Bab 24. Kenapa?

Other Completed 12761

Kanaya masih terisak di dekapan Radit. Hatinya sakit. Hancur. Perih. Kata-kata Dava benar-benar menohok hatinya. Radit melepaskan dekapannya lalu menangkup pipi Kanaya dengan kedua tangannya. Ia menatap lembut gadis itu. Wajahnya sangat berantakan. Air mata yang terus mengalir serta rambut yang sudah acak-acakan.

" udah jangan nangis. Ada gue Nay " kata Radit menenangkan.

" yaelah Dit! Lo masih aja belain pelacur kayak gitu " celetuk salah satu siswi yang melihat Radit dan Kanaya.

Kanaya memejamkan matanya menahan sakit. Ia tak mampu untuk sekedar menyangkal ucapan orang itu.

Radit mengalihkan pandangannya ke arah siswa itu. Menatapnya tajam.

" lo ga tau apa-apa tentang Kanaya. Jadi jangan nge-judge dia tanpa alasan yang jelas " desis Radit tajam.

" kan udah jelas dia emang pelacur Dit! " teriak siswi yang ada di pojok dekat mading sekolah.

Radit memalingkan wajahnya menatap siswi itu. Dengan lengkah tegas Radit menghampirinya. Siswi itu menunduk takut melihat Radit mendekat ke arahnya. Radit mengangkat dagu wajah gadis itu dengan telunjuknya. Di tatapnya tajam membuat gadis itu bergidik ngeri.

" masih untung lo cewek. Kalo cowok, gue pastiin wajah lo ga akan sesempurna ini " kata Radit datar dan dingin lalu menghempaskan wajah gadis itu dengan kasar.

Radit menghampiri Kanaya lalu menarik lembut tangan gadis itu dan membawanya menjauh dari koridor.

Kanaya duduk di bangku taman dengan Radit di sampingnya. Tatapan gadis itu lurus kedepan. Tatapannya kosong. Ia masih memikirkan perkataan Dava tadi pagi. Perlahan namun pasti, satu tetesan luruh dari kelopak matanya. Hanya air mata tanpa ada isakan seperti beberapa saat lalu.

" Nay? " panggil Radit setelah cukup lama mereka terdiam.

" iya? " sahut Kanaya parau.

Radit menyodorkan selembar foto yang di cetak dengan ukuran 5R itu. Kanaya membulatkan matanya terkejut melihat foto itu. Ia membekap mulutnya tak percaya. Air matanya kembali menetes. Sekarang ia tau mengapa semua orang menggunjingnya. Ternyata ini alasannya.

" lo bisa jelasin? " tanya Radit.

" ini ga seperti yang ada di foto Dit, gue  bisa jelasin " kata Kanaya dengan mata berkaca-kaca lagi.

Radit tersenyum lalu mengusap air mata Kanaya yang sudah terjatuh.

" lo ga perlu jelasin itu ke gue. Karena gue selalu percaya sama lo. Lo jelasin itu ke Dava. Dia yang lebih butuh penjelasan lo " kata Radit.

Kanaya mengangguk lalu bergegas mencari Dava. Radit pun mengikutinya dari belakang. Mereka menemukan Dava, Yuna, Dara, dan juga Nathan ada di ruang musik.

Kanaya mengintip lewat pintu yang tidak tertutup rapat. Ia dapat melihat Dava disana sangat dekat Yuna. Mereka tertawa bersama seolah menunjukkan mereka adalah pasangan paling bahagia di dunia. Bahkan sesekali Yuna menyandarkan kepalanya di bahu Dava. Dan Dava sama sekali tidak menolak itu. Hal itu membuatnya sakit. Apalagi Yuna adalah masa lalu Dava. Membuat Kanaya takut kalau Dava akan jatuh kembali ke pelukan Kanaya.

Kanaya dapat merasakan sebuah sentuhan lembut di pundaknya. Kanaya menolehkan kepalanya. Radit tersenyum kemudian menganggukkan kepalanya. Menguatkan hati, Kanaya membuka pintu itu menimbulkan suara decit yang membuat semua orang yang ada di dalam menoleh ke arah Kanaya dan Radit.

" ngapain? " tanya Dava dingin tanpa menatap Kanaya.

" yang kamu lihat di foto itu ga bener Dav, iya aku emang waktu itu tidur di hotel. Tapi aku ga tau Dav. Waktu itu ada orang yang nyulik aku dan dia memukul tengkuk ku. Aku pingsan. Dan setelah aku bangun, aku udah ada di hotel. Aku ga ngapa-ngapain sama orang itu Dav. Bisa jadi orang itu sengaja menjebak aku " kata Kanaya menjelaskan kepada Dava.

" maksud gue, lo ngapain ada di sini? " pertanyaan Dava berhasil menohok hati Kanaya.

Air mata luruh kembali. Entah sudah berapa kali ia menangis hari ini. Ia lelah. Dan ini? Kenapa Dava seperti ini? Apa dia tak menghargai sedikit pun penjelasan Kanaya?

" aku kesini cuma mau ngejelasin masalah ini Dav. Ini cuma gosip. Dan aku kayak gini juga gara-gara kamu. Aku ada di hotel itu juga gara-gara kamu! " pekik Kanaya.

Emosi sudah tak terbendung lagi. Dava mengangkat sebelah alisnya.

" pas kita pulang dari acaranya Dara sama Nathan, Yuna waktu itu nge-chat aku, dia bilang kamu pengen ketemu. Dia bilang kamu pengen bicara penting sama aku. Dia bilang kamu bakal nemuin aku di taman dekat rumah ku. Tapi apa?! Kamu bahkan ga dateng. Kamu bahkan ga peduliin aku yang nungguin kamu sampe ada orang yang nyulik aku! Kamu itu ga punya hati! "
Teriak Kanaya histeris di depan wajah Dava.

" kok lo bawa-bawa gue sih Nay? Gue ga tau apa-apa " Yuna menyangkal ucapan Kanaya.

Kanaya menatap Yuna tak percaya. Bagaimana bisa Yuna berbicara seperti itu? Padahal jelas-jelas dia chat Kanaya waktu itu.

" kenyataannya emang lo chat gue waktu itu Yun! " kata Kanaya dengan nada tinggi.

Dava menatap Yuna dengan tatapan meminta penjelasan.

" Dav, aku ga tau apa-apa. Kamu tau sendiri kan waktu itu aku tidur di mobil. Jadi ga mungkin aku nge-chat Kanaya " kata Yuna menjelaskan.

Memang benar. Waktu Yuna memang tertidur. Pasti Kanaya mengada-ada.

" lo ga bisa nuduh Yuna sembarangan tanpa bukti " ucap Dara sinis.

Kanaya ingin menunjukkan isi chat Yuna, namun sayang, kemarin ia mereset ulang ponselnya. Otomatis pesannya pun hilang.

" dasar munafik!! Sahabat macam apa lo?! Gue udah izinin lo buat jadi sahabat Dava tapi apa? Lo itu ga pantes buat di jadiin sahabat! " teriak Kanaya di depan Yuna.

Yuna hanya terisak. Tangisan palsu!, batin Kanaya. Sekarang ia tahu betapa liciknya Yuna.

" lo yang ga pantes di jadiin sahabat apalagi pacar. Lo itu pelacur " pekik Dava lagi kali ini sambil mendorong bahu Kanaya.

Kanaya pasti terjatuh kalau saja Radit tidak menahan tubunya. Ia sengaja diam tak menyela perdebatan di hadapannya. Ia sengaja ingin melihat bagaimana reaksi Dava. Ia mengeram kesal saat Dava mendorong Kanaya.

" kalo lo ga bisa nerima penjelasan Kanaya, setidaknya lo ga usah berlaku kasar " ucap Radit dingin.

" mending lo bawa pelacur lo keluar dari sini. Gue jijik liatnya " kata Dava tanpa menyaring ucapannya.

" psikopat! " teriak Kanaya

Kanaya menatapnya tajam. Tak ingin memperburuk suasana, Radit menarik tangan Kanaya keluar, namun saat sampai di pintu, Kanaya melepaskan tangan Radit dari tangannya. Berjalan ke arah Dava yang tengah merangkul Yuna dengan tangisan palsunya. Di dorongnya Yuna sampai terjatuh, lalu

Plak!!!

Satu tamparan keras mendarat mulus di pipi Dava. Dava memegangi pipinya yang terasa panas.

" kenapa? Sakit? Itu ga sesakit sama apa yang aku rasain " ucap Kanaya lalu pergi bersama Radit.

*             *              *

Kanaya dan Radit kini berjalan menyusuri koridor. Tangan Kanaya tak pernah lepas dari genggaman tangan Radit. Ia bahkan menatapnya sangat lama. Radit tau itu, tapi ia tak menghiraukan. Yang ia inginkan saat ini adalah Kanaya aman bersamanya. Ini caranya menunjukkan rasa cintanya pada Kanaya.

Mereka sadar, banyak pasang mata yang memandangnya sinis.

" Radit-Radit, mau aja sih lo mungut lepehannya Dava "

" cewek ga tau diri. Udah tahu bitch masih aja deketin cowok baik-baik "

" Radit nya aja yang gampang di bodohi "

Dan masih banyak lagi cibiran yang di dengar Radit dan Kanaya. Namun keduanya tak menghiraukan. Niat Radit untuk mengantar Kanaya ke kelas pupus sudah. Ia memutar haluan menuju parkiran sekolah. Kanaya mengernyit heran.

" mau kemana Dit? " tanya Kanaya.

Radit kini sudah berada di atas motornya dengan helm yang sudah terpasang manis di kepalanya.

" buruan naik " pinta Radit.

" mau kemana? Mau bolos? " tanya Kanaya tepat mengenai sasaran.

" iya " jawab Radit singkat.

" tapi kan Dit... "

" lo yakin mau tetep di sekolah dengan situasi kayak gini? Lagian gue ga mungkin ngebiarin lo ada di antara orang-orang yang mau ngebunuh lo secara perlahan " kata Radit.

Kanaya menghembuskan nafas pelan. Benar juga kata Radit, jika ia tetap tinggal, yang ada akan semakin banyak cacian yang di terima hari ini. Belum lagi hari esok. Pasti mereka masih mencacinya. Kanaya langsung naik ke atas motor Radit.

Radit segera memacukan motornya keluar dari gerbang Jaya Bakti. Radit mengendari motornya dengan kecepatan rata-rata. Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah rumah minimalis.

Radit melepas helm nya. Kanaya mengernyit heran.

" rumah siapa? " tanya Kanaya.

" rumah gue " jawab Radit enteng.

Kanaya membelalakan matanya. Rumah Radit? Yang benar saja. Kalau orang tua Radit tau anaknya membolos dengan membawa wanita ke rumah apa kata mereka?

" biasa aja deh Nay. Ini rumah gue sendiri. Bukan punya orang tua gue. Gue jarang ke sini sih. Soalnya gue tinggal sama orang tua gue. Tapi berhubung situasi nya lagi kayak gini, gue rasa kesini bukanlah hal yang buruk " jelaa Radit saat melihat ekspresi kaget Kanaya.

Kanaya menghela nafas lega. Radit pun hendak melangkah masuk, namun Kanaya memanggilnya. Radit menghentikan langkahnya lalu menoleh ke Kanaya yang masih berdiri di tempatnya.

" kenapa? " tanya Kanaya ambigu.

Radit menaikkan sebelah alisnya.

" kenapa lo bisa percaya sama gue sedangkan mereka bahkan memilih untuk menjauh dari gue " ujar Kanaya membuat Radit tersenyum.

" karena orang yang benar-benar cinta ga akan tega ngeliat orang yang di cintainya terluka Nay " kata Radit dengan senyuman yang menawan.

Kanaya tersenyum getir. Seandainya ini adalah Dava. Pasti ia akan senang mendengarnya. Bukannya ia tak senang Radit mengatakan itu, namun jika yang mengatakan itu adalah Dava pasti rasanya akan berbeda.

" thanks Dit " kata Kanaya lalu menyusul Radit.

Mereka pun akhirnya masuk ke dalam secara bersamaan.

--------------------------

Salam Author Manis:*
Jangan lupa vote ya:D

Sisain satu dong yang kayak Radit??

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience