4. Wound

Fanfiction Series 10231



"Cinta bukan soal siapa dia, dari mana asalnya mahupun bagaimana rupanya. Tapi cinta adalah soal apa yang kau rasakan saat bersamanya"


"Park Jihoon boleh nggak lo berhenti kejar kejar gue? Gue nggak mau ikut lo pulang."

Gya berjalan laju meninggalkan Jihoon yang sedari tadi membuntuti langkahnya sejak dia keluar dari kelas. Ke mana mana saja, cowok itu sedari tadi mengekorinya. Bahkan sehingga kini, melangkah ke kantin pun, Jihoon tetap membuntuti langkahnya.

"Ish, bisa nggak, lo berhenti ikutin gue?!! Risih tau nggak!!"

Kerana sudah tak tahan, Gya berpaling ke belakang. Matanya mencerlung marah berharap cowok itu mengerti tapi sejurus melihat kondisi wajah Jihoon yang babak belur, serta merta riak marahnya bertukar.

"Kenapa? Lo serba salah ngeliat wajah gue kek gini? Puas kan lo udah ngebuat gue dibelasah kek gini?" Jihoon bersidekap tubuh. Tersenyum miring melihat Gya yang serba salah.

Namun, cewek itu bijak mengubah ekspresi wajahnya, dia berdengus kasar. Juga berpeluk tubuh.

Jihoon sedikit menunduk bersejajar dengan wajah Gya, membuat cewek itu sedikit mengundur ke belakang. Liur ditelan kasar. Jihoon emang gila. Baru kemarin aja dia dibelasah Jeno.

Kini mau berulah lagi.

"Jangan dekat dekat bisa nggak sih? Mau apa?" Gya mendelik tajam.

Nasib baik mereka berada di tepi kantin. Itu pun beberapa pasang mata memandang mereka dengan pandangan aneh.

"Gue mau lo-"

"Kalau lo mau bawa gue pulang ke US gue nggak mau. Gue sama Gyo udah selesa tinggal di Korea aja!" Tampik Gya keras bahkan sebelum Jihoon habis berbicara.

"Ish, gue belum habis ngomong! Lo mau gue bawa ke US beneran?" Ugut Jihoon seraya berura ura menarik tangan Gya.

Tapi pantas ditolak cewek itu. "Jangan ngadi-ngadi ya lo! Udah bilang aja lo mau apa."

Huh, Park Jihoon emang sejenis manusia yang nggak faham bahasa. Gya sendiri sudah capek mau ngomong gimana lagi. Usahanya untuk lari dari pengawasan cowok ini selalu saja gagal. Ini pun masa paling lama dirinya bisa lepas dari Jihoon. Iaitu 9 bulan.

"Obatin luka gue."

Gya berpaling, menunjukkan reaksi wajah tidak suka. "Emangnya lo nggak bisa obatin sendiri tu luka di rumah? Harus gue juga ya yang obatin?"

Jihoon menghempas nafas. Jung Gya memang tidak akan berhenti melawan kata katanya. Dia tahu benar dengan itu.

"Uks kan ada. Pergi aja ke sono. Entar pasti adalah yang bertugas layanin lo." Sambung Gya lagi. "Huh, kalau ada yang mau ngobatin kang julid kayak lo."

Gya bergumam sendiri.

Jihoon hanya diam. Langsung tidak membalas kembali kata kata sarkas Gya padanya. Tapi dia nggak terasa kok. Dirinya sudah biasa menerima kata kata kasar cewek itu. Hati dan mentalnya udah imun.

"Kenapa lo diam? Udah kan selesai kan urusan kita. Dah bye gue mau ke kantin." Kerana tiada suara Jihoon, Gya berharap cowok itu menemui solusi kepada masalah hidupnya.

"Mama gue nggak ada buat obatin ini."

Ayat itu berjaya membuat Gya tersentak seketika. Kakinya tidak jadi melangkah.

"Selalu kalau gue luka, mama yang bakal obatin gue. Lagian, gue nggak bisa obatin sendiri." Jihoon menyambung perlahan.

Suaranya mengendur. Tidak lagi ngegas seperti tadi.

Ah, kok serba salah ya jadinya. Lagian dia digebukin juga gara gara gue, Gya berfikir.

Masih teragak untuk membantu Jihoon atau tidak. Tapi mendengar kata kata Jihoon tadi tentang Tante Rose (Mama Jihoon), Gya langsung serba salah. Hatinya ikut sedih.

Padahal dulu, Tante Rose akan langsung mengobatinya saat luka.

Akhirnya..

"Ya udah sini gue obatin luka lo."

Gya mengalah. Tidak ada salahnya kan jika dia membantu Jihoon kali ini saja. Sekaligus sebagai tanda maaf atas kelakuan Jeno kemarin siang.

Cewek itu melangkah lebih dulu. Mengubah arah menuju ke koperasi. Untuk membeli plaster dan antiseptik serta kapas untuk luka luka di wajah Jihoon.

Gya hanya memilih, dan membayarnya tentu saja Jihoon.

"Tuh sana di taman. Mumpung nggak ramai orang." Gya menudingkan telunjuknya ke arah bangku taman yang kosong.

Jihoon mendelik, "loh, kok di taman sih. Terbuka amat dah." Rungutnya seakan akan tidak bersyukur. Sudah mau diobatin malah milih juga nih anak.

"Ye gue sengaja dong milih taman. Supaya kalau lo mau ngapa ngapain gue tinggal teriak aja terus pasti ramai yang datang." Gya membalas sarkas lalu menapak ke arah taman. Sempat menoleh ke belakang seketika kerana Jihoon tidak kunjung bergerak.

"Lo yang serius ya nyet! Ini gue udah baik baikan jangan ngadi ngadi. Entar lo juga yang bilang gue nggak tau diri. Huh!" Dengus Gya kasar dan tanpa lengah, berjalan laju ke arah bangku taman.

Plastik berisi obat obatan di tangannya tadi dihempaskan kasar di atas meja batu. Dari sudut mata, Jihoon masih juga belum bergerak dari tempatnya. Malah kini seperti terlihat pocong aja.

"Jihoon monyet! Terserah lo mau ke sini atau nggak. Daripada mikirin lo sebaiknya gue makan." Gya membuka bungkusan roti yang sejak tadi ada di dalam saku blazer maroon nya.

Menggigit kasar kepingan roti sederhana itu sambil matanya melilau ke kiri dan ke kanan. Melihat lihat jika ada konco konco Lee Jeno yang melihat kewujudan nya di sini.

Tadi pagi, Jeno berpesan untuk dirinya dan Gyo dijemput Haechan. Gya tentu saja menolak dan memilih untuk berangkat sendiri. Naik sepeda lamanya.

Dulu juga, Gya menghantar Gyo ke sekolah naik sepeda itu. Yah, sebelum kes Gyo dibuli terbongkar.

Greppp...

Baru saja ingin mengambil satu gigitan, bungkus roti di tangan Gya dirampas kasar oleh tangan seseorang.

"Ih, Jihoon lo kenapa sih?!"

"Yah, emang lo fikir orang makan kenapa? Ya lapar lah!" Oknum yang merampas roti Gya tadi tidak lain tidak bukan adalah Park Jihoon.

Dengan anteng, cowok itu mengambil tempat di sebelah Jung Gya. Meletakkan tangannya di sandaran bangku. Membuat cewek itu seolah olah sedang berada dalam rangkulan Jihoon.

Gya menatap lapar ke arah Jihoon yang sedang enak menikmati roti hasil rampokannya.

Sedar diperhatikan, Jihoon menoleh sekilas, keningnya terjungkit sebelah, "Kenapa? Baru sadar kalau ternyata gue ganteng?"

"Uwekkk...!!"

Jihoon menampilkan smirk samar, suka melihat reaksi wajah Gya ketika dirinya mengatakan seperti itu. Cewek itu melakonkan riak wajah orang muntah.

Kemudian, Gya menatap ke hadapan. Malas ingin meladeni kelakuan Park Jihoon yang bisa membuat emosinya naik lagi. Cepat cepat dia berurusan dengan Park Jihoon, cepat cepat dia bisa menyambung misi melarikan dirinya.

"Nah, jangan masam kek gitu. Nih gue balikin roti lo." Beberapa detik setelahnya, Jihoon menyodorkan roti inti coklat milik Gya kepada pemiliknya.

Posisi Gya membelakanginya membuat sedikit sukar untuk ia melihat reaksi wajah cewek itu. Tapi yang pastinya, Jung Gya marah.

Huh, udah diambil malah mau dikasih lagi, dasar cowok aneh nggak peka,

Jihoon masih berusaha menyodorkan roti miliknya pada Gya tapi tidak digubris cewek itu. Sebaliknya, ia berdengus kasar. Masih mengelak perjuangan tidak kenal lelah Jihoon.

Jika orang orang melihat ini, bisa salah sangka. Kelihatan nya, Jihoon dan Gya seolah olah sepasang kekasih yang sedang berantem manja kerana sekeping roti.

Padahal di dalam hati Jung Gya, sudah menyediakan selori sumpah seranah pada Park Jihoon.

"Udah lah jangan ngadi ngadi lo, sini makan lagi rotinya." Entah sejak kapan, Jihoon berdiri dari belakang bangku, menarik sedikit kepangan rambut Gya sehingga cewek itu mendongak.

"Ji, lo ngapa sih ngajak gue ribut mul- ammhhmm"

Tanpa perasaan, Jihoon menyumbat roti hasil rampokannya kembali ke mulut pemilik asal dengan posisi Gya yang masih mendongak.

Gila banget sih Park Jihoon. Apa nggak sadar kalau dalam posisi begitu bisa saja membuat Gya tercekik makanan.

Dan dengan tampang tidak berdosa, Jihoon kembali duduk bersandar santai pada bangku. Menunggu letusan omelan dari bibir Jung Gya yang terisi roti.

"LO MEMANG BENAR BENAR MAU GUE MATI YA??!!"

Jihoon menutup kedua telinganya dengan tapak tangan. Matanya terpejam erat sebaik saja bibir becok itu kembali bersuara. Volume suaranya bisa menulikan telinga.

Dekapannya baru bisa terlepas setelah Gya berhenti berteriak dan meneguk air mineral di tangan sehingga separuh.

"Udah sini mana lukanya!"

Kini ia bersedia untuk mengobati Jihoon lagi setelah menikmati makanan yang seperti nya tidak akan terhadam dengan lancar.

Kali ini Jihoon patuh, memusingkan tubuhnya menghadap Gya. Membuat tubuh bahagian depan Jihoon dengan seragam tidak dikancingkan, sebelahnya terkeluar dari seluar menghadapnya.

Dengan telaten, Gya membuka antiseptik. Menitiskan beberapa di atas kapas lembut sebelum tangannya bergerak naik ke sudut bibir Jihoon.

Ia mengusap pelan bekas luka sobek yang sudah mengering. Pipi sebelah kanannya juga sedikit lebam sehingga membiru hingga ke rahang. Pasti sakit banget. Apa lagi Jihoon menahan sakit sampai semalaman.

"Lo kenapa sih? Kayak nggak tau urusin hidup sendiri aja. Padahal kan lo bisa ke rs." Bibirnya mula berceletuk lagi. Mencibir mengomeli sosok di depannya.

"Nih nih, luka luka kek gini! Rasa pengen gue tambahin tau nggak sakit lo!"

"Aww!!"

Gya sungguh geram dengan Jihoon. Sehingga tanpa sedar tangannya sedikit menenyeh luka di wajah Jihoon sehingga cowok itu meringis. Pantas pergelangan tangan Gya ditangkap dengan tangannya.

"Oh oh sorry sorry."

Gya lantas meminta maaf kerana sudah kasar. Tapi itu semua dilakukannya untuk sesekali memberi pelajaran kepada Jihoon agar mendengar katanya kali ini.

"Siapa Lee Jeno?"

Setelah menahan dirinya dari bertanya hal itu semalaman, Jihoon berbicara perlahan. Tatapan matanya tidak lepas dari memandangi sekujur wajah bujur sireh keputihan itu.

Gya diam. Tidak tahu mahu membalas apa.

"Jangan boongin gua Gya." Jihoon bergumam, mencari kejujuran dari sepasang iris hazel yang mengelak untuk bertatapan dengannya. "Jawab sejujurnya, apa hubungan lo sama Lee Jeno?"

Sekali lagi, pertanyaan itu meluncur dari sepasang bibirnya.

Jihoon tidak bodoh. Dari tingkah laku dan hasil karya Lee Jeno pada wajahnya, ia tahu, Gya memiliki hubungan spesial dengan Lee Jeno.

Tapi, Jihoon sendiri inginkan kepastian dari Jung Gya.

Gya menghentikan gerakan tangannya, membuang kapas tadi ke dalam tong sampah kecil berdekatan bangku taman. "Gue rasa, ini urusan peribadi gue. Lo nggak perlu tahu."

Elak cewek itu. Mengambil obat luka, menyapu sedikit pada sudut bibir Jihoon dengan jari kelingkingnya. Perlahan, kerana dia tidak mahu menyakiti Jihoon yang sesekali meringis.

Jihoon merengus kasar, Gya terlalu degil dan nekad untuk mendengar kata katanya. Keras kepala!

Kini cewek itu sudah selesai menyapu ubat pada lukanya. Dahinya yang mempunyai luka goresan juga sudah ditampal dengan plaster hasil tangan Gya.

Pun juga cewek itu kini bersandar pada bangku. Bungkam. Masih tidak membalas kata kata Jihoon tadi.

"Apa sih yang ada di fikiran lo Gya? Sadar nggak sih Lee Jeno tuh siapa? Dia bahaya Gya! Tapi lo malah- ckk!"

Jihoon menatap tidak percaya pada Gya yang kini sudah berubah bisu. Tidak seperti selalunya. Sepatah perkataan yang keluar dari mulut Park Jihoon, seratus perkataan akan dibalas cewek itu.

Tapi kini, ia langsung tidak membalas.

"Lagian, lo tau kan si Jeno udah tunangan sama si Lia? Lo kenapa sih? Cari masalah banget." Kini Jihoon sudah tidak peduli.

Jung Gya harus disadarkan. Terlibat dalam hidup Lee Jeno dan Kim Lia secara bersamaan, umpama menjerumuskan diri dalam jerangkap samar yang kapan saja akan memerangkap hidup cewek itu.

"Ck, kayaknya lo lupa ya si Lia tuh ka-"

"Park Jihoon!!"

Jihoon terdiam, kepalanya terteleng ke kanan. Lantas wajah merah padam Gya menyapa pandangannya. Jelas Jung Gya marah.

"Lo nggak usah ingetin gue tentang itu! Gue nggak bakalan lupa!" Cerlungnya marah.

Dadanya kembang kempis dengan tangan terkepal erat. Sakit hatinya apabila Jihoon bereaksi seolah olah dirinya lupa dengan fakta satu itu.

"Fine! Terserah lo, Gya." Seakan akan pasrah, Jihoon mengangkat kedua belah tangannya di sisi tubuh.

Tampaknya perbualan yang bermula lancar sebentar tadi tidak seperti yang dijangkakan Jihoon.

"Tapi gue harap lo sadar, lawan lo saat ini bukan hanya satu! Secara nggak langsung, lo udah terlibat dengan orang yang nggak sepatutnya!"

Setelah itu, Jihoon langsung melenggang pergi. Meninggalkan Gya dengan beribu keresahan di dalam hatinya. Ah, semua mendadak sulit ketika ini. Gya ingin lari tapi sadar dia tidak bisa.

Mahu tak mahu dan suka atau tidak, ini kehidupan yang harus dilaluinya.

Meraup kasar wajahnya dengan kedua belah tangan, satu keluhan berat kedengaran.

"Oiii Mrs Lee!!"

Teguran seseorang dari belakang membuat Gya kaget sehingga terlatah. Kemudian, suara ketawa dari seseorang menyapa gegendang telinganya.

Spontan Gya menoleh ke belakang dan matanya langsung melihat Park Jisung yang tersenyum sumringah kerana berjaya mengagetkannya.

Gya mendesis, "apasih? Nama aku Jung Gya tauk. Bukan Mrs Lee!" Marahnya mengingat panggilan cowok itu kepadanya tadi.

"Loh, kok ngamok sih." Bibir cowok itu memuncung ke hadapan.

"Ch, udah udah. Kak Jiji ngapain ke sini?"

"Kak Jiji?"

"Iya kak Jiji."

Mata sepet itu membulat, menepuk perlahan bahu gadis itu. Tidak terima dipanggil kakak padahal kan mereka seumuran.

"Ngadi ngadi ya anak paud. Kita tuh seumuran."

"Okay okay." Gya membalas malas. Iyain aja deh. Biar nggak kebanyakan bacot aja. Tenaganya udah habis kerana adu mulut sama Jihoon.

"Eh btw lo ke mana aja dari tadi. Jeno nyariin lo."

Oh shit, Gya baru teringat tentang Lee Jeno.

"Sebagai hukuman, lo harus pulang sama Jeno entar. Nggak ada penolakan kalau nggak mau hukumannya ditambah."

Habislah riwayat mu, Jung Gya.

___________________________________________

Brakk...

Gya menutup kasar pintu lokernya setelah meletakkan semua materi pelajaran hari ini. Di dalam hati, Gya membentak bentak kerana Lee Jeno memaksanya untuk pulang bersama.

Tadi Gya sudah keluar dari ruang kelas, bersama Gyo. Terhendap hendap ingin melarikan diri tanpa harus tertangkap oleh Jeno clans.

Dia sudah benar benar berhati hati. Namun sepertinya seisi Serim High ini sudah diberikan alarm untuk segera melaporkan keberadaan kembar Jung kepada Jeno.

Baru saja mereka tiba diparkir, kerah seragam Gya ditarik. Oleh Huang Renjun. Sementara Gyo juga telah ditangkap Chenle sebelum diseret paksa untuk ikut.

Huh, Gya sebal. Hampir hampir menonjok wajah Renjun yang sewenang wenangnya. Tapi ditahan mengingatkan Gyo yang ada di tangan mereka.

"Kak Renjun emang nggak niatan buat lepasin aku ya?" Decih Gya bersamaan kakinya yang terpaksa melangkah dengan bersusah payah.

Mencuba mengiringi langkah Renjun yang besar kalah dengan langkahnya. Tangan cowok kelahiran Tiongkok itu masih memegang kerah seragam Jung Gya seakan enggan dilepaskan.

"Iya! Gue mau heret lo kek gini ke Jeno! Nyusahin tau nggak." Renjun berbicara kesal.

Tadi setelah waktu akhir pelajaran, dia, Chenle dan Mark berjalan santai ke parkiran dengan fikiran suasana tengahari itu akan baik baik saja. Tiada masalah sekolah. PR juga sedikit banget hari ini.

Eh tau tau, setelah sampai ke parkiran langganan tongkrongan utama Jeno clans, Haechan sudah mengarahkan mereka untuk segera bergerak.

"Iblis di badan si Jeno kumat! Cepetan cari si Gya sama si bisu! Cepetan sebelum kita yang dipancung!"

Bahkan satu kerusi pelajar aja sudah berderai dihumban Jeno ke pagar sekolah!

Dan beginilah pengakhiran nasibnya. Mengheret tubuh cewek bandel dan keras kepala seperti Jung Gya.

"Lo tau nggak si Jeno udah ngamuk gara gara lo sama si bisu kabur! Ini nih gue lagi jadi tumbal buat persembahin lo ke Jeno!"

Mulut Renjun tidak berhenti henti mengomel. Membuat Gya jengah.

"Yah, jadi kak Jeno marah?"

"Iya marah lah bloon! Dianya udah kayak udang rebus di parkiran sono! Gara gara elu! Pakai lari segala!" Masih dengqn nada ngegas, Renjun bersuara.

Gya menunduk, serta merta merasa menyesal. Tapi tidak juga bisa meletakkan segala beban kesalahan ke bahunya kan.

Sedar hasil tangkapannya seperti sudah berhenti melawan, Renjun memperlahankan langkah. Juga melonggarkan cengkeraman pada kerah pakaian Gya.

"Tau takut kan lo? Makanya, nurut aja sama si Jeno. Bahkan kita sebagai teman temannya aja kagak berani membantah. Apa lagi bocah tengil kayak lo! Satu tangan aja lo kalau dijentik sama Jeno langsung lumpuh fisik lo."

Renjun tidak akan pernah jemu untuk mencibiri cewek itu dengan fakta yang satu ini. Biar bocil tengil ini sadar! Dia tuh udah jatuh ke sangkar buaya.

Gya mendengus kasar. Meniup helaian poninya.

"Kak Renjun emang benci banget ya sama Gya?"

Langkah Renjun terhenti. Sontak menoleh ke arah cewek yang sedang berdiri di sebelahnya. Turut menunduk.

"Lo kenapa dah?! Tiba tiba banget ngomong gitu?" Renjun mendelik hairan, aneh dan kaget secara bersamaan.

Wajah Gya yang menunduk cuba diintai.

"Lo nangis?!" Akhirnya air mata Gya terlihat di sudut mata Renjun. Keningnya ternaik.

Gya tertunduk, menangis dengan bahu yang terhinjut perlahan.

"Kak Renjun..se-lalu..marah aku. Pad-ahal kan, aku sama sekali nggak berniat..bu-at masuk ke kehidupan kalian!"

Tersekat sekat, cewek itu bersuara. Seakan akan benar benar terluka dengan kata kata Renjun tadi.

Renjun menggaru keningnya. Menarik Gya untuk menepi kerana cewek itu sepertinya menarik perhatian anak anak lain yang kini sudah memandang mereka dengan pandangan hairan.

Dia gelabah sendiri. "Heh, berhenti dong nangisnya! Gue..jadi serba salah nih."

Niatnya ingin memujuk tapi yang dipujuk malah semakin terisak.

"Loh?! Kok makin kuat aja sih nangisnya! Diam dong."

Refleks, Renjun menarik cewek itu ke dalam pelukan. Tangannya menepuk perlahan belakang Gya supaya berhenti menangis.

Sungguh Renjun buat pertama kalinya berhadapan dengan cewek menangis seperti ini merasa salah tingkah. Dia tidak punya pengalaman pacaran, adik perempuan juga tidak punya.

Malah pelukannya di tubuh Gya juga kelihatan sungguh canggung. Aneh.

"Okay okay, lo bilang aja gue harus ngapain supaya lo berhenti nangis." Renjun mengalah.

Bisa mati dia kalau Jeno melihat cewek ini menangis kerana ulahnya. Yah, biarpun Jeno brengsek tapi jika bersangkut paut dengan cewek ini, Jeno bisa mengamuk.

Kerusi aja bisa terbanting mudah. Apatah lagi dia yang kurus kering seperti papan. Kalah jauh lah dia sama Jeno.

Gya berhenti menangis. Rangkulan Renjun juga terasa melonggar di tubuhnya. Ini kesempatan. "A-aku mau..."

Gya angkat wajah, memandang Renjun dengan deraian air mata yang tersisa. Tangannya menggenggam tali ransel erat.

Ini kesempatan yang tidak harus disia-siakan.

Gya mengambil langkah mundur setapak...

"...pulang sendiri!"

Ctakk

Saat itu Renjun sadar dirinya dipermainkan apabila dalam sekejap mata, Jung Gya kabur dari tangkapannya.

"Dadahh Kak Renjunnnnn!"

Renjun memandang tak percaya Gya yang sudah berlari laju meninggalkannya. Juga sempat melambai riang seperti anak TK.

"Bodoh! Gya lo boongin gue ya?! Sini lo!"

Yes! Gya tertawa riang.

Berjaya memperbodohi Huang Renjun. Dia tidak menangis tadi. Itu hanya sebuah lakonan yang berhasil.

Dia hanya ingin lari dari Lee Jeno. Tidak peduli jika nanti cowok itu akan marah marah padanya dan menyamperin sehingga ke rumah. Toh juga hari ini dia menginap di rumah Minnie.

Sambil tertoleh-toleh ke belakang, Gya melajukan langkah. Takut jika Renjun berjaya menyaingi langkahnya. Dia harus cepat melarikan diri.

Ketika kakinya sampai di tangga menuju astaka, dia kehilangan keseimbangan ketika melangkah turun.

"Aaaa!!" Sedar sedar saja dirinya sudah ingin terjatuh ke bawah.

Shit, ini karma udah boongin Kak Renjun kayaknya, bisik Gya seraya memejamkan mata. Menunggu impak terjatuhnya dirinya ke bawah.

Satu detik...

Dua detik...

Tiga detik...

Belum ada rasa sakit! Gya merasa tubuhnya melayang tapi apa yang membuatkannya seakan akan tidak percaya adalah dirinya belum juga terjatuh.

Dengan berani, Gya membuka sebelah mata.

Dan ketika itulah ia tersedar, tangan seseorang melingkari pinggangnya.

Bersambung...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience