9. Dream Or Memory

Fanfiction Series 10231

"I need somebody to heal,
Somebody to know
Somebody to have
Somebody to hold
Its easy to say
But its never the same
I guess I kinda like
The way you helped me escape"

Rumah keluarga Na lagi lagi riuh dengan suara nyanyian Haechan, Chenle dan Renjun. Juga dengan iringan gitar dari seorang Mark Lee. Jisung, hanya bertindak sebagai backup singer.

Meja ruang keluarga itu sudah tidak kelihatan baik. Botol soda, kacang kacangan dan segala jenis jajan bertaburan di atas meja.

Sementara di atas sofa sekeliling meja, 7 cowok sedang terdampar dengan masing masing hanyut dalam dunia mereka.

Im Yoona tiada di rumah. Wanita itu mengunjungi nenek saudara Jaemin di Busan. Makanya anak anak itu bisa seenaknya melakukan keributan di rumah besar itu.

Tidak apa. Kerana mereka pasti akan membereskan sendiri.

"Now the day bleeds, into night—Ahh sakit anjing!!"

Baru saja ingin menyambung nyanyian merdu nya, Mark lantas terjerit apabila kaleng soda yang tadinya ada di atas meja mendarat tepat mengenai dahi luasnya.

Pandangan tajam diberikan kepada si pembaling. Siapa lagi kalau tidak Zhong Chenle.

"Oi Mark, tukar lagu dong. Lagu itu teross. Kayak desperate banget sih lo!"

"Apasih Le! Suka suka gue dong."

"Into nightfall—"

Plakkkk

"Aish apa lagi sih?!!!"

Mark terjerit lagi setelah seseorang bertindak menjitak kepalanya kuat. Ia berpaling, menatap Chenle. Tersangka yang telah menjitak kepala besar seorang Mark Lee.

"Not me!" Chenle angkat kedua belah tangannya.

Jelaslah bukan dia. Mana dia juga duduk di depan Mark. Nggak mungkin juga kan tangannya bisa sampe ke belakang sana.

Mark terus merenung satu persatu dari teman temannya yang ada di sana. Dilihat lihat, tiada satu pun yang menyerupai yang tersangka.

Ahh, kecuali satu—Lee Jeno yang sedang duduk berselonjor kaki di sofa single yang terletak benar benar di belakang Mark.

Cowok itu tadinya sedang mencuba melelapkan mata. Tapi suara Mark dan petikan gitar yang tidak henti henti, ditambah keributan Haechan Chenle Renjun yang bar bar membuat ia tidak bisa lelap.

"Alright. I got you, man."

Kerana sang pelaku ternyata Lee Jeno, Mark langsung memaafkan. Ah, terpaksa actually. Padahal jika diikutkan, mau saja dirinya membalas. Dasar Lee Jeno, nggak ada sopan sopannya sama orang lebih tua.

Ya, kenapa lebih tua, Mark lahir setahun ke depan berbanding Jeno clans lainnya. Jadi seangkatan kerana Mark mula sekolah lebih telat dari anak seumuran.

Jisung yang sedari tadi hanya bisa geleng kepala dengan kelakuan luar biasa para hyungnya, menggeleng pelan sebelum menapak ke sofa yang ditempati oleh Jaemin.

"Kak Jaemin, lagi liat apa?" Jisung menegur, duduk di hujung sofa berhadapan dengan Jaemin yang sedari tadi hanyut dengan kamera Canon di tangannya.

Jaemin angkat kepala, dan tersenyum, "oh ini, lagi liat liat foto aja." Ringkas jawaban yang diberikan sebelum ia kembali tunduk, fokus pada gambar gambar Jung Gya yang berjaya dipotret diam diam olehnya.

Jisung angguk kepala, cuba mengintai ke skrin kamera Jaemin. Panasaran pasti kenapa hyung satunya itu fokus banget liatin kamera.

Tapi Jaemin lebih dahulu mengesan rencana Jisung lalu bertindak mengalihkan kameranya.

"Nggak mau kasih Icung liat ya?"

"Ya nggak boleh. Rahsia orang tua."

"Hmph! Tega sih." Jisung mendengus, memunjungkan bibir ke hadapan. Jasmin hyung rahsiaan banget. Apa jangan-jangan...

"Foto pacar ya?"

Tebaknya asalan.

"Hah? Pacar? Siapa siapa?" Haechan yang tadinya sedang asik jahilin Renjun langsung mengalihkan perhatian.

Begitu juga Renjun yang sedang nonton drakor Penthouse ikut kagetan sampai-sampai hp nya jatuh dan terkena hidung sendiri.

Fuh, pasti sakit banget.

"Lo punya pacar Jaem?! Kok nggak bilang?" -Mark.

"Mana sini liat foto pacarnya. Cantik nggak? International girl ya?" -Chenle.

Dalam sekejap saja, keempat empat cowok tadi sudah berkumpul di dekat sofa milik Jaemin. Kecuali Jeno yang masih nggak berganjak dan Jisung yang sedari tadi udah ada di sebelah Jaemin.

Jaemin mula gelabah. Tangannya pantas menyembunyikan kamera miliknya sebelum sempat diraih Mark.

"Kok jahat? Sini dong, kasih liat ke kita cewek mana yang udah bisa naklukin cowok hati batu kedua setelah Jeno kita." Usik Mark sambil menggerakkan kedua keningnya ke atas bergilir-gilir.

Jaemin tetap bersikeras menyembunyikan kameranya dari jangkauan teman temannya.

"Aipp, Lee Haechan no!" Tempiknya pada Haechan yang sudah sempat meraih kameranya diam diam.

"Hehe." Haechan menghentikan gerakan tangannya.

Begitu juga dengan Jisung, Chenle, dan Mark yang tadinya dekat dekat di sofa Jaemin langsung kembali ke tempat asal.

Tapi, tetap aja nggak mengubah perhatian mereka buat mengorek rahsia mengenai pacar Jaemin.

"Nggak asik banget sih lo Jaem! Punya pacar nggak bilang bilang. Pantas aja kita ajak nongkrong di vila nggak mau ikut. Ternyata udah punya pacar lo." Renjun menimpali.

Berpeluk tubuh sambil memerhatikan tingkah Jaemin yang sejak dua hari lalu senyum senyum sendiri sama kamera. Kirain ada apa, rupa rupanya.

Lagi angau.

"Yah, nggak gitu juga sih. Kalian ah ada ada aja." Jaemin mengibaskan kedua tangannya ke hadapan.

"Terus apa dong? Cerita dikitlah sama kita kita." Chenle bersuara, memujuk. "Yang jujur aja, pacar ya?"

Jaemin membuang nafas, kemudian kembali tersenyum. Tangannya spontan mencapai sehelai kertas di atas meja. Senyuman tidak lepas dari bibirnya, mengangguk tidak, menggeleng pun tidak.

Hanya senyuman saja. Itupun sudah bisa dimengerti oleh teman temannya.

"Wah, jadi benar dong! Ayo ceritain gimana kejadiannya. Namanya siapa, kapan jadiannya, orang mana, gimana jatuh cintanya. Ayo sini cepetan cerita."

Mark yang sememangnya tidak bisa menahan kekepoan hatinya itu pantas bertanya.

Gitar di tangan diletakkan di atas meja. Kedua tangannya dijadikan penongkat wajah.

"Hmm, sebenarnya, belum jadian sih." Akhir nya Jaemin buka suara.

Tidak salah kan sekiranya dia bercerita mengenai cewek yang sudah berjaya mengetuk pintu hatinya pada pandangan pertama? Toh juga di depannya ini adalah sahabat dekatnya.

Seharusnya nggak ada rahsia antara mereka. Kan?

"Belum jadian? Wait wait, maksudnya, lo crush ke dia?!"

Jaemin angguk lagi, tangannya masih sibuk melipat kertas menjadi origami. Sebuah origami berbentuk bunga ros.

"Okay, wow. Ini baru banget." Haechan bersuara tidak percaya. "Ayo cerita, orangnya kek gimana."

Jaemin selesai dengan bunga kertasnya. Ia kembali bersandar pada sandaran sofa. Memejamkan matanya, menyeru kilas wajah Jung Gya agar mendatangi nya.

"Cantik, di mata gue." Sebut Jaemin.

"Mukanya tenang banget, manis, bisa bikin gue tenang saat liatnya. Peribadinya juga baik kok, nggak ada salah salahnya, polos sama naif juga. Kalau dia senyum, gue suka banget. Benar benar taste gue."

Lancar saja bibirnya mendeskripsikan struktur wajah Jung Gya.

Tapi, pandangan matanya saat liat gue, keliatan banget dia punya beban hidup yang berat banget. Tatapannya sayu, bikin gue pengen lindungin dia.

Kata kata itu hanya bisa dilafazkan Jaemin di dalam hatinya. Benar, perbualan singkat mereka tadi siang membekas di hatinya.

Detik itu juga yang membuat hatinya tidak tenang sampai sekarang. Ia sadar, cewek itu mula mencuri hatinya. Menariknya untuk lebih mengenali, menyelami sepasang mata hazel itu.

"Ck ck ck, parah banget nih cowok satu. Kasmaran banget." Haechan menggeleng tidak percaya.

Buat pertama kalinya, dirinya melihat Jaemin benar benar bahagia saat bicara soal cewek. Kerana selalunya, Jaemin sama sekali nggak berminat buat ngebahas cewek.

Biar beribu yang ngantri semata mata buat temenan sama dia, nggak ada satu pun yang bisa menarik perhatian Jaemin.

Bukan kerana teman mereka itu tertarik dengan hubungan sejenis, tapi ya kerana Jaemin itu sama seperti Jeno. Dingin, hati batu.

Tapi Jaemin nggak separah Jeno ya.

Jaemin ketawa perlahan mendengar kata kata Haechan. Kembali membuka mata hanya untuk melihat teman temannya memandangnya dengan senyuman nakal mereka.

"Dia tuh, gue umpamain kayak ni bunga. Bunga mawar."

Origami bunga di tangannya diangkat separas dengan pandangan mata teman temannya.

"Menarik, tapi susah banget mau didekatin. Luarnya tampak aja kuat, teguh, tabah tapi di dalam, gue tau, dia nggak sekuat itu. Dia-nya yang sebenar, benar benar rapuh. Butuh pegangan, butuh perlindungan."

"Dia nepis gue, dengan durinya, kerana dia nggak mau disakitin." Jaemin tersenyum, memberi jeda sebentar di antara perkataannya.

"Tapi, itu nggak bakalan nahan gue buat terus deketin dia. Sampai dia yakin, kalau gue nggak bakalan nyakitin hati dan perasaannya."

Iya, Jaemin sudah berniat untuk mendapatkan Jung Gya. Ia akan berusaha agar cewek itu bisa lebih terbuka dengannya.

Biarpun tanpa Jaemin sadar, itu bakal jadi tugas yang sulit. Kerana tanpa ia sedari, Jung Gya sudah 'dimiliki' seseorang yang juga berada di ruangan sama dengannya.

Lebih tepatnya lagi, di sofa berseberangan dengannya. Sahabatnya sendiri—Lee Jeno.

"Wow! Marvellous! Amazing! Incredible!" Suara nyaring Haechan lagi lagi memenuhi ruangan yang tadinya sedikit sunyi apabila seorang Na Jaemin melafazkan kata kata pujangganya.

Haechan mendekat ke arah Jaemin, menepuk belakang tubuh temannya beberapa kali.

"Nggak nyangka gue, ada cewek yang bisa ngeluarin sisi romantis lo." Ujar Haechan sambil terkikih.

"Kenalin dong ke kita, siapa tahu aja kita bisa bantuin lo untuk tawan hatinya." Renjun memberi cadangan. "Cewek tuh, biar di luarnya dia keras, kalau lo nunjukin kesungguhan lo, yang hatinya batu juga bisa lembut tau nggak."

Enteng sahaja secebis nasihat itu meluncur dari mulutnya. Seperti pakar, sedangkan ianya sendiri tidak punya pengalaman cinta.

"Wah, Jun. Lo kalau udah jadi doktor cinta, bombastis banget." Puji Haechan, tapi...

"Tapi lo nya aja single." Nah kan! Setiap pujian cowok itu pasti berujung kejian.

"Coach don't play, men."

Balasan Renjun hanya diabaikan Haechan dengan berpura pura tidak mendengar. Ia mula melangkah pergi dari sana dengan memasang wajah pemancing keributan yang benar benar memancing emosi kang ngegas seperti Renjun.

Dalam sekali detik, keduanya sudah beredar dari sana dengan Haechan yang dikejar Renjun. Sementara Chenle yang bertindak sebagai wartawan lokasi pantas mengeluarkan IPhone 12 nya dan membuntuti kedua nya.

Nah, belum lama lagi juga pasti ada berlaku keributan.

Tinggal Jaemin, Mark, Jisung dan Jeno yang sedari tadi tidak bergerak dari posisi asalnya di ruang tamu.

"Hyung, Icung punya ide deh."

Rupa rupanya pembahasan mengenai hal tadi belum habis. Kini Jisung bersuara, mengeluarkan buah fikiran bernas nya yang disimpan sejak tadi.

Ia menggamit Jaemin dan Mark untuk mendekat.

"Apa kata, hyung bawa aja si bunga ke party kita di markas nanti. Kan hyung pengen ngadain pesta sempena kepulangan hyung ke Korea."

"Nah, di sana nanti, mana tau aja, dia bisa lebih selesa gitu sama hyung. Sekaligus kan kenalin ke kita kita, calon member baru Arthdal."

Ide yang baru saja dilontarkan Jisung mendapat sokongan dari Mark yang sudah bertepuk tangan. Memuji-muji betapa bijaknya adik termuda mereka.

Jaemin juga menyetujui ide bernas Jisung. Benar, itu bisa jadi langkah pertamanya untuk menawan hati Jung Gya.

"Bernas Sung, gue suka ide lo. Ternyata lo bijak juga ya kasih ide" Puji Mark. Pandangan nya kemudian teralih kepada Jaemin.

"Bawa aja si bunga ke party nanti." Tanpa sedar, Mark juga sudah mula menggelarkan Jung Gya dengan panggilan Bunga.

"Gimana Jeno? Lo juga pasti bawa Lia kan entar? Nah, bisa dong si Lia jadi temannya si Bunga—Loh Jen? Lo mau ke mana? Kita belum habis ngomong oi."

Belum juga Mark habis berbicara, Jeno sudah bangun dari pembaringannya. Mencapai kunci mobil dan keluar begitu saja. Tanpa pamitan. Membuat Mark yang sedang bicara itu menggerutu sendirian.

Ia ingin pulang. Biarpun teman temannya sedang heboh mengenai Jaemin yang pengen nembak cewek, tapi fikirannya tidak bisa teralihkan daripada memikirkan kejadian siang tadi.

Makanya ia memilih untuk pulang.

"Jeno kenapa?" Jaemin langsung menanyakan kondisi Jeno kepada Mark sebaik saja bunyi mobil Jeno kedengaran meninggalkan perkarangan rumah keluarga Na.

Mark mengangkat bahu, tanda tidak tahu, tapi bibirnya berbicara,

"Entah. Nggak tau gue. Biasalah, orang punya istri dua."

"Hah? Jeno punya cewek lain selain Lia?"

Tanpa sedar, Mark sudah membeberkan satu rahsia yang sepatutnya tidak disebutkannya di depan Jaemin tanpa kebenaran Jeno. Cowok itu langsung diam.

Pandangan nya dan Jaemin bertemu.

"Iya."

_______________________________________________

"Bunda..."

"Shh, jangan nangis sayang, bunda di sini!" Bisik wanita berambut sebahu itu perlahan, mendekap erat putrinya di dalam dukungan.

Anak kecil yang tidak mengerti apa apa itu hanya bisa diam dan mengeratkan pelukan pada tubuh ibunya, Jung Jisoo.

"Kak, kamu harus kabur dari sini! Jangan biarin orang-orang jahat itu dapetin kamu!" Jisoo berbicara pada wanita di sebelahnya.

"Terus kamu gimana Soo-ya? Aku nggak bisa ninggalin kamu." Balas wanita itu sambil menggenggam tangan Jisoo.

"Ayo, kita kabur bareng-bareng!"

Jisoo menggeleng kuat. "Nggak bisa kak, anakku masih ada di sini. Kamu aja. Kamu dalam bahaya sekarang."

Wanita di sebelahnya itu masih berkukuh untuk mereka lari bersama.

Panggg!!

"Arghh!!"

Kedua wanita itu menjerit tertahan apabila bunyi tembakan kedengaran. Sementara anak kecil di dalam pelukan sang ibu juga sudah mula menangis.

Keduanya semakin mengecilkan diri di celah ruang almari yang sempit. Menyembunyikan diri agar tidak dikesan oleh para preman yang sejak beberapa jam lalu memburu mereka.

"There you are, my sister in law!" Suara garau seseorang yang sudah berdiri di depan mereka membuat kedua wanita itu kaget dan langsung mencuba melarikan diri.

Mendorong beberapa kardus kosong. Tepat mengenai pria jahat itu. Mereka melarikan diri.

Tentu saja tidak dibiarkan oleh pria berpakaian serba hitam dari atas ke bawah itu.

Matanya memandang tajam ke arah dua wanita yang sudah melarikan diri ke halaman belakang itu. Pantas ia mengarahkan anak buahnya untuk mengejar.

"Kak! Kamu kabur dari sini! Bawa putriku!" Suruh Jisoo, menyerahkan putri nya yang ada di dalam pelukan.

"Loh, terus kamu?" Anak itu disambut dengan pandangan bingung.

Ya, bingung kerana wanita di depannya itu seolah-olah tidak ingin ikut kabur. Malah menyerahkan anaknya.

"Kak, kita nggak bakalan selamat kalau kabur berdua. Makanya, kamu aja. Tolong, bawa anakku."

Jisoo mendorong belakang tubuh wanita yang dipanggilnya 'kakak' itu ke pintu besi yang tersembunyi di belakang rumahnya. Pintu rahsia yang tidak diketahui oleh orang lain selain dirinya.

"Aku nggak mau Soo. Kita harus kabur bersama. Kasian sama anak kamu."

"Enggak kak, please. Jangan pedulikan aku." Jisoo lagi lagi membantah, kedua insan itu sudah selamat berada di balik pintu besi. "Kabur kak, kamu satu satunya yang bisa ngehalang mereka dari terus terusan lakuin kejahatan."

Jisoo menutup pagar, hanya tinggal bahagian kepalanya kelihatan.

"Tuntut bela atas kematian suami kamu."

Pesan wanita itu buat kali terakhir sebelum tangannya tangkas ingin menutupi semula pagar itu dengan dedaunan. Air mata ditahan agar tidak merembes turun.

Buat kali terakhir, ditatap nya wajah putri kesayangannya. Ia sadar, waktunya tidak lama. Mungkin ini kali terakhir ia bisa melihat wajah itu.

"Soo-ya tunggu!"

Jisoo menoleh, memandang wajah kakak yang baru dikenalinya tidak sampai sebulan itu lekat.

"Maafin aku, udah libatin kamu. Aku janji, bakal tuntut bela setelah ini." Pesan wanita itu dengan deraian air mata yang tidak bisa ditahan lagi.

Jung Jisoo, satu sosok malaikat tanpa sayap.

"Cari di belakang! Jangan sisain satu pun dari mereka. Kill them all!!"

Tempikan suara keras itu meleraikan pegangan keduanya. Para penjahat itu akan mengetahui kedudukan mereka tidak lama lagi!

"Go!!"

Jisoo menutup lubang terakhir. Berpaling ke belakang dan menapak jauh dari sana. Ia harus melengahkan masa untuk memberi peluang kepada sang kakak dan putrinya kabur dari sana.

"Soo-ya.." Wanita itu melirih lemah. Mendekap erat anak berusia 7 tahun itu ke dalam pelukannya.

Aku harus kabur dari sini! Tiger nggak bisa nangkap aku sama Gya, fikirnya lalu cepat cepat melesat keluar dari kawasan rumah Jung Jisoo.

Ia berlari, sedaya upaya meredah kegelapan malam bersama anak kecil dalam gendongannya. Putri Jung Jisoo, saudarinya yang berhati baik. Ia tidak harus membuat pengorbanan Jisoo sia sia! Dia harus selamat.

Begitu isi fikiran wanita itu sambil berlari dalam gelap dan dinginnya malam. Ia tidak tahu ke mana arah tujuannya. Yang ia tahu mereka harus selamat.

Tanpa sedar, keduanya berada di lorong gelap yang tiada satu pun sumber cahaya. Kakinya sudah lelah berlari. Nafasnya yang terisak isak membuat anak dalam pelukannya itu turut terbangun.

"Bunda..bunda.."

Langkah terhenti, seraya menunduk ke bawah.

"Iya Gya..ini tante!"

Anak kecil itu membesarkan mata saat disadari ia tidak lagi berada dalam pelukan hangat sang bunda. Yang tersisa hanya wajah teman bundanya yang penuh dengan air mata.

"Kita di mana tante? Bun-bunda di mana?"

Wanita itu tercekat, tidak tahu harus menjawab apa atas soalan polos seorang anak yang mencari cari kelibat ibunya.

Ia hanya menangis. Adakah anak ini akan membesar tanpa kasih sayang dan belaian seorang ibu? Bisakah ia menanggung rasa bersalah itu apabila mengetahui ibu anak ini terkorban kerana ingin membantunya?

"Cari di sana!!"

Lagi-lagi, suara teriakan seseorang mengejutkannya.

Konco-konco Tiger! Mereka harus kabur! Orang orang itu tidak bisa menangkapnya ketika ini. Apatah lagi dengan kehadiran anak kecil di dalam pelukannya ini.

Tidak bisa! Cukup Jung Jisoo. Jangan ada lagi mangsa lain.

Ia kembali berlari, menerobos kegelapan malam. Nafasnya terengah. Dirinya sudah keletihan. Dia tidak mampu lagi untuk berlari. Mampukah mereka terselamat malam ini?

Dan seperti memberi jawaban kepada soalannya itu, jalan yang dilalui mereka ketika itu menemui jalan buntu. Jalan mati!

Sungguh dia ingin berteriak frustasi. Matanya melilau ke sekeliling. Jika mereka tidak bisa kabur lagi, maka anak kecil ini harus! Apa pun caranya.

"Gya..dengerin tante!" Ia membawa Gya untuk bersembunyi di timbunan tong sampah besar berwarna hijau. Meletakkan anak kecil itu ke dalam satu kardus besar berukuran dewasa.

Ada banyak pakaian di dalamnya. Syukur!

"Masuk sini sayang." Anak itu diletakkan ke dalam kardus, sebelum menumpuki beberapa helaian pakaian di atasnya.

Tangannya terkocoh-kocoh mengeluarkan sebiji pil berbentuk kapsul. Senjata terakhirnya yang tinggal. Memberikan kapsul berperisa strawberi itu untuk dikunyah oleh Jung Gya.

Pil tidur yang dihasilkan oleh mendiang suaminya.

Iya dia akan menyembunyikan putri Jung Jisoo di sini. Agar anak itu tidak menjadi mangsa Tiger jika ia tidak berhasil melarikan diri.

"Maafin tante Gya. Kamu selamat di sini!" Bicaranya perlahan.

Wajah anak itu sudah kelihatan layu. Efek obat tidur tadi.

"Tante sayang kamu. Ini cara terakhir tante untuk ngebalas jasa kamu sama bunda kamu. Maafin tante sayang."

Sejurus kemudian, wanita itu menanggalkan rantai loket bertali hitam yang tergantung di dadanya. Lalu mengalungkan rantai itu ke leher Jung Gya.

Anak ini akan selamat. Bersama rahsia terpenting itu.

"Jangan pernah hilangin rantai ini Gya. Rantai ini akan jadi senjata penting! Ingat ya sayang."

Ketika itu, Jung Gya sudah tidak bisa mendengar dengan baik. Matanya terasa berat. Perlahan-lahan, ia mula tidak sadar. Dengan bibirnya sesekali memanggil bundanya beberapa kali.

"Bunda!!"

Gya tersentak, matanya membulat besar bersama nafasnya yang tidak menentu. Dadanya turun naik.

Ia bermimpi. Lagi. Mimpi yang sama sejak 11 tahun yang lalu.

Sudah lama Gya tidak didatangi mimpi itu. Lebih setahun. Tapi kenapa mimpi itu datang kembali? Ada apa ini?

Bangun dari pembaringan, ia bisa merasakan hawa panas yang menyelibungi kamarnya. Keringat dingin membasahi dahi dan lehernya. Kipas angin yang terpasang langsung tidak mampu menghilangkan rasa gerahnya.

Kakinya diarahkan ke jendela kamar. Membuka gorden yang menutupi bagi membolehkan sedikit udara masuk ke dalam.

Gya tidak tahu, apa maksud mimpi itu.

Kerana jelas, yang ada di dalam mimpinya itu adalah dirinya, bunda dan seorang wanita asing yang kelihatan familiar di ingatannya.

Tapi, semakin makin Gya fikirkan, semakin buntu. Dan hujung-hujungnya, ia hanya mengabaikan.

Benar, mimpi itu hanya mainan tidur.

Lagian juga, isi kandungan mimpi itu bahkan mustahil untuk terjadi dalam hidupnya. Seperti filem action.

Haha, hidupnya sudah cukup complicated. Jadi tidak perlu dikusutkan lagi.

_________________________________________

Cahaya matahari menembusi di sela sela gorden yang sedikit terselak kerana tiupan angin.

Satu sosok tampan sedang enak terbaring di atas sofa dalam keadaan meniarap. Tanpa mengenakan pakaian atas dan di tangannya ada sebotol soju yang sudah hampir habis.

Cowok itu tidak lain tidak bukan adalah Lee Jeno yang sudah tepar di sofa ruang tamu setelah malamnya ia mabuk berat.

Keadaan rumahnya benar benar berantakan. Bantal bantal kecil bertaburan di atas lantai, 3 biji botol soju di atas meja. Juga dengan cup ramen yang sudah habis.

Perlahan-lahan, seseorang berjalan terhendap hendap mendekati. Tanpa bunyi. Berusaha untuk tidak mengejutkan oknum yang sedang tertidur itu.

Saat sebelah tangan berurat itu ingin hinggap di bahu Jeno, cowok itu sudah terlebih dahulu menunjukkan tindak balas.

Jeno bangun dengan pantas, memulas tangan di depannya lalu dengan mudah membanting tubuh bongsor itu ke atas meja kacanya. Namun, dengan cekatan pula, serangannya dipatahkan apabila oknum tersebut bertindak pantas dan melompat di atas sofa.

"Lee Jeno.." Desis cowok itu.

Keduanya saling bertatapan. Memberi pandangan seolah olah akan saling membunuh ketika itu juga.

"Ch.." Jeno berdesis dalam, memandangi wajah bak anime di depannya dengan pandangan benci.

"Apa kabar, my dear cousin."

"Lee Taeyong."

__________________________________________

"Aku mau undang kamu ke party ku."

"Uhukk! Uhukk! Uhukk!"

Terus tersembur air yang ada di dalam mulut Jung Gya sebaik saja Jaemin mengusulkan niatnya sebentar tadi.

"Nah, aku bilang juga apa. Minum pelan-pelan Gya."

Jaemin menghulurkan air mineralnya kepada cewek yang wajahnya sudah benar benar merah kerana tersedak minuman. Belakang punggung cewek itu diusap perlahan.

"Ehem.. kamu serius Na, mau ajak aku?" Gya berdehem setelah batuknya reda.

Memandang Jaemin dengan tampang tidak percaya.

Jaemin mengangguk kemudian kembali menyuap kek strawberi aiskrim di depannya. "Iya Gya, aku serius."

"Ini tuh party yang udah aku plan sama teman temanku. Sempena aku yang udah pindah ke Korea. Udah 5 tahun loh, aku di luar negeri." Terangnya sehabis baik.

Tidak mahu Jung Gya salah sangka dengan jemputannya. Seperti yang sudah di bincangkan bersama Mark dan Jisung, ia akan menjemput Gya untuk ikut party nya.

Sekaligus memperkenalkan cewek itu kepada teman temannya. Sama seperti tradisi kumpulan mereka, jika ada ahli yang punya pacar, wajib kenalin ke perkumpulan.

Yah, biarpun Gya belum resmi jadi pacarnya.

"Kamu nggak bakalan nyesal Na jemput aku? Beneran?" Gya menelan liur susah payah.

Jaemin sudah sangat sering bercerita mengenai teman temannya kepada Gya. Jelas, dari cerita cerita laki laki itu, teman temannya bisa dikatakan berasal dari golongan atasan. Golongan berada yang dirasanya jauh banget jika ingin dibandingkan dengan dirinya yang serba kekurangan.

"Aku beda banget loh sama kamu, sama teman teman kamu. Mereka bisa terima aku?" Soalnya lagi, "sedangkan berteman sama kamu aja aku udah rasa nggak layak banget."

"Kenapa aku harus nyesal sayang?" Jaemin memajukan tubuh ke hadapan.

"Lagian kenapa sih kamu selalu bilang kamu beda dari orang lain? Aku nggak pernah kok mikirin itu dari mula kita temenan. Kenapa, Gya sayang?"

Wajah Gya bersemu malu apabila Jaemin memanggilnya sayang. Reaksinya itu membuat Jaemin merasa gemas dan mencubit laju pipi cewek itu.

Gya menepis sentuhan tangan Jaemin, "ish, tangannya nakal banget sih Na!"

"Haha! Habisnya kamu imut banget sih. Mana manggil aku Nana lagi." Jaemin tertawa manis.

Seminggu ini, sudah masuk hari kelima dia berkunjung ke Chill Dream Cafe semata mata untuk menemui Gya. Dengan alasan pengen makan siang bareng.

Mujur saja cewek itu mahu. Dan Kak Wendy selaku pemilik kafe langsung tidak mempermasalahkan Jaemin yang sering bertandang. Malah wanita itu sangat mengalu-alukan.

"Nana! Nana!" Gumam Jaemin lagi. Pandangan nya tidak lepas dari memandang Jung Gya. "Aku suka banget sama nama yang kamu kasih. Kayak nama manja tau nggak."

Kata kata itu lagi lagi membuat kulit wajah Gya memerah bak udang terbakar. Hawa di sekelilingnya seakan akan menghangat.

"Ih, Na.. jangan ngomong gitu dong." Rungutnya, "...kalau aku baper gimana?"

"Ya kalau baper, kerja ku jadi mudah dong. Jadi pacar aku aja." Biarpun sudah mendengar rungutan Jung Gya, Jaemin masih belum bisa berhenti.

Malah keinginannya untuk membuat cewek itu semakin bersemu kini membara.

Sejak mereka memilih untuk menjadi teman, Gya sendiri yang memberikan nickname itu padanya. Sempena marga Na yang dipegangnya. Menjadi Nana. Panggilan kegemaran Jaemin.

Gya ikut sama tersenyum melihat senyuman manis Jaemin.

"Pacar aku galak tauk."

Tanpa sedar, pernyataan itu meluncur dari bibir Jung Gya tanpa ragu. Serta merta, riak wajahnya berubah. Ia mendongakkan kepala, memandang Jaemin yang juga ikut terpegun mendengarnya.

Gya..udah punya pacar?

Apa bermaksud, peluangnya sudah tertutup?

Keduanya diam buat seketika. Seakan akan baru dilibas dengan ribut. Suasana serta merta bertukar hening.

Na Jaemin dengan fikiran dalamnya sementara Jung Gya yang masih terkedu sambil mengemam bibirnya.

"Kamu.." –Jaemin.

"Aku.." –Gya.

Keduanya berbicara serentak.

"Kamu duluan aja." Jaemin bersuara, memberi peluang kepada Jung Gya untuk bicara terlebih dahulu.

Tidak, dia tidak bisa terlalu kentara menunjukkan rasa kecewanya. Mereka kan berstatus teman, mana mungkin jika Jaemin tiba tiba marah dan pergi dari sana.

Nggak bisa! Dia tidak akan mengorbankan persahabatannya dengan Gya.

Jika benar cewek itu sudah punya pacar, dia terima. Dan tidak akan memaksa cewek itu untuk putus dengan pacarnya lalu pergi kepadanya.

Tidak, ia tidak sekejam itu.

Gya serba salah. Tapi, sudah terlanjur ia buka mulut, apa salahnya kan jika ia bercerita sedikit tentang hubungan yang ia miliki bersama Lee Jeno.

Walaupun pertemuannya dengan Jaemin baru berlaku beberapa hari, Gya akui, ia senang dengan cowok itu. Seorang yang mudah didekati, baik, ikhlas dan jujur.

Gimana dia bisa tahu Jaemin jujur dan ikhlas? Jelas, dari perlakuannya sepanjang melayaninya.

"Aku emang punya pacar." Gya memulakan kata katanya.

"Tapi, kami nggak saling suka." Jeda, Gya menoleh ke luar jendela, memandangi sepasang burung yang sedang bertengger di tiang listrik.

"Aku punya kembaran. Namanya Gyo." Gya lagi lagi membuka rahsianya yang satu itu.

"Dia, punya kelainan. Nggak kayak anak anak lain. Dan kerana kelainan itu, Gyo sering ditindas di sekolah. Gyo..satu satunya ahli keluarga yang aku punya. Aku rela, lakuin apa aja buat Gyo. Sekalipun, aku harus terperangkap dalam hubungan toksik sama pacarku yang sekarang."

Iya, hubungan toksik. Satu hubungan yang berupa kutukan buat dirinya. Kutukan yang entah kapan akan terlerai.

Atau, selamanya, tidak akan pernah terlerai.

"Aku punya perjanjian sama dia. Kalau aku jadian sama dia, keselamatan Gyo akan terjaga. Nggak ada satu pun yang bisa nyentuh abang ku."

Dengan tenang, Gya menceritakan rahsia hidupnya kepada Jaemin. Matanya dipejam erat.

Ah, Gya tidak tahu bagaimana penerimaan Jaemin akan cerita nya ini. Harap saja cowok itu percaya dan tidak akan mengatainya seorang pengecut. Atau lebih teruk lagi, bertindak memutuskan persahabatan mereka.

Baru kali ini, Gya merasakan mempunyai teman yang benar benar ikhlas dengannya. Tidak punya niat buruk, dan menerima segala kekurangannya.

"Hubunganku sama dia, kayak timbal balik. Fair and square." Gya mendecih perlahan.

Seakan akan tidak percaya kalau dirinya menggelarkan hubungan mereka sebagai fair and square.

"Dengan aku yang terikat sama dia, penindas penindas itu nggak bakalan bisa nyentuh Gyo. Dan sebagai balasan, aku harus jadi pacarnya. Atau lebih tepatnya, tempat dia buat ngelampiasin segala kekesalan dan kemarahannya."

Iya, itu adalah gelaran yang tepat untuk dirinya. Tempat pelampiasan.

Kepala Gya terangkat, memandangi Jaemin yang berpeluk tubuh sambil bersandar pada kerusi kafe. Dari tadi, ia hanya diam. Tidak memberikan apa apa reaksi.

Liur ditelan dengan susah payah sebelum Gya kembali bersuara, "setelah dengar itu semua, kamu masih mau Na? Temenan sama aku?"

"Cewek pengecut yang mau mau aja dijadiin tempat pelampiasan cowok.  Semata mata biar orang nggak bisa macem macemin aku? Kamu bisa, berteman dengan orang seperti itu?"

Tuturnya lancar. Tetap memandangi Jaemin di depannya.

"Huh, maaf Na, aku baru kasih tau kamu hari ini. Maaf, kerana udah memulakan persahabatan kita dengan cara yang nggak jujur." Gya pasrah saat Jaemin tidak memberi respon.

Ia sudah mula berdiri, mengemas pinggan di atas meja yang digunakannya untuk makan bersama Jaemin tadi.

"Aku ngerti kalau setelah ini kamu mutusin buat nggak ketemu aku lagi. Jadi—"

Baru saja ingin berlalu dari sana, Gya tercekat apabila Jaemin yang tadinya duduk berseberangan dengannya sudah bangkit lalu menariknya ke dalam pelukan. Membuat cewek itu terpana seketika.

"Ngawur Gya. Ngomong apasih? Kamu fikir aku temenan sama kamu cuman liat luaran doang?" Gumam Jaemin sambil menjitak perlahan kening Gya.

Dekapannya dieratkan. Dagunya diletakkan di atas puncak kepala cewek itu. Sementara tangannya mengusap perlahan belakang kepala Gya.

"Aku benar benar ikhlas temenan sama kamu. Jadi, jangan pernah bilang kayak gini lagi. Nana nggak suka."

Gya masih terdiam dalam pelukan cowok itu. Perlahan, ia mula membalas. Memegang erat sisi kaos Jaemin dengan kedua tangannya.

Sama sekali tidak menyangka, kalau Jaemin akan bereaksi seperti ini.

Serta merta, ia merasa tenang. Setidaknya, Jaemin masih mau berteman dengannya setelah tahu rahsia hubungan yang dijalaninya kebelakangan ini.

"Ehem! Ada yang udah berlayar ya kayaknya?"

Teguran bersama deheman perlahan dari Kak Wendy mengejutkan kedua pasangan yang masih berpelukan itu.

Serta merta Gya mengangkat wajah. Ah, bagaimana dia bisa lupa kalau di ruangan belakang ini bisa diakses dengan mudah oleh Kak Wendy.

Ish, Gya malu.

Bersambung...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience