Rasanya seperti hendak maju kemedan perang saat Jhen akan mengetuk pintu kamar hotel tempat ayah dan ibu Theo menginap. Akhirnya Theo yang mengetuk pintu itu.
Ayah Theo yang terlihat pertama kali saat pintu itu terbuka. Wajahnya nampak tidak bersahabat walaupun senyuman tersungging di bibirnya. Ayah Theo mempersilahkan mereka untuk masuk kedalam kamar.
Ibu Theo sedang duduk di sofa kamar hotel dengan jubah tidurnya. Raut wajahnya tidak bersahabat sama seperti ayah Theo , bahkan tanpa senyuman sama sekali.
"Jangan duduk." Kata ibu Theo dengan dingin sambil melipat tangan didepan dadanya.
Theo dan Jhen hanya berdiri didepan ibu Theo. Bagaikan anak kecil yang sedang kena hukuman karena ketahuan berbuat curang.
"Mama sampai tidak tahu harus berkata apa pada kalian. Mama juga memikirkan hal ini berulangkali semalaman." Ibu Theo langsung membuka pembicaraan tanpa melihat kearah keduanya.
"Bagaimana bisa kalian membohongi mama seperti itu."
"Ma, waktu itu aku sudah menjelaskan ...."
"Tidak usah dijelaskan, papamu sudah menjelaskan pada mama semalam." Potong ibu Theo seketika.
"Salahku sendiri juga terlalu mengharapkan memiliki cucu darimu." Aku ibu Theo dengan enggan. Suasana hening tercipta , terlalu tenang , terlalu membuat hati tidak tenang.
"Mama sudah terlanjur menyayangi Bree. Bree juga sudah menjadi anak sah kalian. Aku memang merasa marah saat harus mengetahui semua ini dengan cara seperti semalam." Ibu Theo akhirnya mau melihat kearah Theo dan Jhen.
"Aku memang marah pada kalian, tapi juga ada kesalahanku disana. Untuk sementara jangan menemuiku dulu. Aku akan meredakan rasa kecewaku pada kebohongan kalian." Lanjut ibu Theo sambil memalingkan wajahnya lagi dari Theo dan Jhen.
"Kalian kembalilah terlebih dahulu,jika mamamu sudah tenang. Biar dia sendiri yang akan menghubungi kalian. " Kata ayah Theo sambil berbisik diantara Theo dan Jhen.
"Ma, kami pergi dulu." Kata Theo berpamitan pada ibunya.
"Ma,maafkan aku." Jhen berkata dengan tulus . Sedari awal ia juga tidak ingin membohongi ibu Theo.
Ia hanya memikirkan pilihan terbaik saat itu untuk semuanya. Theo menyentuh lengan Jhen , mengajaknya untuk pergi dari sana.
"Apa benar Ceci adalah anak kandungmu?" Tanya ibu Theo membuat langkah Jhen terhenti. Jhen membalikkan tubuhnya dan melihat ibu Theo yang memandangnya dengan lekat.
"Iya ma, Ceci anak kandungku." Jawab Jhen dengan jujur. Ia tidak ingin berbohong lagi . Apalagi mengingkari kebenaran tentang anaknya.
"Kamu tidak menyangkalnya . Bahkan mengakuinya dengan cepat?" Ibu Theo mengerdipkan matanya seakan tidak menyangka jawaban Jhen akan seperti ini.
"Tidak ma. Aku tidak akan membohongi mama atau siapapun lagi. Dan aku mengakui kebenaran tentang anakku. Ceci anak kandungku. Aku ibu kandung Ceci. " Jawab Jhen dengan tegas. Ibu Theo mengalihkan pandangannya kembali ke arah luar jendela lagi.
"Pergilah." Suara ibu Theo terdengar lebih lembut sekarang.
----------------------------------
Acara mengumpulkan para investor benar-benar berhasil mengembalikan kerugian yang diderita resort Theo, bahkan mendapatkan keuntungan lebih. Proyek resort Theo di Singapura juga sudah mulai berjalan karena bantuan besar dari Peters yang bersedia menjadi pendana utama dalam mega proyek Theo.
Bisnisnya berjalan lancar tanpa kendala berarti. Hanya saja masalah dalam keluarganya masih belum terselesaikan. Sudah hampir satu bulan ibunya masih saja belum menghubunginya. Jhen juga sama khawatirnya dengan Theo.
"Apa mama berpikir lebih baik tidak melihat kita?" Tanya Jhen sambil mengangkat mug coklat panasnya.
"Entahlah. Aku juga tidak tahu pasti. Papa juga sama diamnya dengan mama. Apa mamaku menghubungi mamamu?" Balas Theo yang sedang duduk di seberang Jhen. Jhen menggeleng.
"Mamaku juga tidak mengatakan soal bertemu dengan mamamu." Jawab Jhen .
"Kita tunggu saja. Biarkan mamaku mendinginkan amarahnya dulu." Kata Theo dengan tenang namun matanya tidak mengatakan hal yang serupa.
-----------------------------------
"Apa selama ini ... kamu tahu soal Bree?" Tanya ibu Theo kepada mama Jhen yang duduk di seberang mejanya.
Ibu Theo mengajak mama Jhen untuk bertemu di sebuah restauran sederhana didekat rumah mama Jhen.
"Iya, aku tahu. Awalnya aku kira itu adalah anak kandung Theo. Aku baru mengetahuinya hari ini darimu." Jawab mama Jhen berusaha tenang ketika ia harus berhadapan dengan ibu Theo yang sedang dalam kondisi emosional.
"Dan kamu membiarkan putrimu menikah dengan seorang lelaki yang berstatus orangtua tunggal? Kamu mempercayakan putrimu satu-satunya kepada seseorang yang baru saja kamu temui ?" Ibu Theo tidak bisa menahan emosinya . Bahkan terdengar bukan untuk menyudutkan mama Jhen , tapi lebih membelanya.
"Aku tahu mungkin ini terdengar naif. Aku melihat Theo tidak punya niat buruk kepada Jhen. Ia juga mau menerima Ceci sebagai putrinya." Kata mama Jhen dengan tenang.
"Dan dengan egomu itu, kamu mengijinkan mereka menikah? Apa pernah terlintas dalam pikiranmu jika Theo akan memiliki beban lain dalam hidupnya?" Ibu Theo mulai menaikkan nada bicaranya.
Mata mama Jhen seolah mengekspresikan segala emosinya mendengar kalimat ibu Theo. Walaupun hal itu benar , tapi ia juga merasa sakit hati , seakan-akan anak dan cucunya adalah sebuah beban yang seharusnya tidak pernah hadir dalam kehidupan Theo yang sempurna.
"Sebagai seorang ibu , iya aku merasa harus egois ." Aku mama Jhen , matanya berkaca-kaca karena emosinya yang tertahan .
" Aku tidak melihat Theo karena harta ataupun segala kesempurnaan yang ia miliki. Aku hanya melihat dia benar-benar mencintai Jhen. Terserah kamu akan mengatakan aku munafik atau berdusta. Aku hanya ingin Jhen merasakan kebahagiaan. Setidaknya sebelum aku mati , aku ingin melihat putriku bahagia dalam hidupnya yang hancur karena ketidakmampuanku sebagai orangtuanya. Sejak kecil Jhen tidak pernah mengeluh sekalipun ia terluka. Sampai ketika ia harus menanggung beban yang begitu besar seorang diri. Dia tidak pernah memperlihatkannya padaku. Apa kamu tahu betapa sakit hati seorang ibu melihat anaknya harus menyembunyikan luka dibalik senyumannya?" Mama Jhen mengerjapkan matanya berusaha menghalau airmatanya untuk jatuh.
"Jhen mengalami hal yang begitu mengerikan,menanggungnya seorang diri. Ia mengambil suatu keputusan yang begitu besar dalam usianya yang begitu muda. Menanggung sebuah tanggungjawab besar tanpa pernah mengeluh ataupun meneteskan airmatanya dihadapanku , walau aku tahu airmata itu selalu ada setiap aku terlelap. Betapa besar aku merasa sangat bersalah akan hidup putriku satu-satunya. Aku hanya memiliki satu permintaan dalam setiap doaku , aku hanya ingin anakku dan cucuku benar-benar bahagia setidaknya sebelum aku mati, bahkan jika itu dengan seseorang yang memiliki masalalu rumit , asalkan ia bisa membuat putriku bahagia .Apa aku salah jika hanya menginginkan hal itu saja dalam hidupku?" Airmata itu tidak terjatuh dari mata mama Jhen. Namun hati ibu Theo bisa merasakan sakit yang begitu dalam dimata mama Jhen.
"Jika kamu merasa sakit hati akan kebohongan yang mereka lakukan. Limpahkan saja semua emosimu padaku. Aku akan menerimanya dengan sukarela. Mereka juga bukan membohongimu karena ingin menyakitimu walaupun memang yang mereka lakukan salah. Tapi tidak tahukah kamu,mereka saling mencintai dan saling melengkapi. Aku berani menjaminkan hidupku padamu, Jhen bukanlah wanita yang hina. Dia hanya bernasib buruk harus terlahir sebagai anak dari ibu yang tidak sempurna yang tidak bisa melindunginya dan membahagiakannya." Mata mama Jhen terlihat seperti batu karang yang tegar namun begitu rapuh seperti istana pasir.
Membuat ibu Theo terdiam dan melupakan emosinya. Ia juga seorang ibu , ia juga sering merasa harus egois untuk anak-anaknya. Namun ia tidak pernah mengalami kepahitan seperti yang dialami oleh mama Jhen. Saat ibu Theo mendengarkan ucapan mama Jhen entah mengapa ia bisa merasakan pedih dihati mama Jhen.
"Aku tidak pernah berpikiran Jhen wanita yang hina . Aku juga seorang ibu yang egois untuk kebahagiaan anakku. Aku tahu Theo dan Jhen saling mencintai. Aku juga tidak berniat membuat mereka berpisah. Aku hanya merasa marah , seperti orang bodoh yang mempercayai kebohongan mereka. " Ibu Theo mengakui apa yang sebenarnya ia rasakan untuk Jhen.
Ibu Theo ingin berbicara dengan mama Jhen bukan karena ingin menyudutkan ataupun menghina kehidupan keluarga Jhen. Ia hanya ingin menyampaikan kekesalannya karena hanya dia yang tidak mengetahui kebenaran tentang Brian dan juga Ceci.
"Hari sudah sore, sepertinya kamu juga lelah. Aku akan kembali pulang." Ibu Theo berdiri dari duduknya yang kemudian disusul oleh mama Jhen.
Mereka akan berpisah dari pintu keluar resto itu,ketika mama Jhen melihat seseorang mendekati ibu Theo dengan mencurigakan, firasatnya mengatakan untuk berlari kearah ibu Theo. Rasa hangat mengalir dipinggangnya setelah pisau yang ditancapkan pria itu dengan cepat dilepaskan,lalu disusul dengan rasa nyeri yang hebat membuat mama Jhen merasa sekelilingnya terasa gelap. Bahkan teriakan ibu Theo yang panik dan takut itu terdengar seperti suara yang menggema jauh ditelinga mama Jhen. Juga suara riuh disekitanya seperti kepakan sayap merpati yang terbang menjauh.
-----------------------------------
Jhen berlari sekuat tenaganya dikoridor rumah sakit tanpa memperdulikan sekelilingnya . Jhen berlari tapi seakan dirinya berjalan ditempat tanpa pernah sampai ke ruang operasi tempat ibunya sedang berjuang untuk hidup saat ini.
Ruangan tunggu operasi yang begitu terang itu begitu gelap dimata Jhen. Ibu dan ayah Theo sudah berada disana semenjak tadi , begitu mama Jhen dibawa kerumah sakit . Ibu Theo langsung menghubungi suaminya dan juga Theo.
"Kenapa mamaku ? Tadi pagi kami masih mengobrol di telepon." Tanya Jhen pada ibu Theo. Ibu Theo tidak sanggup untuk menjawab dan hanya menggelengkan kepalanya dan menangis sambil menutup hidung dan mulutnya dengan saputangan yang sudah lusuh oleh airmata dan juga noda darah.
Theo yang berada disamping Jhen juga ingin bertanya hal yang sama , namun mengurungkan niatnya saat melihat ibunya begitu terpukul.
"Kejadian ini sudah di selidiki oleh polisi. Saat ini kita tunggu hasil operasi mamamu." Kata ayah Theo dengan bijaksana , lalu melirik kearah Theo untuk menenangkan Jhen. Theo memeluk pundak Jhen sambil menuntun Jhen untuk duduk dikursi ruang tunggu operasi itu.
"KIta tunggu proses operasi mama. Kita berdoa untuk kesembuhan mama. Sekarang tenangkan dulu dirimu,Sayang."Kata Theo mencoba menenangkan Jhen. Namun Jhen hanya terdiam dengan wajah tegang dan kalut.
"Mama akan baik-baik saja. Mama orang yang kuat sepertimu." Lanjut Theo sambil membelai lengan Jhen masih berusaha menenangkan Jhen.
Jhen mengangguk lalu menyilangkan jari jemarinya, berdoa untuk keselamatan ibunya ,jarinya terjalin begitu erat sampai membuat pucat kepalan tangannya itu.
Detik demi detik terasa begitu lambat. Jhen menahan nafasnya ketika beberapa perawat keluar masuk dari ruang operasi dengan terburu-buru dan mereka tidak menjawab pertanyaan dari Jhen yang menanyakan tentang kondisi ibunya.
Moa juga berlari disepanjang koridor rumahsakit sampai ke ruang tunggu operasi. Ia mendekati Jhen yang menunduk sambil mengepalkan tangannya untuk berdoa.
"Bagaimana mama?" Tanya Moa pada Jhen. Jhen menengadah melihat Moa yang masih terengah-engah setelah berlarian menuju ke ruang tunggu operasi. Jhen berdiri dan memeluk Moa seperti sebuah pelampung ditengah lautan kepanikan dan ketakutannya. Moa membalas pelukan Jhen, membelai punggung sahabatnya itu. Merasakan Jhen terisak-isak di balik pelukannya.
"Tenanglah. Mama akan baik-baik saja. Mama pasti akan bertahan." Ucap Moa dengan nada menguatkan hati Jhen, walaupun sebenarnya dia begitu emosi saat ini. Mama Jhen juga sudah seperti ibu kandung bagi Moa.
Jantung Moa seakan berhenti berdetak ketika ia tahu mama Jhen mendapatkan serangan dari seseorang yang tidak dikenal yang saat itu juga langsung diringkus oleh anak buah Moa. Moa merasa semua ini terjadi karena kelalaiannya.
Pintu kaca ruang operasi itu terbuka , seorang dokter pria mengenakan seragam ruang operasi itu keluar.
Jhen yang pertama menghampirinya dengan penuh harapan.
"Dokter,bagaimana keadaan mamaku?" Tanya Jhen berharap ibunya akan baik-baik saja. Wajah dokter itu tampak merasa bersalah. Melihat kearah Jhen lalu menyapukan pandangannya keseluruh orang yang ada diruang tunggu itu.
"Kami minta maaf,kami sudah berusaha semampu kami. Nyawa pasien tidak tertolong. Pasien kehilangan banyak darah , ginjalnya rusak parah oleh tusukan pisau. Beliau mengalami shock dan ...."
"Tidak. Kalian hanya tidak berusaha. Mamaku tidak akan mati secepat ini. Tidak ... " Jhen merasa pikirannya kosong, apa yang ia ucapkan juga terasa seperti asing dalam dirinya. Theo meraih tubuh Jhen memeluk dan menahan tubuh Jhen yang mulai meronta ingin masuk kedalam ruang operasi . Sampai Jhen dan Theo terduduk dilantai rumah sakit yang dingin itu.
"Sayang,mama tadi pagi menelponku. Dia bilang besok akan mengajak Ceci jalan-jalan."Kata Jhen kepada Theo,Jhen tidak bisa menerima kejadian yang begitu mendadak merenggut ibunya.
"Jhen.." Kata Theo berusaha menenangkan Jhen namun ia sendiri tidak bisa menahan emosinya sendiri akan kepergian mama Jhen.
"Ma..mama..mama.." Panggil Jhen kearah dalam ruangan operasi , berharap ibunya akan mucul dan berdiri didepannya ,menjawab panggilannya seperti biasa, memeluknya dan mengatakan semuanya hanyalah mimpi buruknya saja. Tidak ada yang keluar dari balik pintu itu.
"Kami benar-benar menyesal dan turut berduka atas kepergian pasien." Kata dokter itu lagi sambil membungkukan badannya.
"Kembalikan mamaku jika kamu memang menyesal." Teriak Jhen pada dokter itu, meronta dari pelukan Theo yang menahannya. Moa hanya terduduk lemas dan menitikkan airmatanya. Ibu Theo juga tidak bisa menghentikan tangisannya dipelukan suaminya.
"Jhen,relakan mama. Mungkin ini yang terbaik untuk mama." Kata Theo menahan airmatanya sambil tetap menahan Jhen dalam pelukannya. Jhen menggeleng dengan kencang.
"Kamu bilang mama akan baik-baik saja. Mamaku tidak akan pergi meninggalkanku dan Ceci." Tangisan Jhen begitu kencang seiring dengan isakannya,tangannya memukul lemah tangan dan punggung Theo.
"Ma.. mama .. mama.." Panggil Jhen terus menerus berharap ibunya mendengarkannya . Panggilan Jhen untuk ibunya begitu terdengar pilu mengisi seluruh lorong ruang tunggu operasi.
----------------------------
"Bodoh!!!" Teriak Putra pada dirinya sendiri , saat tahu orang suruhannya tertangkap oleh anak buah Moa.
Putra sebenarnya menargetkan ibu Theo,agar Theo tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang dicintai. Tapi kenapa mama Jhen yang menjadi korbannya.
"Tapi tidak apa-apa. Dia juga yang menghalangiku untuk menikah dengan Jhen. Kalau saja waktu itu dia mengijinkan kami menikah. Jhen tidak akan menderita , anak sial itu tidak akan pernah ada ,aku dan Jhen juga pasti akan bersama. Tidak seperti sekarang." Kata Putra kepada dirinya sendiri diruang tamunya sambil berjalan mondar mandir .
"Kalau begitu sudah hilang lagi satu yang menghalangi. Aku hanya harus menyingkirkan yang lainnya lagi." Lanjut Putra lalu menghentikan langkahnya . Musuh terbesarnya adalah Moa. Wanita itu adalah hal yang harus ia bereskan selanjutnya.
Memikirkan hal itu membuat Putra begitu merasa senang dan bersemangat.
--------------------------
Share this novel