"Gue pulang dulu, Mark!"
Jeno cuba menyaingi suara muzik yang menggema di klub. Pandangannya terasa berpinar akibat efek alkohol dan gema muzik yang memekakkan telinga.
"Eh eh Lee Jeno! Lo mau ke mana hah?! Ini juga kita belum habis party tauk!" Teriak Mark yang juga mencuba mengatasi kuatnya suara muzik dance kelab.
Jeno menggerakkan tangannya di hadapan wajah Mark. Ia tidak sanggup berlama lama di sini lagi. Fikirannya sudah tidak menentu.
"Kalian...enjoy aja! Gue yang bayar!" Jeno mengenakan jaket hitamnya. "Sekalian, titip Lia. Anterin dia pulang entar!"
Kemudian, Jeno langsung berlalu pergi tanpa mempedulikan teman temannya yang masih bersenang senang menghabiskan malam minggu di ruangan kelab VVIP yang ditempah khas oleh Jeno.
Bahkan panggilan Lia yang memanggil manggilnya beberapa kali juga diabaikan.
Dalam fikirannya, hanya ada satu tujuan sahaja. Rumah kecil Jung Gya.
Baru sehari sejak semester baru bermula tapi Jeno langsung tidak punya peluang untuk ketemu Gya di sekolah. Selalunya, ia akan senang memanggil cewek itu ke kelasnya.
Hanya saja, hari ini niatnya itu tidak bisa dilaksanakan apabila Lia tiba tiba sahaja bersikap posesif dan sering mengikutinya ke sana ke sini. Malam ini pun, Lia tidak melepasnya pergi bersama Mark dan yang lain. Malah memaksa untuk ikut ke kelab.
Entah apa yang merasuki tunangannya itu. Jeno bingung sendiri.
Ditambah lagi dengan Gya yang langsung tidak memunculkan diri di hadapannya, malah membuatnya semakin kebingungan.
Dia harus menjaga hati dan perasaan Lia. Tapi pada masa yang sama, ia tidak bisa tenang selagi tidak bertemu empat mata dengan Gya.
Apatah lagi sejak peristiwa di vila Jaemin.
Siapa sangka, cewek yang selalu mereka bicarakan setiap kali nongkrong bareng adalah Jung Gya. Siapa sangka, sahabatnya yang paling dekat, Na Jaemin ternyata menyukai pacarnya sendiri.
Huh! Sungguh banyak sekali persoalan yang bermain di mindanya. Malah semakin membuatnya pusing.
Sudahlah! Kemudian saja, yang terpenting ketika ini, dia harus tetap sadar untuk bisa sampai dengan selamat ke rumah Gya. Tidak mungkin kan Jeno mahu mati sia sia di tengah jalan.
Wah, bakal bahaya banget.
Bisa-bisa Gya dicomot Jaemin dan Jihoon. Bukannya Jeno tidak tahu, sahabatnya, Jaemin benar benar suka sama Gya. Suka dalam artian antara laki laki dan perempuan.
Tadi siang, Jaemin memaksa Mark dan yang lainnya untuk jujur, apa posisi Gya dalam hidup mereka. Juga, isi kandungan perjanjian Geng Neveda dan kembaran Jung. Hampir-hampir saja mereka adu tenaga tadi.
Dan pada akhirnya, ia berakhir dengan ChenJi sebagai adik termuda bicara terbuka dengan Jaemin. Masih segar di ingatan Lee Jeno merahnya wajah Jaemin menahan amarah sebaik saja tahu hal sebenarnya.
Juga Jihoon. Anak clans sebelah yang kabarnya sudah sejak lama ada dalam hidup Gya.
Malam di vila itu, Jeno sendiri melihat betapa seriusnya Jihoon mempertahankan Gya daripada serangan bertubi-tubi Nancy. Sampai sampai anak Guinevera itu sanggup melupakan huluran persahabatan mereka dan kembali bermusuhan.
Hah, double J yang sungguh meresahkan hati dan fikiran Jeno. Ternyata penangan Jung Gya bisa sebesar ini. Kalau Jeno tahu, rasanya ia lebih rela cewek itu dikurung di apartment nya agar tidak bertemu dengan sesiapa sahaja.
Sambil memandu, Jeno menyetel muzik sekuat-kuatnya.
Tanpa sedar, ia memasang banyak lagu milik NCT, salah satu idol group asal Korea Selatan yang sering menjadi hiburan Jung Gya saat berkendara dengannya.
Kepalanya pun bergerak seiring dengan rentak muzik. Padahal sebelum ini, Jeno paling benci dengan lagu lagu yang dipasang Jung Gya. Entah hari ini terasa berbeda.
Jeno malah semakin merasa semangat. Lagu lagu ini seolah olah memberinya dorongan untuk cepat cepat sampai ke rumah Gya.
Setelah hampir 45 menit mengendarai mobil dalam kecepatan hampir 240km/j, Jeno akhirnya sampai di depan gerbang rumah kecil Gya.
Jam di dashboard dipandang. Hampir jam 1.00 pagi. Pasti gadis kecil itu sudah tidur.
Senyuman miring terbit di bibir Jeno.
Tidak mengapa. Kalau Gya sedang tidur pun, Jeno pasti punya cara agar cewek itu bangun dan mahu menemuinya.
Tanpa buang waktu, ponsel di saku jaket dirogoh.
"Hello, buka gerbang. Gue mau masuk."
"....."
"Bukan urusan lo Gya. Cepetan buka gerbangnya! Gue mau masuk!"
"....."
Jeno merengus kasar.
"Fine kalau lo nggak mau keluar, liat aja apa yang gue bakal perbuat. Wait and see baby!"
Jeno langsung mematikan talian dan melempar ponselnya ke jok belakang. Kepalanya menoleh ke arah rumah Gya dan tiada tanda kalau cewek itu akan keluar.
Tidak mengapa!
Jeno tersenyum lagi, kini ia keluar dari mobil. Sesekali menggelengkan kepala. Kepalanya semakin pusing.
'Lo nggak mau keluar, biar gue yang maksa untuk masuk.'
Jeno mematikan enjin mobilnya. Memerhati ketinggian pintu pagar besi Jung Gya. Hampir 2 meter. Ia tersenyum lagi, mudah untuknya masuk.
Gya mengangkat panggilannya tadi dan kedengaran dari suara serak milik gadis itu, jelas dia sedang tidur. Rumahnya juga gelap hanya ada lampu di balkoni luar sahaja yang dibiarkan menyala.
Sebenarnya, mudah bagi cowok sepertinya untuk masuk secara menceroboh ke rumah buruk Gya.
Tapi...belum lagi. Jeno masih mahu menjahili Jung Gya.
Jeno membuka kaca mobilnya, memasukkan kunci dan menghidupkan enjin.
Pinn! Pinn!! Pinnnn!!
Yes! Jeno tersenyum menang setelah membunyikan klakson sebanyak tiga kali dan sengaja menekan kuat di kali ketiga. Kemudian, ia memandang ke arah jendela kamar milik Gya di tingkat atas.
Masih tiada respon. Lampunya masih seperti tadi.
Oh, tampaknya cewek itu ingin bermain-main dengannya.
"Kak Jeno!!"
Baru saja Jeno ingin mengulangi ulahnya tadi, suara Jung Gya menyapa gegendang telinganya.
Jeno yang semulanya menundukkan kepalanya ke dalam kaca mobil langsung berdiri tegak dan menoleh ke arah Gya yang sudah siap siaga berdiri di hadapannya. Terbatasi pagar rumah cewek itu yang masih terkunci.
Wajah cewek itu kelihatan sedikit sembab dengan pajama bergambar snorlax dan celana kotak kotak. Sebenarnya, dia sudah tidur dan terjaga lagi ketika Jeno menggila di depan rumahnya.
"Lo keluar juga akhirnya."
"Ngapain sih malam malam kek gini di depan rumah aku? Udah sinting ya?"
"Gue tidur di rumah lo malam ini."
Sang cowok yang semulanya sudah benar benar pusing sedang tidak mood untuk berdebat dan pura pura tuli saja. Tidak apa. Malam ini saja Jeno memberi peluang buat Jung Gya membentaknya.
Besok-besok, tidak ada lagi.
Juga, mereka punya urusan yang belum terselesaikan kan?
"Ih! Kok? Ngapain kak? Nggak ah. Kak Jeno kayak nggak punya rumah aja." Gya mendelik dengan permintaan luar akal Jeno.
Sudahlah datang tiba tiba ke rumahnya pada tengah malam, membuat keributan dan kini sesuka hati pengen nginap.
Di fikirannya Jeno, rumahnya ini apa? Rumah kebajikan? Hotel?
Gya mengetap gigi geram.
"Daripada Kak Jeno nginep di rumah aku, mendingan pulang ke rumah Kak Lia aja! Nggak ribet. Dianya juga pasti seneng banget kok nerima kedatangan Kak Jeno di rumahnya." Ketus cewek itu tanpa memandang ke arah Jeno.
Huh! Dia tidak peduli. Kalau Jeno ngamuk juga, kan terbatasi pagar. Ya nggak apa apalah. Tinggal kabur aja.
Tambahan, Gya sedang tidak mood melayani Jeno sejak peristiwa tadi siang.
Mula-mula, ia bertemu Lia di dalam toilet. Harus mengelak Jaemin yang tiba tiba pindah ke sekolahnya. Bertembung dengan isteri papanya dan malam ini, segalanya lengkap kerana Jeno juga datang ke sini.
Kira-kira, sampai kapan ya dia harus berhadapan dengan mereka semua?
Jika ia bisa, huh sudah lama agaknya ia memilih untuk lari.
"Gue maunya tidur di sini. Cepat buka pagar."
"Nggak! Ini tuh rumah cewek. Lagian ada Gyo di rumah."
Jeno bercekak pinggang dan wajahnya memasang riak tidak suka akan kedegilan cewek di depannya itu.
Lantas tubuhnya didekatkan ke arah pagar rumah. "Gue hitung sampe tiga. Lo nggak buka pagar, liat aja apa yang bakal gue lakuin."
Ugutnya dengan suara yang rendah tapi tidak sedikit pun membuat Jung Gya gentar.
'Ngapain takut? Lagian ada pagar tinggi di depan gue. Kak Jeno nggak bakalan bisa masuk.' Bisiknya dengan berpeluk tubuh.
"1..."
Jeno mula menghitung tapi tiada tanda tanda kalau Jung Gya akan membuka pagar. Sebaliknya cewek itu sudah berura ura untuk berpaling dan masuk ke dalam rumah.
Bodo amat sama Lee Jeno. Entar kalau bosen juga pasti pulang ke habitat tuh.
"2..."
Kini Jeno mula meletakkan tangannya di atas pagar. Jung Gya memang mencabar kesabarannya malam ini. Tunggu saja, sebaik dia bisa masuk ke sebelah sana, tiada jalan lain untuk cewek itu lari selain pasrah di bawah kungkungannya.
"3!" Laung Jeno tapi Gya masih saja dengan enteng berjalan ke dalam rumah.
Fine!
Jeno melangkah ke belakang sehingga menyisakan jarak 2 meter antara dirinya dan pagar rumah Jung Gya. Biarpun kepalanya sedang pusing, tapi dia masih mampu untuk hanya sekedar melompat ke sebelah sana.
Iya! Jeno akan melompati pagar rumah setinggi empat meter ini.
Setelah mengambil jarak aman, Jeno mula berlari anak. Ketika semakin dekat ke arah pagar, kakinya langsung melompat dengan menumpukan tangan di atas pagar.
Dan dalam sekelip mata, Jeno sudah berada di sebelah dalam rumah Jung Gya.
Bushhh!
"?!!"
Gya yang tadinya sudah hampir sampai di depan pintu terus berpaling ke belakang semula sebaik saja mendengar bunyi dari semak rumah tepi pagarnya. Kedengaran nya seperti ada benda besar terjatoh ke dalam semak. Tapi, persoalannya, siapa?
Matanya memicing untuk melihat ke arah semak samun untuk memastikan adakah itu benar benar berlaku atau hanya perasaannya saja.
Malam malam kek begini terus mengalami sesuatu yang agak paranormal begini benar benar bisa menguras keberanian. Siapa saja tidak takut.
Matanya beralih pada pagar rumahnya. Mobil Jeno masih ada di sana tapi bayang cowok itu sedikit pun tidak kelihatan.
"Kak Jeno?" Panggilnya perlahan.
Kemana cowok itu menghilang? Tidak mungkin Jeno pulang jalan kaki dan meninggalkan mobilnya di sini kan?
Tanpa sedar, kakinya mula menapak maju mendekati pagar rumah. Ingin memastikan sesuatu yang dirinya sendiri tidak pasti.
Atau hanya sebatas ingin melihat lihat jika benar Jeno pingsan di hadapan pagar rumahnya. Bisa gawat kan jika itu benar terjadi. Apatah lagi sekiranya esok pagi, ada orang lain yang menjumpai Jeno terbaring di pagar rumahnya. Bisa bisa berlaku keributan.
Sungguh Gya tidak mahu itu berlaku.
"Kak Jeno?!" Panggilnya lagi sedikit kuat sebaik saja ia berdiri di hadapan pagar.
Kepalanya dijengulkan sedikit di antara jeriji pagar untuk memastikan keberadaan Jeno.
Tapi nihil, yang ada di sana hanyalah mobil mewah jenama Tesla milik cowok itu. Keadaan benar benar sunyi sepi tanpa ada tanda kalau Jeno ada di sana.
'Lah, itu orang pada ke mana ya? Nggak mungkin pulang jalan kaki kali ya?' Bisiknya di dalam hati sambil kembali melihat ke kanan dan ke kiri.
'Ah! Daripada ngurusin Kak Jeno, mendingan gue masuk langsung lanjut tidur lagi kali ya. Lagian dia udah gede buat ngurus diri sendiri.'
Fikirnya kemudian mula melangkah menjauh dari pagar. Sudahlah! Tidak penting. Mahu Jeno pulang jalan kaki, dijemput orang atau apa apa sekalipun, yang terpenting Jeno tidak berada di kawasan rumahnya.
Sudah cukup memadai.
Tapi, kalau Jeno diculik bagaimana?
Sempat ia berfikir demikian tapi langsung dihilangkan fikiran itu dari mindanya jauh sejauhnya.
Hanya orang bodoh yang akan menculik cowok kayak Lee Jeno. Yang adanya, si penculik justru akan merasa lebih kesusahan untuk berurusan dengan Jeno dan gengnya yang menurut Gya, bukan geng motor biasa.
Mereka lebih mirip geng preman atau gangster.
Setelah meyakinkan diri sendiri, Gya mula ingin melangkah masuk kembali ke dalam rumah.
Tapi baru saja ingin membuka langkah...
"Arkhh! Tolong ada hantu!"
Cewek itu sudah terjerit kuat sebaik saja ada tangan yang memegang pergelangan kaki kanannya dari dalam semak di sebelah pagar. Membuatnya gagal mengimbangkan tubuh lalu jatuh terduduk di jalan aspal.
"Auww!" Ringisnya apabila merasakan sakit pada tulang punggungnya yang serasa ingin retak.
Sumpah ini sakit banget!
Tapi belum apa apa juga, Gya lebih terkejut sebaik saja melihat sang pemilik tangan yang masih melekat erat pada pergelangan kakinya.
Kalian tidak bakalan percaya ketika ini!
Benar! Yang memegang kakinya ketika itu tidak lain tidak bukan adalah Lee Jeno yang terbaring terlentang di dalam semak rumahnya dengan posisi kepala cowok itu terangkat memandangnya bersama seulah senyuman di bibir.
"Loh! Kak Jeno kapan ada di sana? Ya ampun!" Ternyata yang membuat bunyi dari dalam semak tadi adalah Lee Jeno yang terjatuh.
"Ini kaki aku dilepas dulu kali kak!" Gerutu Gya sembari mencuba melepaskan pegangan erat Jeno pada kakinya.
"Bangun atuh! Jangan tiduran di sana!"
"Hahaha! Hahaha!"
Bukannya bangun, Lee Jeno malah ketawa terbahak-bahak dalam posisi yang masih berbaring di atas tanah.
"Ya ampun!" Gya mahu tak mahu terpaksa merentap kasar kakinya sebelum ikut duduk mencangkung di sebelah Jeno.
"Bangun kak! Gimana bisa sampai di sini sih? Bukannya tadi di sebelah sana ya?"
Jeno terkikih perlahan lalu menghalakan jari telunjuknya ke atas. Membuat Jung Gya membulatkan matanya tidak percaya.
"Kak Jeno naik pagar rumah aku?!"
Jeno mengangguk sebagai balasan.
Sumpah ni orang benar benar gila! Kirain ada pagar jadi nyerah terus pulang! Eh malah diloncatin.
"Aku nggak tau sama ada Kak Jeno lagi cosplay jadi monyet atau haiwan apa tapi nggak perlu sampe loncat kali kak!" Gya memicit dahi tak habis fikir dengan kerenah aneh Lee Jeno.
Dan melihat dari kondisi semasa cowok itu, sepertinya Jeno sedang mabuk berat. Jelas terbukti dari mulutnya yang sedari tadi mengoceh tidak jelas. Kadang kadang kedengaran seperti menyanyi dan kadang kadang kedengaran seperti sedang berbual dengan orang.
Gya tidak punya pilihan lain selain membawa cowok itu masuk ke dalam rumahnya.
Tidak mungkin kan Gya membiarkan Jeno tidur di tepi semak ini hingga esok pagi. Yah, meskipun ia benar benar ingin melakukan itu, masih ada sebersit rasa perikemanusian dalam dirinya.
Mana ada orang bisa tahan tidur di luar rumah semalaman. Sedangkan ia yang baru berada beberapa ketika di luar rumah ini juga sudah menggigil kesejukan, apatah lagi cowok itu.
Lagian, Jeno kan berstatus pacarnya.
Plus, Minnie atau Tante Lisa dan Om Chansung sama sekali tidak bisa melihat ini. Bisa bisa ia disoal siasat dan dituduh yang bukan bukan.
Ini kerana mereka tahu status Jeno sebagai pacarnya. Ia sendiri yang memberitahu keluarga Minnie kerana mereka sering bertanya kenapa Jeno dan teman temannya selalu datang ke sini.
Namun, hanya sebatas itu. Cerita penuhnya, ya hanya Gya yang tahu.
Gya mula memegang lengan jaket Jeno, menyuruh cowok itu agar bangun dan ikut masuk ke dalam rumah.
"Kak! Ayo dong jangan begini. Kakak harus bantu aku biar bisa bawa kakak masuk ke rumah! Berat tau nggak!"
Sedaya upaya Gya membantu Jeno untuk bangun sambil mulutnya tidak henti henti menyuruh cowok itu untuk bangun dan berjalan sendiri.
Mana bisa Gya yang tinggi tubuhnya hanya sebatas bawah dagu Lee Jeno mampu menampung berat Jeno yang tingginya mencapai lebih dari 170 cm. Bisa bisa tulang belakangnya patah riuk.
Dan benar saja, Jeno sedang mabuk kerana Gya bisa menghidu bau alkohol menguar kuat dari tubuh cowok itu.
"Gue...nggak nyuruh lo dukung... gue kan? Haha!!"
"Iya tauk! Tapi kak Jeno nggak seringan bulu juga kan mau diangkat cuman pake sebelah tangan!"
"Lo bilang gue bulu? Bulu apa tuh? Bulu ketek?! Hihi!"
"Kalau nggak...gue dukung lo aja bisa kan? Ahh...nggak nggak. Lo berat soalnya makan banyak. Kayak babi! Hahahah!!!"
Dengan tanpa dosa, sempat sempatnya Jeno mengatai Jung Gya babi sambil ketawa ketiwi tidak jelas. Sementara cewek itu sendiri sedang menahan nafas dan mengerah segala tenaganya untuk menampung Jeno masuk ke rumahnya.
Lengan kanan cowok itu diletakkan di pundaknya sementara tangan cewek itu melingkar di sekitar pinggang Jeno untuk menampung cowok itu agar tidak terjatuh.
'Dasar sinting! Bukannya terima kasih malah ngata-ngatain gue! Udah cukup terima kasih tauk gue mati matian berusaha bawa lo masuk ke rumah gue!" Gerutu Gya di dalam hati.
Kini, ia sudah berada di ruang tamu rumahnya.
Sedaya upaya Gya tidak membuat apa apa bunyi untuk mengelakkan Gyo dari terjaga dan menyedari kehadiran Lee Jeno di sini.
Bisa-bisa kembarnya itu akan melontarkan seribu satu persoalan yang sama sekali tidak ingin ia jawab ketika ini.
Apatah lagi kalau sampai Gyo bertanya adakah Jeno selalu mampir ke sini.
Kelihatan saja Gyo itu seperti itu tapi kembarnya tidak sebodoh yang mereka kira untuk tidak mengerti dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Malah Gyo bisa menganalisis waktu lebih cepat dari orang kebanyakan.
"Huh! Benar benar ya Kak Jeno nyusahin banget!"
Gya baru bisa bernafas lega sebaik saja ia selamat meletakkan Jeno di atas kasurnya dalam posisi tengkurap.
Tangan Gya mengipas ngipas wajah sambil menanggalkan cardigan tipis berwarna birunya. Menyisakan baju tidur dan seluar kotak kotaknya saja.
Kipas siling dipasang sehingga ke tahap yang paling kuat.
"Eughh! Erghh! Gowla ma dish! Absdhkjl..."
Rasanya Gya ingin ketawa saja sebaik mendengar Jeno yang bergumam menyanyikan lirik dari salah satu lagu NCT Dream yang menjadi kegemarannya ketika berada di mobil cowok itu.
Tapi tidak lama kerana senyuman Gya kembali menghilang sebaik saja melihat Jeno yang tiba tiba terduduk lalu muntah di lantai kamarnya.
Pantas Gya mendekat ke arah cowok itu dan menggosok belakang Jeno dan memicit pangkal leher cowok itu secara bergilir.
"Duh! Kak Jeno! Makanya, jangan biasain datang ke kelab. Nah kan sekarang udah muntah." Kritiknya tanpa sedar dan kembali membantu Jeno untuk berbaring.
Dapat dilihat kaos putih yang dikenakan Jeno kotor terkena muntahnya sendiri. Membuat Gya meringis seketika.
Setelah membantu Jeno berbaring semula di kasur, Gya langsung merasa bingung ingin berbuat bagaimana. Matanya memandang Jeno yang terbaring bergilir dengan lantai kamarnya yang kotor.
Ah! Ini jauh lebih sulit berbanding berhadapan dengan Jeno yang banyak maunya.
"Huh!"
Dan pada akhirnya, Gya memilih untuk bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju kamar mandi yang berada di sudut biliknya. Rasanya lebih baik seandainya ia membersihkan bekas muntah Jeno di lantari kamarnya.
Selesai dengan itu, Gya lagi lagi masuk ke kamar mandi dan sekali ini, membawa bersama sehelai sapu tangan berukuran sedang.
Ia keluar kembali bersama air yang diisi ke dalam besin kecil berwarna jernih. Membawa dengan hati hati dan melabuhkan duduk di sebelah Jeno yang sudah tidak bergerak sama sekali. Sepertinya pria itu sudah tidur.
Syukur lah. Ini lebih mudah untuk Gya melakukan tugasnya. Membersihkan badan Jeno yang terkena muntah itu.
"Ya ampun. Semoga besok gue bisa lupa hal malam ini." Pintanya bersungguh-sungguh sebelum mula menanggalkan kaos putih Jeno.
Di dalam hati, ia sungguh merasa berdebar untuk melakukan nya.
Seumur-umur hidup, ini pertama kali ia membuka pakaian seorang cowok kecuali Gyo. Ia tidak terlalu kejam kan menyuruh Jeno untuk tidur dengan pakaian kotor. Sekasar manapun Jeno melayaninya, dia dan Gyo bisa bersekolah dengan aman di Serim juga kerana pengaruh cowok itu.
Anggap saja ini sebagai balas budi.
Setelah bersusah payah menanggalkan kaos cowok itu, Gya mengambil tuala yang telah dibasahkan terlebih dahulu dan mengelap dada Jeno.
Sesekali matanya terpejam rapat daripada tergoda dengan bentuk tubuh Jeno yang boleh dikatakan agak menarik. Mungkin, hasil workout cowok itu di gym.
Serta merta Gya teringat dengan kata kata Chenle dulu.
Chenle pernah bilang, tubuh Jeno itu terdiri daripada otot semua.
Ya jelaslah ketika dilihat secara langsung begini.
Kejadian di gym dulu tidak dikira kerana saat itu Gya sedang gugup setengah mati. Daripada menikmati keindahan di depan mata, ketika itu ia lebih memilih untuk menyelamatkan diri daripada Jeno yang mesum.
Tapi kalau situasinya seperti sekarang, ermm...hehe gas ajalah. ??
Tangan Gya kini beralih pada perut cowok itu. Otot perutnya terukir dengan sempurna. Membuat sesiapa saja yang melihatnya tidak mahu mengalihkan pandangan.
Sadar fikirannya yang sudah mula ingin tersasar dari tujuan asal, Gya langsung menyudahi aktiviti tangannya dan meletakkan semula tuala ke dalam besin. Bergegas, ia mengambil sehelai kaos yang baru.
Wajahnya merah padam mengingatkan fikirannya yang sempat sempatnya menerawang jauh. Hawa dingin di dalam kamarnya tadi seolah olah menghilang dan membuatnya gerah.
"Bodoh Gya! Lo bego sumpah fikiran lo udah tercemar. Pasti efek kebanyakan bergaul sama si mesum gila ini nih!" Gerutu nya di dalam hati sebelum menyambung semula kegiatan tangannya menyarungkan kaos ke tubuh Jeno.
Ia harus cepat cepat mengakhiri aktiviti gila ini dan berlalu tidur.
Tidak! Gya tidak berniat untuk tidur sekasur dengan Jeno tentunya.
Ia akan tidur bersama Gyo di kamar kembarnya itu. Besok ia akan bangun awal pagi dan mengejutkan Jeno untuk segera beredar sebelum Gyo terjaga.
Tepat saat Gya ingin menyarungkan kaos ke kepala Jeno, tiba tiba cowok itu terjaga dan langsung menangkap tangan Jung Gya yang mana membuat cewek itu kaget dan hampir meloncat. Sontak pandangan Gya bertemu dengan sepasang mata Lee Jeno yang juga sedang menatapnya tajam.
"Argh! Kak Jeno lepas!"
Dengan secepat kilat, Jeno mengubah posisi. Menarik Jung Gya sehingga cewek itu terbaring di sebelahnya.
"Lo ngapain? Belum apa apa lo udah nelanjangin gue? Hmm?" Bisik Jeno dengan suara rendahnya bersama senyuman licik yang tersungging di sepasang bibir cowok itu.
Kerana kaget, Gya berusaha bangun dari pembaringannya namun Jeno bertindak pantas dengan merangkul pinggang cewek itu, membuat Gya tidak bisa melepaskan diri.
Gya memberontak mencuba melepaskan diri. "Kak Jeno lepasin aku! Ihh!"
Tapi pegangan Lee Jeno tampaknya terlalu erat jika dibandingkan dengan tenaganya yang tidak seberapa.
"Lepasin? Maksudnya?" Soal Jeno dengan matanya yang terbuka kecil. Pandangan nya samar tapi sosok wajah Jung Gya sangat jelas di matanya.
"Setelah lo nelanjangin gue, dan raba raba gue, lo minta lepasin? Nggak beradab banget sih." Sambung cowok itu. Nada suaranya kedengaran seperti ia adalah pihak yang teraniaya di sini.
"Heh! Nelanjangin apanya? Nggak ada yang kayak gitu ya. Aku nggak mungkin ngelakuin itu! Apalagi raba raba Kak Jeno!"
Gya mencuih sebal dan frustasi dengan kata kata ambigu Jeno yang jelas menuduhnya.
"Emang Kak Jeno fikir aku cewek apa? Aku tuh cuman ngebantu tau nggak."
Sungguh Gya tidak terima dengan tuduhan Jeno. Nelanjangin apanya? Kan dia cuman nanggalin kaos, celana masih ada kan? Meraba apatah lagi. Apa Jeno mau dia membersihkan tubuh cowok itu dengan sapu baru nggak dikatain meraba?
Jeno mendecih dengan rasa geli hati.
"Oh ya? Terus kenapa lo bisa ada di kasur ini sama gue? Mau tidur bareng?" Usiknya sambil senyum sumringah sendiri melihat riak wajah Jung Gya yang merah padam antara menahan marah dan malu.
"Aku mau ke kamar Gyo tadinya terus Kak Jeno yang narik aku sampai kek gini!" Gya berseru frustasi dengan kerenah nakal Lee Jeno.
"T-tidur bareng apanya! Ogah ah nggak mau. Kak Jeno mesum!" Tolaknya walaupun ia sempat tergagap dengan permintaan tidak masuk akal Jeno tadi.
Emangnya siapa yang mau tidur bareng sama lo!
Kemudian Gya kembali meronta ingin melepaskan diri dari dekapan erat Jeno padanya. Kedua tangannya menahan pundak Jeno, mengelak daripada tubuh mereka melekat antara satu sama lain.
Namun, biar sekuat manapun ia memberontak, pelukan Jeno tidak kunjung terlepas.
"Udah jangan ngebantah. Sini aja tidur bareng gue." Bisik Jeno perlahan.
Kepalanya sangat pusing ketika ini dan ia sudah hampir kehilangan kesadaran akibat rasa kantuk dan efek alkohol yang mula menyerang kembali.
"Nggak mau! Kak Jeno nggak bisa dipercaya. Pleaselah kak lepasin. Aku mau tidur juga nih."
Sedar Jeno tidak akan berlembut jika ia terus melawan, Gya mula memujuk dengan lembut.
"Ya udah. Tidur sini aja. Gue janji nggak bakalan lebih. Cuman tidur aja."
"Kak-"
"Sebelum gue benar benar ngelakuin hal yang lo nggak suka, lebih baik lo nurut sama gue." Ugut Jeno dan mengeratkan pelukannya pada tubuh Jung Gya.
Gya sudah tidak mampu melawan apabila Jeno sudah mula mengeluarkan ugutan begitu. Sedikit sebanyak ia merasa gentar dengan amaran Jeno. Cowok itu tidak pernah bermain main dengan kata katanya.
Dan pada akhirnya, Gya hanya pasrah dan mula berhenti memberontak. Ia mendongak memandang wajah Jeno yang sudah terlelap.
Kedua mata cowok itu terpejam erat bersama dadanya yang naik turun.
Debaran di dadanya dikawal sedaya upaya.
Ini pertama kali dirinya tidur dengan cowok yang bukan Gyo. Ia seakan akan tidak percaya dengan posisinya ketika ini. Apatah lagi yang sedang tidur di sebelahnya ini adalah Lee Jeno.
Tapi ketika tidur begini, Jeno tetap terlihat tampan. Yang berbeda, riak wajah cowok itu berubah lembut dan tenang. Bertentangan dengan Lee Jeno yang selama ini dikenalnya. Dingin, datar dan jutek.
Tidak butuh lama, kedua kelopak matanya memberat dan ia pun langsung tertidur di dalam dekapan hangat seorang Lee Jeno.
_____________________________________
"Gyo-ya. Jung Gyo!"
Menggelegar suara Jung Gya memanggil kembarnya yang tadinya tidak bisa ditemukan di kamar. Jeno juga sudah tiada di kasurnya tapi mobil cowok itu masih terparkir di depan pagar.
Tanpa mempedulikan rambutnya yang berantakan dan baju tidurnya yang masih belum berganti, ia berlari turun ke tingkat bawah rumahnya.
"Gyo-ya.." Panggilan nya memelan di hujung apabila menemukan sosok kembarannya yang duduk di meja makan berhadapan dengan Lee Jeno.
"Lo udah bangun?" Tegur Lee Jeno yang sedang enak menyantap ramen di atas meja.
"Si cacat ini ternyata pinter masak juga. Lumayanlah masakin gue ramen."
Jung Gya mendengus kasar lalu berjalan menuju ke meja makan. Pandangan nya tertuju pada Gyo yang sudah siap mengenakan seragam sekolah. Dan Jeno, mengenakan kaos yang sempat terlempar olehnya sebelum tidur semalam.
Di atas meja sendiri, ada satu panci yang isinya ramen dengan Lee Jeno yang makan tanpa mempedulikan suasana. Sementara Gyo hanya tertunduk dengan riak wajah takut takut.
Ah pasti kembaran Jung Gya itu kaget saat mendapati salah satu cowok yang paling ditakuti di Serim High berada di rumahnya.
"Kak Jeno ngapain belum pulang? Nggak sekolah? Atau mau ke sekolah cuman pake ini?" Soalnya tanpa mempedulikan kewujudan Lee Jeno di sana.
Sebaliknya, ia berjalan ke arah Gyo dan merapikan rambut kembarannya itu dengan kedua tangannya.
"Gyo naik dulu. Biar Gya aja yang nemenin dia makan." Singkat dan mudah arahannya yang langsung dilaksanakan Gyo tanpa bertanya lebih lanjut.
Meskipun banyak persoalan yang bermain di minda anak itu, seperti kedatangan Lee Jeno di rumahnya. Segalanya hanya dipendam dalam hati. Ia tidak punya nyali untuk mempersoalkan itu di hadapan Jeno.
Nanti saja saat ia tinggal berdua dengan kembarannya.
"Kak Jeno kenapa nggak pulang juga?" Soalnya seraya mencapai segelas air dari peti sejuk dan meneguknya sehingga tandas.
"Lo nyuruh gue pulang?"
"Iya! Ngapain juga lama lama di sini?"
Pertanyaan itu hanya umpama angin lalu sahaja apabila Jeno kembali menyambung kegiatan menyeruput ramen nya.
"Kembaran lo lumayan bisa masak juga. Hmm, gue liat, dia nggak secacat mana. So-so."
Gya merengus kasar, tidak suka dengan kata kata Jeno. "Kembar aku nggak cacat kayak yang Kak Jeno atau orang lain selalu bilang. Gyo cuman sakit. S.A.K.I.T"
Dari dulu, Gya selalu mengingatkan kepada semua orang kalau kembarnya tidak cacat. Gyo hanya sakit. Dan kerana itu juga Gya benci jika ada sesiapa yang merundung Gyo hanya kerana kekurangannya yang satu itu.
"Terserah. Kerana di mata orang orang yang sihat kayak gue, dia cacat."
Jeno mengakhiri kata katanya dan menyambung kembali kegiatan makannya.
Tadi pagi, ia terjaga di kasur Jung Gya dan merasa lapar. Sejak kemarin siang, ia tidak menjamah apa apa makanan. Ketika ia turun ke tingkat bawah tadi, kembaran Jung Gya sedang berada di dapur. Mungkin kerana cowok itu takut dengan kehadirannya, ia sukarela ingin memasakkan ramen untuknya.
Dan ia hanya mengiakan sahaja. Walaupun sebenarnya Jeno bukan orang yang suka makan mi segera, perutnya yang sudah lapar dan berkeroncong sudah pun minta diisi.
Sambil ditemani Jung Gya, Jeno menghabiskan satu paket ramen licin tanpa bersisa.
Mangkuk yang sudah kosong diletakkan di atas meja sebelum Gya bertindak bangun dan mencuci mangkuk bersama panci yang telah digunakan Jeno.
"Rumah lo lumayan cantik juga kalau dilihat waktu siang."
Jeno berkomentar sambil berjalan mengitari ruang rumah Jung Gya yang buat pertama kali dilihatnya pada waktu siang.
Selalu, ia hanya datang pada waktu malam dan ketika itu sudah tentu moodnya sedang buruk. Tiada kesempatan untuknya memerhati dengan teliti kondisi rumah cewek itu.
Ruang rumah sederhana dengan satu set perabot yang kelihatan lama. Tapi tetap memancarkan kehangatan. Ruang tamu ini tersambung dengan bahagian dapur. Nyaman dan selesa.
Perabot yang ada juga, tidak seribet perabot yang ada di rumah orang orang lain yang berkeluarga. Sebuah sofa panjang, satu sofa single, meja coffee yang menghadap ke arah televisi, juga satu almari berketinggian sedang menempatkan beberapa bingkai gambar.
Berbicara mengenai bingkai gambar, Jeno tertarik untuk melihat-lihat gambar gambar yang ada di sana.
"Ini gambar ibu lo?"
Gya menoleh sekilas ke arah Jeno. "Iya." Kemudian ia menyelesaikan cuciannya, meletakkan peralatan makan dan panci ke atas lemari pengering. Langkahnya tertuju semula ke arah Jeno yang ralit memerhatikan gambar keluarganya.
"Cantik." Kayak lo, cantik!
Pujian itu hanya mampu diberikan Jeno di dalam hatinya.
"Udah jam 8, emang nggak mau masuk sekolah nih?" Gya sengaja bertanya berharap agar Jeno akan segera sadar lalu berhenti melihat lihat foto keluarganya.
"Foto ayah lo mana?" Tanya Jeno kemudiannya. "Gue sama sekali nggak pernah liat bokap lo. Foto juga nggak ada. Dia ke mana?"
Jujur, sepanjang Jeno pacaran dengan Jung Gya, cewek itu sama sekali tidak pernah menyebut mengenai ayah cewek itu. Apatah lagi melihat wajah. Dan setahu Jeno, marga nama Jung yang digunakan kedua kembar itu juga diwarisi dari sebelah ibu.
Soalan ini yang sedaya upaya dielakkan oleh Jung Gya.
"Mending Kak Jeno pulang kalau nggak mau sekolah. Aku sama Gyo bakal berangkat sekolah sendiri."
"Kok pertanyaan gue nggak lo jawab?" Soal Jeno belum berpuas hati.
Bukannya ia tidak sadar kalau Jung Gya sedang mencuba mengalihkan perhatiannya daripada bertanya mengenai bokap cewek itu. Jeno juga tidak buta untuk tidak sadar kalau Jung Gya sedang mengepal tangannya yang diletakkan di atas sofa kuat.
"Ya udah kalau benar nggak mau sekolah aku naik ke atas dulu. Bye."
Gya mengelak lalu mula melangkah ke arah tangga rumah untuk naik ke tingkat atas.
"Tunggu!"
Serta merta Jeno menahan lengan cewek itu membuat Gya yang mulanya ingin menjejak anak tangga pertama langsung terhenti dan secara otomatis berpaling tubuh menghadap Jeno.
"Gue kusut liat rambut lo berantakan."
Jeno berbisik perlahan, merapikan beberapa helai rambut Jung Gya yang tidak beraturan dan menyisir surai hitam itu dengan jemari besarnya.
Sebenarnya dari tadi Jeno ingin melakukan itu tapi baru sekarang niatnya terlaksanakan.
"Lo siap. Gue tunggu." Jeno menyudahi kelakuannya lalu berjalan perlahan ke arah sofa.
"Kita ke sekolah barengan." Putusnya sambil melabuhkan punggung di sofa empuk. "Gue udah minta Mark bawain seragam sekolah gue juga. Mandinya nanti aja di sekolah."
Tanpa dipinta, Jeno menjelaskan dengan suara datarnya. Pandangan nya sama sekali tidak tertuju pada Jung Gya yang seakan akan terpaku di tepi tangga akibat perlakuan manis Jeno tadi.
Cowok itu duduk bersilang kaki lalu mengambil remote control guna untuk menghidupkan peti hitam tidak bernyawa di depannya.
_______________________________________
Jeno, kamu di mana sih? Gue telefon telefon nggak bisa. Malah kamu ninggalin aku di club bareng Mark semalam. Kamu di mana? Sama siapa?
Lia berbicara dengan resah di dalam hati. Langkah nya juga lunglai sebaik saja sampai di komplek sekolah.
Teman teman Jeno yang ditemuinya ketika di hadapan pagar sebelum masuk ke sekolah juga tidak mengetahui keberadaan Jeno ketika ini. Menurut mereka, sebaik saja Jeno pergi dari kelab semalam, cowok itu tidak dapat dihubungi sama sekali.
Ini pun, lagi 5 menit jam pertama bermula, Lia sama sekali tidak melihat kelibat Jeno memasuki kelas cowok itu yang terletak di seberang kelasnya.
Bermacam macam fikiran bermain di minda Lia ketika ini.
Tidak mungkin kan, Jeno berada bersama dengan...
Ahh! Cepat cepat fikiran itu dibuangnya dari terus terusan menghasutnya untuk berprasangka kepada Jeno.
Cowok itu sama sekali tidak akan bersikap seperti itu. Hanya dia!
Dia, Kim Lia. Gadis bertuah yang bisa memiliki Jeno sebagai tunangan. Satu-satunya gadis yang bisa menakluki dan membuat cowok terdingin di Serim High berjalan bergandengan tangan dengannya di sekolah. Satu-satunya cewek yang berada di dalam hati Lee Jeno.
Tiada gadis lain yang bisa menggugat posisi itu kini dan selamanya. Apatah lagi seorang gadis kampungan yang paling dibencinya itu!
Sama sekali bukan tandingannya.
Papp!
Tepukan lembut di bahunya membuat ia tersedar lalu menoleh ke sebelah kanan.
Dilihatnya sahabatnya Nancy yang baru saja mengambil tempat di sebelahnya sedang memandangnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Lagi nungguin Jeno ya? Dia belum datang juga?"
Tanpa sedar, hembusan nafas berat terlepas juga dari sepasang bibir tipisnya. Namun tidak lama kerana ia kembali memandang ke arah jendela yang selalu digunakannya untuk mengintai keberadaan Jeno.
"Gue udah selalu bilang sama lo Lia. Jangan lakuin itu sama sekali. Tapi lo keras kepala dan tetap aja maksa. Nah kan, sekarang lo juga kan yang pundung sendiri gara gara Jeno!"
Lia terpancing dengan kata kata banyak arti sahabatnya. "Maksud lo apa?" Soalnya bergedik kening.
Nancy yang sememangnya sudah merasa jelik dengan semua yang berlaku memutarkan bola matanya. Ia turut menghadap ke arah Lia.
"Ini masanya buat lo, nyuruh Jeno supaya ngelepas cewek sialan itu. Hentikan rencana lo untuk bikin dia menderita di tangan Jeno. Kerana dari apa yang gue lihat, cewek itu sama sekali nggak menderita Lia! Malah dia kelihatan bahagia dan happy banget kerana udah berjaya ngerebut semua perhatian orang."
Panjang lebar kata kata yang keluar dari bibir Nancy. Bersungguh-sungguh ia mencuba menyakinkan Kim Lia.
"Maksud lo, Jeno selingkuh gitu? Dia benar benar cinta sama anak haram itu? Gitu?"
Nancy menggeleng. "Bukan kayak gitu Lia tapi-"
"Atau lo bilang kek gini kerana lo sakit hati kan gara gara kejadian di vila Jaemin dulu? Lo cemburu kalau ternyata Jaemin yang selama ini lo incar, ternyata punya perasaan ke dia?"
Seperti belati, kata kata Lia ternyata bisa membuat Nancy telak. Cewek blasteran itu terdiam tidak terkutik di tempatnya. Wajahnya yang sedia putih itu bertukar merah padam. Tapi, kata kata Lia ada benarnya.
Nancy benar benar sedang berdendam dengan Jung Gya yang menjadi topik utama perdebatan mereka sejak tadi.
Nancy sudah lama menyimpan perasaan pada Jaemin, salah satu ahli geng Nevada yang juga sahabat baik Jeno. Dan Nancy kirakan, peluangnya untuk mendapatkan Jaemin terbuka luas kerana ia merupakan sahabat dari pacarnya Lee Jeno.
Namun semua impiannya musnah apabila melihat Jaemin yang memilih meninggalkan nya dan mengejar Jung Gya pada malam ia dilemparkan ke dalam kolam oleh Park Jihoon.
Tercalar sudah maruah yang selama ini dipertahankan nya di dalam Geng Arthdal. Selama ini, ia yang menyebarkan berita dalam geng Arthdal bahawa ia pacaran dengan Na Jaemin. Salah satu pria terpanas di kumpulan itu.
Namun, hanya kerana kehadiran tidak lama Jung Gya ke markas mereka, semua citranya musnah.
Malah kini, ia jadi bahan ejekan anak anak Arthdal.
"Please Lia, lo jangan ngawur dulu. Ia memang benar gue dendam sama dia gara gara itu. Tapi, dendam gue nggak bakalan sebesar dendam lo!"
Seolah olah sedang mengompori Lia, sengaja Nancy mengungkit rahsia terkelam hidup Lia untuk menutupi malunya.
"Harusnya lo ingat lagi apa yang dia dan bundanya lakuin ke keluarga lo. Ke mama lo. Nggak mungkin kan lo mau jadi mangsa kayak mama lo. Nggak mungkin kan lo bakal biarin Jeno dirampas dari lo persis gimana dia ngerampas kasih sayang papa dan kakak lo?"
Nancy ketika ini bukannya mencuba menenangkan perasaan Lia malah seakan akan sedang menuang minyak ke dalam hati yang sudah sedia terbakar.
Tangan Lia terkepal erat di bawah meja dengan riak wajahnya yang telah berubah tajam. Langsung hilang riak manis yang sering ditampilkan nya di hadapan semua orang ketika ini.
Bahkan sesiapa yang melihat wajah cewek itu ketika ini sama sekali nggak bakalan percaya kalau yang ada di hadapan mereka ketika ini benar benar Kim Lia.
Di lain sisi, Nancy bisa tersenyum menang melihat Lia yang mula termakan dengan kata katanya. Bisa dilihat dari reaksi tubuh cewek itu yang kelihatan tegang. Aura yang bermunculan juga terasa panas terbakar.
Come on, ini Nancy! Dia bukanlah cewek sembarangan yang hanya bisa mengalah apabila berada dalam situasi seperti ini.
Jika Lia ingin membuatnya panas, ia juga dengan mudah bisa membalik keadaan.
Kini lihat saja siapa yang sedang kepanasan.
"Lee Jeno jalan gandengan sama si bisu dan kembarannya!"
"Seriously? Mana! Mana? Gue mau liat!"
"Yang benar aja? O.M.G what's going on here?? Let me see it too! Ya ampun Lee Jeno benar benar udah gila ye!"
Tiba tiba berlaku keributan di sudut lain kelas. Murid-murid cewek sedang ricuh membicarakan sesuatu sambil berlarian untuk menjenguk ke koridor luar kelas.
"Ehh ehh, Dayoung. Anak-anak pada kenapa sih? Riuh amat?" Nancy yang panasaran tapi sedang malas untuk memeriksa sendiri pantas bertanya pada salah seorang rakan satu kelasnya.
"Itu! Jeno datang ke sekolah sambil gandengan sama Jung Gya! Mana jalannya gimbaran sama kembar cacat nya yang bisu itu lagi!" Dayoung bercerita dengan riuh.
"Wah! Parah banget si Jeno! Kirain cuman main main aja sama si miskin sama si bisu itu. Tapi kalau udah sampai jalan gimbaran itu, hmm nggak yakin deh gue si Jeno cuman main-main." Yoonbin yang duduk selang dua meja dari Nancy dan Lia itu juga ikut berkomentar.
"Apa nggak takut tuh, si Lia posisinya tergeser sama adik tingkat?" Sengaja Yoonbin menambahkan bara pada hati Lia.
"Gue dengar dengar juga, lo tunangan sama Jeno gara gara urusan keluarga juga kan?" Itu suara Sakura, gadis Jepang yang juga salah satu Geng Arthdal.
"Kalau dilihat-lihat, Jung Gya cantik juga. Pantas sama Jeno. Nggak mungkin kan, Jeno bawa dia ke markas kalau nggak serius. Wah! Saingan lo berat nih Lia." -Yuna.
Kata kata sindiran itu lagi lagi bergema di dalam kelas yang hanya ada empat cewek di dalamnya yang juga salah satu ahli Arthdal. Namun, Lia sama sekali tidak memberi respon.
Tatapannya hanya terarah pada Jeno yang mula masuk ke dalam kelasnya.
"Jaga bicaranya ya. Lia nggak bakalan kalah sama cewek murahan kayak gitu!" Nancy membela Lia. Tapi malah kekehan mengejek yang diterimanya.
"Lo juga nggak harusnya bangga diri lagi Nancy. Nggak ada jaminan juga kan? Apa lagi, Jaemin yang sering lo akui sebagai pacar itu juga, ternyata naksir sama dia. Huh! Masa kalah sama pelakor sih?! Haha!"
Nancy yang terasa sindiran itu ditujukan khas untuknya mula berdiri dan mendekati Joo Seokyung yang baru saja mengatakan komentar itu.
Baru saja ia ingin menghajar cewek itu, Lia sudah bangkit dari duduknya, menolak kasar kerusinya dan berlalu keluar dari kelas.
Bersambung...
Share this novel