•
•
•
Mungkin, kata bahagia itu gak akan pernah wujud dalam kisahku
-Jung Gya
•
•
•
"Lo mau makan apa nggak sih?! Apa lo mau mati kelaparan di sini?"
"Ckk! Terserah aku mau makan atau nggak! Kak Jeno gak usah ngatur-ngatur hidup aku!"
Jeno memijit pangkal hidungnya dengan jari telunjuk dan ibu jari. Matanya terpejam. Hampir mati akal membujuk Jung Gya menjamah makanan biarpun satu suap.
Tapi cewek itu tetap seperti tadi. Duduk bersidekap tubuh dan enggan membuka mulut sama sekali.
"Ya udah! Terserah!" Jeno putus asa. Kedua tangannya terangkat tanda menyerah.
Lelah, lemah, lesu melayani kerenah Jung Gya yang benar-benar bikin pusing kepala. Sungguh lain daripada cewek itu empat tahun lalu. Gadisnya yang manis, penurut dan patuh tidak ada lagi.
Yang ada kini hanya Jung Gya yang memberontak, agresif dan bar-bar.
Entah apa saja yang dilakukan Park Jihoon pada gadisnya ini.
(Jihoon belike: LAH KOK GUE?!! GUE AJA CUMAN BERAPA KALI MUNCUL DI CERITA INI
~hehe maafin author ya Hoon. Sapa kangen Jihoon?=?~)
"Terus mau lo sekarang apa? Bilang sini, gue bakal penuhin dan setelah itu lo makan." Jeno memujuk namun suaranya tidak seperti orang memujuk.
Malah lebih mirip seperti ugutan.
"Hantar. Aku. Pulang." Beritahu Jung Gya dengan penuh penekanan pada setiap perkataan.
Seketika wajah Jeno berubah datar. Tadi wajahnya emang benar-benar sudah datar dan kini kian bertambah-tambah setelah mendengar permintaan Jung Gya.
"Ya udah terserah lo!" Akhirnya cowok itu bangkit dari kerusi miliknya dan berjalan menuju pintu kamar. Tidak lupa, ia mengambil gugusan kunci yang berada di atas nakas dan memasukkan ke dalam saku.
"Tapi ingat! Lo jangan berani-berani lari dari gue kalau lo gak mau hal buruk terjadi sama lo." Pesan cowok itu sebelum menutup pintu kamar.
Gya menatap daun pintu dengan tatapan berharap.
Ceklekk
Sekali lagi, harapan Jung Gya musnah begitu saja saat bunyi pintu dikunci kedengaran dari luar.
Iya, Jeno menguncinya di dalam kamar.
"Arghh!" Gya berteriak frustai dengan keadaannya ketika ini.
Ini sudah hampir dua hari Gya 'dikurung' di sini. Di sebuah mansion yang terletak di Busan. Entah, ia sendiri tidak tahu mansion milik siapa. Yang penting, Jeno langsung membawanya ke sini tanpa permisi.
Bahkan tanpa mengizinkan Jung Gya memberikan kabar kepada Yuqi yang pasti sedang kalut mencari keberadaannya. Semoga saja Yuqi yang heboh itu tidak bertindak keterlaluan.
Menelefon FBI contohnya.
Ahh, pedulikan itu semua. Sekarang, Gya hanya perlu mencari cara agar bisa terlepas dari kurungan Lee Jeno.
Huh, apa cowok itu mengira dia Jung Gya yang dulu? Yang hanya akan patuh dan diam saat ditindas? Percayalah, dirinya yang empat tahun dulu benar-benar sudah tiada.
Itu, hanya satu topeng kebohongan yang ditampilkannya. Seperti kata bundanya, kadangkala, demi orang yang kita sayang, kita harus bijak bila saatnya menjadi lemah. Dan harus tahu, bila saatnya menjadi kuat.
Gyo sudah tenang di sana. Tiada siapa lagi yang akan menyakiti kembarnya itu lagi. Dan topeng yang digunakannya itu juga sudah bisa dilepaskan.
Perlahan, kakinya menjejak ke arah balkoni kamarnya yang berada di tingkat dua.
Sangkaannya, Jeno bijak kerana menguncinya di dalam kamar. Namun, ternyata, pria itu lupa dengan satu tempat. Jendela kamar.
Itu bakal jadi route melepaskan diri yang sempurna buat Jung Gya.
Perlahan, akal lincahnya membuka pintu jendela. Dengan ketinggian lebih kurang 60 meter, Gya melihat ke halaman belakang. Ada satu sangkar kosong yang besar di sana. Entah untuk menyimpan apa.
Dan juga di sudut kanan, ada satu pintu keluar yang bahkan jika harus dipanjat pun, ia bisa.
Selimut yang ada di atas kasur dicapai. Tangannya mencapai gunting dan menggunting selimut itu menjadi dua.
Kemudian, ia kembali melangkah ke arah jendela. Mengikat hujung selimut yang sudah disimpul pada bingkai jendela dan menghulurkan hujung satunya keluar dari jendela.
Dih, kirain aku gak berani kabur dari dia? Bisa kali!
Cewek itu bersorak di dalam hati saat ia berjaya menempatkan diri ke luar jendela dengan posisi kedua tangan memegang selimut dan kedua telapak kaki yang menjejak dinding.
Dan dalam hitungan detik, Gya berjaya turun ke bawah tanpa dikesan oleh pengikut Jeno yang berada di luar pintu kamarnya.
Brukkkk
"Auch!" Gya meringis pelan merasakan pinggangnya yang seakan-akan patah setelah jatuh terjerembab dari ketinggian 20 meter yang tidak tertampungi oleh tali andalannya itu.
Mujur saja kawasan halaman belakang ini tidak diawasi oleh penjaga.
Meneguhkan kakinya, Gya bangun dan dengan pantas berlari menuju ke arah pintu tanpa menyedari ada satu makhluk yang sedang menatapnya lapar dari arah belakang.
"Shit! Kok dikunci sih?"
Tanpa menoleh ke belakang, cewek itu menyumpahi pintu yang ternyata dikunci. Dan jika dilihat dari sini, ternyata pintu itu cukup tinggi hingga akan sulit untuk dipanjat.
"Ah! Bodo amat! Gue gak peduli!"
Tanpa ancang-ancang, Jung Gya yang hanya mengenakan daster hingga paras bawah lutut itu menyingkap sedikit hujung daster dari sebelah kiri dan meletakkan kakinya pada ruang kecil pada pintu.
Gya sudah nekad untuk memanjat pintu. Mumpung belum ada satu pun orang rumah ini yang sedar atas kehilangan dirinya.
Tapi sepertinya, Dewi Fortuna tidak berpihak padanya hari ini apabila percubaannya langsung gagal bersamaan tubuhnya yang lagi-lagi jatuh menyembah bumi.
Kali ini, bahagian bahu kanannya terluka membuatnya meringis kesakitan.
Seketika Gya merutuk sebal. Dirinya sudah hampir berjaya keluar tapi harus terpaksa menerima kegagalan lagi. Tidak mungkin kan ia masuk kembali ke dalam rumah seakan-akan tidak ada apa-apa yang berlaku.
"Grrr..."
Seketika, darahnya berdesir kuat saat telinganya menangkap suara eraman yang sungguh berbeda. Pergerakan tangannya sontak terhenti.
Ludah ditelan kesat namun ia masih belum berani memandang ke belakang.
Sangkar kurungan besar yang ada berhampiran dengan dirinya dipandang sekilas. Gya mendapati ada satu potongan daging besar yang sudah tinggal separuh di dalam sangkar.
Kali ini, ia tidak bisa berbohong. Ada sesuatu yang aneh di belakangnya saat ini.
Satu yang pasti, di belakangnya ini bukan manusia melainkan....
"ARGHH!!"
Kali ini, Gya benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa paniknya saat tubuhnya diputarkan menghadap hadapan.
Seekor anjing besar yang mirip serigala sedang menatapnya tajam. Tubuhnya cukup besar bagi ukuran seekor anjing. Dengan air liur yang menetes, mengalir melalui celah-celah gigi taringnya yang kelihatan tajam.
Dan satu hal yang pasti, sepertinya anjing itu tidak bisa dikatakan sebagai anjing jinak dilihat dari riak wajahnya ketika ini.
"Grrr..."
"J-jangan... jangan..."
Bibirnya kaku. Bahkan untuk meminta tolong juga ia tidak mampu. Fiziknya seakan-akan terkunci di saat itu juga. Kerongkongnya mendadak kesat.
Bersamaan dengan debar di dadanya yang semakin gemuruh, haiwan besar di depannya itu mula mengambil langkah maju.
"K-kak Jeno... Kak... Tolong, Gya.."
Seharusnya suara yang keluar dalam bentuk jeritan tapi nihil. Yang ada malah ia seperti bicara sendiri.
Air matanya mula mengalir dari dua sisi matanya. Tidak mungkin ia akan mati hari ini kan? Dan yang parahnya, menjadi mangsa bahaman haiwan liar.
Melihat dirinya yang ketakutan malah semakin membuat haiwan di depannya itu senang. Ia sudah mula menundukkan tubuh. Bersedia untuk menyerang dengan mulut yang menyeringai.
"Kak Jeno!!" Gya berteriak nyaring melaungkan nama Lee Jeno kuat saat anjing itu melompat tinggi dan menerkam ke arahnya. Berharap agar cowok itu datang dan menyelamatkannya.
Refleks kedua lengannya menutupi bahagian kepala.
Sungguh ini benar-benar karma untuknya kerana udah ngelawan kata-kata Jeno. Dan mungkin hari ini juga hari terakhirnya hidup kerana setelah ini ia akan menjadi santapan anjing liar.
Tapi yang anehnya, biarpun haiwan liar itu sudah menerkam, Gya tidak merasakan adanya serangan yang terjadi padanya. Bunyi eraman itu juga menghilang dari pendengarannya.
Perlahan-lahan, tangannya diturunkan dari depan wajah.
Apa yang membuatnya kaget saat ini adalah Jeno yang sedang menahan anjing liar itu daripada menerkamnya. Lengannya mengunci tubuh haiwan besar itu.
Seketika mereka berpandangan dengan posisi Jeno yang masih sama sebelum Jeno mengalihkan pandangannya, melaungkan nama Sungchan dari dalam. Wajah cowok itu sudah memerah kerana harus menahan tubuh haiwan liar yang besarnya bahkan menyamai seorang lelaki dewasa.
Dan, Jeno menahan tubuh anjing itu hanya dengan sebelah tangannya.
Seketika kemudian, Sungchan keluar bersama berangus di tangannya. Dua orang pengawal bertubuh besar ikut di belakang cowok itu bersama alat penjinak haiwan.
Dalam sekelip mata, bisa Gya lihat kalau ketiga orang itu mengambil alih anjing yang ada pada Jeno dan memulakan misi untuk menjinakkan.
"Kurung Rocky! Jangan sampai dia keluar lagi! Kalau nggak kalian semua yang gue habisin!" Suara garau itu terdengar menyeramkan di telinga Jung Gya yang masih bergulat dengan sisa air matanya.
Selesai mengeskekuasi Rocky, cowok itu berdiri. Kini tatapan tajamnya tidak lepas memandangi sosok berkaki polos yang masih terduduk dengan luka bahu yang besar dan berdarah.
Tanpa suara, tangan kanannya terulur ke bawah lutut Jung Gya dan sebelah lagi menahan tubuh belakang. Dalam sekali kaut, tubuh itu sudah berada dalam gendongannya.
Kakinya melangkah masuk ke dalam mansion dan menaiki anak tangga satu persatu.
Membawa Gya yang masih terdiam dalam dekapannya kembali ke dalam kamar.
Sepanjang perjalanan, pria itu sama sekali tidak buka suara. Membuat Gya seketika merinding dan hanya mampu mengalungkan kedua tangannya ke leher Jeno. Ia tidak berani melakukan tindakan melarikan diri lainnya.
Ia tidak akan mencabar cowok itu. Siapa tahu kalau tiba-tiba dirinya dilempar oleh cowok itu? Bisa berabe kan?
Sungguh, Jeno yang mendiamkan diri seperti ini sebenarnya lebih menakutkan daripada ketika cowok itu buka suara.
Iya, Jung Gya sedang takut. Dia mengakui itu kali ini.
Brakkk
Deg!
Sekeping jantungnya seakan-akan hampir copot apabila Jeno bertindak membanting pintu kamar setelah meletakkannya di atas kasur.
Jeno hanya menyelonong keluar. Meninggalkan dirinya terpinga-pinga sendiri.
Gya terdiam, bibirnya tertutup rapat. Jeno benar-benar marah ketika ini. Al hasil, dia hanya mampu menundukkan kepala, merenung kepalan tangannya sendiri.
"Sebesar itu rasa benci lo ke gue? Sampai lo lebih sanggup dimakan sama anjing di luar sana daripada gue suapin makan? Hah?" Suara ketus itu menusuk pendengaran Jung Gya.
Entah sejak kapan, Jeno sudah kembali lagi ke dalam kamarnya. Berdiri di depan pintu yang kembali tertutup rapat bersama kotak p3k di tangannya.
Gya tidak menjawab atau sebenarnya tidak berani menjawab soalan cowok itu. Kata-kata Jeno benar adanya.
Detik kemudian, cowok itu sudah berdiri tepat di depannya yang masih mendiamkan diri. Di tangan cowok itu sendiri sudah ada antiseptik dan plaster untuk luka.
Tanpa suara, tangannya ditarik untuk segera berdiri.
Belum sempat melontarkan protes, bibirnya kembali tertutup saat merasakan tubuhnya dibawa ke pangkuan cowok itu dalam posisi menyamping ke kanan.
Tubuhnya hampir terjengkal ke belakang namun segera ditahan dengan telapak tangan Jeno. Bahagian bahunya yang terluka berada dekat dengan wajah Jeno yang kini sedang memangkunya sembari duduk di atas kerusi.
"Keras kepala! Udah dibilangin duduk diam di kamar, masih aja cari cara buat kabur!" Suara garau itu kembali berbisik namun kedengaran jelas di telinga Jung Gya.
Srettt
"Akhh!"
Jung Gya terjerit kaget saat pakaian di bahagian bahunya dirobek kasar oleh Jeno. Spontan, ia mengalungkan tangannya pada leher cowok itu.
Hening. Keduanya mendiamkan diri setelah itu.
Gya hanya memerhatikan gerakan tangan itu mengobati luka di bahunya. Sesekali ia meringis saat merasakan pedih pada lukanya terkena putik kapas yang dicelupkan dengan antiseptik.
"Tahan bentar bisa gak sih?" Jeno berbisik rendah.
"Lo gak mau gue cebol di sini sekarang kan?"
Sebelah tangannya yang tadi menahan belakang Jung Gya berpindah mencengkeram pinggang gadis itu. Menghalangnya agar tidak bergerak sembarangan dan membangunkan sesuatu di bawah sana.
Percayalah tika ini Jeno sedang menahan diri daripada berfikiran yang tidak-tidak.
Sementara Jung Gya, ia semakin tidak bisa berkata-kata. Bahkan bernafas saja sangat sulit tika ini. Dia tidak terlalu bodoh untuk tidak memahami maksud kata-kata cowok itu tentang sesuatu.
Sedaya-upaya, ia patuh pada perintah Jeno untuk tidak bergerak sembarangan. Kepalanya memandang ke tepi dengan tangan yang terkepal erat menahan rasa perih pada bahunya yang terluka.
Selesai mengobati dan menampalkan plaster pada bahu Gya, Jeno memindahkan tubuh itu untuk didudukkan kembali di hujung ranjang.
Tanpa menoleh sekilas pun, ia mengemas segala peralatan yang digunakan tadi. Membuang kapas yang merah berdarah ke dalam tong sampah di hujung kamar.
Semuanya dikerjakan tanpa berbicara sepatah pun yang mana semakin membuat Gya kebingungan sendiri. Sepertinya Jeno benar-benar marah padanya kerana tindakannya tadi.
Menyedari Jeno yang akan melangkah pergi, pantas lengan cowok itu dicapai. Menghalang cowok itu daripada meneruskan langkah.
"Hmm?" Deheman perlahan kedengaran.
Gya menelan ludah susah payah, genggaman tangannya dieratkan. Perlahan bibirnya mula terbuka untuk berbicara.
"Aku..."
__________________________________________________
Gya menggeleng pelan, menolak desakan sudu yang singgah pada bibirnya. Jeno menaikkan satu alis.
"Gak mau lagi." Cewek itu menggeleng. Tanda tidak mahu lagi memakan makanan yang sedari tadi disuapi Jeno padanya.
Iya, cewek itu meminta makan tadi.
Meletakkan kembali piring yang sudah licin, Jeno mencapai gelas berisi air di atas nakas. Menghulurkan pada Gya dan menunggu gadis itu habis minum.
Setelahnya, Jeno mengambil semula gelas. Menyimpan semula di atas nakas sebelum kembali memusatkan seluruh perhatiannya pada Jung Gya yang sedang berdiam diri.
Posisinya kekal seperti awal tadi. Diam dan sama sekali tidak banyak kerenah. Bahkan Jeno sendiri sampai terhairan-hairan. Apakah seberkesan ini impak bertemu dengan Rocky di kandang anjing serigalanya itu? Hingga membuat Jung Gya terdiam seribu bahasa.
Lagi sekali, Jeno terjingkat kaget saat gadis yang sedang menggenggam tangannya itu tiba-tiba bangun dan memeluknya. Melingkarkan lengan pada pinggangnya erat.
"Hiks... Hiks... Hikss..."
Eh? Ia sedang tidak salah dengar kan sekarang? Jung Gya menangis?
Iya, gadisnya itu sedang menangis. Jelas terlihat dari bahunya yang terhinjut bersama isakan yang keluar dari bibirnya. Jeno menahan senyuman yang sudah tidak bisa ia sembunyikan dari tadi.
"Hei, kok nangis?"
"A-aku...takut. T-takut...dimakan an-anjing tadi."
Sekali lagi, Jeno tidak bisa menahan tawanya. Kekehan kecil terlepas begitu saja dari sepasang bibirnya. Namun pantas disamarkan dengan membalas kembali pelukan Jung Gya di tubuhnya.
Telapak tangannya yang besar, mengusap belakang kepala Gya lembut. Sesekali menyusupkan hidung mancungnya di sela-sela rambut hitam panjang itu.
Ah, ternyata tidak ada yang berubah dari gadis ini.
Aroma rambutnya, bau tubuhnya, semua masih sama seperti dulu. Hanya kelakuan gadis itu saja yang tambah menggemaskan.
Syukurlah Jihoon tidak mengubah Jung Gya menjadi sosok gadis lain.
(Jihoon: NAH! GUE LAGI GUE LAGI!)
"Aku janji gak bakalan lari lagi. Aku bakal dengerin semua kata Kak Jeno. Tapi jangan kasih aku ke anjing itu ya. Aku takut. Takut banget. Anjingnya galak. Kayak Kak Jeno."
Ayat terakhir itu hanya bisikan batin Jung Gya semata-mata. Tidak mungkin kan, ia berbicara begitu tepat pada wajah yang punya badan? Bisa-bisa dia benar-benar dilempar keluar jendela.
Setelahnya, keduanya hanya diam membisu dalam posisi begitu.
Entah, mungkin keduanya sedang melampiaskan rindu yang sekian lama terpendam dalam diri masing-masing.
Jeno, dengan kerinduannya pada Jung Gya yang sempat ia sia-siakan hidupnya. Bahkan perpisahan terpaksa mereka berlangsung dengan tidak manis.
Dan bagi Jung Gya sendiri, sepanjang hidupnya, Jeno adalah pengalaman cinta pertamanya. Yah, walaupun tidak bisa terbilang manis tapi cowok itu pernah hadir menghiasi hari-harinya. Hanya cowok itu yang bisa membuat harinya berwarna-warni.
Lalu bagaimana dengan kematian Gyo? Adakah ia lupa?
Sama sekali tidak. Kepergian Gyo masih satu tamparan terbesar baginya. Fakta bahawa kembarannya itu meninggal akibat ulah musuh Lee Jeno, itu benar. Tapi Gya juga tidak mampu menidakkan fakta bahawa cowok itu jugalah yang melindungi mereka.
Pada saat itu, Gya hanya terlalu dibutakan dengan rasa sakit kehilangannya sehingga ia tidak bisa melihat itu semua.
"Hey..." Jeno memanggil, terlebih dahulu melepaskan pelukan, menangkup kedua rahang kecil itu dengan telapak tangannya.
Menatap langsung ke dalam sepasang netra gelap yang juga sedang menatapnya.
Seketika, muncul idea bernas dari kepalanya.
"Maaf, kalau gue kasar sama lo." Jemarinya naik menghapus sisa air mata di kedua belah pipi gembul Gya. Kemudian bergerak menyempilkan helaian rambut yang terurai ke belakang telinga.
Gya merinding saat merasakan elusan lembut pada telinganya. Itu tempat sensitifnya. Refleks, ia memejamkan mata menikmati sentuhan jemari kasar Jeno di pinggir telinganya.
Melihat sepasang mata Jung Gya yang mula terpejam, Jeno menarik hujung bibirnya ke tepi. Mula mendekatkan kepalanya pada Jung Gya yang masih mendongak menghadap ke arahnya.
Automatis, kedua kening Jung Gya berkerut merasakan tamparan nafas lembut yang semakin mendekati wajahnya.
Deg
Deg
Deg
Jantungnya berdegup tidak beraturan bersama batinnya yang tidak henti-henti berhitung di dalam hati.
Namun tiba-tiba, deruan nafas Jeno terasa berhenti beberapa senti dari wajahnya.
Aip? Apa ini?
Perlahan, Gya memberanikan diri membuka sebelah matanya bagi melihat apa yang dilakukan pria di depannya ini.
"Ada nasi nempel di bibir lo." Jeno mengelap sudut bibir Jung Gya dengan ibu jarinya yang masih berada pada rahang gadis itu.
Oh my God! Mata Jung Gya membulat sempurna. Tidak percaya dengan kata-kata yang barusan keluar dari pria itu sendiri.
J-jadi? Tadi... Jeno bukan mau men—
Tidak! Dengan pantas, gadis itu meleraikan pelukan nya pada tubuh Jeno. Menolak dada cowok itu menjauhinya sebelum berlari masuk ke dalam kamar mandi.
Brakkkk
Pintu kamar mandi terbanting begitu saja bersamaan Jung Gya yang menghilang di sebalik pintu.
Jeno cekikikan melihat reaksi Gya yang malu-malu. Kedengaran bunyi keran air mengalir di wastafel.
Kakinya melangkah mendekati kamar mandi. Tubuhnya disandarkan pada pintu sebelum mengetuk pintu kamar beberapa kali yang disambut deheman dari Jung Gya.
"Lo sebenarnya suka kan kalau gue cium?" Ledek cowok dari luar pintu. Bibirnya tidak henti-henti menyungging senyum. Mungkin ini adalah senyuman terlebarnya empat tahun belakangan ini.
Bahkan kedua matanya sampai menghilang saking lebarnya senyuman cowok itu.
Jika kalian bisa melihat reaksinya tika ini, kalian pasti tidak akan menyangka, Lee Jeno yang sedang berdiri di depan pintu ini adalah pria sama yang menahan badan seekor anjing serigala besar di kandang belakang tadi.
"Mulut aja bilang gak suka, gak mau. Tapi ternyata lo nungguin ciuman gue kan babe?" Jeno masih belum puas selagi tidak mendengar balasan gadis itu.
"Gak papa sayang, setelah ini gue bisa kasih lo ciuman yang lebih nikmat daripada ini. Bonus hot plus-plus lagi. Jadi, malam ini lo tinggal tungg—"
"LEE JENOOOO DIEMMMM!!"
Nah itu dia yang ditunggu-tunggunya dari tadi. Teriakan kuat Gya akhirnya kedengaran dari dalam kamar mandi. Bahkan mungkin para maid yang berada di dapur bisa mendengar suara gadis itu.
"Tapi, gue bel—"
"UDAH KAK JENOO MENDING KELUAR DEHH!!"
Jeno ketawa besar, getaran pada ponselnya memaksa cowok itu untuk beranjak dari sana. Seulas nama terpapar pada layar yang langsung menarik atensinya.
Renjun calling...
Ada apa sahabatnya itu menelefonnya ketika ini? Tidak biasanya.
Mahu tak mahu, Jeno berjalan menuju keluar kamar Jung Gya. Ia akan menelefon Renjun semula diluar.
"AAAAA MALUUUU!! SUMPAHHH MALUU-MALUUUIINN BANGETT"
Sebelum keluar, lagi-lagi Jeno tersenyum lebar mendengar pekikan Jung Gya yang masih belum bisa lepas dari momen memalukan mereka tadi.
______________________________________________________
"Lo harus bisa milih antara salah satu Jen. Ah—bukan lagi harus. MESTI! Lo mesti pilih salah satu! Jung Gya atau Kim Lia. Cukup! Cukup dengan permainan gila lo! Tanpa lo sadar, lo sedang bermain dengan dua hati! Dua hati Jeno!"
Pria dengan sweater biru muda itu mula kehilangan kesabaran. Sebelah tangannya memegang ponsel yang masih ditekap ke telinga sementara sebelah lagi memijat dahi lebarnya.
"Hello?! Jeno?! Hello, Lee Jeno?!"
"Aaachhhhh!!"
Pria itu berteriak kesal. Taliannya diputuskan secara sepihak. Membuat amarah nya naik hingga ke ubun-ubun. Tak ayal, benda pipih berwarna hitam itu dibanting kasar ke dinding vila mewah itu.
"Benar-benar Lee Jeno!" Sungguh ia tidak bisa menahan rasa kesalnya yang membuncah.
Jika saja pria itu kini ada di depan matanya, akan dipastikan cowok itu sudah tepar meregang nyawa minta diampunkan. Bagaimana bisa ia bermain dengan dua gadis sekaligus?
Dadanya turun naik dengan nafas yang tersengal.
Diam-diam, ada sepasang mata yang memandang cowok itu dari sebalik dinding. Matanya penuh dengan sorot kesedihan. Sementara di tangannya sendiri, memegang dulang yang berisi makanan dan obat-obatan.
Pria yang menyedari kehadiran seseorang itu membuka mata, memandang ke arah tempatnya berdiri.
"Ada apa bik?" Soalnya dengan suara lembut. Tiada lagi nada kekesalan apatah lagi kemarahan dalam intonasinya.
"Ini den. Nona muda belum juga mau makan." Wanita tua berstatus pembantu itu buka suara.
"Dari tadi dia hanya menangis dan manggil-manggil nama Tuan Jeno. Bibik sama pembantu lain juga sampai mati akal mau mujuknya gimana."
Beritahu wanita itu tanpa diperintah.
Helaan nafas berat terdengar dari bibir sang lawan bicara. Dia tahu, suatu hari nanti, situasinya akan jadi seperti ini. Sudah tidak hairan lagi.
Dengan kelakuan bajingan Lee Jeno, dia tahu, akan banyak pihak yang terluka. Dan salah satunya sudah pasti, pemilik suara yang sedang mengamuk di dalam kamarnya ketika ini.
"Ya udah, sini bik. Biar saya aja." Putusnya, mengambil alih dulang di tangan wanita tua itu lalu berjalan perlahan menuju ke kamar yang pintunya sedikit terbuka.
Gerak langkah kakinya benar-benar terlihat nyaman seolah-olah ia sudah terbiasa berada di vila mewah itu.
"Gue gak mau sama kalian! Gue cuman mau Jeno! Bawa dia ke sini sekarang! Panggil Jeno pulang!"
Sebaik saja menapakkan kaki ke dalam, suara bentakan itu adalah yang pertama menyapa gegendang telinganya. Pria itu meringis, melihat kondisi seseorang yang sedang berada di atas kasur dengan posisi berantakan.
Beberapa pelayan kelihatan serba salah berdiri mengelilingi kasur nona muda mereka yang sedang tantrum. Lengkap satu pakej dengan mogok dan teriakan yang tidak kunjung henti.
Menyedari kehadirannya di ambang pintu, gadis itu memusatkan pandangan. Senyuman gembira kembali terukir di bibirnya.
"Udah bisa hubungin Jeno? Dia jawab kan? Dia pulang kan? Iya kan Jun?"
Gadis itu, Kim Lia bertanya pada pria yang sedang berdiri tegak di depannya. Kelihatan sekali kalau gadis itu tercari-cari dan mengharapkan kehadiran Jeno di sini.
Renjun menghela nafas berat. Melangkah masuk mendekati kasur yang diduduki Lia lalu mengisyaratkan para pembantu untuk keluar, meninggalkan nya berdua bersama Lia.
Sontak arahan Renjun dipatuhi para pembantu. Mereka menunduk dan mengundur diri. Tidak lupa menutup pintu kamar.
Kini, hanya tersisa Renjun dan Lia di dalam kamar.
"Gimana Jun? Jeno bisa ditelefon kan? Dia bales pesanan lo kan? Dia pulang kan?"
Pertanyaan bertubi-tubi terus dilontarkan Kim Lia pada Renjun yang mula meletakkan dulang pada nakas. Mengambil pinggan dan kembali duduk di sisi kasurnya.
"Makan dulu. Setelah itu, baru gue jawab soalan lo."
Seakan-akan anak kecil yang patuh, Lia menganggukkan kepala beberapa kali. Gadis itu sudah mula membetulkan duduk dan membuka mulut saat Renjun mula menyuapinya.
Satu suap...
Dua suap...
Tiga suap...
Lia terus-terusan membuka mulutnya, menerima dengan pasrah makanan yang disodorkan Renjun. Tak butuh waktu lama, makanan di atas piring langsung habis.
"Renjun-ah, Renjun-ah! Jeno mana? Jeno mana?"
Masih tak menggubris pertanyaan Lia, cowok berketurunan Tiongkok itu mula mengambil beberapa biji pil yang sengaja diletakkan di piring kecil.
Hah, lagi-lagi, cowok itu menghela nafas berat. Menatap pada pil yang berjumlah 10 kapsul itu. Bergantian dengan Kim Lia.
Lia menanti dengan penuh sabar agar cowok itu memberikannya obat. Sepasang mata indahnya kelihatan bersinar menatap Renjun polos.
"Kenapa?" Soal Lia saat Renjun tidak kunjung memberikan obatnya malah tangannya menggenggam kapsul itu kuat seakan-akan menumpahkan segala kekesalannya.
"Lo gak butuh obat-obat ini semua! Cukup!"
"Yahhh Huang Renjun! Kenapa lo buang obat gue!"
Lia terpekik nyaring saat Renjun bertindak membaling kesemua obatnya ke luar jendela kamar. Habis obat-obatan itu lenyap ditelan kegelapan malam atau bahkan sudah terjatuh ke dalam semak.
Saat ia berbalik tubuh, Renjun bisa melihat Kim Lia yang menatapnya nyalang dengan wajah bengis.
Belum beberapa saat, mendadak Lia bangun dari kasurnya, meluru ke meja riasnya. Dengan cepat juga, cewek itu mengeluarkan beberapa botol obat.
"Bodoh! Kenapa lo buang obat itu! Itu obat gue bajingan! Obat gue! Gue harus makan obat itu buat sembuh!"
Tergesa-gesa, tangan itu mengeluarkan beberapa biji obat. Menuangnya ke tangan sehingga beberapa butir berjatuhan ke lantai.
Lia hampir menelan kesemua obat itu sebelum Renjun bertindak pantas, mencekal tangan Lia demi menghalang tindakannya.
"Lo kenapa sih?!" Bentak Lia kasar.
"Elo yang kenapa!" Suara Renjun kembali kedengaran membalas tak kurang ketusnya.
"Lo gak butuh obat, Lia! Lo gak perlu semua ini! Lo gak—"
"Diam!"
Perkataan Renjun tertahan di hujung bibir apabila Lia meletakkan telunjuknya di bibir cowok itu.
"Lo gak tau apa-apa jadi lo diam! Jangan bicara!"
"Gue butuh obat ini! Gue perlu makan obat ini! Lo gak bakalan ngerti gimana pentingnya obat ini buat gue! Gue sakit! Sakit Jun!"
"Lo gak sakit!!"
Perdebatan kembali terjadi antara dua orang yang berada dalam kamar itu. Renjun dan Lia, keduanya sama-sama tidak mahu mengalah.
"Salah! Gue sakit!! Gue masih sakit!! Ahh—nggak nggak! Gue perlu sakittt!! Gue harus sakit!!"
Lagi-lagi Lia berteriak kasar. Tangannya mengacak-acak rambutnya hingga kusut. Pegangan Renjun berjaya dilepaskannya dan kembali, ia menelan satu genggam obat yang ada di tangannya.
Lancar obat-obatan berbentuk kapsul itu dikunyah rakus olehnya di hadapan mata Renjun.
Cowok itu sudah speechless melihat Lia yang kini seperti orang kesetanan. Gadis itu terduduk di karpet kamarnya bersama mulut yang masih mengunyah obat tadi.
Tatapannya polos ke hadapan seolah-olah perdebatan gilanya bersama Renjun tadi tidak pernah terjadi.
"Haachhh!!"
Lagi-lagi, Renjun berteriak kesal. Kesal dengan Kim Lia! Kesal dengan Lee Jeno! Kesal dengan keadaan dan bahkan merasa kesal dengan dirinya sendiri.
Suasana kamar itu kembali hening. Suara jeritan tadi sudah tidak kedengaran bersama Lia yang sudah tenang.
Perlahan, Renjun mendekati tubuh itu dari belakang. Mengangkatnya dengan mudah dan kembali dibaringkan di kasur.
Cowok itu mengurus Lia dengan telaten seolah-olah ia tidak merasa canggung sekali. Keberadaannya terlihat nyaman dilihat di kamar Kim Lia. Persis seperti dirinya sudah biasa ada di sana.
"Kalau gue sakit, gue bisa bikin mama dan papa sayang sama gue. Gue juga bisa bikin Jeno kekal di sisi gue. Semua orang bakal sayang dan cinta sama gue kalau gue sakit!"
Cewek itu bicara perlahan. Kedengaran perlahan dan membawa maksud yang sangat mendalam. Matanya menatap Renjun yang masih berada di sisinya.
"Hanya itu satu-satunya cara, buat gue pertahanin kebahagiaan gue. Hanya itu caranya supaya dia gak bisa ngerampas milik gue. Hanya itu!" Timpalnya lagi kemudian.
Renjun membalas tatapan Lia penuh erti. Selimut gadis itu ditarik hingga menyelimuti tubuh kecil itu. Tubuh yang sama rapuhnya dengan sekeping hati gadis itu sendiri.
Perlahan, Lia mula menutup matanya. Masuk ke alam mimpi.
Senyum tipis mula merekah pada sepasang bibir Renjun. Kepalanya ditundukkan sebelum mengecup lembut dahi gadis kesayangannya itu. Diakhiri dengan usapan lembut yang menenangkan.
"Tanpa lo harus sakit dulu pun, gue tetap sayang lo, Lia. Gue bakal selalu ada di sisi lo bahkan saat semua orang memilih untuk pergi. Dari dulu, perasaan gue gak pernah berubah buat lo. Ingat itu!"
Setelahnya, Renjun bangun dari kasur dan menutup lampu kamar. Tanpa membuat bunyi, ia menutup pintu kamar Lia.
Bersambung....
Woahhh woahhh!!
Di chapter sebelum-sebelum nya kan pernah bilang kalau Renjun itu gak suka sama Lia. Tapi kok sekarang?
Jeng jeng jengg
Panasaran gak guys????????
Lanjut gak nih? Yuhuuu.
Kalau kalian tanya apa cerita ini emang alurnya kayak gini?
Jawaban aku, YES!!
Emang kek gini. Ribet ya??
Kasih pendapat jujur kalian ya. Aku senang banget kalau ada yang komen. Merasa ada juga yang baca cerita ku inii.
Yuk vote sama komennya biar aku semangat up chapter selanjutnya. Manis-manis hot gitu
????????????
????????????
Share this novel