kedua anak muda itu baru sahaja sampai dan duduk.

Chanyeol ketawa receh sebelum bersuara lagi, "iya maaf mom. Dad lupa."

Tangannya menghulurkan kopi buatan isterinya kepada anak dan keponakan nya itu. Memberi mereka ruang untuk bernafas seketika.

Keduanya menikmati kopi pada waktu petang sambil memakan kudapan yang disediakan Rose'. Japanese Cheese Cake.

Sebenarnya kek itu dibikin khas untuk Jung Gya, makanan kegemaran gadis itu tapi langsung tidak digubris. Malah makan tengahari saja Gya belum mahu. Ia masih terpuruk dalam kesedihan nya.

Sesekali menangis, meratap dan kemudian tertidur kerana terlalu lelah.

Begitu berulang-ulang kali sehingga Rose' sendiri kehabisan cara untuk membujuk anak itu.

"Ya udah, kalau gitu ke bahas langsung ke intinya aja dad. Jihoon udah gak sanggup. Pusing. Pengen tidur." Rungutan Jihoon menarik kesemua mereka yang ada di sana untuk fokus.

"Dad udah pergi ke sekolah tadi. Pihak Kepala Sekolah merayu supaya kasus ini gak dibawa ke pengadilan. Tapi tenang aja. Dad udah urusin segalanya. Semua pembuli akan dikeluarkan dari sekolah. Perusahaan kita juga akan mengambil alih sepenuhnya pentadbiran Serim High."

"Mulai hari ini, dad menjawat jawatan selaku Ketua Pengarah. Apa-apa hal, mereka harus beurusan sama ayah dulu. Kalian gak usah khawatir. Gya bisa sekolah di sana dengan aman setelah ini. Gak ada yang bakalan berani buat mengganggu dia lagi."

Jihoon tersenyum sinis. Akhirnya, para pembuat onar di sekolah itu akan mendapat balasan setimpal.

Walaupun sebenarnya, Jihoon tidak yakin Geng Nevada akan terkena tempias. Kerana setahunya, orang tua mereka tergolong daripada orang-orang kaya.

Tapi ia cukup puas. Setidaknya, perusahaan mereka kini memegang kendali di sekolah. Sekarang mereka bisa nunjukin siapa yang ada di bawah dan siapa di atas.

Kemudian, Chanyeol memusatkan perhatian kepada Jaehyun yang dari tadi hanya diam, ada sesuatu yang harus ia bincangkan dengan pemuda itu. Mengenai nasib Jung Gya ke depannya.

"Jaehyun, kalau om mau bilang sesuatu bisa?"

"Apa om? Aku sedia kok denger."

Seketika kedua pasangan suami isteri itu berbalas pandang sebelum Chanyeol mengangguk perlahan pada sang isteri.

Jaehyun mengalihkan pandangannya kepada wanita yang berusia seumuran bundanya itu.

"Tante sama om udah fikir-fikir, bisa gak, kalau kami membawa Jung Gya pulang ke Melbourne?" Rose' menyuarakan niatnya untuk membawa putri kepada sahabatnya pulang bersama mereka.

"Apa yang udah berlaku belakangan ini, pasti berat buat dia. Apa lagi sejak Gyo pergi, Gya benar-benar merasa terpuruk. Makanya, tante fikir-fikir untuk membawa Jung Gya tinggal bersama kami. Itu juga, atas keizinan kamu. Karena tante tau, kamu lebih berhak. Jadi..." Rose' menggenggam sebelah tangan Jaehyun erat.

"..tante benar benar berharap, kamu bisa beri keizinan. Biar kami bisa jadi walinya Jung Gya lagi."

"Tante kamu benar. Kami gak mungkin bakal biarin Jung Gya menderita sendirian lagi. Sudah cukup khilaf kami membiarkan mereka tinggal berdua di Korea."

Chanyeol mengiyakan. Sejurus menerima berita duka dari sahabat mereka di sini, Rose' dan Chanyeol memang sudah tekad untuk mengambil Jung Gya semula.

"Kali ini, om gak akan berkompromi lagi. Cukup sekali kepercayaan kami dikhianati saat ayah kamu memilih untuk mentelantarkan Jung Gya hanya kerana keluarga barunya. Kamu gak tahu, betapa hancur hati kami saat tahu, amanah yang kami sayang, kami tatang diperlakukan begitu."

Chanyeol meluahkan perasaannya yang tidak terbendung. Percayalah ketika ini ia sedang menahan diri habis-habisan agar tidak pergi melabrak Suho atas pengkhianatan ini.

Jika saja ia tidak memikirkan perasaan Jung Gya sebagai anak kandung pria itu, sudah dipastikan Kim Suho akan menerima balasannya.

"Tante harap kamu bisa pertimbangin permintaan tante ini. Ya?"

Jaehyun diam sambil sesekali berfikir keras.

Ia juga ada berfikir hal yang sama mengenai ini. Namun, rencananya beketerbalikan daripada yang direncanakan keluarga sahabat bundanya.

Ah, Jaehyun benar-benar pusing sekarang.

Belum juga habis rasa terkejutnya kerana kehilangan

"Gya udah makan tante?" Soal Jaehyun berpaling menghadap Rose' yang berada di sebelahnya.

"Belum. Dia gak mau."

"Biar Jae aja yang kasih."

Cowok itu bangun, mencapai mangkuk bubur yang diletakkan di atas nakas bersama segelas air. Perlahan, kakinya menuju ke arah pintu kamar adiknya yang berada di hujung ruangan.

Semalam, Jihoon sudah membersihkan kamar yang berantakan itu.

Kriikk!

Pintu kamar dibuka perlahan lalu dengan hati-hati, Jaehyun melangkah masuk ke dalam. Pandangan nya terkunci pada satu sosok kecil yang duduk bertekuk lutut di atas ranjang menghadap jendela yang terbuka.

"Hey, princess.."

Duduknya dilabuhkan bersebelahan dengan gadis yang sedang termenung jauh.

Jaehyun menarik nafas beberapa kali, menahan perasaannya yang sejak tadi siang bergejolak.

Ia menoleh pada sang adik yang masih seperti tadi. Panggilan nya langsung tidak digubris sama sekali. Gya yang hanya mengenakan kaos putih kebesaran yang menutup hingga peha milik Gyo.

Di tangannya juga, ia memeluk sweater milik abangnya itu erat ke dada.

Rambut sepinggang yang sering disimpul rapi itu kelihatan berantakan. Entah kerana gadis itu masih sering menjambak rambut sendiri atau memukul-mukul kepalanya.

Di tubir mata gadis itu, masih tersisa bekas air mata yang mengering dengan mata yang merah.

Tahulah Jaehyun bahawa adiknya itu masih menangis seperti tadi malam.

Hati abang mana yang tega melihat keadaan adiknya yang hancur seperti ini.

Jaehyun ikut terluka melihat kehancuran Jung Gya kerana kehilangan Jung Gyo, kembarannya sendiri buat selama-lamanya.

Air mata lelakinya hampir mengalir namun cuba ditahan sedaya upaya. Ia tidak boleh lemah demi adiknya ini.

"Gya, makan ya? Kakak suapin. Ya? Ini enak banget loh. Mommy Rosé yang masakin. Spesial buat kamu."

Semangkuk bubur itu dicapai dan diaduk-aduk sebelum mengambil sesudu.
Duduknya didekatkan dengan Jung Gya sebelum menyuakan sudu itu ke bibirnya.

"Aaa!" Jaehyun ikut membuka mulutnya dengan harapan adiknya itu akan menurut.

Namun seperti tadi, Jung Gya hanya statik dengan posisi yang sama. Ia tidak mahu membuka mulutnya untuk menerima makanan.

"Makan dulu, ya sayang? Entar kamu sakit loh. Please, jangan bikin kakak khuatir. Ya?" Bujuk cowok itu dengan lembut.

Tangan kanan Jaehyun menyentuh perlahan hujung kepala adiknya. Perlahan, jari jemarinya menyisir surai legam yang kusut itu.

Padahal dulu, saat mereka bertemu, adik kecilnya ini akan sentiasa menampilkan dirinya dalam keadaan terbaik. Rambut terkuncir rapi, senyuman manis mirip bunda yang tidak pernah pudar dan mulut yang tidak henti-henti bercerita itu dan ini.

Segalanya berubah dalam sekelip mata. Tiada lagi adiknya yang dulu. Di hadapannya kini seolah-olah robot yang sudah kehabisan daya.

Kaku dan datar.

"Kita coba lagi, ya?" Jaehyun belum berputus asa, disuakan sekali lagi bubur di tangan nya kepada adiknya.

Namun, Jung Gya tetap menolak dengan menggelengkan kepala perlahan.

Jaehyun kehabisan cara. Dirinya ingin marah tetapi tidak tahu akan dilampiaskan kepada siapa. Dirinya merasa gagal untuk menjaga amanah bundanya.

Seorang adiknya meninggal kerana dianiaya. Itu sudah menjadi tamparan berat padanya. Dan kini, seorang lagi seolah-olah kehilangan dirinya. Terlalu larut dalam kesedihan.

"Kenapa?"

"Hmm?" Jaehyun mengangkat kepala saat telinganya menangkap sepatah perkataan yang keluar dari Jung Gya.

"K-kenapa Tuhan gak pernah adil sama Gya? Tuhan udah ambil segala yang Gya punya. Papa, bunda dan sekarang... Gyo? Apa, Gya gak pantas bahagia kayak orang lain?"

Jaehyun tergamam. Pantas tangan kecil gadis itu dicapai dan diremat lembut.

"Selama ini, Gya bisa terima segalanya. Mereka jahat ke Gya, terserah. Kami dibuang keluarga sendiri, terserah. Semua Gya terima bulat-bulat. Tapi, kenapa kali ini, sekali ini saja, Tuhan gak izinin Gya bahagia?"

Air mata yang tadinya berjaya ditahan mengalir lagi. Laju menuruni kulit pucat itu.

"Sampai kapan? Sampai kapan Gya harus menahan semua ini? G-gya udah gak sanggup. Sakit, hati Gya juga sakit, kak. Bukan hanya mereka. Mula-mula bunda, sekarang Gyo. Apa mereka hanya akan puas kalau Gya mati? Begitu?"

Jaehyun mengerenyitkan dahinya. Ada yang aneh dari kata-kata adiknya.

"Kenapa Gya yang harus jalanin semua ini? Kenapa Gya yang harus mengalah dalam segala hal? Padahal permintaan Gya gak seberat mereka. Gya cuman minta papa ketemu Gyo buat kali terakhir kak. Hanya itu!"

Benar, penyesalan terbesar gadis itu yang tidak mungkin akan terubati selama-lamanya adalah saat permintaan terakhir kembarannya itu tidak tertunaikan.

Kepergian Gyo sudah menjadi tamparan terbesar buatnya. Namun lebih dari itu, hatinya benar-benar terluka saat ayah kandungnya sendiri tidak mahu bertemu dengan kembarannya itu walaupun dirinya sudah merayu dan meratap.

Di mana harga dirinya malam itu sebagai seorang anak. Di mana belas kasihan ayahnya sebagai seorang ayah kepada mereka.

Kini, Jaehyun tersedar, ada sesuatu yang tidak diketahuinya berlaku semasa hari kematian Jung Gyo.

"Bilang sama kakak. Papa apain kamu?"
Gadis itu menggelengkan kepala.

"S-sakit kak. Sakit banget!" Tubuh kecil itu menggeletar hebat.

Dia ingin melupakan kejadian malam itu, namun tidak bisa. Hatinya bagai tersiat-siat saat mengingat semuanya.

Bagaimana dirinya dicampakkan keluar seumpama sampah sedangkan papanya berada di dalam rumah. Merayu, meratap bahkan merintih di tengah hujan yang dibumbui dengan darah segar.

"K-kenapa? Kenapa papa gak bunuh Gya dari dulu kalau akhirnya Gya bakal sakit begini kak? Apa benar, aku sama Gyo bukan anak kandungnya papa? Aku bukan adik kakak, kan? Bunuh aku kak! Bunuh kalau benar!" 

"No, princess. No! Of course you are my sister."

Jaehyun terkedu dengan kata kata frontal adiknya itu. Pantas tubuh itu ditarik ke dalam pelukannya.

"Aku lebih baik mati daripada hidup sebagai orang terbuang kayak gini!"

"Please, don't say that. You are my sister. Kamu adik kakak. Gyo juga adik kakak. Shh! Please, don't ever say that again."

Raungan Jung Gya pun pecah di pelukan kakaknya. Tangisan parau yang kedengaran sangat dalam dan mencengkam.

Bisa Jaehyun rasakan pegangan kuat adiknya pada lengannya. Ia tetap mendekap erat tubuh itu dengan segala tenaganya. Dadanya yang terasa basah kerana air mata juga diabaikan.

Tanpa sedar, sebulir mutiara putih jatuh dari tubir matanya mengenai pucuk kepala Jung Gya.

"You are my sister. Kamu adik kakak, sayang. Jangan pernah bilang begitu lagi sayang. Kakak nggak tega liat kamu kayak gini." Diusap kepala itu dengan telapak tangannya.

"Maafin kakak kerana datang terlambat buat kalian. Harusnya kakak ada di sini. Maaf," bisik Jaehyun perlahan di telinga adiknya.

Dia tidak tahu apa yang terjadi saat ketiadaannya. Tapi dirinya mengupah orang-orang untuk mengawasi semua adik-adiknya di sini.

Mungkin dengan cara itu, dia bisa tahu segala yang berlaku, melindungi mereka dari bahaya. Namun nyatanya, itu tidak cukup. Tetap saja berbeza jika dirinya ada di sini.

Ah, Jaehyun merasa gagal menjaga amanah mendiang bundanya.

'Maafin, Jae bun. Jae udah gagal lindungin Gya dan Gyo. Sekarang, Gyo udah gak ada.'

Pelukan dilonggarkan saat Jaehyun merasa sepasang tangan kecil menolak tubuhnya.

"Kak.." Gya mendongak, memandang tepat ke arah Jaehyun dengan air mata yang masih membasahi kedua pipi kecil itu.

"Iya, princess." Kedua tangan Jaehyun menangkup rahang Gya erat, ibu jarinya mengusap air mata yang jatuh dengan lembut. "Don't cry princess. Its hurt me seeing you like this."

Satu kecupan didaratkan di hujung kening adiknya.

"Aku mau pergi dari sini. Aku udah gak sanggup buat ngehadepin ini kak. Aku takut, kalau aku terlanjur membenci dan gak bisa maafin dia lagi." Luah Gya jujur.

Daripada dirinya tetap di sini, lebih baik andainya ia pergi.

Sudah tidak ada gunanya dirinya bertahan. Terus berharap bahawa suatu hari nanti, papanya bakal menjemputnya pulang.

"Jangan khawatir princess. Kakak janji gak akan ada yang bisa nyakitin kamu lagi. Kakak janji."

Di sebalik pintu, ada tiga orang manusia yang sedang mendengar segala perbicaraan mereka berdua. Tangan Chanyeol terkepal erat mengetahui kalau ponakannya itu disakiti oleh orang yang sama lagi.

Ia berbalas pandang dengan sang anak.

Tidak bisa dibiarkan. Pria itu harus disadarkan.

___________________________________________________

Derapan langkah kaki yang terdengar buru-buru mendekati pintu rumah besar keluarga Kim menarik perhatian sang pemilik rumah.

Bae Irene, dengan langkah elegan nya berjalan ke luar rumah saat diberitahu kedatangan seseorang yang sangat ditunggu-tunggu.

"Jaehyun-ah, kapan kamu pulang?"

Jaehyun menghentikan langkahnya saat berdiri di hadapan wanita itu. Ia sedikit kaget dengan sambutan hangat wanita itu namun pantas riak wajahnya didatarkan.

"Jae datang cuman buat ketemu papa buat kali terakhir." Ketusnya dingin tanda dia tidak ingin berbasa-basi.

"Di mana dia?"

Irene mengerutkan keningnya, agak kaget dengan kedinginan anak tirinya itu.

"Papa kamu gak ada. Masih di—nah, itu dia papa kamu udah pulang."

Pandangan kedua orang itu teralihkan pada sebuah mobil Mercedes yang baru saja memasuki perkarangan rumah. Beberapa detik kemudian, keluar seorang pria dengan setelan rapi.

Dengan langkah arogan, pria itu mendekati anak dan isterinya yang entah kenapa hanya berdiri di hadapan pintu tanpa berniat untuk masuk ke dalam.

"Jae, kapan kamu pulang? Kok nggak ngabarin papa?"

Kim Suho, mendepangkan tangan untuk menggamit anak sulungnya itu masuk ke dalam dekapan nya. Namun, sebaliknya berlaku apabila Jaehyun hanya berdiri tegak di tempatnya dengan riak wajah yang sukar dimengertikan.

Sontak tangannya turun ke sisi tubuh.

"Kenapa nak? Ada sesuatu berlaku?"

"Ch!" Jaehyun berdecih, seakan-akan tidak percaya dengan kata kata yang baru saja keluar dari bibir papanya.

Bisa-bisanya dia sebagai seorang ayah berbicara begitu sedangkan seorang anaknya baru saja meninggal dunia.

"Kenapa nak? Ada sesuatu yang harus papa ketahui?" Soalnya apabila menyedari riak wajah sang anak yang penuh dengan kebencian. Kedua tangan yang terkepal dan dada yang turun naik menahan amarah.

"Aku benar-benar gak nyangka kalau papa sekejam ini pa!"

Kim Suho kelihatan kaget dengan kata kata anaknya.

"Maksud kamu apa? Pulang-pulang terus ngomong begini?" balasnya menahan sabar agar tidak melampiaskan kemarahan ke arah anak sulungnya itu.

"Sabar dulu Jaehyun, ayo kita bicarakan baik-baik. Sebaiknya kita masuk dulu. Mama bisa bikinin minuman. Ya nak?" Bae Irene yang melihat kedua beranak yang ingin bertikam lidah itu mencuba mendamaikan.

Namun, bukannya mendamaikan keadaan, tatapan tajam dilontarkan Jaehyun padanya.

"Tante gak usah ikut campur urusanku sama papa!"

"Kim Jaehyun!! Jaga bicara kamu! Kamu sedang bicara sama mama kamu sendiri!!" Suho bersuara memarahi Jaehyun yang sudah berbicara kasar kepada isterinya.

Tapi, Jaehyun sama sekali tidak gentar dengan kata-kata papanya itu. Baginya kelakuan papanya sudah benar-benar kelewatan.

Kakinya melangkah maju sehingga dirinya berdiri benar-benar di hadapan ayahnya.

"Dulu, aku pernah bangga sama papa. Aku benar-benar bangga buat bilang ke satu dunia aku punya ayah kayak papa. Aku memandang papa seperti seorang pahlawan. Tapi, itu dulu, sekarang, semuanya berubah pa. Semuanya berubah setelah apa yang papa lakuin ke bunda!"

Kim Suho dan Bae Irene sama sama terkesima. Sama sekali tidak menyangka kalau anaknya itu akan menyebut mengenai hal 15 tahun yang lalu.

Suho melihat ke arah Irene. Takut andai isterinya itu berkecil hati.

"Aku udah gak tahan sama kelakuan papa. Aku pengen nanyain ini ke papa. Apa selama ini papa benar-benar cinta sama bunda? Apa papa menganggap bunda wanita yang papa sayang? Apa sekalipun, papa pernah menganggap anak yang lahir dari rahim bunda adalah anak ayah? Pernah?!"

"Jaga bicara kamu, Jaehyun! Itu sudah jadi masa lalu kita, bunda kamu udah gak ada!" Ketus sang ayah.

Tatapan tajamnya berubah menjadi tatapan sayu yang penuh penyesalan.

"Mana mungkin papa lupa sama bunda kamu. Dan gak mungkin kalau papa gak sayang sama kedua adik kamu itu!"

Jung Jisoo, mana mungkin dirinya bisa melupakan wanita kesayangannya itu. Setiap hari ia hidup dalam penuh penyesalan apabila mengingat semula segala apa yang telah dilakukannya kepada wanita itu.

Hanya Tuhan saja yang mengetahui betapa dirinya ingin diberi kesempatan memeluk erat wanita itu dan meminta maaf darinya.

Tapi tidak mungkin. Wanita kesayangannya itu sudah pergi. Dan semuanya kerana khilafnya sendiri.

Terlalu banyak dosanya kepada Jung Jisoo dan anak-anak wanita itu yang kini hilang entah ke mana. Puas dijejaki, tapi hasilnya tetap sama.

"Oh iya? Kalau begitu, Jae mau tanyain sama papa." Jaehyun bersuara lagi.

"Apa papa tahu keadaan anak-anak papa? Apa papa tahu di mana mereka sekarang?"

Senyap.

Kim Suho tidak bisa menjawabnya kerana dia sendiri tidak tahu ke mana anak-anaknya pergi setelah peristiwa beberapa tahun dulu.

Irene yang dari tadi hanya melihat perbicaraan kedua beranak itu ingin menjawab tapi dirinya sedikit ragu. Dia pernah berjumpa dengan Jung Gya belum lama dulu.

Tapi ia sama sekali belum memaklumkan kepada suaminya.

"Papa gak bisa jawab kan?" Jaehyun memandang sinis kepada ayahnya yang hanya membisu usai soalan itu ditanyakan.

"Ayah jenis apa, pa yang tega, membuang anaknya sendiri. Anak yang hanya seusia 14 tahun, dibuang dan ditelantarkan hanya kerana berstatus anak haram. Aku tau, papa malu punya anak cacat. Yang gak sempurna fizik."

Jaehyun tidak habis fikir dengan perbuatan papanya yang cukup hina. Mentelantarkan anak sendiri demi status.

"Anak yang bagi papa gak bisa mendatangkan kebaikan ke papa. Kerana itu kan papa buang Gya dan Gyo dulu. Karna papa takut, citra papa sebagai usahawan terkenal hancur kalau orang luar tahu papa punya anak luar nikah yang cacat. Kerana itu kan?!"

Mendengar itu, Irene mengangkat kepala. Menggelengkan kepalanya mendengar tuduhan Jaehyun kepada suaminya. Jaehyun harus tahu alasan sebenar suaminya melakukan kesilapan itu.

Kali ini, Bae Irene sudah tidak bisa menahan dirinya daripada bersuara.

"Jae, jangan bilang gitu ke papa. Sama sekali gak. Papa sayang mereka persis seperti papa sayang kamu dan Lia. Papa lakuin itu karna gak mau—"

Belum habis Irene menuntaskan ayat, Jaehyun mengangkat sebelah tangannya, "aku gak mau dengar penjelasan kalian. Tante juga sama kayak papa."

"Kalian kejam!" Ketus Jaehyun lagi.

Kali ini ia menghadap kembali ke arah papa nya yang hanya mengelak untuk berkontak mata dengannya. Sesekali pria itu kelihatan memijat dahinya.

"Mulai hari ini, papa gak usah bimbang kalau-kalau rahsia papa kebongkar." Jaehyun menarik nafas panjang.

Ia sudah bulat hati. Biarpun Jung Gya berpesan padanya untuk tidak menyebut apa-apa mengenai mereka kepada papanya lagi, Jaehyun tidak peduli.

"Anak cacat yang papa malu untuk mengaku sebagai anak itu udah gak ada!"

Suho mengangkat wajah. "M-maksud kamu? G-gyo...Gyo kenapa?"

Ia mendekat ke arah Jaehyun. "Kamu udah ketemu adik-adik kamu? Gimana kabar mereka? Me-mereka baik-baik aja kan? Papa mau ketemu sama mereka. Bawa papa ke sana. Ya?"

Jaehyun mendelik, sakit hati dengan lakonan kedua manusia di depannya ini.

"Percuma pa. Papa sendiri yang memilih. Gyo udah meninggal."

Akhirnya kata-kata itu terbit dari bibir Jaehyun.

Membuat Kim Suho dan Bae Irene sama sama kaget mendengar berita yang baru saja mereka ketahui.

Mana mungkin Jaehyun lupa dengan apa yang diceritakan Jihoon padanya. Di mana saat Jung Gya datang ke rumah besar ini, mengemis-ngemis. Meminta-minta agar papanya mahu bertemu Gyo buat kali terakhir.

Belum lagi melihat rekaman saat tubuh kecil Jung Gya yang diheret keluar dari rumah besar ini.

Terpaksa berhujan-hujan dalam kondisi terluka semata-mata agar papanya mahu bertemu.

Jaehyun tahu semua itu.

Dan kerana itulah dia sudah bulat hati.

"Jae ke sini kerana mahu bilang sesuatu sama papa."

Sehelai kertas dikeluarkan dari saku celananya. Surat penyerahan syarikat dan syer perusahaan. Tangan ayahnya dicapai dan diletakkan kertas itu dalam genggaman papanya.

"Ini surat perletakan jawatan Jae dan surat penyerahan syer serta perusahaan yang ada di Paris."

Ia kembali menjauh.

"Mulai hari ini, Jae udah gak mau terlibat urusan apapun sama papa. Jae bakal membangun perusahaan sendiri dan gak bakalan bergantung satu sen pun harta papa."

Deg!

Ada sesuatu yang menganjal dalam hati Kim Suho sebaik saja mendengar keputusan sepihak anaknya itu. Dia mengangkat wajah, menatap anaknya nanar.

"K-kenapa— jangan nak. Tolong kamu jangan begini. Papa menyesal sama keputusan papa. Maafin papa, kamu jangan buru-buru begini." Bujuknya.

Jaehyun hanya menatap datar wajah sang ayah. Perlahan ia menggeleng.

Hatinya sudah yakin dan mapan dengan keputusan ini.

"Maaf pa, tapi Jae udah gak sanggup lagi. Jae benar-benar udah kecewa sama papa. Selama ini pun, Jae bertahan kerana permintaan bunda untuk gak ninggalin papa biar dalam apapun keadaan."

Anak laki-laki itu berpaling ingin berlalu dari sana.

"Bukan Jae yang harus dengar kata kata maaf papa. Tapi bunda dan adik-adik Jae yang udah papa abaikan selama ini. Bahkan sampai Gyo meninggal pun, dia gak sempat buat ngerasain kasih sayang papa."

Setelah itu, Jaehyun langsung berlalu pergi dari halaman rumah besar yang sudah hampir 25 tahun menjadi tempatnya membesar.

Sekarang, rumah penuh kenangan itu tidak bermakna lagi. Berbanding kenangan manis, lebih banyak kenangan pahit penderitaan bundanya yang bisa dia lihat.

Dirinya sudah tidak sanggup lagi untuk terus berada di sana. Biarlah papanya yang tinggal di rumah besar itu bersama keluarga barunya.

Dia lebih memilih untuk pergi demi bersama Jung Gya. Gadis kecil itu sudah cukup lama kesepian dan menderita.

Kali ini, biarlah dirinya yang menjaga Jung Gya. Satu-satunya amanah terakhir mendiang bundanya yang sempat diabaikan olehnya.

"Ya Tuhan, apa yang udah aku lakuin ke anak-anak ku." Suho menangis sebaik saja mendengar kata kata Jaehyun.

Kedua kakinya tidak bisa menahan bobot tubuhnya yang melemah hingga dirinya terduduk melutut. Dadanya mendadak nyeri sebaik saja mengetahui kepergian anak yang selama ini sudah diabaikannya.

"Irene, ayah seperti apa aku ini? Bahkan ketika anakku meninggal pun aku gak bisa membahagiakan dia. Gimana aku bisa berhadapan dengan Jisoo lagi?"

Irene menarik Suho ke dalam pelukannya. Ia turut mengalirkan air mata sebaik mengetahui sang kembar yang sudah pergi terlebih dahulu.

'Maafin aku, Suho-ya. Ini semua juga kesalahan ku. Harusnya aku bilang ke kamu kalau aku udah ketemu sama anak kamu. Harusnya aku bilang dari awal,' rintih hati Irene.

Dia terlalu terobsesi untuk membetulkan semula keadaan keluarga pria itu sehingga dirinya lupa untuk mengabari Suho kalau dirinya sudah berjumpa dengan Jung Gya.

Andai saja dia memberitahu hal ini awal, suaminya pasti bisa bertemu kedua anak itu dengan segera.

Semuanya gak bakalan berantakan begini.

"Ayah seperti apa aku Irene? Bahkan, aku bisa bergembira bercuti keluar negara saat anakku sendiri pengen ketemu sama aku. Aku pria gak berguna, Irene-ya."

"Shh. Ini bukan salah kamu, Suho-ya. Kamu gak salah."

Irene menggosok belakang badan suaminya saat dirasakan tangisan Suho semakin nyaring.

'Dari awal lagi, aku yang salah. Gak seharusnya aku hadir ke kehidupan kamu. Gak seharusnya aku hancurin hubungan kamu dan Jisoo. Ini salahku. Maafin aku.'

Bersambung....

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience