Bab 10

Romance Completed 1452

Dan hanya ada keheningan yang terjadi selama tiga puluh menit. Jhen menunggu penjelasan Theo dan akan meluapkan semua kekesalannya pada Theo.

Theo berdehem.
" Maaf." Kata Theo tiba-tiba. Membuat Jhen menatapnya dengan terkejut.
"Semuanya terjadi tiba-tiba. Pasti membuatmu terkejut. Aku juga sama terkejutnya." Lanjut Theo.

"Kenapa anda tidak jujur saja bila ibu kandung Bree itu Bianca?" Tanya Jhen sedikit melupakan emosinya melihat ekspresi Theo.

"Pertama, Bianca benar-benar tidak mau menerima Bree. Sampai dia mau mengakhiri hidupnya dan Bree."
Bulu kuduk Jhen merinding mengingat kejadian itu.
"Bianca tidak akan bisa menghadapi keluarganya jika harus mengakui Bree sebagai anaknya."

"Lalu aku? Bagaimana denganku? Bapak pernah memikirkan posisiku dan kehidupanku?" Tanya Jhen mulai merasa emosinya muncul. Theo memajukan tubuhnya merapat ketepian meja.

"Ibuku mengira Bree adalah anak kita. Ibuku orang yang keras kepala tapi dia sangat penyayang. Aku harus berkata apa bila ibuku tahu Bianca adalah ibu kandung Bree yang jelas-jelas mau melenyapkan Bree dalam hidupnya? Ibuku juga mendengar kita menyatakan bila kita adalah orangtua Bree pada dokter tadi. Ditambah... " Theo mengernyitkan keningnya .
"Ibuku mendengar pembicaraanku dengan Putra tadi."

Jhen memutar bola matanya,lalu memejamkan matanya sejenak. Berusaha meredamkan emosinya.
"Setidaknya anda kan bisa menjelaskan pada ibu anda,Pak. Kita tidak perlu bersandiwara sejauh ini."

"Lalu? Ibuku harus tahu bila Bree adalah anak yang tidak diinginkan di dunia ini?" Tanya Theo.

"Setidaknya Bree punya anda." Jhen masih bersikeras.

"Maka akan jadi apa nama keluargaku? Aku harus jadi orangtua tunggal tanpa status pernikahan yang jelas. Atau Bree akan berada di panti asuhan?" Tanya Theo lagi. Jhen terdiam sesaat.
"Aku hanya bisa memikirkan keputusan yang paling tepat saat semua ini terjadi." Lanjut Theo bersandar pada kursi yang dia duduki.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita juga tidak bisa bersandiwara seperti ini terus,Pak."
Jhen menatap serius kali ini. Wajah Theo terlihat tampan walau nampak kacau karena situasi rumit hari ini,Theo juga belum berganti pakaian sejak kejadian di taman tadi. Tapi dia masih tampan dan malah terlihat... Menggairahkan.
Jhen memalingkan wajahya,mulai merasakan wajahnya memerah.
Apa yang dia pikirkan di saat-saat seperti ini? Kenapa malah dia fokus pada penampilan Theo yang membuatnya terpesona. Jhen melihat sekeliling,melihat kalau-kalau ada papan peringatan dilarang merokok. Pikirannya sudah penuh hari ini,dia ingin menyalakan rokok untuk meredakan pikirannya yang kacau. Dan dia melihat papan peringatan merokok di sebelah pintu kantin. Rasanya semakin frustasi bagi Jhen saat melihat tulisan itu.
Theo mengambil gelas minuman hangatnya.

"Kita harus menikah." Kata Theo sambil menyesap minumannya. Seketika Jhen menoleh kearah Theo sambil melebarkan matanya. Kalau saja ini lamaran romantis,sudah pasti Jhen menerimanya. Tapi ini berbeda. Benar Jhen sangat menyukai Theo,mengidolakannya. Namun situasi ini sungguh diluar pemikiran Jhen. Selama enam tahun terakhir hidup Jhen sudah tenang,tertata sedikit demi sedikit. Jhen tidak mau kehidupannya yang nyaman saat ini bersama mama dan Ceci terusik.

"Semudah itu anda mengatakan soal pernikahan?" Tanya Jhen tidak menutupi rasa terkejutnya.

"Pilihan apa yang kamu punya selain ini?" Theo berbalik bertanya sambil meletakkan gelas minumannya. Jhen mulai memutar otaknya. Dia tidak mau membiarkan Bree berada di panti asuhan. Tapi dia juga memiliki kehidupan sendiri yang dengan susah payah dia tata sendiri. Theo juga tidak mungkin mengasuh Bree sebagai orangtua tunggal ,reputasi keluarganya yang terpandang akan rusak. Ibu Theo juga sudah salahpaham akan hubungannya dengan Theo. Dan Bianca.. Ah dia tidak bisa dipikirkan sama sekali.

"Pak,aku juga orangtua tunggal. Aku memiliki seorang anak perempuan berusia 6 tahun." Kata Jhen berusaha bernegosisasi dengan Theo. Theo mengangguk.

"Aku tahu."

"Aku punya profesiku sebagai entertain."

"Tentu aku tahu."

"Keluarga anda akan keberatan dengan itu semua. Lagipula aku juga punya kehidupan sendiri dengan keluargaku."

"Anakmu terdaftar dalam kartu keluargamu sebagai adikmu. Walaupun kamu mengakui pada semua orang dia anakmu,tapi secara hukum dia adalah adikmu. Pekerjaanmu adalah hakmu. Keluargaku bukan keluarga yang memandang rendah oranglain karena derajatnya." Kata Theo lugas
"Lagipula kamu juga membutuhkan perlindungan dari Putra." Lanjut Theo dengan wajah serius.

"Pak,Putra adalah masalahku sendiri. Anda.."

"Atau memang kamu ingin kembali padanya?" Tanya Theo memutuskan kalimat Jhen. Jhen tertawa sinis ..

"Dia orang gila. Untuk apa aku kembali padanya? Susah payah aku membangun hidupku lagi,aku tidak mau menghancurkannya lagi." Jawab Jhen.

"Maka menikahlah denganku." Kata Theo tanpa tersenyum,tanpa ekspresi apapun yang bisa dilihat Jhen. Jhen harus menjawab apa? Jhen merasa otaknya seperti rumah besar kosong yang menggema.
"Aku akan menjamin keselamatan ibumu dan Ceci."
Tambah Theo.
Jhen mengedipkan dua matanya dan menggigit bibir bawahya menandakan dia mulai merasa ragu untuk menjawab.

"Beri aku waktu." Jhen berkata sambil merasa pikirannya masih belum stabil saat ini . Theo mengangguk .

"Aku tunggu besok pagi." Jawab Theo lalu berdiri dari duduknya tanpa memperdulikan ekspresi Jhen yang tercenggang oleh tenggang waktu yang diberikan oleh Theo.
"Pulanglah, beristiratlah. Kamu lelah hari ini. Biar supirku yang mengantarkamu pulang. Aku akan melihat Bianca sebentar. Ibuku sudah pasti akan menjaga Bree." Kata Theo lalu meninggalkan Jhen sendirian dikantin itu sambil tersenyum lebar.

"Bagaimana aku tidak lelah? Kamu yang buat masalah ini dari awal." Pikir Jhen melihat punggung Theo yang terlihat lelah itu pergi meninggalkannya.
"Kamu memintaku menikah denganmu tapi kamu sendiri malah pergi ke wanita yang kamu cintai." Jhen mulai merasa kesal. Sepertinya dia harus beristirahat hari ini. Dia akan pulang dan menenangkan pikirannya. Dia tidak bisa bercerita kepada Moa. Karena sedari awal Moa sudah mengira Theo adalah suaminya.
-----------------------------------------------

Bianca sedang duduk dikursi dekat jendela dikamar inapnya. Dia bisa mendengar Theo membuka pintu kamarnya. Karena dokter ataupun suster tadi sudah mengujunginya.

"Mau apa kamu kesini? Aku tetap tidak akan menerima anak itu." Kata Jhen tanpa melihat kearah Theo. Dia tetap menatap kearah luar jendela sambil mendekap kedua kakinya yang ia tekuk diatas kursi.

"Aku akan benar-benar melupakan hubungan baik di masalalu kita dulu. Kamu benar-benar tidak ingin tahu kondisi anakmu?" Tanya Theo hanya berdiri di depan pintu yang tertutup itu sambil memasukkan kedua tangannya dalam kantung celananya.
"Aku tidak peduli dengannya. Aku tidak mau hidupku hancur karenanya ataupun Adam. Terserah mau dia hidup atau mati. Bagus jika dia mati." Jawab Bianca datar namun air matanya mulai terasa menggenangi matanya. Pandangannya mulai terasa kabur oleh airmatanya.

"Kamu benar-benar melepaskan Bree?" Theo meyakinkan Bianca lagi. Bianca hanya mengangguk tanpa melihat Theo.

"Aku tidak mau melihat dia lagi,Theo. Aku akan memulai hidupku yang baru. Tanpa dia ataupun Adam. Pergilah. Aku juga tidak mau melihatmu lagi."

"Baik. Jangan pernah menarik kata-katamu lagi. Sekalipun kamu menyesalinya. Jangan pernah melupakan kalimat yang kau ucapkan hari ini." Kata Theo lalu meninggalkan kamar itu. Tanpa tahu Bianca meneteskan air matanya dan mulai menangis dengan hebatnya. Bianca membungkam mulutnya dengan tangannya. Ketika dia memeluk anaknya,ada rasa rindu dan benci bercampur dihatinya.
Hatinya juga tidak bisa memungkiri rasa sayangnya pada anaknya,dia bahagia ketika anaknya lahir namun hatinya hancur karena Adam. Hidupnya juga hancur jika dia memilih anaknya. Keluarga Bianca tidak akan pernah mau menerimanya lagi jika tahu ia memiliki anak. Pikirannya kacau ketika ditaman itu. Mungkin lebih baik jika dia dan anaknya menghilang saja dari dunia ini. Semua masalah akan selesai. Dia dan anaknya juga tidak akan menderita. Tapi kenyataannya lain. Kenapa dia dan anaknya harus diselamatkan oleh Theo dan wanita itu. Dia ingin melihat anaknya,tapi egonya tidak ingin membiarkan hidupnya hancur.
--------------------------------------------------------

Ibu Theo tidak henti-hentinya memanggil dokter setiap kali Brian merasa tidak nyaman. Sampai memindahkan Brian dikamar VIP. Memberikan perawatan yang terbaik untuk Brian. Ibu Theo benar-benar jatuh hati pada Brian. Dia juga langsung memberitahukan ayah Theo soal Brian dan pernikahan Theo. Yang mana disambut antusias oleh ayah Theo. Malam harinya ayah Theo datang kerumah sakit untuk menemani istrinya yang sedang menemani Brian sepanjang hari ini.

"Coba lihat pipinya seperti apel. Matanya seperti Theo ya?" Kata ibu Theo untuk kesekian kalinya sambil menggendong Brian pada ayah Theo. Ayah Theo tersenyum melihat istrinya yang begitu bahagia memiliki cucu dari putra kesayangan mereka. Brian melihat kearah ibu Theo lalu tersenyum.
"Pa,lihat dia tersenyum." Ujar ibu Theo bahagia.
"Hai sayang. Ini oma,kamu tahu kalau sedang digendong oma." Ibu Theo mencium pipi kanan kiri Brian,membuat bayi itu tertawa. Tawa Brian seperti harta baru bagi ibu Theo,membuatnya tidak berhenti tersenyum dan terus mengajak bicara Brian seolah-olah Brian bisa tahu apapun yang dia katakan.
"Kalau begini terus,aku yang bisa cemburu. Istriku lebih cinta pada cucunya daripada aku." Sindir ayah Theo dengan nada sayang.

"Cucu kita." Ralat ibu Theo melihat sekilas kearah suaminya dan kembali lagi melihat Brian.
"Ya Bree.. ini opa mu. Dia juga akan sayang sama kamu sama kayak oma." Lanjut ibu Theo sambil menggosokkan hidungnya pada hidung mungil Brian yang disambut tangan mungil Brian di pipinya. Ayah Theo tersenyum lebar melihat istri dan cucunya.

"Mana Theo?" Tanya ayah Theo akhirnya mulai menyadari ketidakhadiran Theo diruangan itu.

"Dia tadi pulang dulu, dia harus mengganti baju." Jawab ibu Theo.

"Ibunya Bree?"

"Dia juga aku minta untuk pulang dulu. Biar aku bisa sama Bree." Kata ibu Theo sambil mengambilkan mainan untuk Brian.

"Kamu sudah bertemu ibu Bree?"

"Sudah. Dia sepertinya wanita yang baik. Tapi aku tidak tahu latar belakangnya." Ibu Theo melihat kearah ayah Theo,
"Tapi sepertinya Theo benar-benar mencintainya." Bisik ibu Theo.

"Oh ya?" Ayah Theo tampak tidak percaya ucapan istrinya. Ibu Theo mengangguk.

"Aku bisa lihat dari mata Theo ketika dia melihat ibu Bree. Aku mengenal Theo sepanjang hidupku,aku bisa tahu dia mencintai ibu Bree." Jawab ibu Theo dengan yakin.

"Lalu kenapa dia merahasiakan dari kita tentang pernikahannya dan juga kelahiran anaknya?"

"Theo tidak mau ada yang tahu. Dan pastinya kita akan heboh kalau tahu dia menikah. Dia ingin semuanya terfokus pada proyek resort kita di singapura."

"Siapa ibu Bree? Apa sudah lama mereka saling kenal?" Tanya ayah Theo mulai penasaran tentang putranya dan juga istri putranya.

"Sepertinya sudah lama. Nanti kamu tanyakan pada Theo sendiri. Mungkin sebentar lagi dia akan datang kesini." Kata ibu Theo mulai menimang-nimang Brian yang mulai merasa mengantuk.

Sesuai prediksi ibu Theo, Theo datang membuka pintu kamar itu melihat ke ayah dan ibunya. Ibu Theo memberi isyarat untuk tidak ada yang bersuara dengan satu jarinya yang menutup bibirnya. Dan melambaikan tangan meminta ayah Theo dan Theo untuk meninggalkan ruangan itu.

Theo dan ayahnya meninggalkan kamar itu dan duduk berdampingan di kursi tunggu didepan kamar inap Brian.

"Mamamu sudah sangat jatuh cinta pada Bree." Kata ayah Theo sambil tersenyum. Theo membalas senyuman ayahnya.

"Iya ,Pa. Sudah dari tadi mama heboh dengan Bree. Sampai aku merasa kasihan dokter dan para suster disini. Harus bolak balik karena mama manggil mereka terus." Balas Theo sambil tersenyum lebar.
"Kenapa kamu merahasiakannya dari kami? Kamu tahu kan kita bukan keluarga yang memilih soal pasanganmu." Kata ayah Theo mulai berbicara serius.

"Aku tidak mau ada yang tahu dulu pa. Aku ingin kita fokus pada proyek kita dulu. Saat itu juga kan kita baru akan sepakat soal kerjasama dan juga mencari investor." Theo mulai membuat alasan.

"Tapi kami kan orangtuamu,Theo. Kamu bisa beritahu kami saja. Dan merahasiakannya dari semua orang,jika kamu yang meminta kami akan menurutinya." Ayah Theo mulai merasa ada yang ganjil dari penjelasan Theo.

"Jhen dari keluarga biasa saja,Pa. Dia takut jika harus menemui papa dan mama. Dia merasa tidak cukup baik untuk bertemu papa dan mama. Dan memintaku untuk menikah diam-diam dulu. Kami juga tidak menyangka soal kehadiran Bree. Tadinya aku akan memberitahukannya pada papa dan mama. Tapi sepertinya waktunya tidak tepat." Kata Theo dengan serius.
"Lalu kapan waktu yang tepat? Sampai akhirnya kami harus tahu tentang kalian setelah insiden ini." Ayah Theo mulai terlihat tidak sabar.

"Ini kesalahanku.. karena aku sibuk dengan pekerjaanku. Aku minta maaf pa." Kata Theo menundukkan kepalanya merasa bersalah karena sudah mengarang cerita pada kedua orangtuanya.
Ayah Theo menarik nafas panjang. Mencoba memahami posisi Theo dan istrinya itu.
"Sudahlah,pasti berat juga untuk ibu Bree. Papa juga terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai-sampai kamu harus ikut repot dengan perusahaan keluarga kita dan harus menyembunyikan kehidupan pribadimu dari papa dan mama.Besok bawa ibu Bree kesini. Papa mau bertemu dengannya." Kata ayah Theo sambil menepuk dengan sayang kedua tangan Theo yang menggenggam satu sama lain itu. Theo mengangguk mengiyakan permintaan ayahnya.
----------------------------------------------

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience