Bab 20

Romance Completed 1452

Harum aroma kue buatan Jhen begitu semerbak memenuhi dapur sore itu. Hari ini Ceci sedang berada dirumah mama Jhen, Brian sedang dibawa jalan-jalan oleh ibu Theo. Merasa bosan dirumah,Jhen mencoba membuat kue yang ia lihat di internet. Ibu Theo pernah bercerita bila Theo suka makan kue-kue yang tidak begitu manis. Kali ini Jhen mencoba membuat pai apel dengan panduan dari internet yang dibantu oleh pembantu rumahtangganya.

Theo sore itu sengaja pulang lebih cepat,ingin segera melihat wajah Jhen. Menemukan Jhen yang tenggelam dalam kesibukannya didapur. Ia melangkah perlahan mendekati Jhen dari belakang dan memeluk Jhen dengan tiba-tiba membuat Jhen terkejut.

"Apa yang kamu lakukan sampai begitu fokus?" Tanya Theo dengan lembut menempelkan dagunya dipundak Jhen. Jhen yang terkejut itu lalu tertawa mengetahui bila yang memeluknya adalah suaminya.

"Aku sedang membuat pai apel. Aku bosan berada dirumah terus." Jawab Jhen berusaha terlihat kesal pada Theo.
"Aku tidak boleh kemana-mana oleh suamiku,aku tidak boleh bekerja,aku tidak boleh menggunakan ponsel dengan nomorku yang lama. Jadi aku bosan setengah mati sampai tidak tahu harus apa untuk mengisi waktuku yang terbuang percuma."

"Oh jadi kamu bosan?" Tanya Theo masih memeluk pinggang ramping Jhen yang berbalut celemek berwarna merah muda itu.

Jhen mengangguk dan meletakkan tangannya pada tangan Theo yang melingkari pinggangnya.

"Mana Ceci dan Bree? Bukannya ada mereka dirumah kenapa harus bosan?" Tanya Theo sambil mencium rambut Jhen yang lembut dengan wangi bunga cherry dari shampoo kesukaan Jhen.

"Ceci kerumah mama,katanya rindu sama mama. Tadi Jo yang jemput." Jawab Jhen lalu mengambil piring untuk tempat pai yang akan ia potong nantinya. Theo mengencangkan pelukannya.

"Jo?" Tanya Theo tidak menyukai nama lelaki lain menghiasi percakapan mereka.

Jhen tertawa kecil.
"Jo itu anak buah Moa. Kami sudah kenal lama sekali , dia juga sudah punya anak dan istri. Moa sangat percaya sama Jo. Jadi kalau Ceci kemana-mana lebih aman kalau dia bersama Jo." Jhen berusaha menjelaskan status Jo pada Theo.

Theo mengangguk pelan mengerti apa yang dikatakan oleh Jhen.

"Bree sedang diajak jalan-jalan ayah dan ibumu. Jadi aku makin bosan dirumah."
Theo membalikkan badan Jhen menghadap kearahnya.

"Kalau aku bosan dikantor dan resort." Kata Theo lalu mendekatkan wajahnya pada wajah Jhen. Jhen melirik kearah pembantu rumahtangganya yang melihat kedekatan mereka. di dapur itu.

"Ada bibi disini." Bisik Jhen merasa malu ada yang melihatnya bermesraan dengan suaminya. Theo tidak mengindahkan kalimat Jhen dan menangkupkan kedua tangannya kewajah istrinya yang mungil itu.

"Biarkan. Salah siapa mereka lihat? Inikan rumahku, dapurku ,istriku" Kata Theo lalu bibirnya mencium bibir Jhen dengan singkat . Theo bisa merasakan manisnya madu untuk adonan pai di bibir Jhen.
"Manis." Lanjut Theo lalu memagut bibir Jhen lagi.

Pembantu rumahtangganya pun meninggalkan mereka berdua didapur,merasa seperti pengganggu bagi mereka berdua.
Lidah Theo mulai masuk kedalam mulut Jhen mencari lidah Jhen yang manis dan hangat . Tangan Theo beralih kepinggang Jhen lagi,mengangkat tubuh Jhen keatas meja dapur yang terbuat dari marmer abu-abu itu. Kedua tangan Jhen melingkari leher Theo, telapak tangan Jhen yang tanpa sadar meraba tengkuk Theo yang kokoh dan hangat merambat naik merasakan rambut Theo yang tumbuh tipis disana. Nafas Theo terasa makin berat dan panas. Theo menghentikan ciumannya. Nafasnya terengah-engah ringan. Lalu mencium ringan bibir Jhen lagi.

"Kalau diteruskan , aku yang bisa gila." Kata Theo lalu tertawa kecil sambil menempelkan dahinya di dahi Jhen. Jhen tersenyum, merasa terharu akan kesabaran Theo pada kondisinya. Bagi Jhen , Theo sudah sangat mengerti akan dirinya, mau menerimanya dengan segala kekurangannya, dan mau bersabar menahan hasratnya sendiri.
Jhen memeluk Theo sambil merebahkan kepalanya dipundak Theo yang begitu nyaman baginya.

"Maafkan aku,Theo. Aku akan berusaha menghilangkan traumaku." Kata Jhen merasa menyesal sudah membuat Theo merasa tersiksa karena traumanya.

"Aku sudah buat janji dengan psikiater yang bagus. Lusa kita akan sama-sama kesana." Balas Theo dengan lembut sambil membelai rambut Jhen dan mencium kepala Jhen.
Jhen mengencangkan pelukannya pada Theo. Merasa bersyukur bisa mendapatkan Theo sebagai suaminya.

"Bagaimana jika kita makan malam diluar? Nanti kita juga bisa jemput Ceci dirumah mamamu?" Ajak Theo melepaskan pelukannya dan memandang Jhen dengan bersemangat.

"Makan malam diluar?" Tanya Jhen terlihat senang bisa keluar dari rumah. Seperti anak kecil yang senang mendapatkan ijin untuk bermain setelah lama belajar didalam kamar.

"Iya, kamu mau kita kemana? Mau masakan barat? Cina? Jawa?"

Jhen memutar bola matanya,memikirkan apa yang ingin ia makan.
"Aku ingin makan ... masakan Padang." Jawab Jhen dengan polos.
"Kamu?" Jhen berbalik tanya. Mata Theo terlihat dalam dan hangat.

"Aku ingin makan .. kamu..." Kata Theo sambil menempelkan hidungnya pada hidung Jhen.
"Tapi ... masih harus bersabar" Lanjut Theo sedikir frustasi. Jhen tertawa kecil.

"Sudahlah. Mandi dulu sana.. Nanti aku akan menghubungi mama. Aku akan mengatakan jika kita akan mengajak Ceci juga." Kata Jhen sambil mendorong malas Theo agar menjauh darinya. Theo tersenyum lalu mengecup kening Jhen.

"Oke Bosku." Balas Theo lalu menurunkan Jhen dari meja dapur dan beranjak pergi kekamar utama. Jhen memandangi punggung Theo dari kejauhan. Merasa bersyukur dan takut secara bersamaan. Ia beryukur Theo menjadi suaminya tapi juga takut kebahagiaannya akan menghilang secepat kebahagiaan itu datang. Kenapa tidak dari dulu saja mereka bertemu. Saat dirinya masih belum mengalami tragedi memilukan itu.
-------------------------------

Putra menahan dirinya untuk tidak berusaha mencari sosok Jhen dan juga mengikuti setiap gerak-gerik Jhen. Ayahnya sudah memberikan peringatan kepadanya. Dan ia akan sangat berhati-hati mulai sekarang. Lagipula ia tidak akan bisa melihat Jhen selama Jhen berada dirumah Theo. Theo benar-benar membuat Jhen tidak meninggalkan rumah itu sama sekali. Sekalipun Jhen keluar,saat itu Jhen berada di bar Moa. Jelas Putra tidak bisa menghampiri Jhen. Moa terlihat semakin berbahaya saat ini. Dia juga menempatkan anak buahnya di rumah mama Jhen dan juga rumah Theo. Sepertinya Theo juga bukan pria yang bisa diremehkan. Putra juga mulai merasa dirinya mulai diawasi. Sepertinya memang untuk saat ini ia harus berdiam diri sejenak. Mengumpulkan tenaganya dan juga memanfaatkan waktu yang ada untuk menyusun rencana selanjutnya. Dia tidak mau gegabah. Usahanya selama ini akan sia-sia jika dia tidak mau bersabar dan menemukan waktu yang tepat. Urusan ia membunuh wanita penghibur itu sudah ditangani oleh pamannya. Tidak akan ada masalah jika ia harus bersabar sejenak menunggu waktu yang tepat untuk mengambil kembali Jhen ke sisinya.

"Tunggulah sebentar lagi... sebentar saja... Semuanya akan kembali seperti sediakala. Tidak akan ada siapapun yang akan ganggu kita lagi." Kata Putra sambil memutar-mutar gelas wine nya membuat wine merah itu bergoyang mengikuti gerakan tangan Putra.

Senyuman yang tersungging dibibirnya menyiratkan banyak arti . Putra memandangi slide bermacam-macam gambar dirinya dan Jhen dahulu ditembok ruangannya yang terpancar dari proyektor digital. Semuanya begitu indah dulu. Wajah Putra juga nampak bahagia dan polos. Dia merindukan masa-masa itu.
-------------------------------------------

Pekan olahraga diselenggarakan disekolah Ceci, Theo menepati janjinya untuk datang ke sekolah Ceci bersama dengan Jhen. Theo tertawa kecil ketika melihat Ceci dengan bangganya menggandeng tangannya berjalan memasuki sekolahnya dan memamerkannya didepan teman-temannya. Ceci anak yang tanggap dan aktif,ia mengikuti beberapa perlombaan seperti lari estafet, renang dan basket.
Ada rasa bangga dalam diri Theo melihat anak tirinya itu. Theo mengira ia akan membenci Ceci setelah mengetahui masalalu Ceci,tapi ternyata tidak. Ia juga bukannya menyukai Ceci karena Jhen. Theo benar-benar menyukai Ceci bukan karena rasa tanggungjawabnya.

Ketika Ceci sedang berisitirahat untuk mengikuti loma basket. Ceci menarik lengan Theo yang duduk disampingnya,sementara Jhen tidak berada disana karena sedang membeli beberapa minuman dingin. Ceci membisikkan sesuatu ditelinga Theo.

"Itu Gloria. Dia yang bilang aku tidak punya papa." Bisik Ceci dengan perlahan.

Theo melihat kearah seorang gadis kecil yang ditunjuk oleh Ceci. Gadis kecil dengan tubuh gempal dan rambut dikuncir kanan dan kiri .

"Sekarang dia masih mengatakan itu kepadamu?" Tanya Theo .

"Tidak. Dia sekarang bilang yang datang sekarang bukan papaku,tapi pamanku. Walau aku sudah mengatkakan kalau papaku yang datang bukan pamanku. Dia tetap saja bilang kalau papa itu pamanku. Katanya tidak mungkin papaku setampan papa." Lanjut Ceci dengan wajah cemberut. Theo membelai rambut ikal Ceci dengan penuh dukungan.

"Dia hanya iri padamu. Lihat papanya Gloria." Kata Theo sambil mengarahkan pandangan Ceci kearah seorang pria tambun disebelah Gloria yang sedang mengenakan setelan training berwarna biru tua.
"Dia gendut dan pendek,mirip boneka Teletubbies.." Bisik Theo lagi membuat Ceci tertawa terkikik-kikik.

Lalu Theo memutar tubuh Ceci kearahnya.

"Beda tidak dengan papanya Ceci?" Tanya Theo sambil membusungkan dadanya dan memicingkan matanya bergaya sekeren mungkin.

Ceci mengangguk setuju akan kata-kata Theo. Diantara para ayah yang datang hari itu,Theo memang yang menarik perhatian para guru dan juga orangtua murid yang datang terutama kaum perempuan. Theo berusaha berpakaian sesederhana mungkin. Memakai celana training hitam,sepatu sporty putih,topi berwarna hitam dan kaos polos berwarna putih yang malah menampakkan postur tubuhnya yang sempurna. Otot bisep Theo juga makin terlihat dengan lengan kaos nya yang pendek itu.

"Oh itu papanya Chika," Kata Ceci dengan senang kearah belakang Theo.

Theo menolah kebelakang dan melihat Jhen sedang berbicara dengan pria yang ditunjukkan oleh Ceci. Pria itu mengenakan celana jeans dan kaos sporty berwarna hitam. Mereka tampak akrab berbincang bersama.

"Chika itu sahabat aku,Pa. Dia teman baikku seduniaaaaa. " Lanjut Ceci dengan bahagia dan polosnya.

Namun hati Theo merasa tidak sesenang hati Ceci. Ia tidak suka cara ayah Chika melihat istrinya.

"Mamanya Chika kemana?" Tanya Theo tanpa mengalihkan pandangannya,melihat Jhen tertawa dengan candaan ayah Chika.

Wajah Ceci terlihat sedih namun tak terlihat oleh Theo yang hanya fokus pada istrinya.

"Mamanya Chika udah meninggal,Pa. Sudah lama." Jawab Ceci polos.

Jawaban Ceci makin membuat hati Theo tidak senang. Dilihatnya Jhen menyudahi obrolan antara dirinya dan ayah Chika itu,berjalan kearahnya dan Ceci. Jhen tersenyum padanya sambil mengangkat minuman kaleng dingin yang ia bawa. Theo tidak membalas senyuman Jhen.

"Mama beli apa?" Tanya Ceci lebih tertarik dengan minuman dingin yang dibawa Jhen daripada suasana hati Theo yang muram.

" Minuman dingin untuk papa,mama, dan Ceci." Jawab Jhen sambil memberikan satu kaleng minuman dingin untuk Ceci.

"Terimakasih." Balas Ceci dengan senang. Cecipun langsung membuka minumannya dan sibuk dengan minumannya.

"Ada apa?" Tanya Jhen heran melihat suaminya yang sedari tadi tidak memberikan respon yang bagus ketika ia datang kembali.

"Sudah puas bercanda dengan duda?" Nada bicara Theo terdengar dingin dan ketus. Jhen berpikir sejenak,ia tadi sedang berbincang dengan ayah Chika. Kemudian Jhen tertawa mengetahui alasan sikap Theo yang tidak mengenakkan itu.

"Kamu.. Cemburu dengan ayah Chika?" Tanya Jhen setelah bisa berhenti tertawa sambil menyeka air mata yang menggenang disudut matanya karena tertawa. Namun raut wajah Theo tetap datar dan menatap tajam kearah Jhen. Jhen menyentuh kedua lengan Theo dengan lembut.

"Ceci dan Chika berteman akrab kami memang sering berbincang soal mereka berdua. Itu saja. Apa yang kamu khawatirkan?" Tanya Jhen lagi dengan lembut.

"Aku tidak suka caranya melihatmu. Aku tidak suka melihatmu tertawa kepadanya." Jawab Theo dingin. Jhen mendekatkan bibirnya ke telinga Theo sambil berjinjit.

"Aku lebih cemburu melihat para ibu dan juga guru-guru perempuan itu memandangi suamiku." Kata Jhen dengan nada tidak suka , membuat Theo sedikit menyunggingkan senyumnya namun Theo menyembunyikannya lagi.

"Tapi ayah Chika punya selera yang bagus dalam berpakaian untuk standart orangtua dihari pekan olahraga anaknya." Pancing Theo balik berbisik ke telinga Jhen. Jhen tertawa pelan.

"Tapi aku lebih suka suamiku yang memakai baju seperti hari ini sebagai papa Ceci. Dia terlihat lebih sexy dan menggoda." Balas Jhen sambil menggoda Theo. Theo tersenyum lebar dengan kata-kata Jhen. Jhen kembali berdiri tegak dan menghadap lurus kearah Theo. Merapikan posisi topi yang Theo kenakan.

"Lagipula ayah Chika tahu aku sudah menikah. Dan dia memberiku selamat tadi." Lanjut Jhen dengan senyuman hangatnya pada Theo. Theo tersenyum, menggandeng mesra tangan Jhen. Merapatkan tubuh mereka secara berdampingan. Theo merebahkan kepalanya pada kepala Jhen.

"Nanti jika suituasi sudah benar-benar stabil. Aku mau kita mengadakan pesta pernikahan yang besar. Aku mau semua orang tahu kamu adalah istriku. Aku tidak suka seperti ini." Kata Theo menggenggam erat jemari Jhen yang terjalin diantara jemarinya.

"Terserah padamu. Apa tidak berlebihan kalau acaranya besar-besaran?" Tanya Jhen. Terasa diujung kepala Jhen,Theo menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Aku mau semuanya tahu. Kamu adalah istri Theodore. Nyonya Theodore." Jawab Theo dengan yakin.

"Maka semua orang akan tahu kamu memiliki anak tiri. Orangtuamu jug akan tahu jika Ceci adalah anak kandungku dan Bree bukan anak kandungku." Kata Jhen memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi nantinya. Theo terdiam memikirkan kalimat Jhen.

"Aku akan memikirkan caranya untuk kedua orangtuaku. Cepat atau lambat semuanya pasti akan terungkap. Percayalah padaku,Jhen. Semuanya akan baik-baik saja,kita akan bahagia seperti keluarga pada umumnya. Kamu,Ceci,dan Bree. Kalian adalah keluargaku, hartaku." Balas Theo lembut dan hangat. Kata-kata Theo sangat menyentuh hati Jhen.

"Besok kita akan ke psikiater. Cepatlah sembuh. Jika tidak aku yang akan benar-benar gila Jhen. " Kata Theo sambil mencium tangan istrinya yang ia genggam. Jhen mengangguk pelan sambil melihat Ceci yang sudah berlarian kesana-kemari bersama teman-temannya.
----------------------------------------------------

"Yang pertama, jangan pernah menyalahkan diri sendiri akan kejadian dimasalalu." Kata psikiater wanita yang berumur sebaya dengan ibu Theo itu dihadapan Jhen dan Theo yang sedang melakukan konsultasi dengannya.

"Yang kedua,seringlah berbagi cerita dengan pasanganmu tentang apayang kamu rasakan ketika itu. Meskipun rasanya sakit,cobalah ungkapkan saja. Itu akan mengobati rasa sakit itu sendiri." Kata Dr. Diana sambil melihat kearah Jhen.
"Buatlah istrimu merasa senyaman mungkin. Ciptakan suasananya yang membuatnya nyaman ketika ia ingin menceritakan kisahnya dan segala keluh kesahnya. Hal itu bisa sangat membantu penyembuhannya. Tapi jangan pernah mengungkit hal itu jika ia tidak ingin membicarakannya." Katanya kali ini melihat kearah Theo.

Dr. Diana adalah dokter yang direkomendasikan oleh teman baik Theo sewaktu kuliah dulu.

"Saya dulu sering bermimpi buruk setelah kejadian itu..." Kata Jhen sempat merasa ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Merasa malu dan takut akan didengarkan oleh Theo yang berada disampingnya. Theo tidak berkata apapun, hanya menggenggam tangan Jhen dengan lembut,memberinya dukungan moril.
"Sudah lama mimpi itu tidak datang. Tapi... Akhir-akhir ini sering datang lagi." Ucap Jhen pada akhirnya.

"Itu yang dinamakan Post-Traumatic Stress Disorder atau PTSD. Itu hal yang wajar bagi para korban-korban pelecehan atau pemerkosaan. Hal itu terjadai karena terganggunya emosi para korban. Biasanya memang bisa berupa mimpi buruk, sulit tidur, tidak nafsu makan, takut untuk berinteraksi dengan oranglain, banyak juga hal-hal lainnya tergantung pada setiap individunya. Biasanya memang tidak akan lama tapi tergantung pada dukungan keluarga dan juga teman dalam pemulihan ini. Dalam kasusmu, aku merasa bangga dan salut. Kamu berhasil bangkit lagi dan membesarkan anakmu sendiri." Kata Dr. Diana sambil tersenyum kepada Jhen.

"Apa Jhen bisa sembuh dari traumanya?" Tanya Theo penuh harap.

"Tentu saja bisa jika pasien juga memiliki kemauan dan harapan. Tapi jangan membebankan harapanmu pada pasien,hal itu hanya akan menambah beban dalam luka yang akan berusaha ia sembuhkan. Memang butuh waktu,aku harap anda juga bisa bersabar." Jawab Dr. Diana dengan bijak.

"Aku akan memulai dengan terapi ansietas dahulu sebagai awal terapi pengobatan untuk istri anda. kita bisa mulai hari ini. " Kata Dr. Diana sambil berdiri dari duduknya. Dan mempersilahkan Jhen untuk masuk keruangan yang ada di sebelahnya. Meminta Theo untuk menunggu di ruang konsultasi.

Rasanya waktu begitu terasa lama berlalu bagi Theo. Tapi ia ingin Jhen benar-benar bisa sembuh dari trauma masalalunya dan memulai lembaran hidup yang baru dengan dirinya dan juga anak-anaknya. Saat menunggu Jhen menjalankan terapinya,Mia menghubungi ponsel Theo.

"Ada apa?" Tanya Theo dengan sigap.

"Pak, Maaf mengganggu. Ada beberapa proposal yang membutuhkan tanda tangan Bapak agar segera bisa dilaksakan oleh pihak humas." Jawab Mia.

" Tiga jam lagi aku akan kekantor. Suruh mereka menunggu." Kata Theo sambil menghitung berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk sampai kekantornya setelah mengantarkan Jhen pulang nanti.

"Nanti satu jam lagi juga akan ada rapat dengan para direksi Pak." Lanjut Mia.

"Mundurkan jadwal rapatnya. Aturlah ulang lagi jadwal rapat dengan mereka." Kata Theo dengan tegas lalu menutup pembicaraannya dengan Mia bersamaan dengan Dr. Diana keluar dari ruang terapi tanpa Jhen. Dr. Diana duduk di kursi konsultasinya lagi.

"Bagaimana?" Tanya Theo dengan ragu.

"Istri anda mengalami banyak trauma selain pemerkosaan itu. Dia juga memiliki trauma kekerasan sebelumnya. Mungkin traumanya akan sedikit lebih sulit untuk disembuhkan. Ia selalu berusaha menutupi lukanya selama ini , bukan mengobatinya. Ditambah dengan tragedi pemerkosaan dan penyekapan yang ia alami. Hal ini memperparah luka mental dan emosinya. " Jawab Dr. Diana
"Lalu bagaimana selanjutnya?"

"Cepat atau lambatnya ia sembuh dari traumanya semua bergantung pada dirinya sendiri dan juga dukungan anda sebagai pasangannya saat ini. Jangan buat ia mengingat hal-hal yang membuatnya terluka, kecuali jika ia sendiri yang ingin membuka diri dan menceritakannya pada anda. Dalam kasus istri anda, memang sudah terlalu lambat untuk memulai terapi pengobatan. Tapi semuanya bisa terjadi jika anda mendukungnya untuk sembuh dan juga tentu saja kembali lagi semua pada diri istri anda sendiri." Lanjut Dr.Diana sambil menuliskan resep untuk Jhen.

Jhen keluar dari ruang terapi dan duduk disamping Theo yang disambut dengan tangan Theo yang menggenggam tangannya.

"Jika istri anda mengalami mimpi buruk,bangunkan saja. Tenangkan dia. Jika tidak bisa tidur, anda bisa mengkonsumsi obat yang saya resepkan. Hanya boleh 1 butir 1 hari. Ini hanya obat penenang. Sifatnya hanya membantu menenangkan saja." Kata Dr. Diana sambil memberikan selembar kertas resep kepada Theo.

Theo dan Jhen pamit undur diri kepada Dr. Diana dan mereka meninggalkan ruangan konsultasi itu.
Tanpa mereka sadari dari balik pintu ruang tunggu,Putra sedang duduk disana melihat keduanya pergi dari ruangan Dr. Diana. Senyumnya mengembang mengerikan.

"Tuhan memang sangat adil. Kalau memang jodoh pasti akan bertemu." Gumam Putra dalam hati.

"Pasien selanjutnya." Kata seorang perawat berbaju pink yang duduk dibalik meja antrian pasien Dr. Diana. Putra pun berdiri dan masuk kedalam ruang praktek Dr. Diana.
---------------------------------------------------------------------

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience