7. Friends?

Fanfiction Series 10231

Gya menghela nafas lega setelah berjaya mencari ruang untuk istirahat sebentar. Dari tadi pelanggan yang datang ke Chill Dream Cafe tidak berhenti.

Banyak pelanggan yang memilih untuk berkunjung ke kafe ini ketika hujung minggu. Ada yang datang sendirian, ada juga berpasangan dan tidak kurang beramai ramai. Seketika Gya menangkap kelibat beberapa anak remaja yang sedang bercanda dengan teman teman mereka.

Wajah mereka kelihatan gembira sekali. Seakan akan tidak mempunyai beban masalah. Berbeda dengan dirinya.

Masalah? Ah itu sudah teman hidupnya semenjak kecil lagi.

Kadang Gya merasa cemburu dengan remaja remaja yang kelihatan sering mengunjungi kafe ini. Tapi, siapalah dirinya untuk mempersoalkan itu semua. Dia tidak punya hak.

"Gya, tolong ini anterin ke meja nombor 13 ya."

Tepukan lembut dari Kak Wendy, pemilik kafe itu membuat Gya terhenti dari lamunannya.

"Bisa kok kak." Gya mengangguk kemudian menatang ice americano dan kek strawberi di dalam nakas menuju ke meja nombor 13 yang berada di sudut kafe.

Kelihatan seorang cowok berambut ungu dan mengenakan jaket kulit hitam sedang duduk di sana sembari memain HP. Sepertinya dia benar benar menunggu pesanannya.

"Permisi, ini pesanannya." Dengan sopan, Gya menegur. Matanya sedikit melilau mencari ruang untuk meletak pesanan.

Menyedari kedatangannya, cowok tadi langsung mengemas sedikit barang barang nya yang berada di atas meja memberikan ruang untuk pesanannya. Mujur saja cowok ini berperikemanusiaan. Tidak seperti pelanggan pelanggan lainnya.

Terkadang ada pelanggan yang langsung tidak mahu memberi kerjasama padanya. Kertas kertas kerja berselerakan di atas meja. Dan jika Gya melakukan kesalahan, dirinya yang akan dimarahi malah dicaci juga.

"Silakan nikmati pesanannya ya."

Ujarnya sembari tersenyum manis lalu berlalu dari sana. Guna memberi ruang kepada pelanggan untuk menikmati makanannya.

Kemudian, Gya kembali ke kaunter. Menunggu jika ada pesanan lain sambil mencuci gelas dan piring yang telah digunakan. Pelanggan juga sudah semakin sedikit menjelang petang begini.

Kafe ini buka dari jam 7 pagi hingga 10 malam setiap hari. Selalunya Gya akan mengambil shift dari jam 3 hingga 10 malam pada hari sekolah. Berbeda dengan hujung minggu, Gya bekerja dari 10 pagi hingga 10 malam. Dan sepanjang cuti semester seminggu ini, Gya bekerja pada Isnin, Rabu, Jumaat dan Sabtu.

Gajinya memang lumayan. Setidaknya cukup untuk dia menampung kehidupannya berdua dengan Gyo.

Juga Gya pada mulanya bekerja dengan Kak Johnny sebelum kemudian pindah bekerja dengan Kak Wendy, tunangan Johnny sejak 9 bulan lalu. Setelah dia dan Gyo berpindah ke kawasan ini. Rumah lama milik mendiang bundanya.

Kehidupan mereka tenang di sini. Tiada yang tahu tentang dirinya dan Gyo.

Kerana itu Gya sedaya upaya tidak menarik perhatian jiran jirannya. Jika tidak, mereka terpaksa pindah dari sini juga. Biarpun Gya mau mau aja berpindah dari sini agar bisa terlepas dari orang orang gila yang mengejarnya, itu bakal repot. Ke mana lagi dia dan Gyo akan pergi?

Baki tabungan bundanya juga sudah tidak banyak. Harus dihemat untuk keperluan medikal Gyo juga.

Ting!

Bunyi sudu yang tiba tiba terjatuh dari tangannya membuat lamunanya terhenti.

Tidak sadar kalau ternyata dirinya melamun panjang.

"Hihi, kamu kenapa Gee? Kok ngelamun? Lagi mikirin pacar ya?" Wendy yang tadinya sibuk menghitung finansial kafe terkikih perlahan melihat Gya.

"Ih kak Wendy. Nggak ah. Nggak mikirin apa apa kok." Gya menjawab kembali menyambung cucian. "Pacar aja aku nggak punya."

Gya turut terkikih perlahan. Iya sih, pacar memang punya tapi kalau pacar yang modelan kayak gitu, huh sebaiknya nggak perlu deh.

Oh iya, ini sudah seminggu sejak Jeno membawa Gya ke markas. Dan semenjak cuti semester bermula, Jeno tidak memunculkan diri di hadapannya. Mungkin sedang bersama Lia.

Toh juga Gya tidak peduli. Itu lebih baik daripada cowok itu datang dan mengacaunya.

"Kalau Kak Wendy lain dong. Kan punya Kak Johnny." Kembali Gya mengusik Wendy yang wajahnya sudah bertukar kemerah merahan.

"Ah kamu ada ada aja sih."

Dan kemudian seperti mengetahui dirinya disebut, panggilan dari Johnny masuk ke ponsel Wendy.

"Nah tuh kan, barusan aja lagi diomongin terus nonggol aja." Giliran Gya yang mengusik majikan baik hatinya itu.

"Ah kamu ada ada aja deh. Kakak titip ya. Mau jawab telfon bentar."

Pamit Wendy sebelum berlalu ke ruangan belakang kafe. Ada satu kamar staff di sana yang digunakan untuk istirahat atau tidur sebentar jika ada shift. Tinggallah Gya di kaunter sendirian kerana teman satu shiftnya baru saja bertukar tadi. Masih belum sampai.

Sedar ada pelanggan yang meninggalkan kafe, langkah Gya terus laju untuk mengemas meja yang telah digunakan.

Dengan cekatan, Gya mengambil piring dan gelas. Membawanya dengan hati hati ke sinki. Sebelum buru buru datang semula bersama kain basah di tangan.

Gya melakukan pekerjaannya dengan telaten dan hati hati. Berusaha tidak membuat bunyi agar tidak mengganggu penunggu lain.

Tanpa sedar, Gya tidak tahu ada yang sedari tadi memerhatikannya dengan lekat bersama seukir senyuman di bibir. Diam diam, sang pemerhati memotret dirinya menggunakan kamera yang ada di tangan.

Tiba tiba ada seorang anak kecil yang juga turut mendekati Gya, menggamit perlahan hujung apron hitam yang dikenakan Gya.

Pantas saja Gya menoleh ke belakang, sedikit menunduk.

"Eh, kamu kenapa sayang?" Soalnya melihat anak lelaki yang kotor dan penuh luka memanggil nya sambil menghisap jari.

Kondisinya benar benar tidak bisa disebut baik. Baju koyak rabak di sana sini, luka luka kecil di sekitar wajah dan lengan, dan juga bau badannya yang membuat sesiapa saja pasti jijik melihatnya. Tapi tidak bagi Gya.

Gya menoleh ke sekitar apabila mendengar para pelanggan yang saling berbisik sesama sendiri. Mungkin kurang selesa melihat kedatangan anak kecil mengenaskan itu.

Tidak mahu membuat orang lain merasa tidak selesa, Gya menarik anak kecil itu untuk ikut bersamanya ke belakang kafe.

"Kak, aku pamit bentar ya. Ada urusan sama anak kecil ini. Nara udah datang kok." Berpapasan dengan Wendy yang baru selesai berbicara dengan Johnny, Gya berpamitan.

"Nggak lama kak. Bentar aja." Gya mencapai sling bag dan ponselnya sebelum buru buru keluar dari pintu belakang. Juga membawa anak kecil itu di dalam genggamannya.

Wendy yang ingin bertanya lebih lanjut mengurungkan niat setelah melihat seorang anak kecil bersama Gya. Ah pekerjanya yang seorang ini memang baik. Tidak mengira dengan siapa pun.

Bagaimana anak sebaik Gya bisa dibuang oleh keluarga sendiri. Benar benar orang tua bodoh dan tidak punya hati.

Wendy berjalan ke kaunter kerana ada pelanggan yang ingin membayar.

Cowok berjaket hitam itu menghulurkan uang bernilai 20,000 won, "keep the change."

_______________________________________________

Gya keluar dari pasar raya bersama bekas belanjaan di tangan kanannya. Sementara tangan kirinya masih memegang tangan kecil di sebelahnya yang sedang memakan eskrem perisa coklat.

"Enak ya?" Anak kecil itu mengangguk sebagai jawapan sambil kembali memakan eskrem tadi.

Kedua mereka saling berbalas senyum sebelum Gya mencari tempat untuk mereka berdua duduk. Dia ingin merawat luka anak kecil itu terlebih dahulu. Takut infeksi.

Mujur matanya melihat sebuah pondok kecil yang berada di taman berseberangan dengan jalan besar di depan mereka.

"Kita ke sana yuk. Kakak mau obatin luka kamu dulu." Ajaknya dan langsung dituruti oleh anak kecil itu.

Mereka berjalan beriringan. Gya melihat ke kiri dan ke kanan setelah berada di depan lampu isyarat.

Untung keadaan jalan raya ketika itu sunyi. Tiada kenderaan yang lalu lalang.

"Yuk." Gya langsung berura ura untuk melintas jalan. Begitu yakin kerana dia tahu tiada kenderaan yang berada di atas jalan. Hanya dirinya dan anak kecil yang ada di dalam pegangannya.

Baru saja beberapa langkah, sebuah mobil Sedan hitam meluncur laju ke arah mereka berdua. Gya yang langsung tidak menduga kehadiran mobil yang menderu laju ke arahnya seakan tidak bisa berfikir dengan betul.

Refleks, tangannya langsung memeluk tubuh kecil di sebelahnya. Memejamkan mata dan menunggu impak.

Hatinya gemuruh. Serta merta wajah Gyo bermain main di matanya.

"Awas!!"

Bukannya pelanggaran yang berlaku, tubuhnya tiba tiba didekap oleh seseorang untuk menepi.

"Ouch!"

"Aww!!"

Sedar tak sedar, tubuhnya terjatuh ke seberang jalan. Gya meringis sakit tapi tetap berusaha melindungi anak kecil dalam dekapannya. Tanpa Gya sedar, tubuhnya sendiri menghempap oknum yang menyelamatkan nya tadi.

Perlahan lahan, Gya membuka mata dan menoleh ke belakang. Gunanya ingin berterima kasih.

Namun, setelah melihat wajah si penyelamat, Gya membulatkan mata apabila oknum yang menyelamatkan nya adalah wajah yang sangat familiar.

Dia, pelanggan berjaket hitam di kafe tadi.

_____________________________________________

Gya selesai mengobati dan membalut luka pada tubuh Rowon. Untung saja dirinya cepat memeluk tubuh kecil Rowon. Jika tidak, luka di tubuhnya bisa bertambah parah.

"Maaf ya, Rowon. Kak Gya cuai banget tadi. Untung kamu nggak cedera." Gya berbicara sambil meletakkan obat obatan yang digunakannya tadi ke dalam bekas plastik. Bersama pakaian baru yang dibelinya untuk Rowon.

Rowon tersenyum manis lalu menggerakkan tangannya.

"Nggak papa kak, aku juga tidak cedera parah kok."

Iya, anak kecil itu berbicara menggunakan bahasa isyarat.

Gya turut tersenyum. Mengusak pelan rambut Rowon yang terkesan agak kasar. Mungkin kerana sudah lama tidak dicuci.

Tapi tidak mengapa, Gya sudah membelikan beberapa keperluan asas untuk dibawa pulang oleh Rowon. Rupanya setelah berbicara sedikit dengan anak kecil itu, Gya baru tahu ternyata anak sekecil itu memiliki nasib yang begitu mengenaskan.

Anak itu tinggal bersama seorang ibu dan dua anak kecil lagi. Ibunya sakit. Sudah tiga hari. Khabarnya demam. Dan kedua adiknya sudah beberapa hari tidak menjamah makanan.

Yang lebih kasihan lagi, Rowon sudah seharian berkeliaran di sekitar kedai makan di kawasan ini. Berharap ada yang akan memberinya bantuan. Tapi, tiada satu pun yang mahu membantu.

Malah, Rowon diusir dan dipukul oleh beberapa orang paman. Makanya tubuh dan wajahnya memiliki banyak luka.

"Oh iya, ini. Kak Gya punya sedikit barangan buat Rowon sama adik adik." Gya menyelongkar dua bekas plastik.

Mengeluarkan obat obatan yang dibelinya tadi.

"Ini, buat bunda ya. Obat demam." Tangannya menghulurkan dua papan paracetamol. Memperkenalkan nya kepada Rowon. "Terus, ini obat luka buat kamu. Disapu aja ke sekeliling luka."

Dengan telaten, Gya menerangkan.

"Terus, ini, ada sedikit makanan. Buat Rowon sama adik adik. Sementara bunda lagi sakit, kalian makan ini aja ya?"

Pesan Gya. Berusaha menahan air matanya daripada jatuh melihat keadaan anak kecil seusia Rowon yang masih berusia 8 tahun. Tapi, perlu berkeliaran ke sana ke sini semata mata untuk mencari makanan.

Entah kenapa, satu bulir air mata jatuh di pipi Gya.

Keadaan Rowon ketika ini sedikit sebanyak mengingatkan Gya tentang masa kecilnya ketika bundanya masih hidup.

Dulu saat Gya berusia 9 tahun, tanpa kebenaran bunda, ia pernah menjadi gembel. Berkeliaran ke sana ke sini mencari tin kosong atau apa saja bahan yang bisa dikitar semula semata mata untuk mencari wang.

Gya kecil hanya ingin membantu bunda yang ketika itu bekerja mencuci piring di restoran sambil membawa Gyo. Sengaja Gya tidak turut serta kerana ia bisa menjaga diri.

Ia ingat bagaimana layanan orang orang sekeliling kepadanya. Tapi langsung tidak menghentikan usaha Gya kecil untuk mencari uang demi membantu bunda.

Sehinggalah suatu hari, bunda Jisoo mengetahui mengenai pekerjaan Gya. Langsung membuat wanita itu memarahi Jung Gya dan pertama kalinya, Gya dirotan. Bunda benar benar marah padanya ketika itu.

Bunda bilang, bunda tidak mau Gya mahupun Gyo menjadi anak terbiar.

Ah, serta merta Gya jadi merindui mendiang bunda. Mungkin setelah ini Gya harus ke makam bunda. Melepaskan rindu.

"Ehem!"

Lamunan Gya langsung terbuyarkan apabila suara deheman dari seseorang di sebelahnya.

"Oh iya. Maaf maaf." Gya menoleh.

Memandang cowok yang mengenakan jaket hitam di sebelahnya.

"Maaf ya. Dan terima kasih kerana udah nolongin aku sama Rowon tadi." Gya berbicara pelan. Sekaligus merasa sungkan dengan nya.

"Ah, nggak papa kok. Kebetulan aja aku lalu di sana."

Ia tersenyum. Senyuman yang langsung membuat Gya terpana. Senyuman itu, sebuah senyuman indah yang baru pertama kali dilihat Gya.

Seakan-akan teringat, cowok itu langsung merogoh saku jeansnya.

"Rowon, nah, kakak cuman punya segini buat kamu." Cowok itu kemudian menghulurkan beberapa not uang yang lumayan tebal kepada Rowon.

Pantas anak kecil itu menggeleng tanda tidak mahu menerima. Tangannya dilayangkan beberapa kali di hadapan.

"Nah, terima aja. Please." Akhirnya Rowon hanya mampu menerima uang yang dihulurkan oleh lelaki yang lebih dewasa daripadanya.

Lantas Rowon menggerakkan tangan yang bermaksud,

Terima kasih.

Cowok itu mengangguk seraya tersenyum. Biarpun ia tidak mengerti sama sekali mengenai bahasa isyarat, sekurang-kurangnya ia bisa mengerti bahawa Rowon sedang mengucapkan terima kasih padanya.

Ia bangga, lengannya diletakkan di sandaran kerusi taman tempat mereka bertiga duduk.

"Aww!"

Ringisannya membuat kedua pasang mata Gya dan Rowon memandang.

"Loh, kamu cedera juga? Kok nggak bilang?"

Gya kaget bukan kepalang apabila menyedari ternyata sikut kanan cowok itu terluka. Bahkan jaket tebalnya juga sedikit robek, menampakkan hujung sikunya.

Tanpa dipinta, Gya langsung berpaling tubuh, menghadap cowok di depannya itu.

Mencapai siku kanan oknum yang masih tidak diketahuinya itu lalu dengan telaten membersihkan luka yang masih basah. Gya menitiskan beberapa titis antiseptik sebelum menekapnya ke luka yang masih basah.

"Aww."

Ringisan pemilik siku membuat Gya mendongak ke atas. "Sorry..aku bakal pelan pelan."

Gya meneruskan aktivitas nya. Sesekali, bibirnya meniup luka di depannya apabila terdengar suara ringisan. Dalam beberapa saat, gerakan tangan Gya yang sedari tadi lincah bekerja terhenti.

Sebagai langkah akhir, Gya menampalkan plaster bercorak bunga bunga sakura kecil pada luka tersebut.

"Nah udah." Ia berseru perlahan dan menguntum senyuman.

Tanpa sedar, dari tadi, ada sepasang mata yang tidak lepas memandang setiap gerak gerinya.

Pantas oknum tadi berdehem perlahan apabila dirinya sudah terlalu leka dengan keindahan di depannya. Sampai sampai tidak sedar akan posisi duduknya yang agak dekat dengan cewek itu.

"Ehem..thanks anyway. Hmm, namaku Jaemin."

"Na Jaemin."

?

(Na Jaemin)

Akhirnya ia bersuara. Menghulurkan tangan kanannya sebagai tanda perkenalan.

Tapi, cewek di depannya itu agak ragu untuk menyambut huluran tangannya. Ia hanya diam dan memandang datar pada huluran itu. Membuat sekeping hatinya berdebar tidak karuan.

Apakah huluran salam pertama kalinya pada seorang cewek ini akan bersambut atau tidak?

Deg dug g dug...

Bunyi jantungnya sebelum...

Gadis itu pun bertindak menyambut hulurannya,

"Gya. Jung Gya."

______________________________________________

Motor motor berkuasa tinggi, mula memasuki perkarangan vila berwarna ungu dua tingkat yang berada di pinggir jalan itu.

Seorang wanita dalam lingkungan usia 40-an keluar dari dalam rumah. Menyambut anak anak muda yang datang dengan senyuman manisnya.

"Tante Yoona! Omg tante, I miss you so much!" Jerit seorang anak cowok tanpa sopan nya dan langsung memeluk tubuh kecil wanita bergelar ibu itu.

Membuat wanita yang bernama Im Yoona itu mahu tak mahu terjerit kecil mendapat pelukan mesra dari anak muda yang sudah seperti anaknya ini.

"Ya ampun Mark. Iya iya. Tante juga kangen sama kamu nak. Gimana khabarnya?" Im Yoona yang mula pusing dengan tingkah hyper cowok blasteran Canada-Korea itu hanya mampu menggelengkan kepala.

"Oh my god! I am good. My mom too. Its really been a while since we last met."

Entah di mana lucunya, Mark yang sememangnya seorang yang receh itu ketawa terbahak-bahak.

"Eleh Mark. Lo ketawanya kencang banget dah. Udahan ketawa mulu." Haechan yang datang kemudian bersama Chenle, Jisung, Renjun terus menegur tingkah absurdnya si Mark Lee.

Masing masing mereka bersalaman dengan Im Yoona sambil mengunjuk buah tangan yang dibawa khas untuk keluarga yang baru saja berpindah kembali ke Korea itu.

Mark muncung, "ih kalian nggak asik banget. Gue kan cuman meluahkan kerinduan sama tante Yoona cantik ini."

Teletah anak anak itu membuat senyum seorang ibu Yoona tersungging manis.

"Nggak papa anak anak. Dimengerti kok. Tante juga kangen kalian. Udah pada gede semua nih." Lembut Im Yoona berbicara dengan teman teman anak anaknya.

Memeluk secara bergilir anak anak yang sepertinya sudah semakin dewasa itu.

"Oh iya, lupa nih. Teman kalian ada tuh di kamarnya." Sempat Yoona memberitahu keberadaan anak teruna nya.

"Alright!"

Tanpa aba aba, Mark terus menonong masuk tanpa mempedulikan teman temannya yang lain. Ah dia tidak peduli dengan mereka lainnya kerana sudah setiap hari saling melihat satu sama lain.

"Oh my old friend where are you?!"

"Mark tunggu oii. Lo main masuk aja ya!"-Renjun.

Haechan, Chenle dan Jisung langsung menggeleng melihat Mark dan Renjun yang kejar kejaran masuk ke rumah Tante Yoona.

"Emang ye, antara kita kita tuh, yang paling dewasa emang aku doang." Lantas Jisung yang dari tadi hanya diam bersuara perlahan.

"Hey hey, what are you talking about?"

Chenle yang tidak terima pantas bersuara sementara Haechan sudah bercekak pinggang. Seakan akan ingin mencekik Jisung di sana juga.

"Lo pandang rendah ke kita ya Sung? Jangan durhaka lo!"

Yoona hanya ketawa melihat interaksi mereka. Apatah lagi Jisung yang memasang wajah songong begitu.

Emang realitasnya begitu sih.

Walaupun Jisung seumuran dengan Jung Gya, tapi dia kelihatan lebih matang. Ditambah dengan tingginya yang hampir mencecah 180cm, begitu kalah jauh jika dibandingkan dengan abang abang lainnya.

"Iya iya. Anak anak tante semua udah gede. Nggak ada kok yang belum dewasa."

Pantas saja Im Yoona menampungi sebelum Haechan dan Chenle yang seperti singa lapar itu benar benar menerkam Jisung.

"Udah sana, masuk gih. Setelah ini kita makan ya? Setelah Jeno datang." Im Yoona baru teringat tentang ketiadaan Jeno.

Sementara di dalam, Mark dan Renjun yang tadinya berebut rebut untuk masuk ke dalam kamar oknum yang menjadi penyebab kenapa mereka datang ke sini.

Anak Tante Yoona dan mendiang Om Siwon.

"Surprise!!"

Jeritan Mark sontak membuat penghuni kamar bernuansa putih yang sedang melihat lihat gambar pada kamera Canon miliknya terkaget lalu mengusap dada.

"Dude!! How are you, bro?!"

Tanpa izin, Mark Lee dengan antengnya naik ke sofa yang ditempati Jaemin lalu memeluk erat tubuh kekar temannya yang sudah lama tidak ditemui.

"M-mark! I..ini gue- kayak mau mati rasanya hey.."

Sungguh pelukan Mark Lee benar benar ketat sehingga membuatnya hampir kehilangan nafas. Lebih lebih lagi lengannya yang melingkar erat di leher, sudah seperti ular.

"Loh, kalian kok peluk pelukannya nggak bawa bawa sih? Gue mau juga oii." -Huang Renjun.

"Haechanie is here~"

"????????????"

"Woi bang, main nggak ngajak Icung."

Belum juga lepas pelukan dari Mark Lee, teman temannya yang lain juga turut datang sebelum bergilir gilir menghempap dirinya di bawah mereka. Hampir membuatnya sesak nafas.

"Ya ampun! Gue tau kalian kangen berat sama gue. Tapi nggak gini juga dong. Aduhh! Bisa sesak nafas gue gini terus."

Kerana sudah tidak bisa menahan berat badan teman temannya, mahu tak mahu oknum yang berada di bawah itu terus menepuk sofa beberapa kali. Dia benar benar hampir kehilangan nafas.

Serentak mereka ketawa sebelum bangun. Masing masing mengambil duduk di sekeliling sofa kamar yang luas.

"Oh, maap maap. Excited banget tau nggak lo pulkam lagi." Haechan maju, berjabat tangan dengan teman nya yang sudah hampir 5 tahun tidak ditemui ini.

"Apa kabar bang? Gimana hidup di Italy? Best nggak sih?" Soal Chenle, saling menjabat tangan sebelum mundur lagi dan mengambil balang toples di atas meja.

Kuaci kegemarannya.

"Ya lumayan lah. Tapi gue tetap kangennya sama Korea dong. Nggak sabar gue mau ketemu kalian." Jawab yang ditanya penuh senyuman.

"Punya pacar nggak lo?" Mark yang sedari tadi masih receh bertanya, mengangkat kedua alisnya bergilir gilir, mengusik.

"Masa hot guy Korea nggak punya pacar sih. Apa lagi di luar negara." -Haechan.

"Gue dengar cewek luar negeri bohay banget."

Semua mata langsung menoleh pada Jisung sebaik saja ayat itu kedengaran dari bibirnya.

Masing masing memasang riak wajah berbeda. Mark kayak biasanya, ??. Renjun dengan tampang julid hampir ngegas, Chenle dengan ketawa khas mirip lumba lumba, Haechan yang sama sama fikiran kotor sementara yang satu lagi sempat kaget dengan perubahan tidak terduga si bungsu.

"Kebanyakan main ke kelab sih lo Sung. Fikiran lo juga sudah tercemari." Dengus Renjun masih tak habis fikir.

Sepertinya para abang harus lebih memerhatikan pergaulan Jisung agar tidak terdidik menjadi buaya. Bakal seram amat lagi lagi kalau jurus buayanya mirip Mark Lee dan Lee Haechan.

Bisa hancur masa depan.

Sementara sang tuan rumah, akhirnya bisa tersenyum senang bisa pulang ke kampung halaman lagi. Melihat teman temannya yang semakin dewasa, bisa bercanda seperti ini. Tidak sedar kalau sedari tadi Haechan asyik memandangi sikunya yang diperban.

"Loh, ini tangan lo ada perban nya kenapa? Lepas main dari mana aja lo?"

Pantas matanya menoleh ke arah perban luka bercorak bunga bunga kecil. Ah iya tadi dia lupa kalau luka kecil itu tadinya diperolehi kerana membantu seseorang.

Ya, seorang cewek bersama anak kecil yang hampir ditabrak mobil.

"Oh ini tadi gue jatoh aja gitu. Hadiah pulkam sih kayaknya." Jawabnya singkat. Malas untuk bercerita lanjut dulu. Belum masanya. Kemudian matanya melilau melihat satu persatu wajah teman temannya.

Kayak ada yang kurang tapi siapa ya?

Oh iya... dirinya baru teringat tentang sahabat baiknya itu.

"Lee Jeno mana sih? Nggak keliatan dari tadi? Kalian berangkatnya pisah ya?"

Brakkk..

Baru membicarakan tentang cowok bernama Lee Jeno itu, pintu kamarnya ditendang perlahan dari luar. Seorang cowok berambut pirang berada di ambang pintu. Memandangi kesemua penghuni kamar dengan pandangan tajam menikam. Tanpa senyuman.

Automatis, semua langsung diam. Tiada yang bersuara kerana suasana tiba tiba saja menjadi canggung. Ada aura gelap terpancar dari kedua pasangan di depannya itu. Seorang seperti api, dan seorang seperti air.

Jeno perlahan menapak masuk. Menuju ke arah oknum yang juga turut berdiri di hadapan sofa.

Saling bertatapan sebelum keduanya perlahan lahan mengukir senyum hangat untuk satu sama lain. Sekejap saja, hawa dingin berubah hangat apabila kedua sahabat dekat itu saling berpelukan.

"Hey Lee Jeno, long time no see. How's your life."

Jeno tersenyum tipis.

"Miss you my bro, Na Jaemin

Bersambung...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience