Malam itu ketika Ceci dan Brian sudah terlelap, Jhen berpamitan kepada pembantu rumah tangganya untuk pergi menemui temannya sebentar. Jo menjemput Jhen untuk menemui Moa.
Sesampainya di bar Moa. Jhen langsung memesan Tequila pada bartender yang ada disana.
"Dia membuat gara-gara denganmu?" Tanya Moa saat tahu Jhen memesan minuman pada karyawannya.
"Kenapa kamu menceritakan semuanya pada Theo?" Eksepresi Jhen terlihat kecewa dan putus asa.
"Dia suamimu. Sudah seharusnya dia tahu semuanya." Moa duduk di kursi sebelah Jhen .
"Kenapa tidak kamu biarkan aku saja yang memberitahukannya?" Tanya Jhen sambil menerima sloki kecil minumannya dan meminumnya.
"Dia menanyakan hal itu pada mama. Kamu tidak akan tahu bagaimana ekpresi mama saat itu,Jhen. Ceci juga ada disana. Kamu ingin dia mendengarkan kebenaran tentang siapa dirinya?" Moa melambaikan tangannya pada karyawannya untuk memberikan Jhen minuman lagi dan juga dirinya.
"Theo sendiri yang ingin mengetahui soal masalalumu. Biarkan dia mengetahuinya Jhen. Dia hanya ingin kamu berbagi beban dengannya." Lanjut Moa.
"Berbagi bebanku?" Jhen tersenyum sinis pada dirinya sendiri.
"Masa itu adalah masa terkelamku , Moa. Itu bukan beban yang harus ditanggung siapapun. Semuanya terjadi karena kesalahanku. Aku tidak memerlukan orang lain untuk ikut menanggungnya bersamaku." Kata Jhen sambil menenggak minumannya.
Moa bisa melihat Jhen terluka lagi. Ia tidak tahu jika memberitahukan segalanya pada Theo akan membuat Jhen terlihat seperti ini. Namun Moa merasa keputusannya sudah tepat. Moa merasa Theo orang yang akan menjaga Jhen walau apapun keadaan Jhen dimasalalu.
"Apa Theo mengatakan sesuatu yang menyakitimu?" Tanya Moa dengan hati-hati kali ini.
"Tidak. Hanya saja aku merasa dia menghindariku. Mungkin dia merasa menyesal sudah menikahiku." Jhen melipat tangannya diatas meja bar dan meletakkan dagunya diatas kedua tangannya yang terlipat .
"Jika memang seperti itu maka dia akan langsung menceraikanmu. Mungkin dia butuh waktu untuk berpikir Jhen."
Jhen terdiam menghela nafas panjang.
"Theo lelaki yang baik. Dia tumbuh dalam keluarga yang harmonis dan ideal. Seharusnya dia tidak menikahiku." Jhen mulai merasa dirinya benar-benar tidak sepadan dengan Theo. Sejak awal pernikahan mereka adalah kesalahan karena kesalahpahaman orangtua Theo.
"Apa yang membuatmu tidak pantas bersamanya?" Tanya Moa mulai kesal dengan cara berpikir Jhen.
"Statusku,pendidikanku,derajatku,dan masalaluku." Jawab Jhen sudah mulai merasakan efek minuman yang ia minum.
"Memangnya kamu hidup dijaman apa? Sekarang itu tidak ada hubungannya kamu mencintai seseorang dengan status,derajat, dan pendidikan." Timpal Moa yang sedari dulu paling tidak suka jika ada siapapun mengungkit soal 3 hal itu.
"Apa orangtua Theo bersikap buruk padamu atau Ceci?"
"Tidak, orangtua Theo sangat baik padaku maupun Ceci. Bahkan terlalu baik. Mereka mau menerima Ceci sebagai cucu mereka sendiri. Memberikan Ceci kamar yang Ceci impikan sejak lama. Theo juga mau menjadikan status Ceci sebagai anak kami." Jawab Jhen lalu matanya meredup.
"Tapi entahlah setelah ini apa yang akan ia rasakan pada Ceci dan aku. Kalau hanya perlakuannya berubah kepadaku,aku akan terima. Tapi jika ia berubah pada Ceci,aku yang akan pergi."
Saat Jhen hendak minum lagi,Moa melarangnya.
"Sudah berhenti. Kamu tidak boleh banyak minum. Jangan sampai mertuamu melihat keadaanmu dan Theo sedang merenggang begini. Jangan menyulitkan keadaanmu sendiri. " Kata Moa sambil meletakkan gelas minuman Jhen jauh-jauh dari mereka.
Jhen mengerjapkan matanya. Kepalanya terasa mulai pusing. Moa benar,ia akan pulang sekarang. Anak-anaknya masih akan membutuhkannya. Dia akan memikirkan soal Theo besok saja. Setidaknya beban dihatinya sedikit terasa lebih ringan daripada sebelumnya.
-------------------------------------------
Theo sudah sampai di singapura dan langsung menemui investornya itu. Mereka berbincang panjang lebar hingga lewat tengah malam. Percakapan akan berlanjut lagi esoknya.
Rasa lelah dan jadwalnya yang padat membuat Theo lupa memberikan kabar pada Jhen. Theo melihat ponselnya . Tidak ada panggilan maupun pesan dari Jhen, namun panggilan dan pesan banyak dari Adam yang ada di ponsel Theo. Theo mengirimkan pesan pada Jhen bila dia sudah sampai di singapura. Tidak ada balasan dari Jhen. Bahkan setelah Theo selesai mandipun sama sekali tidak ada balasan.
Theo menghubungi Jhen namun tidak ada jawaban. Mungkin Jhen sudah tidur saat ini.
Keesokan paginya,Theo melihat ponselnya dan tidak melihat balasan dari Jhen untuknya.
Theo mencoba menghubungi Jhen lagi dan tidak ada jawaban dari panggilan yang ia buat. Theo akhirnya menghubungi telepon di rumahnya.
"Halo?" Suara pembantu rumahtangganya yang menjawab panggilannya.
"Apa istriku dirumah?" Tanya Theo mulai merasa khawatir karena Jhen tidak merespon panggilan teleponnya maupun juga pesan yang ia kirim.
"Ada Tuan. Nyonya sedang tidur. Tadi non Ceci juga sudah berangkat sekolah dengan supir."
Theo bernafas lega,ternyata istrinya hanya tertidur.
"Apa istriku kemarin pergi keluar?" Tanya Theo lagi,lalu mendengarkan suara ketukan pintu dari kamar hotelnya. Theo berjalan kearah pintu dan membukanya,asisten investornya menjemputnya untuk pertemuan selanjutnya.
"Kemarin malam setelah anak-anak tidur,Nyonya pamit keluar,katanya ingin bertemu dengan temannya." Jawab pembantu rumah tangga Theo. Theo langsung memberi isyarat kepada asisten investornya untuk menunggu sejenak.
"Dia tidak mengatakan akan kemana? Dengan siapa dia pergi?" Tanya Theo mulai merasa gelisah karena supirnya tidak akan mengantarkan Jhen tanpa melaporkannya padanya terlebih dahulu.
"Nyonya tidak mengatakan hendak pergi kemana, Pak . Hanya mengatakan jika Nyonya akan pergi ketempat temannya. Dan dijemput oleh temannya."
"Siapa menjemput? Laki-laki atau perempuan?" Theo mulai merasa tidak tenang.
"Saya tidak lihat pak." Kata pembantu rumahtangganya itu dengan polos.
"Lainkali kalau istriku pergi,langsung hubungi aku." Kata Theo lalu menutup telponnya dengan kesal. Theo melihat kearah assisten investornya yang sudah menunggu sedari tadi diambang pintu kamar hotelnya.
Dia harus mengesampingkan masalah pribadinya saat ini. Ia mengambil jasnya yang tergantung di lemari dan memakainya. Suasana hatinya sedang tidak bagus hari ini.
Ditengah-tengah perbincangannya dengan investornya,ponsel Theo bergetar. Jhen membalas pesannya.
-Iya-
Hanya satu kata itu yang ada dalam balasan pesan Jhen. Theo meminta ijin menelpon kepada investornya. Theo berjalan menjauh dari meja diskusinya sambil menghubungi Jhen.
"Hmm..?" Jawab Jhen,suaranya terdengar malas dan sexy. Jhen masih baru bangun tidur. Theo malah membayangkan Jhen tengkurap di atas tempat tidurnya dengan selimut yang berantakan. Bayangan itu membuat tubuhnya bereaksi lagi.
Theo menggelengkan kepalanya,ia harus tahu kemana istrinya pergi semalam.
"Kemana kamu pergi semalam?" Tanya Theo dengan tegas.
"Hmm.. Semalam?" Jhen nampaknya belum sadar sepenuhnya.
" Ke bar Moa." Jawab Jhen pada akhirnya berusaha memusatkan konsentrasinya.
"Siapa yang menjemputmu kesana?"
"Jo.." Balas Jhen singkat.
"Siapa itu Jo?" Tanya Theo mulai tidak sabar.
"Kamu pernah bertemu dia..." Jhen tampaknya sudah mulai bangun kali ini terdengar bunyi gemerisik selimut yang didengarkan Theo.
"Dia anak buah Moa. Ada apa menelpon sepagi ini?"
"Kamu minum semalam?" Tanya Theo lagi. Desahan nafas Jhen dari speaker teleponnya seakan menggelitik telinga Theo.
"Sedikit... " Jawab Jhen sambil menguap.
Terlintas lagi di khayalan Theo jika istrinya seedang duduk dipinggir tempat tidur sambil merentangkan lengannya yang terbuka. Theo benar-benar merasa akan menjadi gila karena membayangkan istrinya sendiri.
"Lainkali jika mau minum hanya boleh denganku. Kalaupun kamu ingin pergi,panggil saja supirku." Kata Theo tegas. Jhen tidak membalas selama beberapa waktu.
"Iya."Jawab Jhen akhirnya.
"Oke. Aku akan rapat dulu. Setelah urusan selesai aku akan pulang." Lanjut Theo lalu menutup teleponnya.
Walau sudah mendengarkan suara dan penjelasan Jhen, Theo tetap merasa tidak tenang. Namun ia mencoba untuk mengontrol emosinya. Saat ini ia sedang bernegosiasi dengan investor terbesarnya untuk membuka resort barunya disini, ia harus bisa tenang agar bisa fokus pada investornya.
-------------------------------------------
Jhen sedang setengah tersadar saat Theo menghubunginya. Setelah Theo menutup teleponnya, Jhen masih merasa bingung apa yang dibicarakan Theo tadi. Kenapa harus mendapatkan ijin dari Theo bila ia harus pergi kemanapun ia mau. Ia sudah tidak diijinkan untuk tampil bernyanyi lagi selama beberapa bulan ini, ia juga tidak bisa menyalakan rokoknya didalam rumah ini. Dan sekarang ia juga tidak boleh kemanapun tanpa ijin dari Theo. Jhen menghela nafas panjang. Dia sudah merasa bosan beberapa hari ini.
Jhen terbiasa dengan semua kegiatannya selama ini,dan kali ini ia harus menjadi ibu rumah tangga yang harus berdiam diri dirumah. Membayangkannya saja sudah membuat Jhen merasa frustasi.
Setelah Jhen selesai mandi dan berbenah,ia keluar dari kamarnya. Pembantu rumah tangganya sedang membersihkan meja didepan kamar utama.
"Pagi Nyonya" Sapa pembantu itu dengan sopan.
"Ceci sudah berangkat?" Tanya Jhen sambil melihat kearah kamar Ceci. Pembantu itu mengangguk
"Sudah,Nyonya. Tadi pagi non Ceci sudah berangkat sekolah diantarkan supir." Jawab pembantu itu lagi.
"Sarapan Nyonya juga sudah disiapkan tadi. Apa mau dipanaskan lagi?"
"Iya boleh. Bree kemana?" Tanya Jhen. Cuma Bree pengobat rasa bosannya karena ia benar-benar tidak melakukan apapun selama berada dirumah Theo.
"Adik Bree sedang mandi." Jawab pembantu itu lalu undur diri untuk menyiapkan sarapan untuk Jhen.
Jhen berjalan kekamar Brian,ingin melihat bayi kecilnya itu. Brian sudah selesai dimandikan oleh perawatnya,wangi Brian sungguh membuat Jhen merasa moodnya jauh lebih baik. Wangi khas bayi yang menyegarkan. Wajah Brian nampak menggoda Jhen untuk menggendongnya.
"Kamu boleh istirahat,biar Bree aku yang pegang." Kata Jhen kepada perawat Brian.
"Iya nyonya." Balas perawat itu lalu meninggalkan kamar Brian.
Jhen mencium pipi Brian yang montok dan mulus itu dengan gemas,membuat Brian tertawa. Tawa Brian yang terkekeh membuat Jhen lupa akan penatnya.
"Bree rindu mama?" Tanya Jhen sambil melihat sayang kepada Brian.
Mulut Brian basah oleh air liurnya sambil memainkan genggaman tangannya yang mungil. Jhen meraih tangan Brian dan memainkannya sambil menggoda Brian Sampai Brian tertawa hingga lelah. Jhen mendengar telepon rumahnya berbunyi selama beberapa kali. Kemudian bunyi itu berhenti. Mungkin pembantu rumah tangganya sudah menjawab telepon. Jhen penasaran siapa yang menelpon pagi begini. Ia pun keluar dari kamar Brian dan melihat ke lantai bawah lewat pagar tangga dekat kamar Brian.
"Siapa yang menelpon,Bi?" Tanya Jhen pada pembantunya yang berada dilantai bawah .
"Tuan, Nyonya." Jawab pembantunya sambil mendongakkan kepala kearah Jhen,kemudian melanjutkan berbicara dengan Theo ditelepon. Jhen menuruni tangga sambil memeluk Brian. Sesampainya di lantai satu , pembantunya sudah menutup telepon.
"Kenapa suamiku menelpon?"
"Tuan bilang kalau nanti Nyonya besar mau datang kesini." Jawab pembantunya.
"Kenapa tidak menelponku saja?" Tanya Jhen agak kesal.
"Kata tuan ponsel nyonya tidak bisa dihubungi."
Jhen baru ingat jika ponselnya ia tinggal didalam kamar.
"Sarapanku sudah siap?" Tanya Jhen berpindah topik pembicaraan.
"Sudah siap,Nyonya. Punya adik Bree juga sudah siap."
"Jam berapa mama mau kesini?" Tanya Jhen lagi sambil berjalan kearah ruang makan.
"Nanti siang ,Nyonya."
-----------------------------------------------
Disela perundingannya dengan pihak investor,Theo menyempatkan untuk menhubungi ibunya
untuk datang kerumahnya menemani Jhen. Ia juga menelpon kerumahnya untuk memastikan Jhen tidak akan kemana-mana hari ini. Dan meminta pembantu rumah tangganya untuk mengawasi Jhen.
Theo tidak tahu mengapa ia begitu merasa khawatir bila Jhen meninggalkan rumahnya dan pergi bersama oranglain. Perasaan cemburukah ini? Perasaan yang sungguh tidak nyaman dan tidak bisa ia kendalikan. Theo merasa tidak sabar ingin segera menyelesaikan urusannya disini dan pulang menemui Jhen juga anak-anaknya. Theo sudah memikirkan hal yang akan ia lakukan selanjutnya untuk Jhen dan anak-anaknya. Dia tidak akan melepaskan istrinya. Dan ia akan memastikan perasaannya pada Jhen. Rasa kasihankah? Rasa tanggungjawabkah? Atau memang ia mencintai Jhen?
Yang jelas Theo rasakan saat ini adalah ia rindu melihat wajah dan senyuman istrinya.
Saat makan siang bersama investornya,Theo juga melihat seorang anak perempuan kecil yang hampir mirip seperti Ceci. Membuatnya memikirkan perasaannya akan Ceci setelah tahu tentang sejarah Jhen dimasalalu.
Gadis kecil itu terjatuh di samping Theo,Theo membantunya untuk bangun. Gadis kecil itu tersenyum pada Theo berterimakasih karena membantunya. Senyuman gadis kecil itu sama seperti Ceci. Hatinya merasa hangat dan rindu juga pada Ceci.
----------------------------------------
Kedatangan ibu Theo membuat suasana rumah Jhen menjadi lebih berwarna . Ibu Theo tidak berhenti bermain bersama Brian dan Ceci. Dan seperti biasa,ibu Theo selalu mengajak Jhen berbincang-bincang.
"Apa kau tahu,Jhen. Theo itu anak yang lembut hatinya. Dia selalu mengalah dengan Sarah meskipun Sarah yang selalu berbuat salah." Kata ibu Theo sambil menyesap teh hangatnya. Jhen dan ibu Theo sedang berbincang santai di taman belakang rumah.
"Sarah?" Tanya Jhen ingin tahu. Ibu Theo tertawa kecil.
"Oh iya kami belum mengenalkanmu dengan Sarah. Sarah adalah adik Theo. Dia sudah menikah dan tinggal bersama suaminya diluar negeri. Dia punya anak kembar yang lucu." Jawab ibu Theo. Jhen mengangguk mengerti soal apa yang dijelaskan oleh ibu Theo.
"Terkadang dia juga keras kepala." Kata ibu Theo sambil tersenyum menatap Jhen.
"Seperti aku." Bisiknya sambil tertawa kecil. Jhen ikut tertawa mendengar pernyataan ibu Theo itu. Jhen mengakuinya,sifat yang satu itu memang sangat mirip dengan ibu Theo .
"Seperti saat tunangannya dulu lebih memilih dengan sepupunya, Theo memilih untuk mengalah. Entah bagaimana kabar gadis itu sekarang?" Lanjut ibu Theo sambil melihat jauh kedepan.
"Namanya Bianca. Dia adalah putri kesayangan dari teman dekatku. Theo, Bianca,dan Adam, mereka tumbuh bersama sejak kecil. Kami tahu kalau Theo sebenarnya menyukai Bianca hanya saja dia tidak mau mengutarakannya. Theo orang yang sangat tertutup jika menyangkut dengan perasaan pribadinya. Akhirnya aku dan suamiku meminta perjodohan antara Theo dan Bianca kepada orangtua Bianca. Mereka menerima lamaran kami . Theo terlihat begitu senang dengan perjodohan yang kami atur. Dalam pemikiranku ketika itu , kami berada di level yang sama, kedudukan yang sama. Dan juga Theo sangat mencintai Bianca. Tapi mungkin itu kesalahan kami juga, hanya memikirkan perasaan Theo, tanpa bertanya terlebih dahulu soal perasaan Bianca. Kalau saja kami waktu itu tahu jika Bianca lebih memilih bersama dengan Adam daripada Theo. Kami tidak akan mengatur perjodohan ini." Tampak penyesalan diwajah ibu Theo.
"Jadi Bianca itu adalah tunangan Theo." Gumam Jhen dalam hati,ada perasaan cemburu terbesit di hatinya.
"Bianca dan Adam memiliki hubungan yang tidak direstui oleh orangtua Adam. Jadi mereka melarikan diri keluar negeri. Setahun yang lalu,keluarga Adam akhirnya menemukan keberadaan Adam setelah ibu Adam mencoba untuk bunuh diri. Kemudian Adam kembali lagi kemari,sementara Bianca tidak tahu dimana." Lanjut ibu Theo sambil menyesap tehnya lagi yang nampaknya sudah mulai dingin.
Jhen merasa ada yang janggal dalam cerita ibu Theo. Jika Bianca bersama dengan Adam selama itu,berarti Brian bukanlah anak Theo. Hati Jhen tersentuh akan kebaikan Theo yang dengan berbesar hati mau mengakui Brian sebagai anaknya,meskipun wanita yang ia cintai itu menyakitinya bersama sepupunya.
"Awalnya kami sangat khawatir akan Theo yang menutup hatinya untuk siapapun. Tapi sekarang kami tahu dia telah memiliki tambatan hatinya." Kata ibu Theo sambil meremas lembut tangan Jhen.
"Kami menitipkan Theo padamu ya Jhen? Sayangilah dia, cintailah dia. Terima setiap kekurangannya.Dia pasti akan menjadi suami dan ayah yang baik."
"Iya ma. Aku tahu" Jawab Jhen membalas sentuhan ibu Theo dengan lembut. Jhen tahu Theo akan menjadi ayah dan suami yang baik. Namun Jhen masih ragu , kepada siapa hati Theo berada.
--------------------------------
Share this novel