22. Long Slow Distance

Fanfiction Series 10231



"I am hating myself for hurting someone that I love."



Happy Reading??

Bukk! Bukk! Bukk!

Berkali-kali kepalan tangannya mengenai punching bag yang tergantung di hadapannya.

Dilayangkan penumbuknya beberapa kali sehingga menimbulkan bunyi yang sangat kuat di dalam gym peribadinya.

Keringat membasahi dahinya turun ke bahagian tubuh yang dibiarkan shirtless. Tidak dipedulikan tangan yang memerah kerana tidak mengenakan sarung tangan. Yang penting, rasa hatinya terpuaskan.

Semuanya demi melampiaskan amarah yang terpendam di hatinya.

Tanpa sadar, sudah hampir 2 jam ia menghabiskan masa di sini, tanpa lelah melayangkan penumbuk pada punching bag.

Tubuhnya ada di sini, tapi mindanya tidak sama sekali.

Fikirannya sedari tadi memikirkan Jung Gya yang dideteksi 'hilang' sejak sebulan yang lalu.

Kenapa ia mengatakan hilang?

Rumah cewek itu kosong, tidak berpenghuni bahkan sampai disegel dengan rantai. Keberadaannya tidak bisa dilacak sekalipun Jeno mengerahkan anak buah nya untuk mencari.

'Lo ke mana Jung Gya? Ke mana lo pergi?! Ayo cepat kasih tau gue! Gue bisa kapan pun datang ke elo!'

"Arghh!!"

Bukkk!!

Tonjokan terakhir yang Jeno daratkan berjaya membuat punching bag itu robek. Pepasir yang mengisi dalaman beg itu pecah dan berjatuhan ke lantai.

Begitu juga dengan tubuh Jeno yang akhirnya melorot ke atas lantai.

Cowok itu tersandar pada dinding gimnya bersama tubuh yang kelihatan mengkilat dari jauh kerana dibasahi peluh. Kedua kakinya ditekuk bersamaan dengan tangan yang memegang kedua belah sisi kepala.

Jemarinya menyugar rambut yang basah ke belakang masih dengan nafas yang memburu.

'Lo di mana sekarang? Sama siapa? Cowok sialan itu udah nyembunyiin lo dari gue?!'

Lagi-lagi Jeno mendesah gelisah di dalam hati. Degupan jantungnya terpacu dua kali ganda, gelisah tiap malam bahkan hampir sebulan ini, entah berapa kali Jeno tidak mabuk.

Seluruh malamnya digunakan sepenuhnya untuk mencari keberadaan Jung Gya.

Tapi hasilnya? Kosong!

Bisa gila dia seandainya Jung Gya benar-benar menghilang.

'Gak bisa dibiarin! Lo gak bakalan bisa lepas dari gue! Lo milik gue, dan selamanya akan terus kekal kayak gitu! Jangan ada yang berani jauhin lo dari gue! I will kill them all!'

Sisi psikopat Jeno yang sudah lama tidak muncul seakan-akan merasuk ke dalam tubuh Jeno ketika ini. Kepalan tangannya menguat seiring dengan rahang yang diketap kuat.

Otot tubuhnya mengeras begitu juga dengan tatapan tajam sepasang matanya yang tancap menikam.

Jeno benar-benar kelihatan seperti orang gila semenjak kehilangan Jung Gya.

'You're mine forever!'

Deringan ponselnya mengejutkan cowok itu. Lantas objek kecil berwarna hitam itu digapai dari atas nakas.

Sungchan is calling...

Terpapar nama salah seorang anak buahnya pada layar yang masih menyala. Butang hijau ditekan pantas lalu dilekapkan ke telinga.

"Hell—"

"Kalau cuman mau bilang lo gak ketemu, gue bunuh lo dulu!" Eram Jeno dengan suara beratnya sebelum Sungchan sempat berbicara.

Moodnya benar-benar rusak dan ia tidak mahu ada lagi yang memburukkan lagi keadaan.

"I-ya bos. Gue cuman mau bilang, ceweknya udah ketemu."

Jeno tersentak lantas bangun dari sandarannya. Masih dengan telefon yang terlekap di telinga, Jeno mencapai sweater hitam nya dari atas kerusi dan mengenakannya asalan. Tidak dipedulikan tubuhnya yang masih dibasahi keringat.

"Share lokasi."

Talian diputuskan sebelum Jeno sekali lagi menerima balasan dari Sungchan yang berupa lokasi dan satu gambar seorang cewek memegang payung berwarna biru yang sangat familiar di matanya.

Itu sememangnya Jung Gya. Sosok tubuh pendek itu sangat akrab di penglihatan Jeno. Itu memang benar-benar Jung Gya. Ditambah dengan payung biru pastel itu, keyakinan Jeno bertambah.

Anak Jung
|Lo tunggu di sana!
|Awas kalau dia terlepas, nyawa lo melayang

Setelah itu, Jeno langsung melangkah keluar dari gim dan menuju mobil bentley-nya yang diparkir di garasi.

Tak sabaran, ia langsung menghidupkan enjin dan mula menekan pedal minyak.

'Wait for me! Miss you like crazy!' bisiknya lalu berura-ura untuk memecut laju.

Nyiiiiittttt!!

Mobil yang dipandunya langsung terhenti dengan ban yang berdecit nyaring apabila sebuah jip hitam berhenti benar-benar di hadapannya.

Kepala Jeno juga nyaris menghentak dashboard. Untung saja refleksnya tangkas dan berjaya mengelak.

"Shit!!"

Jeno mengumpat kasar apabila melihat seseorang yang baru saja keluar dari tempat duduk pemandu.

"Lee Jeno-ssi, sila ikut kami!" Tegur si pengawal berbaju hitam datar. Wajahnya langsung tidak menunjukkan kemesraan.

Jeno mendengus kasar tanda tidak senang dengan kehadiran mereka. Anjing suruhan Lee Jeongho. Kenapa saja pria bejat itu harus mengganggu nya ketika ini? Apa tidak ada hari lain?

"Minggir. Gue mau jalan." Jeno cuba menepis mereka. Kakinya sudah bersedia untuk menekan pedal dan memecut laju.

"Gak bisa. Kami sudah mendapat perintah dari tuan Tiger untuk membawa tuan ke rumah. Ini arahan!"

"Gue punya urusan yang lebih penting daripada ketemu si tua bangsat itu! Minggir!"

Sang pengawal menarik hujung bibir menunjukkan senyum penuh makna lalu merogoh jas yang dikenakan. Sebuah gajet hitam dikeluarkan dan ditunjukkan di hadapan wajah Lee Jeno.

Jeno yang pada mulanya hanya masa bodo saja langsung membesarkan mata apabila melihat isi layar.

Satu persatu kejadian yang berlaku di dalam rekaman itu tidak lepas dari penglihatannya.

Seketika kemudian, wajahnya langsung berubah merah padam sebaik saja mencerna apa yang barusan terjadi.

"Bangsat! Lepasin cewek itu!" Turun naik nafas Jeno sebaik saja melihat rekaman beberapa orang pria berbadan besar yang sedang mengheret seorang cewek ke dalam mobil.

Jung Gya! Mereka menculik Jung Gya! Payung biru gadis itu tergeletak di atas jalan tar.

Jeno mencuba merampas gajet itu dari tangan sang pengawal namun gagal.

"Makanya, ikut kami sekarang! Atau cewek dalam video ini akan ditemui tidak bernyawa!"

"Arghhh!!" Jeritan Jeno bergema kuat di dalam mobil sebaik saja sang pengawal tadi berjalan kembali ke mobilnya.

Dada Jeno tiba-tiba sahaja merasa senak. Tangannya menggeletar.

Mereka mengambil Jung Gya!

Shit! Bagaimana ini bisa terjadi? Mereka mengekori Sungchan? Atau adakah orang bawahannya itu berpaling tadah dan bekerjasama dengan mereka?

Mobilnya memecut laju membelah hujan lebat. Bahkan mobil sang pengawal yang menjemputnya tadi juga ketinggalan jauh di belakang. Tidak dipedulikan dengan keselamatan atau peraturan jalan raya.

Kelajuannya ketika ini melebihi 250km/j untuk tiba ke destinasi.

Wajahnya kelihatan tegang dengan rahang yang diketap kuat sehingga menimbulkan urat-urat hijau di sekeliling lehernya. Genggamannya pada stereng semakin kuat saking rasa gementarnya.

Takut? Ya, Lee Jeno takut seandainya Lee Jeongho benar-benar bertindak mencederai Jung Gya.

Ahh! Bagaimana ini bisa terjadi?! Kacau semuanya!

Sialan! Ini semua pasti gara-gara Lee Taeyong. Tidak ada orang lain yang akan membeberkan rahsia ini selain sepupu sialannya itu!

Jeno mengutuk dirinya sendiri. Kenapa dia bisa lupa memberitahu Sungchan untuk berhati-hati sedangkan dirinya sendiri sedar kalau Taeyong pasti mengincar Jung Gya.

Seperti kata sepupunya itu, Lee Jeongho pasti tidak akan membiarkan begitu saja jika hal mengenai Jung Gya ini terbongkar. Tapi dirinya masih saja leka dengan fakta satu itu.

Tanpa aba-aba, Jeno menambah kelajuan. Mobil bentley hitamnya membelah ke dalam lautan kenderaan lainnya. Mencari celah di mana saja agar dirinya bisa sampai ke destinasi cepat.

Tidak! Ia tidak boleh membiarkan Lee Jeongho melakukan apa-apa terhadap Jung Gya. Tidak mungkin. Bukan cewek itu.

Hampir sepuluh menit menyetir dengan terburu-buru, Jeno melangkah keluar dari mobil lalu bergegas menuju ke pintu mansion besar. Hujan deras yang entah sejak kapan turun tidak dihiraukan.

Kedatangannya ke mansion besar itu disambut oleh pelayan mesra dengan senyuman.

Tapi tidak dengan Lee Jeno. Cepat-cepat, ia melangkah ke tingkat bawah tanah.

Ia tahu. Pamannya pasti akan membawa Jung Gya ke sana.

Kamar penyiksaaan.

Brakkk!!

Pintu kamar besi itu ditolak sekuat tenaga.

"Mana dia?!" Jerkah Jeno bersama nafas yang belum stabil.

Di dalam ruangan, ternyata Lee Jeongho sudah menunggunya, duduk di atas kerusi hitam dengan rokok yang menyala.

"Hai ponakanku. Lama tidak bertemu, kan?"

"Gak usah banyak bacot. Mana cewek itu?"

"Eit, sabar dulu. Masih banyak yang harus paman tanyakan sama kamu. Soal cewek itu, hmm jangan khawatir. Taeyong masih bermain bersamanya di kamar."

Mata Jeno langsung membulat besar mendengar kata-kata itu.

"LO APAIN DIA BAJINGAN!!"

Jeno sudah hampir meluru ke arah Lee Jeongho tapi ketiga pengawal pria tua itu langsung menjalankan tugas.

Kedua tangan Jeno ditahan lalu salah seorang pengawal itu bertindak menghentam belakang kepalanya dengan sebatang kayu. Tidak cukup dengan itu, belakang kakinya ditendang kuat sehingga menyebabkan Jeno terjatuh melutut di hadapan Lee Jeongho.

Tiada ruang untuk cowok itu melawan kerana kekuatan mereka yang berkali ganda lebih besar daripadanya.

"LEPASIN DIA BANGSAT! DIA GAK PUNYA KAITAN SAMA LO!"

Perkataan Jeno disambut dengan kekehan besar daripada Lee Jeongho. Pria yang lebih tua itu mencucuhkan api rokoknya dan berjalan maju ke arah Jeno yang masih berusaha melawan.

"Ch! Paman sudah bilang Lee Jeno. Kamu harus nurut sama semua kehendak paman. Tidak seharusnya kamu melakukan kesalahan seperti ini. Dan, untuk pengetahuan kamu, kesilapan kamu kali ini adalah..." Suaranya sengaja dileretkan untuk menyakitkan hati Lee Jeno.

"...jatuh cinta sama cewek yang tidak seharusnya."

Kemudian ia berjongkok di hadapan Jeno. Sebelah tangannya mencengkam rahang keponakannya itu kuat.

"Lihat kan apa akibatnya kalau kamu melawan aku? Cewek yang kamu cintai bisa saja jadi korban."

"Lo emang setan Lee Jeongho! Setan!" Eram Jeno masih mencuba untuk melepaskan diri. Nafasnya turun naik menahan amarah dan ketakutan sekaligus.

Fikirannya masih tertuju pada kamar gelap di hujung ruangan. Jika Taeyong ada di kamar itu, Jeno sendiri sudah bisa menduga apa yang terjadi.

Memikirkannya saja bisa membuat Jeno gila. Taeyong sama sekali tidak akan melepaskan ikan begitu saja.

"Tapi jangan khawatir, paman hanya akan biarin Taeyong bermain-main saja. Paman bisa kasih kamu peluang buat nyelamatin dia." Pegangannya pada rahang Jeno langsung dilepaskan dan dia kembali ke kerusinya.

Sebatang rokok diambil lagi lalu dihidupkan. Kepulan asap keluar dari bibirnya sebaik saja silinder berwarna perang itu dihisap.

"Dia anak siapa? Apa orang tuanya sekaya Kim Lia, tunangan kamu? Atau lebih kaya dan berpengaruh daripada itu?"

"Gak ada hubungannya sama lo bangsat! Cepat lepasin dia!" Jeno membentak.

Jung Gya bukan anak orang kaya. Gadis itu hanya seorang anak yatim yang ayahnya saja Jeno tidak tahu siapa. Bundanya juga sudah meninggal.

"Paman sedang membantu kamu Jeno." Lee Jeongho ketawa kuat seakan-akan keponakannya itu sedang bercanda.

"Jika dia anak orang kaya, paman bisa biarin dia hidup di sisi kamu. Kalau mau tunangan juga bisa. Paman bisa menguruskan agar kamu bisa punya dua istri."

Jeno meludah benci. Bukannya dia tidak tahu maksud disebalik itu. Si bangsat tua ini pasti ingin mengambil kesempatan agar kuasa dan pengaruhnya lebih besar.

Tapi, memang, Jung Gya bukan anak orang ternama.

Itu langsung membuat Jeno terdiam. Dia harus memikirkan cara bagaimana untuk menyelamatkan Gya. Cewek itu benar-benar dalam bahaya sekarang.

"Gue udah bilang! Cukup Kim Lia! Jangan bawa-bawa orang lain lagi!"

"Hey, kamu kayaknya lupa sekarang. Yang pegang kendali itu paman, bukan kamu."

"Oh, jadi kamu masih gak mau bilang? Okay." Timpalnya lagi sebelum mengarahkan seorang lagi pengawalnya yang di belakang untuk maju ke hadapan.

"Biar paman beri kamu pilihan."

"Kalau kamu bisa buktikan cewek itu anak orang ternama, dia bebas berhubungan sama kamu. Paman sendiri bakal pastikan kalian tunangan, bahkan sampai nikah tanpa keluarga Kim Lia tahu."

"Tapi, kalau ternyata dia hanya anak orang miskin yang gak punya apa-apa.." Perkataannya terhenti sembari mencapai pistol yang dihulurkan pembantunya sebelum menyambung.

"...dia harus mati."

Jeno tersentak. Ludahnya ditelan kasar. Darahnya seakan-akan mengering. Mungkin jika dilihat dicermin, wajahnya akan benar-benar pucat.

Lee Jeongho tidak pernah bermain-main jika sudah memegang senjata. Setiap perkataan pria tua itu pasti akan ditepati.

"SIALAN!! LEPASIN GUE!! LEPAS!!"

Dengan segala tenaga, Jeno akhirnya memberontak dan mencuba melepaskan diri daripada pegangan ketiga pengawal.  Pamannya benar-benar iblis!

Itu bukan pilihan! Pria itu sendiri sudah memutuskan kelanjutannya bagaimana. Ah, sialan!

"Oh, paman tahu. Pasti jawabannya adalah yang kedua kan?" Pria tua itu tersenyum penuh kemenangan.

Tidak sia-sia dia mendapat maklumat ini daripada Taeyong. Akhirnya ia bisa tahu kelemahan Lee Jeno.

Cinta! Lee Jeno lemah dengan orang yang dicintai cowok itu.

"Dasar bego!"

Sekali ini, Lee Jeongho kembali berjongkok di hadapan Lee Jeno yang sudah kelihatan lemah. Rambut ponakannya itu dijambak dan didongakkan dengan kasar.

"Kamu gak seharusnya melakukan kesilapan seperti ini Jeno. Cinta pasti udah bikin kamu buta dan lemah. Persis kayak orang tua kamu!" Muncung pistol sengaja dilarikan di sekitar wajah Lee Jeno.

"Tahu kenapa aku bisa mudah membunuh kedua suami istri itu?" Tanyanya dengan senyuman jahatnya.

"Kerana mereka terlalu sayang sama kamu. Mempergunakan nama kamu ke mereka ternyata bisa membuat mereka lemah. Dan itu, juga ternyata berlaku ke kamu!"

Tangannya menunjuk ke arah kamar gelap itu.

"Itu! Di sana adalah kelemahan kamu! Sekarang, kamu hanya ada satu pilihan."

Jambakannya pada rambut Jeno dikuatkan sehingga kepalanya terdongak tinggi. "Serahin harta yang disimpan Tiffany. Baru lo dan cewek itu bisa lepas."

"G-gue ud-dah bilang! Gue gak tau!!"

"Heyy!! Itu bukan jawapan yang gue mau!" Lee Jeongho mendelik tidak suka. Bisa-bisanya Lee Jeno masih tidak mahu menyerahkan rahsia itu sedangkan nyawa gadis kesayangannya dalam taruhan.

Apa ponakannya itu terlalu kuat untuk diugut dengan namanya cinta? Tidak mungkin kan? Padahal jika dilihat tatapan mata anak itu menghitam penuh dengan hasrat untuk membunuhnya.

"Ngomong yang benar atau cewek itu benar-benar mati!"

Jeno meringis kesakitan.

"Gue bilang gak tau ya gak tau!! Lo fikir gue bego untuk tetap nyimpan rahsia itu sementara orang yang gue cinta ada dalam genggaman lo?!! Lo fikir gue gak siuman kayak lo?!!"

Lee Jeongho tersentak. Benar juga.

Jadi, apa ponakannya itu benar-benar tidak tahu? Atau hanya akal-akalan saja agar dirinya percaya?

Tapi jika tiada pada anak ini, pada siapa?

"Sekarang lepasin cewek itu!!"

Lee Jeongho kembali memusatkan perhatian kepada Lee Jeno.

"Gak papa kalau kamu gak tau. Tapi, tetap ada hukuman buat kamu."

Sekali lagi, tangannya menggamit pengawalnya untuk datang mendekat. Kali ini bersama telefon bimbit di tangan.

Setiap langkah Lee Jeongho tidak luput dari tatapan dalam Lee Jeno. Bermula dari pria itu mengambil telefon dari tangan pembantunya, terus menghubungi seseorang.

"Hello. Udah selesai?"

Lee Jeongho berbicara dengan seseorang. Sesekali kembali memandangi Lee Jeno yang masih dalam pegangan.

Loud speaker dipasang. Lalu ponsel itu sengaja didekatkan pada Lee Jeno

"Hai my cousin. Gimana? Suka sama hadiah gue?"

"Lepasin Jung Gya bangsat! Dia gak punya salah sama lo! Jangan berani lo sentuh dia sehelai rambut pun!! Gue bunuh lo!!"

Seketika kemudian, kedengaran ketawa kuat Lee Taeyong dari seberang sana.

"Its too late dear. Gue punya hadiah buat lo dengar."

Diam. Dan sekali lagi, Jeno mengepalkan tangannya sebaik saja mendengar suara seorang cewek yang menjerit kesakitan seperti sedang diseksa. Bergantian dengan suara desahan menjijikkan dari sepupu keparatnya.

"Cewek lo enak bhayy. Gue aja sampai ketagih sama dia. Dan ternyata lo belum pernah ngelakuin ini sama dia kan? Nah lo dengar sendiri dia..."

Belum sempat Taeyong menghabiskan ayatnya, Lee Jeno langsung menyentak pegangan para pengawal itu daripada tubuhnya.

Tanpa menghiraukan Lee Jeongho yang masih tersenyum sinis padanya, Jeno langsung menuju ke arah kamar di hujung ruangan.

"BAJINGAN!!!"

Jeno langsung melayangkan penumbuk kepada Lee Taeyong sebaik saja pintu dibuka.

Tanpa aba-aba, tubuh itu ditolak sehingga jatuh ke lantai.

"Lo sentuh cewek gue sialan!! Lo perkosa dia!! Lo emang bajingan!! Dasar setan! Gue bunuh lo hari ini jugq!! Gue bunuh!!"

Tumbukan berkali-kali diberikan kepada Lee Taeyong. Tidak dipedulikan dengan tubuh sepupunya itu yang hanya dibaluti boxer dengan sisa peluh yang masih membasahi tubuhnya.

Ia tidak terima kalau Jung Gya juga menjadi mangsa nafsu sialan Lee Taeyong. Dia akan benar-benar membunuh cowok gila itu hari ini juga.

Sehinggalah dua orang pengawal yang juga berada di dalam kamar itu meleraikan keduanya, barulah Jeno berhenti.

Sekali ini pegangan itu berjaya disentaknya dengan sekali hentaman. Kekuatan Jeno seakan-akan dirasuk sesuatu sehingga pengawal itu pun jatuh ke lantai.

Pandangan nya beralih pada kasur di mana satu tubuh polos terbaring tidak sedarkan diri.

Jeno langsung gementar melihat itu. Kakinya tiba-tiba sahaja melemah. Tidak dipedulikan dengan bau-bau yang tidak enak dari kasur itu.

Sungguh ia terlalu takut untuk melihat wajah gadis itu. Dia tidak akan bisa menerima seandainya gadis itu benar-benar Jung Gya.

Apa yang sudah dilakukannya kepada gadis itu?

Sehingga tanpa sedar, Jeno sudah berada tepat benar-benar di sisi ranjang. Tangannya mencapai gebar dan ditutupi tubuh polos itu meskipun dengan tangan yang gemetar.

Tangannya naik memegang rambut panjang yang menutupi wajah gadis itu sebelum disibakkan perlahan.

Dan ketika inilah Lee Jeno benar-benar kehilangan kontrol. Tubuhnya melurut begitu saja ke atas lantai.

Entah kenapa ia merasa lega.

Gadis itu bukan Jung Gya! Bukan Gya-nya.

"Hahahah"

Kedengaran ketawa besar dari bibir Lee Taeyong sebaik saja melihat kondisi sepupunya yang tidak ubah seperti orang gila.

"Gimana Jeno? Prank gue berhasil kan?" Terbatuk-batuk cowok itu bicara sambil berusaha bangun.

Sungguh badannya remuk redam. Tapi baginya itu berbaloi kerana bisa melihat bagaimana gementarnya Lee Jeno ketika ini.

"Harusnya lo terima kasih ke gue itu bukan Jung Gya."

"Gue gak nyangka bokap gue benar-benar bodoh. Masa segitu aja percaya."

Benar, Lee Taeyong lah dalang di sebalik ini semua. Cowok itu yang memberitahu mengenai Jung Gya kepada Lee Jeongho dan dia sendiri tahu kalau bokapnya akan menangkap cewek itu hari ini untuk dijadikan umpan.

Dan dirinya jugalah yang menipu dengan menunjuk gadis lain sebagai Jung Gya. Kebetulan Jung Gya yang asli memberikan payung miliknya pada Jung Gya palsu.

Click. Dengan mudah Lee Jeno tertipu.

Ternyata sepupunya itu juga sama begonya.

"Sebaiknya lo cepat cari cewek lo yang asli. Apa lo yakin dia selamat sekarang?!"

Ketika itu barulah Jeno seakan-akan mendapat nyawanya semula. Wajahnya diraup kasar.

Iya, dia harus mendapatkan Jung Gya sekarang. Cewek itu harus selamat. Dia tidak tahu apa lagi permainan kedua beranak gila itu. Mungkin saja ini juga satu umpan baginya.

Dengan sisa semangat nya, Jeno berlari keluar dari mansion besar itu dan menuju mobil.

Terketar-ketar tangannya mendail nombor Sungchan. Nasib baik pembantunya itu tangkas menjawab.

"Jung Gya di mana sekarang?!!"

_______________________________________________

Pandangannya yang sedari tadi memerhati rekat pada titisan air hujan yang berjatuhan dari atap perhentian bas diblokir dengan kedatangan sebuah Sedan hitam.

Sontak bibirnya menguntum senyum sebaik saja sang pemandu melangkah keluar bersama payung.

"Ck! Dasar keras kepala. Lo pasti sengaja kan kayak gini biar gue mau datang jemput lo di sini?"

Jihoon yang masih dengan kemeja kerjanya yang dilipat hingga ke siku langsung mengomel tidak jelas.

"Hihi."

Bisa-bisanya dia nyengir tanpa dosa kayak gitu. Ketus cowok itu di dalam hati.

"Payung lo ke mana sih? Bukannya selalu lo bawa payung?" Soalnya lagi masih tidak berpuas hati.

"Gue kasih ke junior. Kasihan dia pengen pulang cepat, makanya gue kasih."

Jung Gya berkata benar. Tadi dia bersama beberapa orang pelajar menunggu bersama di sini.

Kebetulan salah seorangnya mempunyai kecemasan di rumah. Makanya Jung Gya memberikan payung kepada junior itu agar bisa cepat sampai ke rumah. Dan akhirnya ia menelefon Jihoon untuk datang menjemputnya.

Jihoon mendengus dengan sifat satu Jung Gya itu. Mudah bersimpati.

"Ya udah, lo jangan masam gitu dong. Antar gue pulang ya?" Bujuk Jung Gya lagi lembut.

"Ya udah, sini dekatan sama gue."

"Loh? Kita kongsi aja payungnya?" Soal gadis itu kehairanan.

"Ya iyalah. Kalau gue kasih ke lo, guenya gimana? Masa iya gue hujan-hujanan?" Balas Jihoon tidak kurang ketusnya.

"Ck! Garang amat sih jadi orang."

Jung Gya langsung melangkah masuk ke dalam payung yang dipegang Jihoon.

Keduanya berjalan bersebelahan menuju ke mobil cowok itu. Sesekali Gya merungut kerana harus menyaingi langkah Jihoon yang besar-besar. Pasti akan dibalas ketus dengan Jihoon juga.

Namun, dalam marah-marah, Jihoon benar-benar melindungi Jung Gya daripada terkena tempias hujan.

Setelah menghantar Jung Gya masuk ke tempat duduk pemandu, Jihoon kembali ke tempatnya semula. Memasukkan payung lalu menggerakkan mobil menjauhi perkarangan Serim High.

Gedik dia ingin berlama-lama di sekolah neraka ini.

Sementara itu, tidak jauh dari sana, terdapat sepasang mata yang memandang kepergian mobil Sedan itu dengan sejuta rasa lega di dalam hati.

Jeno akhirnya bisa tenang sebaik saja melihat Jung Gya selamat biarpun bersama Park Jihoon.

Wajahnya disembunyikan pada stereng mobil dengan mulut yang tidak henti-henti bersyukur.

Dia sudah tidak peduli jika Jung Gya pergi bersama cowok lain lagi. Itu sudah cukup baginya daripada harus melihat Jung Gya disentuh oleh paman dan sepupu gilanya itu.

Benar-benar, hari ini sudah menjadi pengajaran terbesar untuk Lee Jeno agar tidak mengambil risiko besar seperti ini lagi.

Panggilan masuk daripada Mark mengejutkannya. Sontak ia mengangkat kepala dan mengangkat panggilan daripada Mark.

"Gue udah urusin hal tadi. Cewek tadi, namanya Kim Inaya. Teman sekelas Jung Gya. Dia trauma tapi dokter Joy udah rawat dia."

Lega Jeno mendengarnya.

"Ini sebabnya kenapa gue bilang sama lo supaya lepasin Jung Gya. Lo faham kan sekarang?"

Jeno diam tidak membalas kata-kata Mark dari seberang sana.

"Hari ini kita bernasib baik, bukan Jung Gya mangsanya. Lain hari? Apa lo yakin untuk pertaruhin keselamatan Gya semata-mata demi ego lo sendiri? Lo sanggup kehilangan lagi?"

Kata-kata Mark benar-benar tamparan besar buat Lee Jeno. Iya, dia terlalu ego dengan mengklaim kalau Jung Gya hanya miliknya tanpa sedar akan bahaya yang mungkin menanti.

"Gue tau lo cinta sama dia lo pengen lindungin dia. Tapi, satu-satunya cara untuk ngelindungin dia adalah ini. Lepasin Jung Gya. Ya?"

Tidak mendengar kelanjutan kata-kata Mark, ponsel Jeno langsung melurut jatuh daripada pegangannya.

Mark benar. Mereka semua benar. Dia hanya bisa melindungi Jung Gya dengan cara melepasnya pergi.

Sementara itu, di dalam mobil, keduanya hanya mendiamkan diri.

Jihoon yang masih fokus dengan pemanduan sementara Jung Gya hanya melihat ke luar jendela sembari sesekali bermain dengan bias air yang kebetulan masuk ke dalam.

Jihoon benar-benar sedang tiada mood untuk berbicara walau sepatah pun. Suasana hatinya benar-benar buruk semenjak tadi pagi kerana Jung Gya bersikeras untuk sekolah di Serim High.

Padahal dia sendiri sudah menguruskan perpindahan Jung Gya ke Saint Ford High School. Salah satu sekolah yang menerima dana dari syarikatnya.

Baginya Jung Gya bodoh kerana mau sekolah di tempat neraka itu lagi.

Apa cewek itu lupa bagaimana Gyo dirundung sampai nyawa sendiri terkorban? Apa cewek itu lupa kalau dirinya menjadi mangsa pelecehan di sekolah itu juga? Apa dia lupa dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang itu kepadanya?

Jihoon benar-benar tak habis fikir.

Dalam banyak-banyak hal yang sudah dirinya dan orang tuanya siapin buat cewek itu, yang dimaunya malah yang paling tidak terbaik.

Maunya apa sih sebenarnya. Benar-benar. Dalam banyak makhluk dunia yang bernama cewek, Jung Gya adalah yang paling sulit untuk dimengerti.

Ah tidak. Paling tidak bisa dimengerti. Itu baru tepat.

Lazimnya manusia akan pergi jika disakiti. Bila hal itu tidak baik untuknya, maka tinggalin saja.

Bukankah begitu yang seharusnya?

"Gue tau lo pasti masih marah kan sama gue." Jung Gya akhirnya bersuara memecahkan keheningan antara keduanya.

"Ch! Kalau udah tau ngapain dibahas?" Dibalas dengan decihan Jihoon yang masih fokus mengendarai mobil nya.

Keduanya kembali membisu setelahnya. Jung Gya kembali memusatkan perhatian pada jendela mobil yang entah kenapa kelihatan sangat menarik daripada hari sebelumnya.

Jihoon yang tidak menyangka akan menerima respon seperti ini mahu tak mahu bersuara tertahan.

"Kenapa sih lo itu kayak orang yang gak tau bersyukur? Mommy sama daddy gue udah tawarin buat lo ikut ke Melbourne, supaya lo bisa dapetin rawatan, lupain semuanya. Mulain hidup baru. Lo gak mau." Nadanya benar-benar kedengaran tidak bersahabat.

Tanda kalau apa yang dibicarakan nya saat ini benar-benar serius.

"Si Jaehyun juga udah pada nawarin lo ikut dia ke Paris. Dia bakal jadi wali sah lo. Supaya lo lebih nyaman sama dia kerana mungkin lo ngerasa sungkan sama bonyok gue. Juga lo tolak."

"Tapi sekarang, lo malah balik lagi ke sekolah sialan itu. Ketemu sama orang-orang bajingan itu. Ketemu sama kakak tiri lo. Maksudnya apa coba?" Timpal Jihoon lagi seakan-akan memberi tamparan pada Jung Gya.

Dengan harapan agar gadis itu sadar dengan kesilapannya sendiri.

"Berhenti siksa diri lo sendiri. Udah bertahun lama—"

"Gue gak mau sendiri!"—Jung Gya.

"Lo gak mau sendiri apa cob—. Wait! What?"

Jihoon seakan-akan tidak percaya dengan apa yang didengarinya ketika ini. Saking kagetnya, mobilnya sampai-sampai diberhentikan di lereng jalan.

"M-maksud lo?" Soalnya langsung kepada Jung Gya yang kini menatapnya nanar. Bola mata gadis itu kelihatan berkaca.

Helaan lembut keluar dari bibir cewek itu.

"Iya, Ji. Gue takut, gue gak mau ngerasa sendirian lagi kayak dulu. Itu udah cukup nyiksa gue sampai gue mau mati aja!"

Kata-kata Jung Gya malah membuat Jihoon semakin pusing. Tersiksa? Sejak kapan gadis itu merasa seperti ini?

"Lo pasti gak tau kan?" Tambah Jung Gya lembut. Menatap nanar pada sepasang mata Jihoon.

"Selama ini, alasan sebenar gue gak mau ikut mommy atau Kak Jae ke tempat mereka kerana gue trauma Ji. Gue gak bisa ninggalin semua yang berlaku di sini. Setiap malam, gue selalu dikejar sama mimpi buruk."

Tunggu. Jadi selama ini? Jung Gya...

"Gue sengaja gak bilang ke orang tua lo kerana gue gak mau bebanin mereka. Bukan karna gue gak sayang, tapi oleh karna gue sayang, makanya gue sembunyikan ini. Simpan buat diri gue sendiri." Timpal gadis itu lagi sembari menahan getaran.

Sejak dulu, alasan Jung Gya untuk tidak menghilangkan diri, kabur dari kehidupan menyakitkan ini kerana itu.

Rasa sakit yang ia rasakan seolah-olah tidak mahu meninggalkannya. Membuntuti nya ke mana pun tanpa ada niat untuk hilang.

Semuanya bermula sejak kehilangan bundanya saat usianya baru sahaja 9 tahun.

"Sejak bunda meninggal, gue benar-benar hancur Ji. Gue gak bisa terima kalau bunda meninggal kerana dibunuh. Bahkan sampai sekarang pembunuhnya gak ketemu dan bunda benar-benar pergi secara gak adil."

Sungguh Gya sangat benci jika harus mengingat semua ini kembali.

Peristiwa malam itu, yang membuatnya kehilangan satu-satunya sosok yang paling sayang sama dia. Dengan mudah, kebahagiaan mereka direnggut secara kasar bahkan oleh orang yang tidak dikenali.

"Gue kira, dengan ikut sama keluarga lo jauh dari sini, bisa kembaliin diri gue yang dulu. Gue kira itu solusi agar gue bisa lupain semuanya. Jalanin hidup gue kayak orang lain. Bahagia."

"Tapi ternyata gue salah, Ji. Itu bukan solusinya. Bahkan tidur malam gue selalu dihantui dengan bayangan itu. Bayangan bunda, seorang wanita yang gue gak tau siapa. Dan juga, lelaki-lelaki tanpa wajah yang ngejar gue malam itu."

Telunjuk Jung Gya naik menunjuk-nunjuk dadanya sendiri.

"Ini! Hati gue benar-benar sakit. Setiap kali gue mencoba buat kembali mengingati semuanya. Hati gue kayak diremas-remas Ji. Gue ngerasa sakit, sesak kerana gue gak bisa ingat apa sebenarnya terjadi malam itu. Siapa yang bunuh bunda!"

Benar. Gya serius dengan kata-katanya.

Selama ini, mimpi buruk itu bukanlah permainan tidur. Tetapi merupakan cebisan memori yang penuh lompong.

Banyak bahagian-bahagian yang hilang sehingga Gya sendiri hampir gila untuk menemukan bahagian itu.

Setiap kali ia ingin mengingatnya, dan setiap kali juga usaha itu gagal. Semuanya membuatnya hampir gila.

Padahal dia benar-benar ingin tahu siapa wanita asing itu. Kunci kepada kematian bundanya dipegang oleh wanita asing itu.

Tapi, wajahnya saja tidak bisa diingati olehnya. Bagaimana itu tidak membuatnya gila?

"Coba lo bayangin sendiri! Di usia gue yang sekecil itu, gue udah alamin semua penderitaan ini! Kudrat apa yang anak sekecil gue punya buat bisa bertoleransi dengan itu semua Ji? Apa?"

Kali ini, biarlah dia menceritakan segalanya kepada Jihoon.

Agar setidaknya cowok itu pengertian walau sedikitpun dan berhenti menyuruh nya untuk pergi jauh.

"Dan lo tau, sialnya mimpi itu mula berkurangan saat gue kembali ke tempat ini. Gue gak ngerasa tersiksa sebanyak yang gue alamin dulu."

"Padahal di sini tuh lebih banyak orang yang udah nyakitin gue, Ji. Bagaimana bisanya gue malah nemuin ketenangan di sini. Kisah hidup gue benar-benar rumit." Timpalnya lagi seraya memandang ke luar jendela.

Hujan sudah berhenti sejak Jung Gya mula membuka suara kepada Jihoon.

Entah kenapa, kebelakangan ini, Gya benar-benar benci sama yang namanya hujan. Sungguh beda dengan dirinya yang dulu.

Sebelum kepergian Gyo.

Apa ini yang disebutkan sebagai trauma? Sejak kejadian malam itu.

Jihoon menelan ludah dengan susah payah. Ia mencuba melirik wajah Jung Gya yang membelakanginya.

"Maaf, g-gue gak tau. Andai gue tau, gue gak mungkin maksa lo." Kata Jihoon ikhlas.

Terbit rasa sesal dalam hati Jihoon kerana menyimpan prasangka buruk kepada Jung Gya selama ini. Andai saja dia tahu hal ini lebih awal.

"Jadi, gue minta sama lo. Ngertiin gue. Gue gak mau pergi dari sini bukan kerana gue gak mau. Tapi, dengan gue kekal di sini, gue bisa lawan segala rasa sakit gue, Ji. Dengan ini gue bisa sembuh dari semua luka yang entah kapan bakal berakhir. Ya?"

Pandangan Jung Gya kembali pada Jihoon yang seakan-akan terpaku dengan pengakuannya barusan.

Sebuah pengakuan yang hanya disimpannya sendiri selama bertahun-tahun ini.

"Gue gak mau lari dari masalah. Andai gue bisa nunjukin hati gue ke lo, lo pasti ngerti dengan rasa sakit ini. Lo—"

Belum habis menuntaskan ayat, Jung Gya langsung terkedu apabila Jihoon menariknya ke dalam pelukan hangat cowok itu.

"Maaf ya gue gak tau. Maaf kalau selama ini terlalu memaksakan keinginan gue."

Dapat Gya rasakan elusan lembut Jihoon pada puncak kepalanya. Begitu juga dengan dagu cowok itu yang didaratkan pada kepalanya. Memberi sejuta kehangatan pada sekeping hatinya.

"Tapi lo juga harus bisa terbuka sama gue." Lanjut Jihoon menjarakkan tubuh keduanya. Kedua bahu gadis itu diremat lembut. Seakan-akan bisa memberikan kekuatan.

"Lo kira gue apaan di sini? Patung? Apa cuman bank bergerak lo? Kalau gitu, mendingan lo jadi sugar baby gue aja. Gue bisa kok, sediain semua keperluan lo. Lo gak bakalan kekurangan sedikit pun."

Seketika Jung Gya mendelik dengan wajah bergidik ngeri. Pegangan Jihoon pada bahunya juga dileraikan.

"Bisa-bisanya lo berfikiran yang kayak gitu di saat saat begini. Dasar pedo!"

Tuduhan yang dilemparkan Gya membuat Jihoon ketawa senang. Bisa-bisanya cewek itu melabelnya sebagai pedo.

"Kagak ada akhlak emang. Gue ganteng-ganteng muda kek gini dibilang om pedo." Tangannya menyentil dahi lebar Jung Gya.

"Gimana enggak coba. Gue kan lagi serius tadi nyet!"

"Lah, kan gue juga sedang serius anjir!"

Ternyata author tidak bisa menuliskan moment manis kedua pasangan ini terlalu lama. Hukum alamnya Jung Gya dan Park Jihoon akan kekal(for now) seperti ini, duo Tom and Jerry.

Belum lama berkongsi moment manis, keduanya kembali bertengkar.

Berbalik pada keduanya. Kini Jung Gya dan Park Jihoon sudah kembali seperti biasanya. Saling bertengkar dan beradu mulut.

Jihoon akhirnya kembali menghidupkan enjin mobil yang sempat terhenti tadi. Perlahan dan lebih santai, pacuan empat roda itu membelah jalan raya.

"Nah, mumpung lo udah gak marah. Temenin gue ke kedai haiwan yuk."

"Hah? Ke kedai haiwan? Ngapain?"

Gya ketawa kecil.

"Gue mau beli anjing buat nemenin gue di rumah. Masa rumah segede itu yang ninggalin cuman gue doang. Rada seram kan?"

Jihoon menggelengkan kepala sembari mendecih tidak percaya.

"Jadinya anjing buat jadiin pengawal nih? Kenapa perlu anjing sih? Kan tinggal bilang, gue bisa bayar bodyguard buat lo!'

Gya memuncungkan bibirnya dengan kata-kata yang jelas sedang pamer.

"Heh, gue mau beli anjing bukan orang."

"Ya udah. Kalau gitu, yuk kita cari sekarang." Putus Jihoon akhirnya. Tidak mengapa juga sih kalau Jung Gya mahu memelihara anjing.

Kerana menurut kajian, anjing bisa mengurangkan tekanan sang pemilik. Siapa tahu cara ini benar-benar berkesan buat Jung Gya.

"Lo udah mikir pengen anjing apa?"

Oh iya. Jung Gya baru teringat mengenai itu. Ia harus tahu kan anjing apa yang ingin dibelinya. Tidak mungkin asal beli.

"Asalkan bukan bulldog atau Shepherd. Pastikan juga warnanya putih." Pesan Jihoon jahil.

"Loh kalau gue mau yang item kenapa emangnya?" Tanya Jung Gya tidak mengerti.

"Gue takut tertukar saat liat lo sama anjingnya. Kan sama!"

"YAHHH PARK JIHOON!! LO SAMAIN GUE SAMA ANJING!!"

______________________________________________

"Gimana? Ketemu?"

"Gak tuan!"

"What?!! Kalian tuh ngelakuin kerja gimana sih? Masa suruh jejakin anak saya aja gak bisa?!!"

Begitulah kira-kira amarah Kim Suho yang menggelegar di seluruh ruangan sebaik saja mendapat perkhabaran kalau Jung Gya gagal dijejak.

Dua pengawal nya itu sampai terhinjut bahu saking takut dengan amarah sang ketua.

Jika begini tiap hari, bisa-bisa mereka dibuang kerja.

"Tapi bos. Saya menyimak ke syarikat penerbangan, mereka memaklumkan kalau ada tempahan dibuat untuk nama Jung Gya dua hari yang lepas."

Kim Suho yang tadinya sedikit merasa kecewa langsung menoleh penuh pengharapan.

Akhir nya ada petunjuk.

"Penerbangan ke mana?"

"Melbourne."

Deggg!!

Jantung Kim Suho seakan-akan terhenti begitu saja. Melbourne? Jadi, anaknya itu benar sudah memilih untuk pergi dari hidupnya?

Sebegitu sekali rasa kecewa yang sudah dilukiskan olehnya pada anaknya.

Kedua pengawal itu disuruh keluar sebelum tangannya mencapai ponsel.

Nama seseorang didail cepat.

"Hello, Chanyeol. Tolong kasih gue peluang. Biarin gue ketemu sama anak gue!"

Sebaik saja panggilan diangkat, Kim Suho langsung menanyakan perihal anaknya kepada orang di seberang sana.

"Hahh. Sudah Suho-ya. Gue udah gak mau bantuin lo lagi. Maaf, gue gak bisa. Apatah lagi ini menyangkut anak Jung Jisoo. Gue gak bisa."

Penolakan yang diterimanya daripada sahabat lamanya itu.

Refleks tangan Kim Suho terkepal menahan amarah.

"Itu anak gue! Gue punya hak ke atas dia!"

"Hah? Hak? Hak apa yang lo bicarain? Hak buat ngelakuin yang seenaknya? Hak buat ngebuang anak-anak lo sendiri? Begitu?!"

Jawaban itu membuat Kim Suho tertohok kenyataan.

"Ayah mana yang sanggup nyakitin anaknya sendiri? Ayah mana yang sama sekali gak peduli sama anak-anaknya? Lo gak pantas jadi ayah anak-anak Jisoo!"

Park Chanyeol yang berada di seberang sana melampiaskan rasa tidak puas hatinya yang satu itu. Dia sudah lelah memendam rasa. Membiarkan temannya itu berbuat sesuka hati kepada zuriat Jung Jisoo.

Sekarang sudah masanya cowok itu diberi pelajaran.

"Dulu, lo lupa sama perjanjian kita sebelum lo ambil anak-anak Jung Jisoo dulu?"

Suara di sana berbunyi lagi.

"Gue bilang, kalau sekali ini lo sia-siain mereka, gue gak bakalan biarin lo ketemu mereka selamanya. Kan? Dan lo sendiri setuju!"

"Iya, gue tau. Tapi, gue sama sekali gak punya niat buat ngebuang mereka! Gue terpaksa!"

"Cukup dengan alasan lo, Suho. Gue dah gak percaya. Semua kata-kata lo hanya kebohongan. Saat Jung Gyo meninggal, lo di mana? Anak laki-laki itu sampai gak bisa merasain rasanya disayang dan dipeluk ayah sendiri! Bahkan Jung Gya sampai merayu, mengemis-ngemis ke rumah lo. Tapi apa yang dia dapat? Dihalau kayak anjing kurap!"

"Itu yang lo bilang gak ada niat? Iya?!"

Kali ini, Kim Suho benar-benar terdiam. Sekaligus bingung.

?

Sebentar. Kenapa dia sama sekali tidak tahu soal anak gadisnya yang datang ke rumahnya. Sampai merayu dan mengemis? Dihalau?

Kenapa dirinya tidak tahu-menahu kalau anaknya pulang? Kenapa dia tidak dimaklumkan kalau anaknya membutuhkannya? Kenapa?

Rambutnya diraup kasar. Dasinya dilonggarkan agar bisa bernafas. Sungguh ini mengejutkan.

"G-gue gak tau lo bilang apa. T-tapi, gue benar-benar gak tau. Kapan Jung Gya pulang? Kenapa gue gak tau?"

?

"Udah, gue gak mau dengar apa-apa dari lo lagi. Sebaiknya lo gak usah ambil tahu soal Jung Gya lagi. Dia selamat sama gue.Biar gue sendiri yang jaga dia. Gue sendiri juga yang akan jalanin tanggungjawab layaknya seorang ayah kepada anak yang udah lo sia-siain ini."

"Satu hal lagi, gue harap lo bisa minta maaf ke Jisoo atas segala rasa sakit yang udah dia dan anak-anaknya rasain gara-gara lo."

Tuttt... Tuttt... Tuttt..

Sambungan diputuskan dan Kim Suho tidak bisa berkata apa-apa pun.

Ia harus menerima kenyataan kalau dirinya telah gagal. Dia kehilangan segalanya. Kehilangan Jung Jisoo dan kenangan bersama wanita itu.

Satu-satunya sebahagian wanita itu juga sudah terlepas dari genggamannya.

Semuanya kerana kesilapannya...

TAMAT

TAPI BOONG......????????????????

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience