14. What is It?

Fanfiction Series 10231

Jeno bergumam perlahan mengikut rentak musik yang terpasang dari music player mobil Bentley hitamnya.

Sesekali ia bersenandung, mengetukkan hujung jarinya pada stereng mobil sambil mendengar lagu lagu milik NCT Dream yang disetelnya.

"Sejak kapan kamu dengar lagu lagu kayak gini Jen?" Soal Lia yang merasa aneh dengan selera muzik Jeno yang tiba tiba berubah.

"Huh?" Alis cowok itu terangkat dengan soalan tiba tiba Lia di sebelahnya. "Entah! Pengen aja gitu. Enak dengarnya."

"What? Nggak salah dengar nih" Lia kembali mempersoalkan. "Selalunya kalau aku masang lagu Itzy, kamu bakal ngoceh nggak jelas loh. Ini kamu..."

Berkerut dahi Lia dengan perubahan sikap Jeno.

"... beneran nggak sakit kan?"

"Haha! Nggak Lia. Gue baik baik aja. Thanks udah khawatirin gue." Balas Jeno ketawa kecil dan kembali fokus pada pemanduannya.

Tengahari ini, ia memang sengaja pulang bersama Lia sebagai tanda maaf apabila cewek itu merungut tentang dirinya yang tiba tiba pergi dari kelab dan tidak bisa dihubungi semalaman.

Tanpa sedar, mulut cowok itu kembali bersenandung riang.

Dan ia baru bisa berhenti apabila lagu yang sedang didengarnya digantikan dengan lagu Itzy yang menjadi kegemaran Lia. Namun, kegembiraan nya tidak bisa pudar apatah lagi mengingat peristiwa tadi pagi ketika ia datang ke sekolah bersama Jung Gya.

"Kak Jeno udah lepas! Ini kita udah nyampe sekolah juga!"

"Iya gue tau. Terus apa?"

"Hah?! Bisa bisanya Kak Jeno bilang kayak gitu? Lepasin tangan aku dong. Mau masuk nih."

"Nggak papa kalau gitu kita masuk barengan aja. Kayak nggak biasa aja lo!"

Keduanya berdebat tanpa mempedulikan kehadiran Gyo yang sedari tadi hanya menjadi pemerhati di tempat duduk belakang. Cowok itu terkadang menggaru tengkuknya dengan tangan dan ada masanya terasa ingin protes.

Tapi pantas dipendam kerana yang ada di depannya ini adalah Lee Jeno.

"Nggak bisa tauk! Aku harus anterin Gyo ke kelasnya dulu. Lagian kelas Kak Jeno kan tingkat lain. Emangnya nggak malu apa gandengan tangan sama aku? Hah?!"

Gya masih protes sambil mencuba meleraikan tautan tangannya dan Jeno yang menyatu sejak cowok itu mula memandu tadi.

Ketika ia menolak, Jeno malah mengugut untuk menceritakan perihal mereka tidur bersama di atas satu kasur kepada Gyo. Yang pada akhirnya, Gya hanya bisa pasrah dan mengiyakan kelakuan Jeno.

Tapi Jeno sendiri malah mengambil kesempatan dan kini mahu masuk bersama dengan tangan yang masih bertautan begini.

"Kenapa gue harus malu? Di malam juga kita lebih dekat daripada ini. Kan?" Sengaja Jeno mengusik dengan mengungkit peristiwa semalam.

"Ish! Udah dong ngomong soal itu! Nggak ada apa apa yang berlaku tauk!" Ketus Gya geram sebelum nada suaranya dipelankan agar tidak didengari Gyo.

"Lagian kita nggak ngapa-ngapain. Cuman tidur aja!"

Jeno ketawa gemas sehingga matanya mengecil. "Yakin? Lo nggak nyambung grepe-grepe gue saat tidur? Gimana rasanya? Enak kan? Atau..lo mau yang lebih-"

"Ok! Fine! Ya udah ayok kita keluar sekarang!!"

Belum habis ayat yang ingin Jeno katakan, Jung Gya terlebih dahulu memekik tertahan. Tidak sanggup andainya Jeno menghabiskan ayat. Mungkin kepala cowok itu akan berdarah olehnya.

"Dasar cowok mesum! Fikirannya kotor! Mikirnya yang itu itu aja!"

Jeno masih bisa mendengar kutukan yang keluar dari bibir Jung Gya sebelum mereka berdua keluar dari mobil miliknya dan mula berjalan ke kelas Jung Gyo. Yang mana membuat seisi Serim High gonjang ganjing dengan berita panas itu.

"Jen, kamu dengar nggak sih aku bilang apa tadi?"

"Hah?" Buyar semua lamunan Lee Jeno apabila suara Lia menyapa pendengarannya. Masih bersama senyuman, ia memandang Lia yang cemberut di sebelahnya.

Terlalu larut dalam lamunan membuat Jeno tidak menyedari keadaan sekelilingnya malah ia juga tidak sedar sejak kapan mobilnya sudah berhenti di hadapan pagar rumah Lia.

"Tuh kan! Kamu nggak dengar. Semalam ninggalin aku di kelab. Terus ditelfon nggak angkat angkat. Sekarang aku ngomong malah dicuekin. Ngambek ah!" Lia merasa kesal dan berpeluk tubuh sebagai tanda protes.

"Okay okay maaf. Gue benar benar nggak dengar." Percuma mengelak, Jeno mengakui kesilapannya lalu cepat cepat meminta maaf.

"Ya udah gue harus gimana biar lo nggak cemberut lagi." Pujuk Jeno.

Ketika inilah sesuatu seakan akan terlintas di fikiran Lia. Ini adalah masa yang sesuai untuknya menyuarakan hal yang sejak tadi dipendamnya seharian.

Ia mencapai tangan Jeno dan diremasnya lembut.

"Putusin Jung Gya."

"Kecuali itu."

Zappp!

"Kamu kenapa sih?!"

Seolah-olah ada sesuatu yang menjentik hatinya, Lia langsung meninggikan suaranya apabila Jeno dengan jelas menolak permintaan untuk melepaskan Jung Gya.

"Aku nggak mau kamu ninggalin aku! Dia nggak bisa ngerampas kamu dari aku! Kamu punya aku! Kamu tunangan aku, Jeno!" Teriaknya keras yang mana membuat Jeno panik.

"Lo kenapa Gya?"

Entah kerana terlalu syok atau panik, alih-alih menyebut nama Lia, Jeno tanpa sedar menyebut nama Jung Gya yang mana membuat Lia semakin histeris.

Tangannya yang tadinya memegang lembut tangan Jeno kini berubah cengkaman pada kedua lengan cowok itu.

"Kamu kenapa keras kepala banget sih?! Kamu punya aku Jeno! Cuman milik aku! Kamu nggak bisa ninggalin aku! Apalagi untuk cewek kayak dia!"

Jeno kaget. Apatah lagi merasakan cengkaman kuat Lia pada lengannya. Bukan tangan tapi Lia menancapkan kukunya pada kulit lengan Jeno.

Ia melonggarkan seat belt di tubuhnya lalu maju memegang kedua belah bahu Lia yang bergetar hebat.

"Lia! Sadar, Lia ini gue!"

"You're mine! Kamu milik aku!"

"Iya Lia gue sahabat lo! Nggak ada yang akan ninggalin lo lagi. Gue tunang lo sekarang!"

Lia masih seperti tadi. Malah Jeno juga kaget dengan tenaga Lia yang selama ini lembut berubah sangat kuat dan kasar. Matanya berubah tajam seolah olah bisa mengeluarkan laser dari sepasang mata itu. Seolah olah ada satu trauma besar yang menyerangnya.

Dengan tenaganya, Jeno menarik Lia masuk ke dalam pelukannya. Kedua tangannya melingkari tubuh kecil itu mencuba menenangkan Lia.

"Gue nggak bakalan ninggalin lo! Selamanya gue bakal selalu ada di sini! Di sisi lo Lia. Gue janji!"

Dan seakan akan kata magis, Lia kembali tenang dan tidak memberontak lagi.

"Shh..jangan pernah mikir gue bakal ninggalin lo Lia. Selamanya, gue bakal selalu ada di sini sebagai sahabat lo. Gue nggak bakalan nyakitin lo kayak mereka. Please, percaya sama gue!"

Jeno memberanikan diri mengusap belakang kepala Lia lembut. Sungguh hatinya khawatir melihat Lia seperti tadi.

Kerana cewek itu punya sejarah penyakit jantung yang kronik, Jeno takut seandainya penyakit itu menyerang lagi.

Tampaknya, Jeno harus meluangkan lebih banyak masa bersama Lia dalam masa terdekat ini dan mengandalkan Jung Gya kepada teman-temannya.

Jeno sadar kalau dua tiga menjak ini, ia terlalu banyak meluangkan masa bersama Gya dan sedikit sebanyak mengabaikan perasaan Lia.

Ia sama sekali tidak bisa kehilangan Lia. Selain kedua orang tuanya, Lia juga antara orang orang penting dalam hidupnya. Mereka membutuhkan satu sama lain. Lia sudah seperti adik yang harus dilindunginya selagi bisa.

Dan kondisi Lia hari ini seolah olah mengingatkan Jeno ketika pertama kali mereka bertemu ketika keduanya berusia 8 tahun dulu.

Seorang anak laki-laki kecil yang menangisi kematian ibu kandungnya, lalu seorang gadis kecil dengan rambut dikuncir dua, datang menghibur.

Ketika itulah pertemuan keduanya buat pertama kali. Dan sejak itu, Jeno berjanji untuk melindungi Lia sepanjang hidupnya.

_______________________________________

Brakk!

Bukaan tiba-tiba pada pintu mobil di sebelah pemandu mengurungkan niat Jeno untuk keluar mobilnya. Sontak pandangan Jeno tertuju pada oknum yang kini sudah berada di sebelahnya.

Jeno mengeram rendah. Jelas dia tidak suka dengan kehadiran sang pemilik wajah anime itu.

"Hai Jeno. Gimana kabarnya?"

"Kedatangan lo sama sekali nggak gue alu-aluin. Langsung bilang. Apa bokap lo mau." Jeno berbicara tenang namun pada masa yang sama terselit rasa menyampah dengan kehadiran sepupunya itu.

Siapa lagi kalau bukan Lee Taeyong.

Taeyong tersenyum miring. "Seharusnya lo kayak gini dari dulu. Jinak. Gue nggak harus repot-repot ngincar lo kayak maling."

"Ch! Bukannya dari dulu lo sama bokap lo emang maling?" Sinis balasan Jeno kepada cowok itu.

Namun yang namanya Lee Taeyong, sama saja seperti berbicara dengan Lee Jeongho. Dua duanya seperti orang budeg yang sama sekali tidak akan peduli dengan omongan orang lain. Yang penting, kuasa mereka tidak berkurang.

"Terserah lo cousin. Sekarang, gue mau naik ke apartmen lo."

"Ngapain?" Rengus Jeno kasar. Sama sekali tidak teringin untuk menjemput cowok itu naik ke rumahnya.

"Yah! Ternyata elo sama gue nggak ada bezanya Jeno. Bukannya lo ini anak Lee Donghae dan Tiffany? Harusnya lo itu sopan dan lembut kayak mereka. Mereka gagal mendidik lo dan sekarang, lo malah terdidik kayak Lee Jeongho."

Tanpa peduli dengan Jeno yang jelas jelas sedang menahan emosi, Taeyong lagi lagi mengompori cowok itu. Membuat Jeno hampir hampir tersulut emosi.

"Oh! Gue lupa. Mereka nggak sempat mendidik lo malah mati duluan!"

Srekkk!

Dalam sekelip mata, suasana di dalam mobil itu berubah panas apabila Jeno yang tadinya masih berada di tempat duduknya maju ke hadapan dan menonjok hujung rahang tajam Taeyong dengan tangan kanannya.

Pria itu terus terperosok di sudut mobil akibat hentaman penumbuk Lee Jeno.

Belum habis sehingga di situ, Jeno mencengkam leher Taeyong. Menarik tubuh cowok yang tua 5 tahun darinya itu mendekat.

"Jangan pernah lo sebut nama orang tua gue dengan mulut kotor lo! Kalau lo nggak mau, tulang lo patah riuk." Bisik Jeno dengan suara beratnya yang menahan diri daripada menghabisi riwayat sepupu bangsatnya itu di sini.

"Gue bisa habisin lo di sini juga Taeyong. Tapi gue masih menganggap lo sebagai sepupu gue. Darah daging dari adik mama gue! Watch your dirty mouth before I ripped it!"

Tajam pandangan Jeno menatap mata Taeyong yang sudah hampir kehilangan nafas akibat cengkeramannya. Biarpun kelihatan nya tidak sakit tapi teknik cengkeraman Lee Jeno mampu membuat urat saraf putus dan menyebabkan kematian.

Tapi, yang sudah namanya Lee Taeyong, dia tidak mungkin akan kalah. Dirinya seorang pembunuh kejam di Itali suatu ketika dahulu. Sesiapa saja yang mendengar nama gelarannya, Hunter pasti akan bertekuk lutut.

Dan hari ini, dia sengaja membiarkan Lee Jeno menikmati rasa megah seolah-olah bisa mengalahkannya kerana ia punya satu senjata yang lebih mapan.

Dengan mudah, ia menyeluk saku jaketnya, mengeluarkan beberapa keping gambar berukuran sederhana lalu memamerkannya di hadapan wajah Jeno.

Gotcha!

Seperti yang direncanakan, pegangan tangan Jeno mengendur sebaik saja ia melihat isi gambar itu.

Kesempatan itu diambil Taeyong untuk melepaskan diri. Ia sedikit terbatuk kerana nafasnya yang tercekat tadi tapi pantas dikawalnya dengan mudah.

"Kenapa Lee Jeno? Kaget? Hmm?" Ejek cowok itu memandang wajah pucat pasi Jeno.

"Siapa sih namanya? Wah, hebat lo Jeno. Walaupun sudah ada Kim Lia, lo mencari yang lebih lagi. Lumayan sih dia. Lebih manis dari Lia. Pantas aja lo suka sama dia." Dalam dan mencengkam pertuturan Taeyong tidak bisa tidak membuat Jeno panik.

Dalam hatinya, beribu sumpah seranah ia lontarkan untuk Taeyong. Bagaimana cowok itu bisa mencari tahu mengenai Jung Gya.

Iya, gambar gambar yang ditunjukkan Taeyong tadi adalah gambar Jung Gya sebanyak lima keping.

Pertama gambar cewek itu di hadapan pagar sekolah. Kedua gambar Gya ketika berada di vila Jaemin. Ketiga gambar cewek itu di sebuah kafe, seperti sedang melakukan pekerjaan. Dan gambar keempat yang membuat Jeno benar benar kaget adalah gambar Jung Gya yang sedang menopangnya masuk ke dalam rumah cewek itu.

Dan semuanya diambil dari sudut kandid namun masih bisa menampakkan wajah cewek itu dengan jelas.

"Lo tau kan, bokap gue nggak bakalan biarin hidup lo bahagia selagi dia belum nemuin apa yang dia mau?" Taeyong kembali bersuara, menyedarkan Jeno yang menahan geram.

"Kira-kira, gimana ya? Reaksi si bangsat itu kalau dia tahu soal ini? Hmm, gue nggak yakin nih cewek bakal baik-baik aja Jeno." Taeyong terkikih suka.

Tidak susah untuk nya mengupah orang untuk mengikuti gerak geri Jeno selama ini. Dia bisa menemui senjata berharga ini. Bukan saja foto kebersamaan Jeno dan Jung Gya, malah tempat kerja dan tempat tinggal cewek itu juga bisa ia temukan dengan mudah.

"Nggak perlu lo jawab siapa namanya. Jung Gya." Panggil Taeyong sembari melihat satu persatu foto itu.

"Dia cantik dan manis. Gimana ya rasanya kalau gue bisa nyicip dia sedikit aja. Bikin dia merintih dan mendesah di bawah gue. Ahh! Pasti-"

Dan lagi-lagi, kata katanya tidak bisa diteruskan kerana Jeno bertindak mencengkam kerah jaket Taeyong kasar.

"Jangan pernah, lo sentuh dia kalau lo mau hidup." Desis Jeno. Jakunnya naik turun menahan amarah mendengar kata kata Taeyong yang sama sekali tidak bisa dianggap biasa.

Apatah lagi part cowok itu berkata ingin menyentuh Jung Gya. Jeno tahu persis Taeyong cowok seperti apa dan ia sama sekali tidak akan membiarkan seandainya perkara jijik itu berlaku kepada Gya-nya.

"Sekarang kasih tau keinginan bokap lo."

Taeyong menyeringai mendengar kata kata yang lebih mirip bendera putih dari Jeno itu. Tangan Jeno di jaketnya dijauhkan.

"Dua hari lagi datang ke rumah. Ada rekan bisnes penting dari Itali. Dia hanya mahu menandatangani perjanjian kalau waris tunggal Lee Donghae, iaitu lo ada di sana. Sekalian, kita makan malam."

Sejurus mengatakan keinginannya, Taeyong langsung keluar dari mobil Jeno dan menuju ke mobil sportnya yang terparkir selang tiga mobil dari Bentley itu.

Deruman mobilnya melaju meninggalkan kawasan parkiran itu dalam kecepatan tinggi. Menyisakan Jeno yang masih menahan geram di dalam mobil.

"Argh! Shit! Shit! Shit!" Jeritnya kesal melepaskan amarah pada stereng di depannya.

Naik turun nafasnya sebaik saja bertemu dengan sepupunya itu.

Lee Jeongho sialan! Gue nggak bisa biarin dia deketin Gya. Nggak mungkin!

Sedar bahawa Jung Gya bisa saja terdedah bahaya, Jeno langsung mengambil ponselnya dari dalam dashboard. Nombor Mark langsung didail.

"Hello, Jeno-ya.. What's up?"

Tidak butuh lama, panggilan nya langsung dijawab oleh Mark.

"Mulai hari ini, kalian awasi Jung Gya. Ekori dia ke manapun setelah sekolah. Jangan biarin dia keluar sendirian waktu malam. Jemput dan anter dia ke sekolah! Nggak ada bantahan!"

Tanpa memberi peluang kepada Mark bertanya lanjut, Jeno mematikan talian setelah memberikan instruksi kepada Mark.

Rambutnya diraup kasar setelah membaling benda hitam itu ke seat belakang.

Lagi sekali, Lee Jeongho menemui kelemahannya. Dan sekali lagi, insan kesayangannya menjadi senjata ampuh yang bisa membuatnya bertekuk lutut di bawah perintah pamannya itu.

Sebersit rasa sesal datang ke hati Jeno kerana suatu ketika dahulu, ia sama sekali tidak ambil peduli tentang warisan harta keluarganya.

Tapi, semuanya tidak bisa disalahkan pada Jeno.

Setelah kedua orang tuanya ditemukan meninggal, Jeno yang baru berusia 9 tahun mengalami trauma dan hanya menangisi kepergian kedua orang tuanya.

Mana sempat ia memikirkan soal harta yang mana memberi peluang kepada Lee Jeongho untuk menguasai Lee Cooperation dan memiliki kuasa penuh ke atas syarikat itu.

Tapi, masih ada satu komponen penting yang tidak dimiliki Lee Jeongho. Dan kunci utama itu hanya diketahui oleh Lee Jeno. Walaupun sebenarnya Jeno sendiri tidak ingat di mana ibu kandungnya menyembunyikan rahsia itu.

Yang mana menyeret Jeno ke dalam keserabutan ini.

Dulu, Lee Jeongho menggunakan Lia sebagai senjata untuk membuat Jeno patuh dengan cara mengikat kedua mereka dalam satu ikatan bernama pertunangan. Membuat Lia yang semula adalah sahabat kesayangannya juga terdedah bahaya.

Lalu kini, pria tua itu lagi lagi menemukan senjata baru untuk mengugutnya. Malah senjata kali ini jauh lebih besar dan berbahaya dalam hidup Lee Jeno.

Kerana Jung Gya..adalah gadis yang paling dicintainya.

_____________________________________

Hari ini Gya memulakan semula kerjanya di Kafe Chill Dream setelah meminta cuti selama hampir seminggu.

Dan rutin hari ini dimulakan Gya dengan mengepel lantai kafe. Seterusnya, Gya mengelap rak kaca yang digunakan untuk mempamerkan biskut dan pastri lainnya. Dan tugas akhirnya hanyalah menjaga kaunter dan mengambil pesanan pelanggan.

Namun hari ini, pekerjaan yang selalunya dilakukan Gya dengan senang hati dan gembira terasa hambar dan menyebalkan. Seolah olah ia ingin melempar segala peralatan yang digunakannya.

Tapi perasaan ini tidak berlaku tanpa alasan.

Semuanya kerana kehadiran seseorang yang sejak kafe dibuka sehinggalah jam menjejak hampir sepuluh malam, ada seorang oknum yang mengganggu ketenteramannya.

Duduk di tempat biasa dan tidak lepas dari memandang setiap langkah dan pergerakan Jung Gya.

"Ish! Tuh orang nggak punya rumah kali ya dari tadi di sini terus! Percuma rumah gede kayak gitu malah milih nongkrong di kafe kecil kayak gini. Dadar orang kaya aneh!"

"Woit!"

"Argh!" Gya terpekik kaget apabila seseorang menyucuk pinggang nya asal membuatnya sedikit terjingit.

"Ish, Kak Wendy kenapa sih? Kaget tau nggak!" Marahnya kepada teman kerja yang juga majikannya itu.

Namun Wendy hanya ketawa geli hati sambil tangannya yang sejak tadi mengelap bersih pinggan yang sudah dibasuh.

Namun pandangan cewek muda itu tertuju pada satu arah.

"Berantem ya sama Jaemin?"

Gya menjengkitkan keningnya. "Berantem? Nggak tuh?"

"Terus kenapa Jaemin-nya dicuekin? Dari tadi juga kamu nggak mau ambil pesannya Jaemin kan? Pasti berantem kan?"

Gya ketawa kecil dengan kata kata Wendy. "Kak, kita nggak punya hubungan apa apa. Gimana mau berantem coba."

Ia kembali fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya tanpa mempedulikan Wendy yang masih setia berdiri di sebelahnya. Jujur, Gya sedang malas untuk berbicara mengenai Na Jaemin.

Sejak di sekolah tadi juga, Gya mengelak untuk bertembung dengan Jaemin. Malah ia dan Gyo pulang sendirian setelah sekolah tadi.

Selalunya, ada salah satu dari teman Jeno yang akan menghantarnya pulang. Tapi tidak hari ini. Ia benar benar tidak ingin diganggu oleh mereka.

"Gya, manusia tu nggak ada yang sempurna. Kadang-kadang, kita pasti ngelakuin kesilapan. Udah lumrah, makanya kita hidup di dunia ini bermacam ragam. Kalau semua terlahir sempurna, nggak akan ada variasi dong. Hidup jadi hambar."

Merasa sedikit hairan dengan kata kata tiba tiba Wendy, Gya mengangkat sebelah alis menatap majikannya itu dengan tatapan aneh. "Maksudnya ngomong kayak gitu apa?"

Wendy terkikih, "ya nggak ada maksud apa-apa. Cuman, aku mau berkongsi aja sama kamu."

"Okay, that's weird but nvm. Terusin aja kata katanya."

"Maksud aku tuh gini, kamu nggak bisa menghukum seseorang lewat sisi pandang kamu doang, Gya. Kalau begitu, hidup kita selamanya nggak bakalan tenang. Seharusnya, kamu juga harus dengar dari sisinya dia. Kasih kesempatan biar dia bisa jelasin segalanya. Nah setelah itu, baru kamu bisa menentukan apa dia benar benar jujur dan ikhlas sama kamu, atau cuman pengen ambil kesempatan aja."

Gya diam tanpa berniat mahu menanggapi kata kata Wendy yang penuh maksud tersirat.

Ia sama sekali tidak pernah menceritakan permasalahan antara dirinya dan Jaemin tapi Wendy seolah olah bisa membaca segalanya. Jelas dari sebalik kata kata panjang wanita itu.

Ah! Mungkin Jaemin yang menceritakan masalah mereka kepada Wendy.

"Kalau kamu terus terusan kayak gini, konflik antara kalian nggak bakalan berakhir. Yang adanya hubungan baik kalian bakal lebih parah. Kamu masih dengan salah faham kamu, dan Jaemin, dengan rasa panasarannya." Lembut suara Wendy berbicara kepada Jung Gya yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri itu.

Pinggan terakhir juga sudah siap dikeringkan dan kini ia sedang menyusun semua peralatan makan itu di atas rak penyimpanan dengan teliti.

Sementara itu, Gya menatap jauh ke hadapan.

Atau lebih tepatnya lagi pada Jaemin yang sudah mulai terlentok pada kerusi kafe. Mungkin kerana kecapean menunggunya seharian di kafe ini.

"Udah, jangan diliatin aja. Gih sana bicara yang benar sama Jaemin. Ya?" Wendy menyenggol bahu Gya yang malah bengong sendiri.

"Tapi ini kan belum selesai." Tunjuk cewek itu, merujuk pada kira-kira di mesin cashier yang belum selesai. "Aku selesaiin yang ini dulu ya."

"Nggak usah. Biar aku aja. Lagian waktu kerja kan udah habis." Wendy menahan pergerakan tangan Gya yang ingin kembali menyentuh mesin cashier.

"Tapi ini...."

"Udah jangan khawatir gih. Bentar lagi Johnny datang ke sini kok. Biar aku aja yang ngerjain sementara nungguin dia."

Akhirnya, Gya pun hanya mampu pasrah dengan paksaan Wendy yang kelihatan bersungguh-sungguh menyuruhnya segera menyamperin Jaemin.

Ia mengambil sling bag-nya di kamar belakang sebelum kembali ke ruang hadapan cafe. Di mana kerusi dan meja berada, juga di mana Jaemin -satu satunya pelanggan yang masih tinggal-berada.

"Ehem.." Gya berdehem seketika meneutralkan suaranya sebelum tangannya terulur untuk mengejutkan Jaemin yang sudah tertidur dengan jaket di tubuh.

"Jaemin, bangun." Panggilnya sekali namun tiada respon dari cowok itu.

"Jaemin.." Berkali-kali Gya mengulangi perbuatannya malah kini ia menggegar tubuh Jaemin sedikit kuat agar cowok itu terjaga.

Hasilnya, masih seperti tadi. Jaemin langsung tidak bergerak barang seinci pun.

Dan kerana tiada pilihan, serta sudah merasa frustasi, hanya ada satu cara yang bisa digunakannya agar Jaemin terjaga. Namun jika kali ini Jaemin tidak bangun juga, Gya berniat membatalkan tujuan asalnya untuk menyelesaikan urusan antara mereka berdua lalu meninggalkan Jaemin di kafe ini.

Kedua lengan t-shirt panjangnya diselak sehingga ke siku. Gya menunduk sedikit dekat dengan tepi kepala Jaemin, menarik nafas dalam lalu....

"NA!! BANGUN!! ADA KEBAKARAN!! ADA KEBAKARAN!!!"

.....menjerit kuat di tepi telinga cowok itu.

"Argh?! Mana-mana apinya?! Di mana?!"

Jaemin yang tadinya kaget langsung membuka mata dan hampir terjungkal dari kerusi yang didudukinya sambil berdiri dalam mood sedia seolah-olah bersedia untuk membuka langkah seribu.

Tapi, alih-alih menemui punca api, hal pertama yang menjenguk di birai matanya adalah wajah datar Jung Gya yang sedang bercekak pinggang di hadapannya.

Berkali kali ia mengucek kedua mata, memastikan imej yang ada di depannya ini adalah nyata atau hanya khayalannya akibat terlalu memikirkan cewek itu kebelakangan ini.

"I-ini..beneran Jung Gya kan?" Soalnya asalan.

"Iya ini aku! Kenapa? Kirain hantu?" Balas cewek itu dan kemudian berpaling menuju ke pintu keluar kafe. Langsung tanpa melihat sekilas pun pada Jaemin.

Membuat cowok yang sedia mula sedang kebingungan itu malah bertambah bingung.

Tidak kunjung mendapatkan Jaemin mengejar langkahnya, Gya berhenti di hadapan pintu yang sudah terbuka luas. "Ngapain masih di sana? Mau tidur di kafe? Nggak mau pulang?"

"Huh?" Jaemin bingung plus kaget ketika ini.

Matanya bertemu dengan tatapan Wendy yang juga sedang memandangnya. Wanita muda itu mengangguk sekali yang langsung diterima Jaemin.

"Err...iya aku ikut pulang! Tunggu!" Terkocoh-kocoh cowok berjaket hitam itu mengambil beg kameranya di atas meja lalu tergesa-gesa membuntuti langkah Jung Gya yang sudah berada di luar kafe.

Sempat ia melambaikan tangan kepada Wendy dan menghantar signal bibir, mengucapkan terima kasih atas bantuan wanita muda itu dalam memujuk Jung Gya.

Benar. Dia yang tadi bercerita kepada Wendy mengenai perselisihan yang terjadi antara dirinya dan Jung Gya. Dia juga yang meminta bantuan kalau kalau Wendy mahu membantunya membujuk Jung Gya untuk sekurang-kurangnya, mahu mendengar penjelasan darinya.

Mujur saja wanita yang berstatus majikan Gya itu seorang yang sporting dan mahu membantu Jaemin.

"Gya tunggu!"

Jaemin berlari-lari anak, cuba menyaingi langkah Jung Gya yang sudah sedikit jauh meninggalkannya. Mujur ia mempunyai kaki panjang, makanya langkah yang diambilnya lebih besar.

Sekejap saja, ia sudah berjaya berjalan bersebelahan dengan Jung Gya.

Keduanya menapak, meninggalkan kawasan kafe dan kedai kedai yang masih berlampu. Namun, tiada pembicaraan yang keluar dari mulut masing-masing. Hanya deru angin dan bunyi klakson kenderaan sahaja menemani.

Jaemin bermonolog sendirian. Ia ingin memulakan perbicaraan dengan cewek itu tapi merasa tiada topik yang sesuai dan sedikit canggung juga.

"Gue mau jelasin soal di vila hari itu."

Ah, terlalu direct dan kayak maksa banget.

"Kasih aku peluang untuk memperbaiki hubungan kita lagi."

No! No! Terlalu ambigu dan mungkin bikin Gya langsung mual. Berkali kali Jaemin melatih diri untuk memulakan perbualan tapi satu demi satu ayatnya terasa aneh.

"Kenapa nggak bawa motor kamu?"

"Huh?" Alih-alih dirinya yang memulakan bicara, Gya terlebih dahulu bersuara dengan menanyakan mengenai motor cowok itu yang diparkir di luar kafe.

"Oh..itu..hmm nggak papa. Nanti ada teman yang ambil." Jawab Jaemin asalan.

Benar! Kok dia seperti orang bodoh ya. Bisa bisa ia tidak sedar tentang motornya yang tersadai di luar kafe dan malah membuntuti Gya untuk berjalan kaki pada waktu malam begini. Mana dingin lagi.

"Lagian, aku mau anter kamu pulang ke rumah. Nggak salah kan?"

"Bukannya kamu juga udah tau, rumah aku di mana?" Soalan tiba tiba Gya membuat Jaemin berkerut kening seketika. Ya dia memang nggak tau di mana letaknya rumah cewek itu.

Mereka kan hanya sempat berbicara beberapa kali. Belum sempat membahas soal soal yang lebih privasi, hubungan mereka sudah tegang aja.

Melihat respon aneh Na Jaemin, Gya menoleh, "Secara nggak langsung kan kamu sahabatnya Kak Jeno. Pasti udah tau kan soal aku dari teman teman kamu yang lain?"

Sengaja Gya bertanya seperti itu agar Jaemin sadar bahawa ia masih berhutang penjelasan darinya.

"Senang kan pasti udah buat aku kayak orang bodoh. Mati-matian percaya kalau kamu itu ikhlas temenan sama aku. Sok simpati sama kisah hidup aku. Padahal di belakang, kamu sama teman teman kaya kamu itu puas ngetawain aku. Nggak gitu, saudara Na Jaemin?"

Mata Jaemin membulat kaget. Syok dengan serangan mengejut Jung Gya. Tidak menyangka kalau cewek itu bakal sefrontal ini.

"Jalan fikir kalian itu gimana sih sebenarnya? Senang ngeliat orang miskin kayak aku menderita? Dimaluin di hadapan orang orang kaya kayak kalian? Sehina itu, aku sama kembaran aku di mata kalian? Apa? Kami nggak bisa hidup bahagia kayak orang lain?"

Tanpa henti, Gya meluahkan segala kekesalannya yang tidak bisa dihamburkannya di hadapan orang lain, malah Jeno sendiri.

Kakinya sudah berhenti melangkah dan kini ia menatap tajam ke arah Na Jaemin yang juga ikut berhenti di hadapannya.

"Seharusnya kalian bilang yang jelas, maunya kayak gimana. Biar aku bisa nuntasin keinginan itu tanpa harus kalian repot repot buat berlakon baik di hadapan aku. Aku bisa lakuin apa aja, asalkan kalian nggak nyentuh Gyo sama sekali."

"Dia satu-satunya ahli keluarga yang aku punya. Dan aku rela lakuin apa aja demi dia."

Kini, air mata cewek itu mula mengalir sebaik saja menyebut nama Gyo. Topik mengenai kembarannya itu benar benar bisa meruntuhkan pertahanan lemah seorang Jung Gya.

Saking rasa sayangnya pada abang kembarnya itu, ia hanya mengiyakan dan merelakan segala perlakuan buruk serta kasar yang diterimanya.

Kerana ia tahu, selagi ia patuh pada mereka, keselamatan Gyo bakal terjamin. Tiada yang bisa menyentuh barang sehelai pun rambut Gyo.

"Bilang langsung ke aku supaya aku bisa muasin hati kalian.." Lirih suara Gya menuturkan kata kata itu malah air matanya tidak bisa dibendung lagi.

Kepalanya tertunduk dengan bahu yang terhenjut-henjut menahan tangis. Air matanya berceceran membasahi wajahnya dengan kedua tangan terkepal ke sisi tubuh.

Riak wajah Jaemin yang mulanya merasa kaget, kini berubah menjadi lembut semula. Sayu wajahnya melihat kondisi Jung Gya yang sesenggukan.

Perlahan-lahan, tangan Jaemin menarik kedua bahu Jung Gya untuk mendekat ke arahnya.

Sekejap saja, tubuh kecil itu muat berada dalam pelukannya.

"Maaf, a-aku...sama sekali nggak tahu soal ini. Benar-benar, aku minta maaf sama kamu Gya. Sumpah, demi apa pun, aku nggak tahu." Tangannya menepuk lembut belakang tubuh Jung Gya yang tersembam di dadanya.

Andai aku tau, kamu bakal terluka begini, aku nggak mungkin bawa kamu ke vila malam itu Gya. Nggak mungkin juga, aku tega nyakitin kamu. Maaf..aku benar benar minta maaf karna gagal lindungin kamu.

_____________________________________

"Jadi, orang yang kamu ceritain dulu, itu Jeno?"

Air coklat di tangannya dihirup perlahan sebelum ia mengangguk, mengiyakan soalan dari Jaemin yang duduk di sebelahnya.

Kedua mereka berada di taman permainan. Duduk berdua bersebelahan pada buaian kecil yang ada di sana.

"Aku jadi pacarnya Jeno, oh lebih tepat lagi, selingkuhan Jeno hampir 6 bulan. Semuanya aku lakuin, untuk Gyo."

"Tapi, nggak seharusnya sampai kayak gitu kan Gya? Ada banyak cara kamu bisa lindungin Gyo selain daripada ini. Sama sekali nggak nguntungin kamu. Yang adanya, kamu bakal nyakitin hati sendiri kan?"

Gya terkikih perlahan, mengangkat wajah dari memandang mug di tangannya.

"Benar juga sih. Sama sekali nggak nguntungin aku. Tapi.." Ia membalas kata kata Jaemin, mendongak dan berpapasan mata dengan cowok itu. "...aku nggak punya pilihan Na."

"Hah? Maksudnya?"

Tidak menanggapi soalan Jaemin, kepalanya memandang ke langit malam. Bulan kelihatan bersinar terang malam ini dan taburan bintang menambahi lagi keindahan malam.

Jaemin memandang ke arah yang sama.

"Liat nggak bintang yang paling terang di sana?" Soal cewek itu, menunjuk pada satu bintang yang bersinar paling terang antara bintang-bintang yang lainnya.

"Liat. Kenapa?"

"Dulu, bunda selalu bilang, akan sentiasa ada satu bintang yang bersinar paling terang di malam hari. Dan, bunda selalu bilang, kalau dia pengen jadi bintang. Yang walaupun dia nggak ada di sisi aku dan Gyo, dia bakal selalu ada merhatiin kami dari atas. Nah, yang itu tuh, pasti bunda."

Jaemin terdiam. Turut memandang ke kaki langit. Sama sama mengagumi keindahan malam yang selama ini tidak pernah dilakukannya.

Namun malam ini, pertama kalinya, ia melakukan itu. Juga, bersama seseorang gadis.

"Gyo...satu-satunya yang aku punya setelah bunda meninggal. Aku nggak bisa bayangin, gimana kalau nggak ada Gyo di hidupku. Walaupun orang orang selalu ngeliat kalau Gyo itu cacat dan biarpun orang lain bilang, Gyo itu cuma beban di hidup aku, tapi semua orang salah menilai betapa berharganya Gyo di hidup aku."

Gya tersenyum apabila mengingat Gyo. Abang kembarnya yang sangat berharga dalam hidup seorang Jung Gya.

Kerana Gyo, ia masih bisa bertahan sehingga kini meskipun hidup berkekurangan. Kerana Gyo, ia bisa kembali bangkit dari keterpurukan nya setelah ditinggal bunda dulu.

Dan kerana Gyo juga, ia menjadi dirinya yang sekarang.

Gya tidak tahu, bagaimana hidupnya jika Gyo juga pergi meninggalkannya. Makanya, sedaya-upaya, Gya akan berusaha agar Gyo sentiasa berada di sisinya seumur hidup.

Sehingga ia bisa membahagiakan abang kembarnya itu.

"Gya.." panggil Jaemin perlahan yang terus menarik perhatian cewek itu untuk memandang ke arahnya.

"...kalau aku boleh tanya, ayah kamu-"

"Oh iya, maaf ya Na. Aku sempat ragu sama ketulusan kamu tempoh hari. Maaf juga kerana udah nampar kamu. Aku benar benar ceroboh saat itu. Aku harap, kamu nggak nyimpan di hati."

"Oh, soal itu, nggak papa. Aku ngerti kok. Lagian aku juga salah di sini. Maaf juga ya."

Dan lagi, Gya mengelak daripada membicarakan mengenai ayahnya. Sama seperti ketika Jeno bertanya tadi pagi.

Padahal Jaemin ingin bertanya mengenai apa yang didengarinya di toilet hari itu. Soal cewek itu yang bersaudara dengan Kim Lia. Namun, menerima respon pasif dari cewek itu, Jaemin sedar, Jung Gya tidak mahu membahas mengenai itu.

Ah, biarkan sahaja dahulu. Walaupun ia benar benar panasaran, Jaemin juga tidak mahu merusak suasana yang sudah beransur membaik di antara mereka berdua.

Keduanya kembali meneguk air coklat dari cawan plastik yang hanya tinggal sedikit.

Segalanya sudah beransur membaik setelah Jaemin dan Gya berbicara berdua. Meluruskan kesalahfahaman yang muncul antara mereka.

Setelah menceritakan segalanya, barulah Gya percaya bahawa Jaemin sama sekali tidak tahu menahu mengenai dirinya sebelum ini. Pertemuan mereka sama sekali tidak dirancang apatah lagi direncanakan untuk menjebak Jung Gya.

"Tapi, setelah ini, aku harap, kamu bisa lebih terus terang sama aku. Jangan pernah mempersoalkan keikhlasan hati aku untuk berteman sama kamu. Kalau punya masalah, kamu bisa bilang ke aku."

Tutur Jaemin memandang ke arah Jung Gya.

"Hmm..kalau itu sih kayaknya.."

"Jangan khawatir. Walaupun aku juga temenan sama mereka, sama sekali nggak ada kaitan sama pertemenan kita. Aku tahu kok buat bedain keduanya." Sekali lagi Jaemin meyakinkan bahawa dia benar benar tidak berniat jahat kepada cewek itu.

Dan harapannya, agar Jung Gya tidak menganggapnya sebagai Jaemin, ahli Geng Nevada tapi sebagai Na Jaemin, sahabat cewek itu.

"Hmm...kalau udah kayak gitu, aku bisa bilang apa lagi. Ya udah terima aja. Tapi.." Gya bergumam.

"Kita nggak usah ubah cara manggil satu sama lain? Aaa, maksudnya, kan kamu seharusnya lebih tua dari aku. Apa nggak papa kalau kita pake aku-kamu aja gitu?"

"Ya nggak papa. Aku aja senang kamu manggil aku kayak dulu lagi."

Gya mendelik, sedikit hairan. "Hah? Kayak dulu gimana?" Setahunya, ia memanggil cowok itu seperti biasanya. Tidak ada yang berubah.

Jaemin yang merasa gemas dengan reaksi polos Jung Gya refleks mencubit pipi cewek itu.

"Nggak sadar apa lupa nih?" Yah biarpun beda tipis. "Di sekolah hari itu, kamu nggak manggil aku Na. Tapi manggil Jaemin. Terus mana pake lo-gue lagi. Kaget tau nggak."

"Oh.." Sedar maksud Jaemin, Gya ikut ketawa kecil. "Maaf. Itu kan lagi marah. Makanya."

"Tapi sekarang udah nggak marah kan?" Tanya Jaemin, memasang wajah imut penuh aegyo nya. Lagi-lagi membuat Gya kaget dengan pesona tersembunyi Jaemin.

"Nggak kok. Tapi awas aja kalau kamu bikin ulah lagi. Biar tau rasa dicuekin!" Ugut cewek itu berseloroh.

Jaemin terus mengangkat kedua belah tangannya ke sisi. "Janji nggak bakalan lagi. Sumpah nggak enak banget dicuekin kamu. Berasa kayak buronan dipelototin mulu."

Keduanya ketawa bersama mendengar lelucon masing masing.

Jaemin adalah pihak yang paling merasa lega di sini. Di dalam hatinya, ia berjanji untuk turut melindungi kembaran cewek itu walaupun ia sama sekali tidak terlibat dengan perjanjian Gya bersama teman temannya.

Kerana Jaemin tahu, bagaimana pentingnya kehadiran Gyo dalam kehidupan Jung Gya.

Tanpa sedar, muncul satu perasaan baru dalam hati Jaemin.

Perasaan yang bisa saja memberi kesan kepada persahabatannya dan Lee Jeno.

Bersambung...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience