"Aku SUAMINYA !!!!" Kata Theo dengan tegas dihadapan Putra. Putra terdiam ,lalu tersenyum sinis
"Kau? Suami Jhen?" Putra menggeleng tidak percaya.
"Tidak, Jhen sama sekali belum menikah.Dia tidak akan menikah karena anaknya." Lanjut Putra lalu melihat kearah Jhen.
Jhen bingung harus berkata apa. Ini semua toh ide Theo , jika dia harus berbohong dan itu bisa membuat Putra pergi,apa salahnya? Lagipula yang menjadi suaminya juga Theo. Dia samasekali tidak akan rugi. Jhen menggenggam tangan Theo.
"Iya,dia suamiku." Jawab Jhen meNdongakkan kepalanya menatap pasti pada Putra. Putra mundur selangkah.
"Kau meninggalkan aku dengan alasan anakmu tapi bersama dia?" Tanya Putra sambil menunjuk Theo. Theo menyipitkan matanya,dia benar-benar tidak menyukai sifat Putra. Theo menangkis tangan Putra dengan kasar.
"Jaga sopan santunmu. Atau aku juga akan berikap lebih daripada tadi." Theo memperingatkan Putra,tangannya menggenggam erat tangan Jhen. Jhen merasakan jantungnya berdebar kencang sekali sampai takut kalau-kalau Theo dapat mendengar debarannya itu. Tangan Theo hangat dan besar,menggenggam tangan Jhen seolah tidak akan melepaskannya. Membuat Jhen merasa aman dan terlindungi. Sudah lama Jhen tidak merasakan hal seperti ini. Perasaannya saat ini mengalahkan emosinya pada Putra tadi. Haruskah pura-pura ini terasa begitu indah?
"Aku tidak percaya." Kata Putra menggelengkan kepalanya.
"Percaya atau tidak,itu bukan urusanku dan istriku. Tapi kamu telah mengganggu ketenanganku dengan perbuatan tidak menyenangkan. Aku bisa melaporkan hal ini. Apa kamu tahu apa yang akan terjadi pada Biromu?"
Putra terdiam sejenak .
"Aku akan buktikan kebenarannya. Jika memang kamu berbohong,kamu tahu aku Jhen..." Kata Putra lalu dia pergi meninggalkan empat itu.
Jhen merinding dengan kata-kata Putra. Putra orang yang gigih,dia harus mendapatkan apa yang dia inginkan. Termasuk menyeret Jhen kedalam kamar operasi untuk menggugurkan kandungannya dulu.
Theo memandang kearah Jhen yang terpaku melihat kepergian Putra. Sadar akan Theo yang masih berada disampingnya dan dia masih menggenggam tangan Theo. Seketika Jhen melepaskan tangannya dari Theo.
"A.. Maaf ,Pak. Terimakasih. " Jhen tersenyum kepada Theo. Namun raut muka Theo terihat dingin,membuat Jhen merinding. Dia lebih menakutkan daripada Putra dalam situasi ini.
"Terimakasih sudah mem...."
"Kenapa masih mau menemuinya jika dia memperlakukanmu seperti itu?" TanyaTheo dengan nada marah. Jhen bingung apa yang membuat Theo marah?
"Aku ... Saya hanya meluruskan soal dahulu dengan dia .." Entah mengapa Jhen sampai merasa kikuk untuk menjawab Theo. Dia merasa seperti orang yang ketahuan berselingkuh. Wajah Theo masih terlihat dingin dan sama sekali tidak ada senyuman disitu.
"Dia..Kami... Bukan.. Semuanya hanya kesalahpahaman saja." Kata Jhen bingung apa yang harus dia katakan.
"Terimakasih sudah membantu saya Pak" Jhen berharap kalimatnya bisa mengakhiri situasi saat ini. Dan dia bisa segera pulang. Jhen melihat Theo masih tak bergeming,Theo bagaikan patung es.
"Mmm.. Kalau begitu saya pamit dulu." Jhen membungkuk dan berbalik. Namun langkah Theo mendahului Jhen,tanganTheo meraih tangan Jhen. Menarik Jhen mengikuti langkah kakinya yang panjang.
"Aku antar kau pulang." Kata Theo tanpa menoleh pada Jhen,bukan kalimat menawarkan atau bertanya lebih pada kalimat perintah. Jhen hanya patuh mengikuti Theo,genggaman tangan Theo terlalu erat hingga terasa menyakitkan.
Sepanjang perjalanan pulang,Theo samasekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Jhen benar-benar merasa frustasi. Jhen merasa lelah secara mental hari ini. Dan sekarang dia harus menghadapi Theo yang Jhen tidak bisa memahami emosinya.
Apakah Theo suka padanya? Ah tidak mungkin. Jhen bergelut dengan pikirannya sendiri. Theo hanya membantunya karena mungkin Theo tidak ingin ada masalah timbul di area resortnya.
Jhen memandang kearah jalan yang ada didepannya. Ini bukan jalan menuju kerumah Jhen. Jhen menoleh kearah Theo.
"Kita akan mampir kesuatu tempat" Theo menjawab bahkan sebelum Jhen bertanya. Jhen mengangguk dan melihat kearah luar jendela disampingnya.
Theo memarkir mobilnya di sebuah beerhouse yang biasa dikunjungi Jhen dan rekan-rekannya. Tempat itu terlihat ramai pengunjung karena memang jam berkunjung disana ramai mulai diatas jam sebelas malam. Jhen mengikuti Theo melangkah. Theo memilih tempat duduk di teras luar. Jhen duduk berhadapan dengan Theo. Theo memanggil pelayan beerhouse ke mejanya.
"Pesanlah apapun yang ingin kamu pesan" Kata Theo pada Jhen. Ketika pelayan mendekati Jhen,pelayan itu menyapa Jhen. Karena Jhen sering mampir ditempat ini .
"Hai Jhen,mau pesan apa?" Tanya pelayan wanita manis dengan seragam rok pendeknya.
"Aku pesan seperti biasanya aja." Jawab Jhen sambil tersenyum. Si pelayan melirik karah Theo.
"Siapa ini? Wah jarang sekali kamu membawa pria kesini selain Putra. Pacar barumu?" Tanya pelayan itu dengan enteng. Jhen merasa sedang kejatuhan asbes gelombang. Kenapa nama Putra harus disebutkan dalam situasi ini.
"A.. Dia..."
"Aku suaminya" Jawab Theo acuh,
" Aku pesan Capucino 1" Lanjut Theo memandang dingin kearah pelayan itu. Jawaban Theo benar-benar membuat Jhen melongo.
"Dia sudah gila" Batin Jhen. Pelayan wanita itu tersenyum lebar kearah Jhen. Dia menepuk pundak Jhen yang masih melongo dengan kencang.
"Kamu sudah menikah? Kenapa tidak mengundangku? Tidak pernah kamu perkenalkan padaku sebelum ini. Pandai kamu milih suami." Ujar pelayan itu tanpa berdosa.
"Sebentar ya aku catat pesanan kamu dulu" Lanjutnya lalu berbalik melihat Theo dan mengulurkan tangannya kepada Theo.
"Aku Moa,aku teman Jhen kalau Jhen sedang suntuk. Salam kenal , maaf aku tidak tahu kamu suami Jhen. Jhen sudah lama tidak pernah mampir kesini. Dia juga tidak pernah membawa pria selain mantannya kesini. Yah kalau tidak paling juga teman-teman band nya."
Jabatan tangan Moa diterima Theo ,dan Theo tersenyum
"Aku Theo,salam kenal" Balas Theo ramah.
Jhen hanya memegangi kepalanya dengan kedua tangan nya menyisir rambut depannya.
"Moa,kenapa kamu tidak menyiapkan pesananku saja." Kata Jhen dengan mulut terkatup,dia merasa frustasi hari ini.
Setelah Moa pergi. Theo menatap kearah Jhen yang sedang frustasi itu.
"Bukannya tempat ini juga mengenal mantanmu,kenapa tidak totalitas sandiwaranya?" Kata Theo dengan santai.
"Pak,aku hargai kebaikan hati Bapak ketika membantu saya tadi. Tapi ini sudah berlebihan. Putra juga tidak akan kesini lagi. Moa sudah pasti akan bunuh dia kalau sampai Putra menginjakkan kakinya disini. " Jawab Jhen sambil mengeluarkan rokoknya dari dalam tas. Dia sudah tidak tahan dengan situasi yang dia alami hari ini.
"Masabodoh ada Theo disini,toh ini diluar resort. Dan aku juga tidak dalam jam kerja." Kata Jhen dalam hati,Jhen menyalakan rokoknya dan meniupkan asapnya kesamping.
"Kenapa kalian berpisah? Jika kalian memiliki anak bersama? " Tanya Theo tiba-tiba. Hal itu benar-benar mengejutkan Jhen. Jhen menyilangkan jarinya didepan Theo.
"Maaf ,Pak,no comment" Jawab Jhen singkat.
"Maaf Pak,saya type orang yang tidak suka mencampuri privasi oranglain,dan saya tidak suka privasi saya diusik oranglain. Saya menghargai bantuan Bapak tadi,tapi soal privasi saya itu urusan lain. " Lanjut Jhen dengan wajah tegas.
"Dia terlihat sangat frustasi" Pikir Theo lalu tersenyum,setidaknya Jhen mengekspresikan apa yang dia rasakan didepannya saat ini. Namun Theo benar-benar masih penasaran antara Jhen dan Putra. Theo tadi hanya mendengar sedikit saja pembicaraan mreka berdua,sebelum mendengar Jhen berteriak dan Putra memeluk Jhen. Theo tidak tahu ketika melihat Putra memeluk Jhen dengan paksa,Theo merasa tidak suka. Benar-benar tidak menyukainya. Secara spontan Theo mendatangi mereka berdua dan menarik Jhen menjauh dari Putra dan langsung melayangkan tinjunya pada Putra. Theo merasakan tangan Jhen gemetar,membuatnya merasa harus melindungi wanita itu. Tanpa disadari Theo,dia mengaku sebagai suami Jhen. Dan anehnya dia tidak menyesali hal itu. Theo merasakan Jhen menyimpan segala keresahannya sendirian.
Theo ingin Jhen merasa sedikit tenang dengan membawa Jhen ke beerhouse yang biasa Jhen datangi. Theo tahu tempat ini karena dulu dia pernah melihat Jhen dan teman-temannya ketempat ini ketika Theo sedang menjamu teman kuliahnya dulu.
Moa datang dengan membawa pesanan Jhen dan Theo. Jhen lagsung meneguk bir yang dia pesan seketika.
"Apa ada masalah,Jhen?" Tanya Moa yang tahu akan kebiasaan Jhen. Moa melihat kearah Theo
"Jhen biasanya akan seperti ini jika dia merasa benar-benar frustasi." Jelas Moa kepada Theo.
"Moa.. kamu tidak sibuk?" Tanya Jhen berharap Moa tidak banyak bicara dengan Theo. Moa menggeleng dan duduk disebelah Jhen.
"Hei Jo, Bir satu tower." Teriak Moa pada seorang pria muda yang ada di balik meja kasir.
Moa mengedipkan matanya pada Theo.
"Aku pemilik disini" Kata Moa pada Theo.
"Buat apa satu tower?" Tanya Jhen mulai curiga dengan yang dilakukan Moa. Moa merangkul Jhen dengan santai.
"Kamu sudah lama tidak main kesini. Anggap saja ini traktiran dari aku. " Jawab Moa santai. Dari samping Jhen , Moa mengedipkan kedua matanya pada Theo , berharap Theo mau bekerjasama dengannya. Theo memahami bahasa isyarat Moa. Dan Theo mengikuti alur permainan Moa. Theo mulai menyesap minumannya.
"Kamu tidak minum juga?" Tanya Moa pada Theo ketika bir nya sudah datang. Theo menggeleng.
"Aku menyetir." Jawab Theo . Moa mengangguk degan cepat,lalu mengambilkan segelas bir untuk Jhen. Jhen menerimanya dan meminumnya dengan segera.
Theo hendak memprotes,namun Theo tahu apa maksud Moa. Setelah Jhen agak tenang,Moa baru bertanya.
"Apa terjadi sesuatu yang luar biasa hari ini?" Tanya Moa sambil mengambil segelas bir lagi.
"Tidak"
"Iya"
Jawab Jhen dan Theo bersamaan.
Jhen memicingkan matanya pada Theo dengan harapan Theo tidak bercerita apapun pada Moa. Moa mengangguk memahami.
"Oke,ada kejadian apa ini,sampai kamu seperti ini?" Tanya Moa sambil melirik kearah asbak Jhen.
"Jhen itu kalau frustasi selalu seperti ini,rokoknya akan habis banyak,minumnya juga banyak." Bisik Moa secara terang-terangan pada Theo didepan Jhen.
"Moa.. Please." Nada Jhen sedikit lebih tinggi kali ini.
"Oke..oke..rileks , Babe.." Balas Moa sambil mengangkat kedua tangannya.
"Hari ini dia bertemu Putra." Kata Theo secara tiba-tiba membuat Jhen hampir menyemburkan minumannya. Mata Moa langsung membesar terbelalak.
"Apaaa?" Teriak Moa sambil melihat kearah Jhen. Jhen langsung meneguk minumannya lagi. Hari ini bertambah lagi hal yang harus dia hadapi.
Moa adalah yang paling beringas ketika mendengar nama PUTRA disebut. Jhen menatap marah kearah Theo,namun Theo hanya tersenyum dan mengangkat kedua bahunya seakan tidak berdosa.
"Tidak sengaja , dia datang sebagai tamu undangan waktu aku sedang tampil." Jelas Jhen pada Moa yang terlihat emosi.
"Dan mengajak Jhen untuk kembali bersama lagi" Tambah Theo. Seakan-akan sinar laser bisa keluar dari mata Jhen ketika Jhen melirik kearah Theo.
"APAAAA?" Teriak Moa lagi lalu berdiri dari duduknya .
"DIMANA BAJINGAN ITU SEKARANG HAH? DIA MAU MATI APA?" Teriak Moa emosi sambil menyingsingkan lengan bajunya. Jhen meraih pundak Moa dan memaksanya untuk duduk.
"Moa pelankan suaramu." Pinta Jhen halus. Theo tidak pernah menyangka jika Moa benar-benar akan bereaksi seperti itu mengenai Putra.
"Kamu... Memangnya tidak ingat apa yang sudah dia lakukan padamu dulu? Dia gila Jhen. Dia psiko. Dia..." Kata-kata Moa terputus ketika tangan Jhen membekap mulut Moa.
"Sssttt... Moa.!!!!!" Ujar Jhen tidak kalah galak dengan Moa. Moa melepaskan tangan Jhen dengan segera. Moa menoleh kearah Theo.
"Dan kamu sebagai suaminya,,diam saja?" Tanya Moa emosi kepada Theo.
Theo tersenyum dan melipat tangannya diatas meja.
"Aku hajar dia" Jawab Theo senang,seolah mendapatkan sekutu baru dalam perang. Moa menarik nafas lega.
"Bagus,kalau aku ada disana. Sudah aku bunuh dia. Dia bukan manusia. " Lanjut Moa. Moa menatap Theo.
"Kalau kamu bertemu dia lagi. Jangan segan,langsung habisi saja. Aku akan jadi pendukungmu,Bro" Lanjut Moa serius. Theo tersenyum lebar menatap reaksi Moa sambil mengacungkan jempolnya.
"Pasti"
Jhen memutar kepalanya sambil menghela nafas panjang. Kenapa Theo harus mengajaknya kemari?
Moa bagaikan induk harimau bagi Jhen. Dia tidak akan segan menghajar siapapun yang menyakiti Jhen,terutama Putra. Kenapa juga Theo harus merasa bahagia ketika Moa bersekutu dengannya?
"Aku pulang." Kata Jhen sambil berdiri dari duduknya dan membawa serta tas yang ia bawa tadi. Namun dia kembali duduk karena Moa menarik tangannya dengan kencang.
"Duduk!" Kata Moa dengan tegas. Menyalakan rokoknya sambil menaikkan kakinya diatas kursi,gaya Khas Moa ketika sedang akan berperang. Jhen memasang kuda-kuda siaga. Moa mendorong gelas bir lagi kearah Jhen.
"Jhen,aku serius. Jauhi lelaki itu. Aku benar-benar akan membunuh dia jika memang dia bersamamu lagi." Moa menatap tajam kearah Jhen.
"Moa , aku benar-benar tidak ada hubungan apa-apa dengan... dia. aku tidak seodoh itu Moa. Aku bukan gadis berusia 18 tahun yang dimabuk cinta." Jelas Jhen. Lalu Jhen melirik kearah Theo .
"Dia saja yang terlalu berlebihan." Mata Jhen kembali pada Moa.
"Aku sudah memutuskan dia lama sekali. Kamu juga tahu itu. " Lanjut Jhen lembut pada Moa.
Moa melihat mata Jhen dan tahu Jhen berkata jujur. Moa menghela nafas lega,kemudian Moa melihat Theo.
"Berhati-hatilah dengan Bajingan itu. Dia seorang psycopat. " Moa memberi peringatan kepada Theo.
Theo merasa ada banyak hal dibalik kisah hidup Jhen yang ia tidak ketahui. Dan Putra adalah orang yang berbahaya bagi Jhen.
---------------------------------------------------------------
Theo sama sekali tidak berbicara apapun dengan Jhen sepulang dari tempat Moa. Bahkan soal panti asuhan Brian. Dan nampaknya Jhen juga merasa jengkel dengan Theo.
3 hari setelah kejadian itu,Theo hanya menghubungi Jhen via pesan teks saja. Jhen juga hanya membalas seperlunya saja. Saat sarapan,konsentrasi Jhen benar-benar tertuju pada sikap Theo.
"Kenapa dia melakukan hal itu? Mengaku menjadi suamiku didepan Putra. Apa dia menyukaiku? Dia juga terlihat senang ketika Moa memihak padanya dan malah memberi banyak minyak untuk emosi Moa. Masa iya,dia suka padaku?" Pikir Jhen. Kemudian lamunan Jhen terpecahkan oleh tangisan Brian didalam kamarnya.
Jhen bergegas berjalan kekamar dan melihat Brian sedang menangis keras,tangannya menggapai-gapai udara ,kakinya yang mungil menendang-nendang angin yang lewat.
"Ada apa Bree?" Tanya Jhen sambil menggendong Brian dan menenangkan bayi itu,Brian masih menangis.
"Bree lapar?" Kata Jhen sambil mencari dot susu Brian. Dilihatnya botol susu Brian sudah kosong. Diambilnya botol susu itu,sambil menggendong Brian Jhen membuatkan susu baru untuk Brian. Saat sedang membuatkan susu untuk Brian di dapur,tanpa sengaja Jhen melihat seseorang sedang mengawasi rumahnya dari balik pohon depan rumahnya.
Perasaan Jhen tidak baik dengan hal ini. Setelah membuatkan susu untuk Brian, Jhen masih menggendong Brian sambil menimang-nimang Brian. Jhen berjalan kearah pintu depan rumahnya.Dibukanya pintu itu untuk memastikan apakah benar yang dia lihat tadi. Saat Jhen menyapukan pandangannya ke segala penjuru sekitar rumahnya. Namun Jhen tidak melihat orang itu lagi. Yang ada hanyalah tetangga Jhen yang berlalu lalang didepan rumahnya. Jhen menghembuskan nafas lega,namun hatinya tetap tidak tenang.
Dirumah saat ini hanya ada Brian dan dirinya. Mama Jhen sedang mengantarkan pesanan jahitan,Ceci juga sedang bersekolah. Jhen segera masuk kedalam rumah,buru-buru mengunci pintu rumahnya.
--------------------------------------------------------------------
"Theo,Kapan kira-kira mau memikirkan soal menikah?" Tanya Ibu Theo saat mereka sarapan bersama. Theo menatap ibunya dengan sayang.
"Nantilah Ma. Aku sedang sibuk dengan resort yang akan kita buka di singapura." Jawab Theo santai lalu melanjutkan sarapannya.
"Mama itu ingin menimang cucu,mama sudah tua." Ibu Theo mulai merajuk.
"Mama kan sudah punya cucu dari Sarah" Jawab Theo lagi. Sarah adalah adik perempuan Theo.
"Tapi mereka ada di London. Jarang sekali mau mampir kesini. Selalu kerumah mertuanya itu" Ibu Theo nampak benar-benar kesal. Ayah Theo hanya berdehem kecil.
"Biarlah Theo bkerja dengan baik dulu. Nanti juga akan menikah." Kata ayah Theo dengan bijak.
"Seandainya waktu itu Bianca tidak lari dengan Adam. Kamu pasti sudah menikah dan aku sudah menimang cucu." Raut wajah ibu Theo sungguh terlihat kecewa.
"Sudahlah tidak usah kita bahas masalah itu. Hanya membuka luka lama. Kita sedang sarapan,membahas hal-hal seperti itu bisa membuat pencernaan menjadi tidak sehat" Sahut ayah Theo.
Ibu Theo hanya menghela nafas,mengelus lengan putra kesayangannya.
"Nanti kamu akan menemukan wanita yang benar-benar berharga"
Theo mengangguk sambil tersenyum.
"Iya ma" Jawab Theo lembut pada ibunya. Theo sangat menyayangi keluarganya. Keluarga Theo adalah tipikal keluarga yang hangat dan harmonis.
Theo sebenarnya tidak tega jika harus menelantarkan Brian,tapi Theo juga tidak ingin merusak kedamaian dalam keluarganya. Tidak ada jalan lain karena sampai saat ini,Theo juga belum bisa menemukan Bianca. Cuma ini satu-satunya cara untuk semuanya. Theo juga tidak bisa terus menerus menyusahkan Jhen.
Tiba-tiba ponsel Brian berbunyi,dan itu adalah panggilan dari anak buah Theo . Theo sangat mengharapkan berita baik dari anak buahnya soal Bianca. Theo meminta ijin pada ayah ibunya untuk menjawab telpon yang ia terima.
"Ada perkembangan?"
"Nona Bianca hari ini masih berada di Indonesia pak. Saat ini dia berada di kediaman keluarganya. " Jawab anak buah Theo . Theo merasakan titik terang dalam masalahnya kali ini.
"Oke. Pantau terus." Kata Theo lalu menutup pembicaraan.
Kali ini Theo tidak akan berbaik hati,dia hrus menemui Bianca. Dan memberikan Brian padanya. Entah Bianca suka atau tidak.
-------------------------------------------------------
Share this novel