12. Big Secret

Fanfiction Series 10231

Gya melangkah lunglai sebaik saja datang ke gerbang sekolah yang lagi 5 menit mahu tutup. Bisa dikirakan, itu agak lewat untuknya datang ke sekolah.

Semuanya gara gara peristiwa dua malam yang lalu.

Hah, semester baru yang harus nya dimulai dengan penuh semangat ternyata tidak berhasil buatnya.

Alih-alih kelihatan semangat, wajahnya sepertinya malah kelihatan tidak ingin hidup saja.

Manakan tidak, sejak peristiwa malam itu, anak-anak di sekolahnya sedang riuh berbicara mengenai dirinya di papan buletin sekolah. Mengenai adik tingkat baru yang mencipta sejarah, menampar ahli Arthdal. Dan, juga menceburkan Nancy ke dalam kolam. Huh, padahal bukan dia yang melakukan hal kedua.

Iya, yang pertama sih benar, memang dia.

Kira-kira, kalau dia tahu, Jaemin ahli Arthdal a.k.a salah satu Jeno clans, Gya bakal mau, sok sokan berteman sama Jaemin? Apatah lagi, sampai datang ke acara cowok itu? Ya enggaklah.

Ini juga, menurut Kak Wendy, Jaemin datang ke kafe. Ingin menemuinya. Tapi, Gya tidak datang bekerja selama dua hari itu. Ia meminta cuti. Toh ia juga jarang sekali mengambil cuti.

Biarin saja! Gya malas berurusan dengan Jaemin.

Notabene-nya, Jaemin sama saja seperti Jeno clans yang lainnya. Dibanned dari hadir ke hidupnya.

Tanpa mempedulikan pandangan sinis anak anak Serim High, Gya melangkah sendirian menuju ke bangunan kelasnya yang berada di lantai 10.

Dia sendirian hari ini kerana Gyo tidak sekolah. Masih berada di rumah Dokter Jennie. Wali kelasnya sudah tau kok. Dokter Jennie sendiri yang meminta izin. Gyo masih lagi memerlukan rawatan - menurut Dokter Jennie.

Tapi, dari jauh saja, Gya sudah bisa mendengar suara orang orang yang berada di tangga terakhir sebagai orang yang pengen ditemui setelah buka sekolah.

Siapa lagi, kalau bukan, Jeno clan yang sedang duduk nongkrong di batasan besi biasa di mana motor-motor terparkir.

"Eh kampret lo, main baling baling aja. Dasar akhlak eobso!"

"Wle! Emang gue peduli tuh? Nah ambil lagi!"

"Wah, ngadi ngadi emang."

Gya mengabaikan suara-suara mereka dan berjalan menyusup antara ramainya anak anak Serim yang baru datang di hujung waktu bel berbunyi.

"Loh, itu bukan si Gya ya?"

Haechan yang matanya terlebih lensa dengan mudah mengesan kehadiran Gya di antara kerumunan anak anak.

"Oi, Jung Gya! Sini lo!"

Shit! Gya ingin mengumpat apabila namanya dilaungkan Haechan dengan kuat dari jarak 5 meter.

Tubuhnya dengan cepat menerobos antara anak anak lain kerana takut dikejar oleh mereka.

"Gya! Tunggu."

Ya Tuhan! Malapetaka apa lagi ini?!

Kalian pasti tidak akan percaya jika dikatakan bahawa, Jaemin sedang menunggunya tepat di depan pintu utama untuk naik ke tingkat 6. Letak kelasnya Gya.

"Huh!" Gya merengus kasar lalu berpaling, mengambil arah lain apabila melihat Jaemin yang sedang berdiri bersama Mark dan Jisung.

Yang paling aneh, Jaemin mengenakan blazer maroon yang sama dengan blazer yang digunakan Gya. Apa artinya, sekarang, Jaemin juga sudah mula bersekolah di sini?

Bagus dong kalau begitu! Akan lebih ramai makhluk-makhluk yang bisa membuat hidupnya gonjang-ganjing.

Argh! Andai saja dia menerima saja tawaran Jihoon untuk pulang ke US, kan senang! Tapi, Gya sudah tidak mahu terus terusan ngerepotin Tante Rose' sama Om Chanyeol.

Biar saja mereka di sini. Ia masih kuat kok untuk menghadapi ini.

Kali ini, Gya bertindak bijak dengan masuk ke kamar mandi perempuan yang terletak di bangunan kelas 11, tepat di bawah tangga di hujung simpang.

"Heh heh Jaem, ngapain lo?"

Dari dalam, Gya bisa mendengar dengan jelas, suara Mark. Seperti nya Jaemin berjaya mengejarnya sehingga ke sini.

"Yah mau masuklah! Gue harus ketemu Gya." Suara Jaemin.

"Iya tau. Tapi nggak pake masuk ke toilet cewek juga kan? Lo mau dituduh mesum?"

"Gue nggak peduli Mark, gue harus ketemu Gya juga! Gue perlu jelasin ini ke dia!"

Huh? Jelasin? Percuma! Gue nggak butuh penjelasan lo sama sekali! Pergi mati aja sana sama teman teman lo!, Hati Gya berbicara sendiri. Sempat menggerutuk sebal.

"Sebaiknya, kita pulang ke kelas dulu. Lo juga katanya dipanggil sama Pak Yixing kan? Ayo, kita samperin dulu." Jeda, Jaemin sepertinya berat hati ingin berlalu pergi.

Jelas dari hempasan nafas beratnya yang kedengaran.

"Lagian, lo anak baru, dan si Gya nggak bakalan mau ketemu lo buat saat ini. Gue tau kerasnya dia tuh kayak mana. Baik lo nurut sama kata kata gue dulu."

Sejurus setelah itu, derapan tapak kaki keduanya kedengaran semakin lama semakin menjauh. Membuat Gya bisa bernafas lega seketika.

Dirinya berjalan ke arah kaca besar di hadapannya.

Mendongak bagi melihat wajah sendiri.

Ketika itu juga, rasanya Gya pengen maju ke depan dan menabok wajah sendiri. Jelas jelas di sana, dirinya kelihatan benar benar hancur.

Dengan lingkaran hitam di sekeliling matanya, wajah yang sembab dan rambut hitam panjang yang kelihatan tidak dikuncir dengan rapi. Sedikit beralun di hujung.

'Oh my God! What happen to you, Jung! Its not you! Really not you!' Ketusnya melihat penampilan diri.

'Lo anak Jung Jisoo. Lo kuat. Nggak seharusnya lo kayak gini cuman gara gara kerenah orang gila kayak mereka. Please bangun lagi'

Seolah-olah, figuranya di dalam cermin itu mengejeknya ketika ini. Tersenyum sinis, sama sinisnya menyaksikan kehidupan miliknya yang jelas jelas kelihatan miris.

"Iya! Gue harus bangun! Gue nggak bisa biarin orang-orang kayak mereka terus terusan nginjak-nginjak gue! Kalau gue lemah, gimana gue bisa lindungin abang!"

Yakinnya sendirian sebelum bertindak membilas wajahnya dengan air keran. Ikatan ponytail nya dileraikan sebelum diikat semula. Kini lebih kemas dari sebelumnya.

Berbanding tadi, penampilannya kelihatan lebih segar.

Hampir sepuluh menit dirinya ada di sini. Dia harus keluar dan pergi ke kelas sekarang. Jam pelajaran akan bermula.

Ketika ingin melangkah keluar, kehadiran seseorang langsung menyita perhatian Gya.

"Hai Gya. Pagi!" Itu suara Kim Lia yang menegurnya mesra. Bersama senyuman manis khas miliknya.

"Hmm."

Hanya gumaman diberikan sebagai tanggapan. Bukan ia ingin sombong tapi dirinya sedang tidak mood untuk melayani salah satu daripada penyebab masalahnya.

Sebaiknya ia pergi ke kelas saja.

"Gimana Gya? Lo suka hadiah gue buat lo? Hmm? Jung Gya?"

Baru saja ingin membuka langkah, suara Lia menerpa gegendang telinganya. Berbeda dari nada cewek itu ketika menegurnya barusan, kali ini, Lia berbicara sinis.

Seakan merendah-rendahkan dirinya. Tapi, Gya benar benar tidak bernafsu untuk melayani cewek mak lampir itu.

"Jangan merasa senang dulu Gya. Ini baru permulaan kepada mimpi buruk lo! Setelah ini, akan lebih banyak lagi kejutan buat lo. So, yang sabar ya sayang!"

Lia masih belum puas memancing kemarahan cewek itu. Bibirnya meleret menampilkan senyuman sinis miliknya yang jarang sekali ditampilkan kepada orang sekelilingnya.

"Mungkin semalam, lo bernasib baik Gya. Tapi, besok besok, siapa yang tahu kan? Hal buruk bisa terjadi sama lo, atau...mungkin abang kembar lo yang cacat itu! Siapa tahu?"

"Mau Kak Lia apasih?" Ketus Gya. Tidak senang kerana tiba tiba nama Gyo tiba tiba dikaitkan.

"Jangan pernah libat-libatin Gyo dalam obsesi gila Kak Lia terhadap aku!" Tajam pandangan cewek itu umpama belati yang siap siap ingin menoreh wajah Lia kapan saja.

Lia ketawa kuat sebelum terhenti lagi lantas menunduk sejajar dengan Gya yang lebih rendah darinya.

"Asal lo tau Gya, gue, nggak bakal puas selagi lo nggak nerima pembalasan. Gue nggak bakal puas, selagi anak jalang kayak lo nggak menderita! Persis kayak mama gue yang harus menahan rasa sakit hati gara gara ulah kegatalan mama lo!"

"Kak Lia!" Tanpa sedar, Gya meninggikan suaranya pada cewek di depannya itu. Hatinya membara apabila nama bundanya meniti di bibir Lia.

"Jangan pernah hina mama Gya kayak gitu!" Turun naik dadanya menahan amarah, dengan kedua tangan yang mengepal erat memandang kakak tirinya.

Iya, Gya dan Lia adalah saudara satu ayah.

"Bunda nggak salah dalam hal ini. Kayak Tante Irene, bunda juga mangsa kak! Bunda nggak pernah berniat buat ngerampas, apatah lagi sampai ngerusak keluarga nya papa! Bun-"

"Shut the fuck up, Gya!"

Seakan akan dirasuk, Lia juga ikut berteriak kerana Gya yang tidak sudah sudah menyebut dan membela nama perempuan yang paling dibencinya!

Perempuan perampas, perempuan murahan!

"Gue nggak peduli siapa yang salah di sini! Tapi jelas jelas, mama lo! Udah ngerusak istana kecil gue! Dan gue benci itu! Apatahlagi sama lo, yang udah ngerampas kasih sayang papa, mama dan Kak Kun!"

"Harusnya gue Gya! Harusnya kasih sayang mereka tuh cuman buat gue! Bukan anak perempuan simpanan kayak lo!"

Seolah-olah kehilangan kontrol, Lia langsung melampiaskan segalanya kepada Gya. Tanpa peduli bahawa suaranya bisa saja kedengaran oleh anak anak lainnya.

"L-lia..."

Kedua mereka langsung memandang pintu toilet yang terbuka luas. Menampilkan cowok yang entah sejak kapan ada di sana!

"Jaemin-ah!"

Dan, seperti tiada apa apa yang berlaku, Lia mengubah riak wajahnya. Kemarahan nya yang seakan akan hampir membuat cewek itu meledak hilang begitu saja. Digantikan dengan riak wajah seorang gadis manis bernama Lia yang sesungguhnya.

"Mau ketemu Gya ya? Ya udah sana! Gih, Gya. Jaemin mau bicara sama kamu. Dengerin dia dulu ya! Jangan terus-terusan marah. Kan nggak baik."

Kini, nada suara dan bahasa tubuh Lia langsung berubah menjadi sosok Lia yang seperti biasa.

Ia langsung melengos keluar dari toilet, menyisakan Jaemin dan Gya yang saling bertatapan sebelum Gya terlebih dahulu memutuskan pandangan.

"Tunggu, Gya! Aku mau kamu denger penjelasan aku dulu."

Jaemin menahan tangan Gya yang sudah mau berlalu pergi meninggalkannya.

Tadi, memang Jaemin sudah pergi sama Mark ke ruangan guru untuk menemui Pak Yixing. Tapi ia kembali ke sini kerana ingin memastikan adakah Gya benar benar sudah keluar apa belum.

"Lepas!" Gya merentap tangannya dari pegangan Jaemin.

"Nggak ada apa apa yang aku mau dengar dari kamu lagi Jaemin! Please, stop gangguin hidup aku. Udah cukup sebulan ini, aku kayak orang bodoh yang mati-matian kalau kamu ikhlas temenan sama aku!" Ketus Gya.

Tiada lagi panggilan Na yang sering digunakannya semasa bicara dengan Jaemin. Kerana baginya, ia berteman dengan sosok bernama Na. Bukan Jaemin.

"Udah dengar kan tadi? Betapa rendahnya aku? Aku nggak layak untuk bergaul apatah lagi temenan sama kamu. Golongan atasan. Aku anak selingkuhan yang hina di mata semua orang. Tapi, tetap saja, bunda-ku nggak salah. Yang salah, adalah aku. Kerana jadi bibit lelaki nggak bertanggungjawab." Gya tetap berbicara tanpa mempedulikan Jaemin.

Meskipun mereka orang yang sama, tapi tetap, mereka berbeda.

"Nggak usah lanjutin lakonan kamu! Aku mengaku, aku udah kalah. Kalian menang! Terusin rencana kalian untuk jatuhin gue. Tapi..."

Lancar kata kata itu keluar dari bibir Gya.

"Ingat janji kalian. Jangan sesekali sentuh Gyo! Selagi Gyo aman, aku bakal bolehin apa apa saja kelakuan kalian ke aku. Bahkan aku rela terus-terusan jadi budaknya Jeno!"

Tanpa memberi kesempatan buat Jaemin berbicara, Gya berlalu pergi dari sana. Jujur saja, setelah mendengar ugutan Lia tadi, Gya sedikit takut andai ada sesuatu yang buruk berlaku kepada Gyo.

Sebelum ia terlupa, tubuhnya kembali dipalingkan agar berhadapan dengan Jaemin sekali lagi. Ia harus mengatakan ini. Buat kali terakhir. Mungkin.

"Juga, buat kamu, Na Jaemin. Thanks udah berjaya buat gue percaya, ada orang yang benar benar ikhlas sama gue. Terima kasih, atas layanan baik elo selama sebulan ini. Gue hargain semuanya."

Gya menggengam tangannya erat. Mengawal diri daripada terpancing emosi.

"Tapi setelah ini, stop kejar kejar gue. Stop cariin gue lagi. Gue udah nggak mau denger apa apa penjelasan lagi. Lupain fakta bahawa kita pernah berteman. Terima kasih. Gue pergi."

Seterusnya, Gya melangkah pergi begitu saja. Meninggalkan Jaemin sendirian, masih terpaku dengan kata katanya barusan. Ah, Gya tidak peduli lagi. Satu satunya yang ada di fikirannya saat ini adalah keselamatan Gyo.

Lupakan rasa sakit hatinya. Ia harus memikirkan Gyo terlebih dahulu.

Cewek segila Lia nggak seharusnya dipandang sebelah mata.

"Gya.."

Jaemin menyeru nama cewek yang melangkah semakin jauh meninggalkannya.

Iya, dia sudah mendengar segalanya. Bahkan tentang fakta yang Gya dan Lia adalah saudara satu ayah. Dan, perjanjian cewek itu dan teman temannya.

Jaemin jadi panasaran, apa sebenarnya isi perjanjian itu. Difikirannya, Jeno hanya menjadikan Gya sebagai pacar dengan niat bermain-main. Tapi tampaknya, ini lebih dari itu.

Dia harus cari tahu tentang itu terlebih dahulu dari teman-temannya.

Mereka harus jujur padanya.

Baik secara rela, mahupun secara paksa.

__________________________________________

Seorang lelaki berpakaian setelan rapi dan berbadan tegap keluar dari Sedan hitam keluaran terbaru. Tepat di hadapan Gya.

Refleks, kaki cewek itu terhenti daripada terus melangkah. Alarm bahaya seolah olah telah diaktifkan. Menyuruhnya untuk berjaga jaga dan jika bisa, kabur dari sana.

"Silahkan ikut saya non Gya." Pengawal itu berbicara sebaik saja kakinya berada tidak jauh dengan cewek berseragam itu.

Merasa ragu, Gya bersedia untuk mengundur.

Tidak! Dia tidak akan ikut dengan pengawal itu. Gya menahan geram. Matanya tertancap tajam pada kaca mobil yang berwarna hitam tanpa melihatkan pemilik yang berada di dalam.

"Gya! Tunggu!"

Shit! Gya menyumpah perlahan apabila suara seseorang memanggilnya. Apabila ia menoleh, dilihat, Renjun yang sedang terkocoh-kocoh berjalan ke arahnya.

Ah, serba salah jadinya. Gya tidak mahu ketemu dengan orang di dalam mobil. Tapi, pada masa yang sama, ia tidak mahu juga kalau Renjun datang ke sini dan melihat kehadiran pengawal-pengawal ini. Bisa bisa jadi masalah besar kalau teman Jeno itu tau rahsia terbesarnya.

"Ayo non, nyonya sudah menunggu non sedari tadi." Tegas pengawal itu lagi.

Gya panik seraya berfikir pantas. Kalau dia ikut, dirinya terpaksa berhadapan dengan 'nyonya' yang disebutkan pengawal itu. Tapi, kalau sampai ia ketahuan sama Renjun. Ahh, itu bakal lebih parah.

Dan pada akhirnya, Gya tidak punya pilihan selain memilih yang pertama.

Pedulikan dengan reaksinya nanti. Yang terpenting, Renjun tidak akan menangkapnya. Kesan akibat yang kedua lebih parah daripada yang pertama.

Dengan pantas, Gya melangkah menuju ke pintu mobil yang telah terbuka untuknya dan masuk ke tempat duduk belakang.

Kemudian, mobil Sedan hitam itu terus saja meluncur laju meninggalkan perkarangan sekolah tinggi Serim High. Menyisakan Renjun yang tidak sempat menghalang Gya daripada masuk ke dalam mobil orang yang tidak dikenalinya.

Renjun yang baru sampai di tempat cewek itu berdiri tadi menekan perut dengan nafas tersengal-sengal. Matanya masih memandang kelibat mobil yang sudah semakin tidak kelihatan.

Siapa ya? Kok kayak pernah liat tuh mobil. Tapi di mana?

Ah, tampaknya niatnya untuk berbicara dengan gadis itu lagi lagi tidak kesampaian.

Tanpa menunggu lama, Renjun berpaling dan kembali melangkah pergi. Mungkin besok saja, dia akan berbicara dengan Jung Gya mengenai hal penting begini. Ia melibatkan keselamatan cewek itu sendiri.

Setelah peristiwa malam di vila Jaemin, sepertinya Nancy menyimpan dendam dan sedang merancang sesuatu yang buruk.

Sementara itu, Gya berada dalam mobil bersama seorang wanita seusia 40-an. Gadis itu hanya diam sementara memandang keluar kaca mobil.

Sungguh, dia tidak tahu kenapa dirinya dibawa pergi.

Hampir 20 menit, kedua mereka hanya diam sahaja sepanjang perjalanan. Pengawal bersetelan hitam tadi pun hanya menurut seperti apa yang diperintah tanpa banyak suara. Hanya sesekali saja ia berbicara dengan pemandu yang juga kelihatan tenang.

"Kita mau ke mana nyonya?"

Soalan dari sang pemandu akhirnya memecahkan kesunyian di dalam mobil Sedan mewah itu.

"Kita pulang ke rumah saja ya, Taeil." Bae Irene menjawab dengan suara lembut khas miliknya. Namun, pantas saja, tangannya dipegang oleh Jung Gya yang dari tadi hanya diam.

Kepalanya dipalingkan agar bisa melihat ke arah anak gadis itu.

"Kenapa Gya?"

"Nggak usah repot-repot ke rumah tante. Kita bicara di sini saja." Suara Gya dingin tapi masih mengekalkan nada sopannya.

Biar sebenci manapun dirinya pada keluarga papanya, wanita di sebelahnya ini tetap perlu dihormati. Gya tidak mahu, mereka mempersendakan mendiang bundanya sebagai seorang yang tidak pandai mendidik anak.

Bae Irene menghembus nafas berat. Matanya memandang ke seraut wajah dingin di sebelahnya.

"Setidaknya, mama mau bicara sama kamu di tempat yang selesa nak." Ujarnya lagi memujuk agar Gya mahu ikut dengannya pulang ke rumah.

"Saya nggak terbiasa dengan layanan baik seperti ini. Juga.." Gya menjedakan ayatnya.

"...nyonya Irene bukan mama saya. Maaf."

Rasanya Irene ingin menangis saja mendengar kata kata anak tirinya itu. Anak kepada suaminya dan mendiang Jung Jisoo. Yang juga merupakan adik yang disayanginya.

"Ya udah, kalau gitu, kita singgah di restoran, mau? Tante belum makan siang." Bukan Irene namanya kalau berputus asa setelah ditolak sekali oleh anak itu.

"Gya mau kan, temenin tante makan siang?" Pujuknya dengan tangan yang masih menggenggam telapak tangan anak cewek seumuran putrinya, Lia itu.

Iya, Bae Irene adalah ibu kandung Kim Lia. Yang juga isteri sah kepada papa Gya, Kim Suho. Bukan mendiang bundanya. Seperti kata Lia, bundanya hanya perampas yang memusnahkan keharmonian keluarga mereka.

"Nggak usah tante, saya bukan orang yang layak buat menerima pelawaan tante. Sebaiknya, tante makan bersama keluarga tante saja. Maaf, kalau nggak ada apa-apa lagi, saya pamit pulang."

Gya tidak betah berada berduaan dengan isteri papanya itu. Hatinya tidak bisa tenang untuk tidak mengingat tentang perkara yang telah menimpa bundanya, dirinya dan Gyo.

Tangannya memegang pintu, bersedia untuk keluar.

"Tunggu Gya!" Irene menahan tangan Gya daripada melangkah keluar. "Ada sesuatu yang tante harus bicarain sama kamu. Please, kasih tante peluang."

Gya yang tadinya ingin bergegas keluar dari mobil, menghentikan langkahnya dan kembali bersandar pada tempat duduk belakang yang selesa.

Irene tersenyum tipis kerana Gya mahu memberinya peluang.

"Minho-ssi.."

Hanya dengan satu panggilan itu, pengawal yang bernama Minho itu langsung mengerti dan bertindak keluar dari mobil. Begitu juga Taeil yang bertindak sebagai pemandu yang mengikut langkah Minho.

Memberi peluang kepada dua wanita itu untuk berbicara dengan santai. Keduanya berdiri di luar mobil sembari memerhatikan keadaan sekeliling.

"Tante mau ngomong apa?"

Irene menelan liur susah payah. Dia tahu, ini isu yang sangat sensitif untuk Gya tapi juga, sudah menjadi tanggungjawab nya untuk menyuarakan hal ini. Dia harus membetulkan segala kesilapan masa lalu yang berlaku dalam keluarganya.

"Gya sama Gyo baik baik aja kan? Kalian sehat?" Seolah olah ingin mengulur masa, Irene bertanya terlebih dahulu kondisi semasa kedua kembar itu saat ini.

"Sebaiknya nggak usah bertele-tele. Kita bicara langsung ke isinya."

Buat sekian kalinya, Irene lagi lagi terdiam dengan kata kata dingin Jung Gya. Biarpun begitu, ia berusaha untuk tidak mengambil hati dengan itu semua.

Ia mengerti, betapa gadis kecil itu menderita sejak dulu lagi. Dan..semuanya adalah berpunca daripadanya. Wajar saja, jika Gya melayannya dingin.

"Tante mau bawa Gya sama Gyo pulang ke rumah. Rumah papa, rumah kalian." Tuturnya sekali nafas lalu kembali memandang wajah Jung Gya, menunggu respon.

Irene sempat ragu dengan penerimaan Gya yang hanya diam sebaik saja ia menghabiskan kata katanya tadi.

Tapi, dia benar benar memaksudkan kata katanya barusan. Dia mahu membawa kedua anak itu kembali ke rumah Suho semula. Ke tempat sepatutnya. Mereka tidak seharusnya menderita lagi.

Namun, ketawa besar yang keluar dari bibir anak itu seakan akan memusnahkan segala harapan Bae Irene.

"Tante ngomong apa sih? Tante nggak becanda kan?"

Gya memicingkan matanya, menatap lekat pada Bae Irene yang masih memandang nya dengan pandangan mengharap.

"Nggak sayang, tante nggak becanda. Ini beneran. Yuk, kita pulang." Bujuk Irene lembut.

"Haha! Saya nggak tau apa yang udah merasuki tante di siang hari begini. Tapi, maaf, ini sama sekali nggak lucu, nyonya Irene. Maaf, leluconnya nggak masuk sama saya!"

Dengan nada sarkas, Gya membalas tanpa peduli dengan wajah kelat Bae Irene di hadapannya.

Dan tiba-tiba, ia berhenti ketawa. Digantikan dengan wajah dingin yang jarang sekali ditunjukkan kepada sembarangan orang.

"Sepertinya tante lupa, siapa saya dan abang saya sebelum ini di kehidupan tante sebelum ini." Sinis, nada yang digunakan cewek itu.

"Kalau tante lupa, dengan senang hati, Gya bakal ingatin tante."

Membetulkan duduknya, memandang tepat ke arah wanita elegan yang mirip dengan wanita bangsawan yang kaya raya itu.

"Saya, Jung Gya, putri Jung Jisoo. Wanita..yang menurut tante udah ngerampas suami tante suatu ketika dahulu! Harusnya, tante nggak lupa itu." Gya berbicara dengan menekan setiap perkataan terakhirnya.

Jarinya menunjuk dadanya sendiri dengan yakin agar wanita di hadapannya ini tidak lupa asal usul dirinya.

"Untuk apa, tante nemuin aku sekadar untuk bicarain ini? Percuma tan! Percuma! Harusnya, tante gembira, aku sama Gyo udah keluar dari kehidupan tante sekeluarga. Nggak perlu cari cari aku di sini lagi!"

Sekali harung saja, Gya meluahkan rasa hatinya. Wajahnya merah padam mengingatkan semula Bae Irene untuk tidak melupakan fakta itu.

Kebenaran tentang dirinya yang dianggap sebagai orang asing oleh ayah kandung sendiri.

"Udahlah tante. Nggak perlu buang buang waktu buat ketemu sama Gya lagi. Aku sama Gyo udah bahagia tanpa kehadiran kalian. Sebaiknya, tante jaga aja rumah tangga tante. Om Suho dan Kak Lia. Jangan sampai ada orang lain yang ngehancurin kebahagiaan kalian lagi!"

Tanpa menunggu balasan dari Bae Irene, Gya langsung membuka pintu mobil dan melesat keluar dari mobil mewah itu. Dia tidak sanggup untuk berhadapan dengan Irene lagi.

Sepasang kakinya laju melangkah menuju ke arah hentian bas berdekatan tanpa menoleh ke belakang.

"Gya! Gya!" Panggilan Irene bahkan tidak mampu membuatnya berpaling.

Irene hanya mampu memandang kepergian Gya dengan tatapan sedih. Air matanya jatuh membasahi kedua belah pipinya. Dadanya terasa sesak mendengar kata kata tajam Jung Gya.

Tidak! Bukan kerana dirinya merasa terluka kerana kata kata itu, tapi, rasa bersalah yang seakan akan menghentam jantungnya. Rasa bersalah yang menghantuinya selama hampir 20 tahun.

Dan akhirnya, Irene hanya mampu pasrah menerima penolakan Jung Gya untuk anak itu kembali padanya.

Dia tahu, dia tidak mampu.

'Soo-ya, maafin aku. Maafin aku.'

Akhirnya, ia hanya mampu merintih di dalam hati. Merayu kemaafan dari seorang wanita yang telah menerima ketidak adilan dan penindasan terbesar dalam hidupnya.

Berkali-kali ia cuba memohon tapi tidak sehari pun, dirinya bisa tenang selagi keturunan langsung Jung Jisoo masih tidak mahu menerimanya.

_____________________________________________________

"Gimana dengan bisnes kita di Italy? Semuanya baik baik aja?"

Di dalam bilik bacaan sebuah mansion besar yang terletak jauh di kawasan hutan, sepasang ayah dan anak sedang berbincang berdua dalam keadaan serius. Apalagi kalau bukan mengenai bisnes luar negeri mereka.

"Bagus pa. Lumayan. Hampir semua Ketua Gangster di sana mahu menjalin kerjasama dengan kita. Kecuali seorang."

Jeongho berdengus kasar mendengar khabar yang tidak berapa baik itu. Puntung rokok yang tinggal setengah dihisap dan mengeluarkan asap yang berkepul keluar dari sepasang bibirnya.

"Pasti Vernon kan? Cis, padahal papa mengharapkan dia adalah orang pertama dalam senarai sebagai penyokong kuat papa." Ketusnya seraya memandang tajam pada anaknya.

"Kamu nggak becus sekali Taeyong. Apa yang kamu lakuin selama ini? Belum cukup semua training yang papa kasih ke kamu?"

Taeyong yang menyedari kemarahan papanya langsung tidak menunjukkan wajah takut sama sekali. Yah, ia sudah terbiasa menghadapi kemarahan ayahnya yang bisa menjadi tidak manusiawi.

"Harusnya papa tanyain itu ke ponakan kesayangan papa. Bukan aku." Tanpa rasa takut, Taeyong melemparkan kesalahan itu pada sepupunya.

Siapa lagi, kalau bukan Lee Jeno.

Papp!!

Jeongho menepuk kuat permukaan meja mendengar nama Lee Jeno yang disebut puteranya.

"Shit! Lee Donghae dan keturunannya. Nggak pernah habis habisnya menyusahin hidupku! Seharusnya setelah berjaya menyingkirkan adik sialan itu dan isterinya, tidak punya alasan lagi untuk menguasai seluruh perniagaan."

"Tapi, biarpun mereka udah mati, Lee Jeno tetap jadi penghalang!" Ketus pria 50 an itu dengan sejuta rasa kesal di hatinya.

"Makanya, seharusnya dari dulu lagi, papa hapusin mereka sekeluarga. Jangan tinggalin satu orang pun!" Tutur Taeyong, masih dengan pandangan nya yang tidak beralih daripada memandang pria tua yang juga merupakan ayahnya.

Ayah kandung malah.

Tapi, dilihat daripada perilaku pria itu, sama sekali tidak kelihatan seperti ayahnya. Yang ada difikiran Jeongho hanyalah harta dan kekuasaan sahaja.

"Kau adalah anakku Taeyong. Tapi, aku sama sekali tidak menyangka kau sebodoh itu!"

"Bagaimana aku bisa membunuh anak sialan itu kalau cip yang menyimpan rahsia terbesar Donghae dan Tiffany masih tidak ditemui! Kau fikir, cip itu cip sembarangan?"

Marahnya semakin meluap luap mengingatkan satu komponen penting yang hilang entah ke mana itu.

"Haha! Papa papa. Seharusnya, dari dulu lagi, papa berjaya milikin cip itu pa. Nah, sekarang gimana? Kan papa sendiri yang repot, harus mencari ke mana perginya cip milik tante Tiff itu?"

Ketawa besar Taeyong kedengaran seraya memerli kebodohan Lee Jeongho kerana pernah gagal mendapatkan cip rahsia terbesar Lee Donghae dan isterinya.

"Percuma kan, papa ngebunuh kakek, nyingkirin Om Donghae dan Tante Tiffany...memperdaya kakek buat nyerahin semua harta perusahaan mereka ke papa. Tapi, papa masih belum bisa nguasain kehebatan Om Donghae seutuhnya."

Jeongho menahan amarahnya daripada meledak mendengar kata kata Taeyong yang seolah-olah memperlekehkan kebolehannya sebagai Lee Jeongho.

"Harusnya, papa nerima aja kenyataan. Kalau papa, bakal selama lamanya kalah pada keturunan Lee Donghae."

Taeyong berjalan mendekat beberapa langkah menghampiri ayahnya yang sudah mula kesulut emosi dengan kata katanya barusan.

Dia suka melihat amarah papanya. Iya, dia menikmati semua ini.

Melihat wajah marah seorang Lee Jeongho yang kelihatan sehingga ke ubun-ubun. Bagaimana tangan pria tua itu tergenggan erat seakan akan ingin memecahkan gelas di tangannya. Benar benar sebuah hiburan yang bermakna buat Taeyong.

"Papa lemah! Papa pengecut! Papa...erkk!"

"Jangan pernah kamu merendah-rendahkan papa, Lee Taeyong. Kau belum kenal, siapa Lee Jeongho sebenarnya." Jeongho berbicara rendah dan dalam.

Kata kata Taeyong lantas tercekat apabila lehernya dicengkam kuat oleh tangan Lee Jeongho. Walaupun sudah berumur, cengkaman tangan pembunuh sepertinya masih kuat dan mampu mematah riuk tulang lehernya.

Jeongho tersenyum sinis melihat wajah putranya yang merah padam dan hampir kehilangan nafas.

"Kalau aku bisa ngebunuh orang tua dan adik sendiri, kenapa nggak kamu, Lee Taeyong."

"Erkkhh!"

Taeyong seolah olah kehabisan nafas kerana ulah papanya yang mencengkeram kuat batang lehernya. Berkali-kali, tangannya cuba meleraikan tapi tidak berhasil.

Dirinya sudah kelihatan seperti ikan yang kehabisan oksigen. Bola matanya ternaik ke atas dan hampir menyisakan warna putih di sekitar mata sahaja.

Dan beberapa ketika kemudian, ketika dirasakan putranya itu akan kehabisan nafas, barulah Jeongho melepaskan cengkaman tangannya. Membuat tubuh Taeyong langsung melorot jatuh ke lantai.

"Uhukk!! Uhukk!! Uhukk!!"

Jeongho menyeringai setelah berjaya membuat Taeyong bertekuk lutut pada nya.

Hey, dia Lee Jeongho.

Anak yang telah berjaya melalui perit nya kehidupan dengan menjadi parasit pada keluarga kaya salah satu orang terkaya dunia.

Jika ayah nya yang telah menjaganya bisa dibunuh dengan mudah, apatah lagi seorang anak hasil hubungannya dengan jalang, pasti dia tidak merasa apa apa jika anak itu dibunuh.

"Jangan pernah mencabar ku, anak. Kau tahu kebolehan ku bukan." Jeongho kembali melabuhkan duduknya pada kerusi kerjanya.

Menghidupkan rokok cerut keduanya dengan korek api dan menghisap hujung benda yang mampu memberi khayalan keenakan pada sang penghisap.

"Sebaiknya, kau memikirkan bagaimana caranya agar Lee Jeno bisa tunduk pada kita dan menyerahkan segala cip rahsia milik bundanya. Aku tahu, anak itu pasti menjadi kunci penting buat kita."

Taeyong yang tadinya hampir kehabisan nafas berjaya meneutralkan pernafasannya. Dan seperti tidak ada apa apa berlaku, cowok berwajah tampan itu berjalan menuju meja papanya.

Beberapa foto yang sudah lama disimpannya dilemparkan di atas meja di hadapan wajah sang ayah.

"Asal kau tahu juga, pah. Aku menjadi keturunan mu bukan sia sia. Darah monster mu juga mengalir dalam tubuhku."

"Siapa ini?" Jeongho mencapai empat keping foto yang dicampak Taeyong padanya tadi.

"Untuk pengetahuan mu, cewek di dalam gambar itu adalah senjata terbaru kita." Jelas Taeyong menunjuk pada wajah kabur yang diambil dari sudut tersembunyi.

"Ini bukan putri nya Kim Suho kan?"

Taeyong menggeleng. "Bukan. Tapi, aku bisa jamin sama papa, cewek ini jauh lebih berkesan untuk bikin Jeno tunduk sama kita."

Sebelah kening Jeongho terangkat, "oh ya?"

Taeyong kembali menegakkan tubuhnya yang tadinya tertumpu pada meja papanya. Sesekali ia menggosok lehernya yang masih terasa sedikit sengal akibat cengkaman erat papanya tadi.

Cis, dirinya sendiri yang mencari masalah tadi kan? Rasain saja.

"Hmm. Aku janji, dalam masa terdekat ini, Jeno bakal tunduk sama kita. Melalui cewek ini."

Jeongho menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Okay, baiklah. Aku percaya padamu kali ini. Tapi, jangan sampai gagal Taeyong-ah."

Gambar pada tangannya dicampakkan semula ke atas meja. Keempat empat keping gambar itu bertaburan di atas meja.

"Huh! Jangan lupa, aku ini putramu!"

Jamin Taeyong bersama senyuman sinisnya.

Bersambung....

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience