23. New Pages

Fanfiction Series 10231



?

"People say, times heal the wound. Yes, it may but its will never heal the scar."


Happy Reading??

4 tahun kemudian....

" YAHHH JUNG GYAAA!! AYO CEPATTT!! GAME-NYA UDAH MAU MULA TAUKK!!"

Suara tengil lagikan nyaring menggelegar di sepanjang lorong menuju gelanggang basket. Membuat seisi siswa siswi Atlantis Elite Universiti hampir kehilangan indera pendengaran.

Tidak kurang yang merasa terkaget-kaget saking lantangnya suara yang datangnya dari seorang gadis bertubuh kecil.

Dalam kerumunan itu juga, kelihatan seorang siswi yang mengenakan blouse lengan panjang dilengkapi dengan skirt kotak-kotak berwarna hijau.

Sedang berlari-lari anak seakan tidak cukup tanah.

Tangan kanannya mengheret seorang lagi temannya yang hanya mampu pasrah saat tangan mungilnya ditarik untuk dibawa berlari menuju ke gelanggang basket.

"Perlahan bisa gak sih? Kaki gue mau copot anjir rasanya." Gerutunya terengah-engah kerana masih berlari.

"Gak bisa. Kita udah telat ini. Kalau gamenya habis gimana? Ayo cepat, Gya! Lo larinya yang cepat dong!"

Sang siswi tadi bergedik kening.

Lah? Kok gue?

"Ini juga kan yang salahnya kamu, Jihan!" Gya meringis tidak terima.

?

Jihan.

Gadis manis yang sudah hampir 3 tahun menjadi sahabat satu kelasnya merangkap satu-satunya temannya di Fakultas Psikologi Anak. Selain Yuqi yang sekarang belajar di Fakultas Fesyen.

Setelah segala badai dan onak duri mereka lalui, keduanya berada benar-benar di hadapan pintu gelanggang yang hampir ditutup oleh pengurus acara.

"Eh, tunggu! Tunggu! Pintunya jangan ditutup dulu!"

Pantas Jihan bertindak menghalang kedua siswa petugas itu yang sudah bersiap sedia memegang knob pintu.

Sepertinya Jihan memang punya kebiasaan berteriak di mana sahaja gadis itu berada.

Mungkin kerana sudah biasa dengan ulah Jihan, siswa petugas itu tidak jadi menutup pintu dan memberi ruang untuk mereka masuk.

"Ini ya. Kita dapat VVIP pass."

Tangan Jihan lincah menghulurkan dua lembar kertas berupa tiket kelas pertama untuk menonton perlawanan basket petang ini.

Langsung tidak mempedulikan tatapan tidak suka dari koordinator cewek yang ada di sana. Jika dilihat-lihat, sepertinya cewek itu siswi Fakultas Teknis. Iaitu fakultas yang sedang bertanding basket.

Selaku pemegang pass VVIP, keduanya bisa duduk di tempat paling hadapan. Malah lebih spesial lagi kerana tempat duduk mereka benar-benar di bangku hadapan yang menjadi tempat tim basket meletakkan barang-barang mereka.

Keduanya duduk di sana lalu membuka bungkusan jajan yang ada di tangan.

Ini sebenarnya alasan mereka terlambat tadi. Jihan yang bersungguh ingin membeli jajan untuk dimakan sambil nonton katanya.

Sedangkan Jung Gya sendiri sebenarnya cuman mahu singgah sebentar, menunjukkan wajah, selaku menghormati ajakan dari 'seseorang' di gelanggang ini.

Tapi jika sudah begini, mana mungkin sebentar. Pasti bakalan lama.

Benar, orang yang sedang berada di dalam fikiran kalian sekarang adalah Jung Gya yang sama seperti 4 tahun lalu.

Hanya saja dirinya kini sudah menganjak dewasa dan bergelar siswi kepada salah satu universitas terkenal di Korea Selatan. Major dalam bidang psikologi anak-anak terutama anak yang punya penyakit atau

Atlantis Elite University. Atau lebih dikenali sebagai ATLIT.

Setelah habis SMA, Gya melanjutkan pelajaran di sini. Semuanya hasil bantuan daripada kedua orang tua Jihoon. Bahkan mereka juga menjadi salah satu penyumbang terbesar kepada pembinaan kampus berprestij ini.

Walaupun sebenarnya Jung Gya tidak mahu menerima semua ini, dia hanya pasrah-pasrah saja.

Park Chaeyong sudah memberitahu nya kalau dia menolak, dia harus ikut ke Melbourne. Lagi.

Jadi, di sinilah dirinya. Menyandang sebagai siswi tahun ketiga.

Bukkk!!

"Wehhh Gya Gya! Tuh kakak gue! Kakak gue! Dia lambai tangan ke lo!"

"Prttttt!!"

Tanpa amaran, Jung Gya langsung tersedak air yang berada di tangannya apabila Jihan bertindak menepuk kuat bahunya.

"Wahh mereka score lagi tuh! Zeus! Zeus!"

Pantas pandangan Jung Gya tertuju pada seorang cowok yang mengenakan seragam basket, berdiri di tengah-tengah ring dan melambaikan tangan tinggi ke arahnya.

Seketika dirinya meringis melihat tingkah konyol itu.

'Dasar malu-maluin.'

Tapi tidak lama kerana permainan disambung kembali.

Score ketika ini adalah 56 berbalas 53 dengan Fakultas Teknik Mesin yang mendahului Fakultas Bisnes dan Sains Sosial.

Memang bukan kebiasaan Gya untuk datang melihat pertandingan basket jadi dianya hanya diam di tempat. Sesekali ia membenarkan jaket denimnya yang digayakan simple bersama turtleneck maroon dan jeans biru separas lutut.

Rambut hitamnya yang sudah sedikit melepasi bahu dibiarkan begitu saja.

?

Penampilan biasanya. Yang sering membangunkan naluri seorang pereka fesyen dalam diri Yuqi untuk mengutak-ngatik pakaian di dalam wardrobenya.

"Percuma gue ambil jurusan fesyen tapi sahabat gue sendiri pakaiannya bikin pusing. Proposi tubuh lo bagus tapi disia-siain kayak gini. Pusing gue!"

Itu kata-kata berupa omelan tanpa henti yang sering menjadi sajiannya dalam tiga tahun terakhir.

Ada alasan sebenarnya kenapa Jung Gya lebih memilih untuk berpenampilan seperti ini. Kelihatan seperti gadis jahat yang dingin.

Itulah alasan utamanya. Ia tidak mahu kelihatan lemah seperti saat dirinya masih bergelar anak SMA.

"Geser dikit ih!"

Baru bicara mengenai Yuqi, gadis itu sudah berada di sebelah Jung Gya menyuruhnya untuk bergeser sedikit untuk memberinya ruang.

?

"

Loh? Kok lo di sini?" Soal Gya hairan kerana Yuqi duduk di tempat pasukan Fakultas Teknik dan bukannya Fakultas Bisnes.

Yang jelas-jelas pasukan Lucas, pacar cewek itu sendiri.

Yuqi menyengir sembari merampas botol aqua dari tangan Jung Gya. "Malas! Banyak mak lampir noh di sana!" Matanya melotot menunjuk ke seberang di mana ramai gadis-gadis yang sedang bergayutan.

Selamba botol itu diteguk sehingga hampir tandas.

Pandangan Jung Gya turut terarahkan ke arah yang ditunjukkan Yuqi.

Senyuman tipis samar terukir di bibirnya. Pantas saja mereka berkelakuan seperti ulat, ternyata ada biang keroknya di sana.

Pappp!!

"Auww!!" Gya mengaduh nyaring kesakitan apabila bahunya lagi-lagi ditabok seseorang.

Kali ini Yuqi.

"Kebiasaan emang pakaiannya ini ini doang!" Rungut Yuqi menarik-narik hujung jaket denim Gya gemas.

"Ya ampun, Gya! Gue tuh udah sediain baju selusin tau gak dalam almari lo! Dipake dong, jangan cuman dijadiin hiasan doang!"

Nah kan apa dibilang. Yuqi pasti akan mengomel mengenai ini lagi. Telinga Gya seakan-akan sudah imun dengan semuanya.

Hujung-hujungnya, ia hanya pura pura gak dengar aja.

Semakin menambahkan rasa gemas Yuqi. Naluri fesyennya langsung meronta-ronta ingin mengubah penampilan Jung Gya.

"Hye Yuqi! Kok gak duduk di sana?"

Oh my God! Gya benar-benar merasa bersyukur dengan kehadiran Jihan di sebelahnya yang tiba-tiba masuk ke perbicaraan.

Menghalang mulut Yuqi yang sudah terbuka ingin mengeluarkan segala unek-unek dunia fesyen yang membingungkan.

"Yah, biasa. Rimas. Banyak mak lampirnya. Tapi gue masih dukung situ loh."

Mana mungkin kan Yuqi tidak mendukung pasukan Lucas. Bisa-bisa pacar bucinnya itu merajuk dengannya dan tidak akan bicara sampai berminggu lamanya.

Seterusnya mereka langsung fokus kembali kepada perlumbaan yang hanya bersisa lagi sepuluh menit sebelum berakhir.

Skor sekarang adalah 70-64. Jika tim Fakultas Teknik bisa mengekalkan momentum, mereka pasti menjuarai acara.

"Time! Time!"

Laungan dari pengadil perlawanan menandakan permainan akan berhenti sebentar. Mungkin memberi ruang kepada para pemain untuk berehat seketika sebelum menyambung permainan akhir.

Lalu ketika itulah suara sorak sorai dari para suporter yang berada di dewan lagi-lagi kedengaran apabila para pemain mula mendekati bangku duduk.

Jung Gya yang langsung tidak menyukai keadaan seperti itu langsung meringis. Telinganya bingit, rasanya ingin pecah. Matanya terpejam erat.

Apa para cewek ini tidak lelah menjerit begitu? Apa lagi jika menjerit dari awal perlawanan sehingga ke akhir.

"Gya! Gya!"

Gya refleks membuka mata apabila Jihan menepuk perlahan bahunya.

"Hai, Aurora.."

Wajah seorang pria berpakaian tim basket adalah yang pertama menyapa pandangannya.

?

Mata keduanya saling tertaut antara satu sama lain dengan reaksi yang berbeza. Seorang dengan ekspresi datar sementara seorang lagi dengan mata bersinar penuh cahaya.

Pasti kalian bisa menebak kan siapa yang tersenyum?

"Kamu benar-benar datang?" Soalnya yang lebih kedengaran seperti sebuah pernyataan.

"Hmm." Gya hanya berdehem perlahan sebagai tanggapan. Sekadar ingin menghormati cowok di depannya yang juga bergelar senior di universitasnya. Tidak lebih.

Interaksi keduanya itu sedikit sebanyak mendatangkan bisikan bisikan dari para gadis yang ada di sana.

Ada yang jejeritan kerana merasa baper sendiri dan tidak kurang yang merasa iri dengan keberuntungan seorang Jung Gya kerana didekati oleh cowok yang merangkap sebagai kapten pasukan Fakultas Teknik.

"Gue pamit ke sana dulu ya Gya. Jangan lupa janji kita mau belanja bareng. Okay?"

Kata-kata berpamitan Yuqi mengejutkan kedua manusia yang masih bertatapan itu. Lantas tatapan keduanya terputus begitu saja.

"Thanks for coming, Aurora.." katanya jujur.

Sungguh hatinya benar-benar berbunga sebaik saja menyedari kehadiran aurora-nya dalam kerumunan. Penat lelahnya bermain basket seakan terubati melihat gadis itu di bangku paling hadapan.

Plakkk!!!

"Auwww Jihan sakit!" Belum sempat menghabiskan ayat, ia terlebih dahulu menjerit kesakitan sebaik saja satu tamparan kuat mengenai bahunya.

Sambil menggosok bahu, cowok itu memandang ke arah Jihan, "kok kamu mukul kakak sih? Mau jadi adik derhaka ya?" Ketusnya geram.

"Siapa suruh bucin mulu." Jihan membalas tidak kurang ketusnya. Botol aqua di tangan dihulurkan kepada sang kakak yang kelihatan lelah.

Tapi bukannya menyambut huluran sang adik, cowok itu, Kim Jungwoo malah menggapai botol yang ada di tangan Jung Gya dan meneguknya sambil memandangi Jung Gya dengan sebelah matanya.

Sontak membuat Jung Gya membulatkan mata kerana kaget.

"Itu kan punyaku! Udah diminum juga!"

Jungwoo yang masih meneguk minuman itu tersenyum tipis.

"Tau. Emang sengaja mau yang ini. Biar bisa kiss kamu!" Balasnya mengenyitkan sebelah matanya.

"AAAAA!!"

Seperti biasa, suara jeritan gadis-gadis yang ada di sana lagi-lagi menjadi BGM drama PDKT-an si kapten basket dengan cewek terdingin di Fakultas Psikologi Anak.

Kira-kira begitulah tajuknya perjuangan Kim Jungwoo si ketua basket yang sudah hampir separuh hidupnya di kampus mencuba mencuri hati si cewek ais.

Siapa saja yang tidak tahu dengan cerita tergempar sepanjang zaman di ATLIT itu.

Benar, Kim Jungwoo, si ketua basket ganteng, popular dan kakel paling digemari di ATLIT ini sedang melakukan PDKT-an dengan Jung Gya.

Bermacam-macam cara dilakukan olehnya untuk berjaya memenangi hati si putri es tapi sehingga sekarang, masih tiada respon dari sang gadis. Makanya, ia digelar kisah cinta epik sepanjang zaman.

Siapa saja sih yang tidak tertarik dengan Kim Jungwoo?

Kalau ingin disenaraikan, kelebihannya terlalu banyak.

Tapi kelemahannya hanya satu, belum bisa membuka kunci hati si putri es yang beku.

"Ayo kumpul."

Laungan dari jurulatih menandakan bahawa mereka harus bersiap sedia untuk masuk semula ke dalam gelanggang.

Jungwoo melambaikan tangannya sejenak kepada sang jurulatih sebelum kembali memandang ke arah Jung Gya di hadapannya.

"Aku mau ngomong sesuatu ke kamu, Aurora."

Lagi sekali, para siswi sudah histeris bahkan saat Jungwoo belum membuka mulutnya. Mana tidaknya, cowok itu bertindak mencondongkan tubuhnya ke hadapan. Kedua tangannya diletakkan di dua sisi bangku yang diduduki Gya.

"Kalau aku menangin game kali ini, kamu pacar aku." Jungwoo berbicara nyaring dan mengenyitkan sebelah matanya kepada Jung Gya.

"AAAAAAAA"

Deggg

Rasanya jantung Jung Gya seakan-akan mahu copot ketika ini juga. Pipinya memanas dengan tiba-tiba menjalar hingga ke seluruh dadanya. Menimbulkan sebuah perasaan aneh saat netranya menatap belakang tubuh Jungwoo yang sudah menjauh ke arah jurulatihnya.

"Cieeeee!! Ada yang jadian nih? Yeayy, gue punya kakak ipar. Oh gak...temanku, iparku."

Saking kagetnya, Jung Gya bahkan tidak menggubris kata kata yang dilontarkan Jihan.

Tatapannya masih terpaku ke hadapan. Sehinggalah tanpa sengaja matanya bertemu dengan sepasang mata lain di seberang sana yang kebetulan sedang memandangnya tajam.

________________________________________________

Clickk

Kakinya melangkah lunglai ke dalam apartmen sebaik saja pintu dibuka.

"Huhh." Hembusan nafas berat keluar dari bibirnya.

Sungguh hari ini terlalu melelahkan untuknya. Bermula dari peristiwa di gelanggang basket bersama Jungwoo tadi, sehinggalah selesai urusannya belanja bersama Yuqi untuk keperluan pertunjukan fesyen sahabatnya itu.

Tenaganya seakan-akan terkuras habis.

Bicara mengenai Kim Jungwoo, Gya bisa menghembuskan nafas lega kerana rencana cowok itu gagal apabila Fakultas Bisnes dan Sains Sosial menjuarai turnamen.

Sungguh Gya berterima kasih untuk hal itu.

Tidak bisa dibayangkan bagaimana kalau Fakultas Teknik Mesin yang menang. Automatis, dirinya akan benar-benar berpacaran dengan kapten basket yang sudah lama mengincarnya itu.

Tapi sialnya, kata-kata cowok itu setelah permainan tadi.

"Gak papa. Aku masih punya waktu selama 364 hari lagi buat usaha dapetin kamu."

Ergh. Tampaknya cowok itu masih belum putus asa. Membuat dirinya menggeleng tidak keruan.

Terserah. Jung Gya tidak peduli kerana walau beribu bahkan berjuta kalipun Jungwoo memintanya menerima cowok itu, tidak akan berlaku.

Prangg!

Bunyi benda terjatuh yang datangnya dari dalam ruang tamunya membuat Gya mendongak pantas. Sekujur tubuhnya tiba-tiba merinding.

Seperti ada yang aneh dengan rumahnya.

"Sugar! Sugar!" Gya berbisik sedikit kuat, menyeru anjingnya namun tidak ada balasan.

Tidak biasanya Sugar tidak menyambutnya pulang.

Ketika inilah Jung Gya benar-benar merasa ada yang tidak beres dengan rumahnya. Alarm bahaya langsung berbunyi di dalam mindanya.

Tanpa membuat bunyi, tangannya mencapai sebatang kayu besbol yang sengaja disimpan di belakang pasu di tepi pintu. Digenggam dengan kedua belah tangan erat sebelum bertindak melangkah perlahan menuju ke dalam.

Targetnya adalah ruang tamu yang sedikit terhalangi. Punca bunyi itu adalah di ruang tamu itu.

"Aishh!"

Sayup-sayup kedengaran suara seseorang bersama suara televisyen yang dihidupkan.

Semakin dekat, semakin kuat pula debaran di dadanya.

Dan sedikit demi sedikit, matanya menangkap satu sosok tubuh yang sedang terbongkok-bongkok di bawah meja kopi. Sosok tanpa wajah.

Gya tidak bisa melihat dengan jelas. Perlahan tangannya naik mencapai suis pada dinding.

"Lo baru pulang?" Tegur satu suara garau.

Orang itu berdiri di hadapannya dengan tangan yang memegang serpihan kaca. Seperti serpihan mangkuk kaca yang pecah.

Pasti itu yang didengari Jung Gya sebaik saja masuk ke rumah tadi.

Ketika itulah pertahanan Jung Gya langsung runtuh. Kedua kakinya melemah tidak bisa menampung berat badan sendiri. Tangannya yang mulanya memegang kayu besbol langsung lunglai ke tepi tubuh.

Kayu besbol yang dipegangnya tergeletak begitu saja.

"Loh? Lo kenapa heh duduk di lantai? Udah gak punya sofa?" Lagi-lagi teguran dari sang pemilik suara singgah di telinga Jung Gya.

?

Zapp.

Tatapan mata Gya langsung menikam tajam pada pria di hadapannya.

"Lo ngapain di sini? Sugar mana?" Tanyanya dengan menahan geram.

"Tuh di sana."

Pandangan Gya langsung menuju ke arah yang dimaksudkan. Kelihatan Sugar yang sedang mundar-mandir di balkoni aparment nya.

"Lo usir anjing gue?" Soalnya marah dan kesal.

Tapi yang ditanya hanya bergedik bahu. "Gak. Gue gak usir. Cuman ngejauhin tuh raksasa jelek dari gue aja. Itu doang." Dengan wajah bangga, Jihoon berbicara seolah-olah tidak melihat riak Jung Gya yang sudah seperti kepiting rebus.

"Sugar bukan raksasa!" Sangkal Gya dan lalu berdiri menuju balkoni. Pintu dibuka memberi ruang kepada Sugar untuk masuk ke dalam.

?

"Ih, bukan raksasa di mana? Tuh liat tuh badannya gendut amat. Udah jelek, gendut pula. Kayak tuannya!"

"Yahh!! Park Jihoon!!"

Jihoon yang sedari tadi menjadi lawan bicara Jung Gya langsung menutup telinga sebaik saja mendengar pekikan gadis itu tepat di sebelahnya.

Apa-apaan ini? Bukankah seharusnya kepulangannya hari ini disambut gembira? Bukannya malah dimarahi cuman gara-gara mengurung anjing di luar.

"Awas lo ya! Berani bilang Sugar gue gendut." Jung Gya tunduk mengelus kepala Sugar. "Dia samoyed ya. Makanya gede. Bukan anjing gendut."

Ingatkah kalian ketika Jihoon membawa Jung Gya ke kedai haiwan untuk membeli anjing peliharaan. Sugar adalah anjing yang dimaksudkan.

Sudah empat tahun usianya dan tubuhnya yang berbaka Samoyed itu yang membuatnya kelihatan gede dan tinggi. Tapi anjingnya tidak gendut kok. Hanya bakanya saja yang besar. Jadi kelihatan besar bagi orang-orang yang baru melihat.

Tidak bagi Jung Gya. Anak anjing itu-Sugar-sudah dijaganya sejak berusia 2 minggu. Selalu saja Sugar yang menemani malamnya.

Di saat gadis itu tidak bisa tidur atau bahkan saat dirinya diserang mimpi buruk akibat empat tahun lalu, Sugar akan datang ke kasurnya. Seakan-akan mengerti penderitaan hati tuannya, Sugar akan selalu berbaring di sisi Jung Gya.

Anjing itu, yang menjadi penjaganya. Yang selalu menghulurkan tangan memberi kehangatan saat Jung Gya diserang rasa dingin yang mencengkam sekujur tubuhnya yang sudah rapuh.

"Aneh ni orang. Temenan sama anjing!" Dengus Jihoon pelan sembari berjalan menuju dapur dengan bekas kaca di tangan.

"Oh iya, btw lo emang gak punya makanan apa di rumah ini? Peti es lo kosong tuh. Telor aja gak ada. Aneh bat jadi orang." Protesnya dari arah dapur, mengkritik keadaan rumah Jung Gya yang benar-benar seperti hotel sementara.

Tadinya ketika tiba di rumah Jung Gya, Jihoon berniat untuk melihat jika ada stok makanan yang bisa dimasaknya. Namun nihil, peti es Jung Gya sepertinya hanya berfungsi sebagai pajangan rumah.

Selain lapisan ais yang menebal, di dalamnya hanya ada beberapa botol aqua dan beberapa tin soda.

Tiada yang namanya sayuran apatah lagi makanan-makanan rumah lainnya.

Bahkan di dalam rumah ini juga hanya ada sebuah televisi, sebuah almari dan rak kasut saja. Pinggan mahupun perkakasan masakan lain hanya yang sudah sedia ada di rumah ini.

Tiada tanda-tanda atau jejak yang menunjukkan Jung Gya menggunakan black card yang diberi nyokapnya untuk memenuhi kebutuhan gadis itu.

Ahh, iya ada satu.

Di hujung sudut dinding, satu bekas makanan dan bekas air yang Jihoon yakin milik anjing cewek itu. Dan tadi ketika menghalau Sugar keluar, ada satu bekas pasir yang semestinya bekas buang eek.

Gya memutarkan bola mata malas. "Emang sengaja. Lagian gue cuman tinggal sendiri, nggak mau ribet."

"Iya gue tau. Tapi minimal lo stok dong makanan. Telor kek, sosej kek, kimchi kek apa kek. Lah ini kayak orang miskin aja lo." Jihoon meneruskan kritikannya sembari bergerak lincah memasak ramen baru.

"Kalau mommy gue tau lo hidupnya kayak gini, bisa-bisa lo dibawa ke Melbourne tau gak."

Lagi-lagi, Jihoon menyebutkan ayat yang sama. Tiap kali dirinya datang untuk melihat keadaan gadis itu, -atas perintah mommynya-selalu hal yang sama akan diperdebatkan. Dan setiap kali, tiada penyelesaian.

Gya hanya mendengar dengan saksama tanpa niat mahu membalas kata-kata Jihoon. Fikirannya benar-benar lelah hari ini.

Tenaganya hanya tersisa untuk masuk ke kamar dan tidur sahaja.

Jihoon mematikan kompor, mengambil satu tin air soda dan membawa panci berisi ramen ke ruang tengah. Meletakkan panci yang masih panas di atas meja menghadap televisi.

Dengan selamba dia duduk dan mula menyantap ramen tanpa mempedulikan sang tuan rumah yang masih berdiri di tempatnya.

Satu keluhan terbit dari bibir cewek itu. Marah-marah dengan Park Jihoon juga memang tiada gunanya dan akhirnya ia memilih untuk membiarkan.

Biarin saja cowok itu melakukan aktivitas di rumahnya. Asalkan tidak mengganggu kehidupannya, itu sudah mencukupi.

Lalu kakinya melangkah menuju kamar bersama Sugar yang mengekori dari belakang.

"Lo udah ke rumah sakit?"

Langkah Jung Gya terhenti. Ia berdiri di hadapan pintu kamarnya.

"Gue udah sembuh. Gak perlu ke psikiatir lagi." Jawabnya ringkas.

"Bukan itu maksud gue. Yang lain."

Diam. Jung Gya tidak menjawab soalan Jihoon. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuh.

Melihat respon pasif Gya, Jihoon tahu jawapannya.

"Jangan keras kepala. Besok pagi gue jemput. Gue temenin ke rs. Ada salah satu kenalan gue, dia pakar-"

"Gue gak mau." Kata-kata Jihoon langsung dipangkas Jung Gya.

Membuat cowok yang ingin mengangkat sumpit itu menghentikan gerakan tangannya. Pandangannya langsung tertuju kepada gadis itu.

"Gue baik-baik aja. Dan gue gak mau ketemu dokter manapun lagi. Gue bisa sendiri." Sambung Jung Gya lagi dan memegang knob pintu.

"Lo emang keras kepala. Bisa gak sih kali ini lo nurut sama gue. Lo tau kan penyakit lo itu separah mana. Atau lo menang benar-benar mau mati? Gitu?"

Nada Jihoon sudah naik satu oktaf. Tidak seperti biasanya. Wajahnya bertekuk dengan kening yang menukik tajam dengan jawaban keras kepala Jung Gya yang tidak habisnya.

"Bukan urusan lo." Balas Jung Gya dan kembali memutar knob pintu untuk masuk ke dalam.

"Kelakuan lo saat ini benar-benar mirip sama pria brengsek itu kalau lo mau tau."

"Keras kepala, ego, selfish."

Jihoon kembali menyerang Jung Gya dengan fakta yang sangat dibenci cewek itu. Dengan harapan kalau Jung Gya akan mahu mendengarkannya kali ini saja.

Tapi tidak sesuai ekspektasi, cewek itu hanya mengabaikan dan menerobos masuk ke dalam kamar.

Tinggal Jihoon yang masih berada di ruang tamu. Selera makannya mendadak hilang padahal ramennya masih tinggal separuh.

Sudah empat tahun berlalu dan Jung Gya masih seperti itu.

Entah sampai kapan Jihoon harus berhadapan dengan cewek itu lagi. Bermacam cara sudah dilakukannya agar Jung Gya mahu mendapatkan rawatan. Namun usahanya tidak membuahkan hasil.

Rasa bersalahnya kepada orang tuanya dan abang cewek itu semakin membusung tinggi.

Dia bersubahat untuk tidak memberitahu kepada mereka tentang kondisi kesihatan cewek itu. Atas permintaan Jung Gya sendiri.

Semuanya menjadi salah dan tidak benar setelah tragedi empat tahun lalu.

Iya, semuanya.

______________________________________________

Nafasnya memburu laju. Langkahnya tidak lagi bisa diangkat. Sedangkan bayang-bayang itu masih gencar mengejarnya. Seakan-akan tidak memberi peluang kepadanya untuk bernafas barang sejenak.

Kakinya sudah sakit kerana menginjak duri-duri yang ada di sepanjang jalan. Kebas. Dan dingin. Itu yang dirasakan sekujur tubuhnya.

Pada akhirnya, ia mengalah. Kedua lututnya bergetar tidak mampu menahan berat badannya lagi.

Dia lelah.

Tubuhnya mengerekot di atas jalan yang terasa dingin. Untuk membuka mata saja rasanya ia tidak berdaya.

Rasanya hampir berjam-jam, sejak dirinya melangkah ke alam tidur, tubuhnya dicampakkan ke dalam dimensi-dimensi yang berbeda-beda.

Semuanya, dimensi terburuk dalam lembaran hidupnya selama ini.

Sehinggalah tiba-tiba, sepasang tangan memegang erat bahunya. Mengangkat sekeping tubuhnya yang rusak dan didekap erat.

"Mmmmm...mmmmm..mmmm~"

Satu suara merdu singgah di telinga nya. Menggumamkan lagu pengantar tidur yang sering didengarinya ketika kecil.

Lalu perlahan, ada sepasang tangan asing lagi yang mengusap dahinya perlahan. Menyeka keringat dingin yang membasahi dahinya lembut.

Matanya dibuka perlahan, mengintai sedetik.

"B-bunda."

Obsidiannya langsung menangkap satu wajah yang paling dikenalinya.

"Bunda!"

Tidak bisa tidak mengukir senyum, sepasang bibirnya terangkat ke atas. Pantas ia menerjang masuk ke dalam pelukan wanita yang sangat dirinduinya itu.

Jung Jisoo. Bundanya.

"Gya kangen bunda. Gya benar-benar capek bun. Seluruh tubuh Gya udah gak bisa nahan beban sebesar ini. Hati Gya capek, lelah. Semuanya jadi berantakan semenjak bunda dan abang ninggalin Gya."

Seluruh perasaan yang bersarang di hatinya diadukan pada sang bunda tercinta. Hangatnya pelukan wanita itu benar-benar menyerap ke dalam sekeping hatinya yang sudah lama beku.

Detik kemudian, kepalanya mendongak, memandang sosok manis di hadapannya dengan penuh pengharapan.

"Apa...udah masanya buat Gya mengalah? Pulang ke pangkuan bunda?" Lirihnya bersama juraian air mata yang kini membasahi pipi.

Cupp

Terasa satu kecupan singgah di dahinya. Kecupan bunda!

"Belum masanya sayang. Masih banyak yang membutuhkan kamu. Masih ramai juga orang-orang yang menyayangi kamu. Mereka semua mau kamu bahagia." Jawaban dari sosok bundanya itu membuat Jung Gya tertohok.

"Gak bunda! Gya gak mau. Gya cuman mau ketemu bunda dan abang."

Rayunya bersungguh-sungguh. Jujur dirinya benar-benar lemah dan lelah. Fiziknya bahkan segenap ruang hatinya benar-benar sakarat dengan semua yang berlaku.

Hidupnya berantakan. Sudah tidak sama sejak empat tahun lalu.

"Bunda bawa Gya ya? Tolong, Gya mohon. Kasihani Gya. Bunda! Bunda!"

Teriaknya sekuat hati sebaik saja bayang bundanya yang tadinya memeluknya mula menjauh. Tangannya terawang mencuba meraih kembali sosok itu namun tidak berjaya.

Bundanya tetap menjauh.

"Tugas kamu belum selesai sayang. Sehingga rahsia-rahsia itu belum terungkap, selagi itu kamu harus terusin hidup kamu. Ada satu amanah besar yang menanti kamu. Sabar ya sayang, bunda dan tante bakal selalu ada di sisi kamu."

Tangisan Jung Gya semakin pecah usai mendengar kata-kata dalam bundanya.

Tubuhnya kembali terperosok jatuh menyembah lantai yang dingin. Dan kali ini kedinginan itu ditambah rasa luka yang dalam. Sekujur tubuhnya bagai ditikam-tikam dengan jutaan pisau tak kasat mata.

"Bunda! Bawa Gya bunda! Gya sakit, bunda!"

Dalam secebis kesedaran, matanya menangkap bayangan bundanya yang menjauh. Bersama seorang wanita tanpa wajah dan seorang lagi...kembarannya.

"Bunda! Sakit! Bundaa! Pengen ikut!"

Dan pada akhirnya, hanya ngongoian penuh kesedihan yang terkeluar dari bibirnya. Sedikit demi sedikit tubuh itu kian mengerekot dalam.

Larut ke dalam kesedihan dan kedinginan yang akan sentiasa menyerangnya setiap malam.

Pada masa yang sama, Jihoon yang baru berniat untuk pulang ke rumahnya mengubah fikiran. Kakinya dihalakan ke arah kamar Jung Gya sebaik saja mendengar sayup-sayup suara tangisan dari kamar itu.

"Bunda... Sakit... Gya sakit, bunda... Pengen ikut bunda... Tolong, bawa Gya juga..."

Sebaik saja pintu kamar dibuka, pemandangan pertama yang disaksikan matanya membuat jantung cowok itu hampir luruh.

Cepat-cepat ia mendekati kasur Jung Gya lalu duduk di sisi kasur, menghadap tubuh kecil yang sedang meringkuk itu.

"Gya! Lo kenapa? Hey...Gya!"

Perlahan tangannya menepuk bahu Jung Gya, membangunkan gadis itu.

Selimut yang membaluti tubuhnya pun disibak. Namun yang membuatnya kaget adalah kondisi Jung Gya yang tidak baik-baik saja.

Wajahnya basah. Entah itu kerana keringat ataupun air mata, Jihoon tidak tahu. Kedua tangannya terkepal erat menggenggam sprei sehingga tidak berbentuk. Belum lagi bibir gadis itu yang digigit kuat hingga berubah pucat.

Ya Tuhan. Bahkan gue sendiri gak tau kalau dia kayak gini.

Jihoon menjadi panik. Ini pertama kali dirinya berhadapan dengan Jung Gya begini.

"Shhh.. Shhh.. Jangan nangis. Gue ada di sini." Ia cuba membujuk, sebelah tangannya naik mengusap dahi Gya dengan gerakan perlahan.

Namun tiada efek, Gya masih saja meracau tidak jelas. Yang bisa Jihoon lihat hanya bekas air mata yang kembali mengalir di pipi mungil itu.

Jihoon jadi kalap mata. Bahkan kini, Jung Gya memegang hujung lengannya erat. Semakin menambah rasa cemas Jihoon.

"Sebentar, kita ke rumah sakit, ya?"

Sakunya dirogoh mendail nombor seseorang. Tangannya masih mengusap dahi Gya. Bahkan kulitnya juga terasa dingin.

"Hey, jangan ganggu!"

Belum sempat panggilan tersambungkan, Jihoon terpekik kaget saat melihat Sugar yqng pada mulanya berbaring di alas tidurnya bangun dan melompat ke atas kasur milik cewek itu.

?

Pemandangan seterusnya yang lagi-lagi membuat Jihoon terheran-heran adalah, Jung Gya mendadak tenang.

Tubuhnya tidak lagi menggigil seperti tadi. Bahkan tangisan dari bibir cewek itu perlahan-lahan reda.

Semuanya kerana Sugar.

Iya, anjing besar itu kini sedang berbaring di sisi Jung Gya. Tangannya diletakkan di atas tangan gadis itu. Seolah-olah Sugar sedang memeluk Gya.

Jadi, ini alasan kenapa lo sayang banget sama Sugar?

Tidak bisa dipungkiri, Jihoon lega kerana Jung Gya sudah tenang kembali. Cengkamannya pada sprei kasur melonggar dan tidak seperti tadi. Dalam hitungan detik, nafasnya kembali teratur.

Bersama Sugar yang masih dalam pelukannya.

Jihoon kembali bergerak maju ke kasur Jung Gya. Bantal yang terjatuh dilantai diambil dan ditata di sisi kasur. Tidak lupa, Jihoon membetulkan kembali selimut gadis itu yang sempat melorot tadi.

"Gya, harusnya lo bilang ke gue. Bukan pendam semuanya sendiri kayak gini." Lirih Jihoon bersuara. Perlahan telapak tangan gadis itu diraih dan diremas lembut.

"Buat apa gue jadi teman lo kalau lo sendiri gak terbuka sama gue." Jari telunjuknya naik menyentuh hujung kening Gya.

"Gue tau lo menderita selama ini dan kalau bisa lo gak mau sesiapa pun tahu. Bahkan di mata orang tua gue, lo pasang topeng senyum. Padahal realitasnya, lo lagi hancur."

"Tapi please jangan buatin tembok antara kita. Gue gak mau, sampai sesuatu terjadi sama lo dan gue terlambat. Apa pun, lo harus lapor ke gue ."

Tiada pilihan lain, ketika ini adalah satu-satunya cara untuknya berbicara dari hati ke hati bersama Jung Gya. Tentunya tanpa ngegas seperti dirinya yang asli.

Sekali-sekala, dia juga bisa kalem. Atau lebih tepatnya, hanya bersama Jung Gya.

Hanya gadis itu, yang mendapat privilege daripada nya. Gadis yang sentiasa dilindunginya. Dan hanya pada Jung Gya, seorang Park Jihoon bisa memberi sepenuh masa dan perhatiannya.

"Lo gak usah khawatir, setelah semua ini selesai dan gue berjaya menjejak pembunuh itu, lo akan bahagia selamanya. Biarpun bukan gue yang jadi pilihan lo untuk ngerasain arti kata bahagia itu. Gue bakal selalu ada di sisi lo selamanya. Percaya sama gue. Ya?"

Bersambung...

I am back guys. Jadi, ini adalah sambungan buat part 2 cerita ini.

Semoga kalian suka. ????

Jangan lupa vote sama komennya.

Itu bisa jadi support buat aku terus nulis.

Oh iya btw, aku baru bikin ig khas buat tulisan aku. Follow ya.

@ayanaabunga

?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience