Ibu Theo mengadakan acara makan malam keluarga untuk merayakan ulang tahun Jhen dirumahnya. Karena hari itu sedang hujan deras, acara barbekyu yang direncakan akhirnya tidak bisa terlaksana. Dan hanya diakan acara makan malam dengan sederhana didalam ruangan. Orangtua Theo juga mengundang serta mama Jhen untuk datang kerumah mereka.
Ibu Theo benar-benar bahagia dengan kehadiran cucu-cucunya,terutama Brian. Ia memberikan yang terbaik untuk Brian.
Setelah acara makan malam usai, para wanita berkumpul sendiri di ruang keluarga. Sementara Theo dan ayahnya berada di teras dekat taman belakang.
"Papa mau mengatakan sesuatu?" Tanya Theo ketika melihat ayahnya tampak memandanginya sedari tadi.
"Apa tidak ada yang ingin kamu sampaikan pada papa?" Ayah Theo berbalik tanya. Theo merasakan ayahnya mengetahui tentang apa yang ia tutupi selama ini. Theo diam sejenak menunggu reaksi dari ayahnya.
"Mamamu masih belum mengetahuinya. Papa sengaja diam dulu,menunggu kamu yang menjelaskan. tapi kelihatannya kamu sibuk akan hal yang lain. Sampai rapat dengan para direksi saja kamu mengatur ulang jadwalnya lagi." Lanjut ayah Theo sambil mengambil sebatang cerutu favoritnya. Theo masih pada diamnya. Menanti ayahnya mengatakan apa saja yang ia ketahui.
"Papa memang sudah merasa janggal akan dirimu dengan Jhen sedari awal. Kamu bukan anak yang ceroboh akan menikah diam-diam dan memiliki anak tanpa pertimbangan yang matang sekalipun kalian saling mencintai. Juga dalam rentan waktu itu, kamu sedang sangat sibuk dengan proyek resort kita di singapura. Papa paham sekali seperti apa anak papa." Ayah Theo memotong ujung cerutu dengan pisau potong khusus cetutunya. Kemudian menyalakan api pada ujung cerutunya. Ayah Jhen menghisap pelan cerutunya lalu menghembuskannya perlahan keudara.
"Papa pernah melihat Jhen sekali ketika ia tampil bersama band nya diacara resort kita dulu. Dan papa baru mengingatkan ketika papa sedang berjalan-jalan bersama mamamu dan Bree beberapa hari lalu. Kemudian papa sengaja bertanya kepada sekretaris papa soal Jhen. Dia adalah orangtua tunggal yang bekerja sebagai entertainer yang kebetulan juga mengisi di resort kita. Dan selama ini Jhen tidak terlihat sedang hamil ataupun melahirkan. Jadi dia jelas bukan ibu kandung Bree. Kamu juga bukan tipe orang yang akan melakukan hal yang tidak beertanggung jawab kepada seorang wanita sampai kamu harus mengasuh anakmu dan membebankan semuanya pada Jhen." Kata ayah Theo dengan kepercayaan penuh pada putranya itu.
Theo menarik nafas panjang. Mungkin sekarang saatnya ia mengungkapkan yang sebenarnya pada ayahnya. Theo paham ayahnya adalah orang yang rasional.
"Bree ... Memang bukan anak Jhen. Tapi Jhen sangat menyayanginya seperti anaknya sendiri ketika aku menitipkan Bree padanya." Kata Theo mencoba untuk tenang sambil menyesap wine nya.
" Bree juga bukan anakku,Pa."
Terlihat raut wajah lega sekaligus kecewa dari ayah Theo. Dia lega anaknya seperti yang ia pikirkan, namun kecewa karena ternyata Brian bukanlah cucu kandungnya.
"Lalu anak siapa Bree?" Tanya ayah Theo penasaran.
"Dia anak Bianca dan Adam. Mereka berdua membuangnya. Yang satu terlalu takut pada keluarganya, yang satu lagi lebih mementingkan status sosial dan juga pengakuan dari keluarganya." Jawab Theo terlihat kesal kepada Bianca dan juga Adam ketika mereka menelantarkan Brian begitu saja.
"Kalau itu anak mereka,kenapa kamu yang mengambil tanggungjawab ini? Ini bukan hal yang sepele,Theo" Kata ayah Theo dengan serius kali ini.
"Awalnya aku menitipkan Bree pada Jhen untuk sementara sambil mencari Bianca agar mengambil anaknya dan bertanggung jawab atas anaknya. Bila memang Bianca tidak ketemu juga saat itu,aku sudah memiliki pemikiran untuk mengirim Bree ke panti asuhan. Tapi saat itu Bianca sudah aku temukan. Dia mau membawa Bree lagi. Kesalahanku adalah percaya pada Bianca saat itu...." Theo menoleh kearah ayahnya. "Dia berniat bunuh diri bersama dengan Bree, ia terjun kedalam kolam bersama dengan Bree. Jhen menolong Bree. Lalu dirumahsakit itulah kesalahpahaman mama bermula."
Ayah Theo tidak mengatakan apapun. Ia memandang lampu taman yang dibasahi oleh air hujan malam itu sambil menghisap cerutunya dengan perlahan.
"Kamu mencintainya?" Tanya ayah Theo setelah jeda keheningan yang cukup lama terjadi diantara mereka. "Sampai sengaja menjadikan kesalahpahaman mamamu dan Bree sebagai senjata untuk mengikatnya dalam pernikahan?"
Theo tidak menjawab pertanyaan ayahnya. Itu adalah sebuah pertanyaan yang ia tanyakan selama ini pada dirinya sendiri. Namun segalanya seakan-akan perlahan terjawab ketika ia menghabiskan hari-harinya dengan Jhen.
"Mungkin yang papa katakan benar,hanya saja aku tidak menyadarinya." Jawab Theo sambil tersenyum pada dirinya sendiri. Ayah Theo tertawa pendek .
"Tidak menyadari? Semua orang bisa melihatnya dan kamu tidak menyadarinya?" Kata ayah Theo lalu terkekeh. Theo melihat kearah ayahnya dengan penuh tanya.
"Semua orang bisa melihatnya , Theo. Bahkan saat dirumah sakit ketika aku pertamakali berkenalan dengan Jhen, matamu tidak bisa menyembunyikannya bahkan sedetikpun. Kecemburuanmu di kantor sipil melihat setiap orang memandangi Jhen , bahkan anak kecil bisa tahu soal perasaanmu pada Jhen. Ketika kamu mendadak ada urusan diluar negeri dengan investor kita, kamu seperti orang yang takut istrinya kabur sampai harus memohon kepada mamamu untuk menemani Jhen dirumah agar dia tidak pergi kemana-mana. Memangnya kamu kira itu perasaan apa? Kalau hanya merasa bertanggung jawab dan juga kasihan , kamu tidak akan sampai seperti ini ,Theo. Kamu dan aku .. Kita adalah pria-pria dengan rasional tinggi. Tapi kita tidak akan bisa rasional jika menyangkut wanita yang kita cintai." Mata ayah Theo terlihat teduh dan hangat saat mengatakan hal itu pada putra kesayangannya. Dalam hatinya, Theo mengakui apa yang dikatakan ayahnya itu.
Dia jatuh cinta pada istrinya sendiri.
"Kenapa kamu mengakui Jhen sebagai istrimu ketika mamamu belum sepenuhnya salah paham akan dirimu,Jhen dan juga Bree?" Tanya ayah Theo masih berusaha mengumpulkan teka-teki dalam otaknya soal kebohongan Theo selama ini. The memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada ayahnya. Ia bisa mempercayai ayahnya soal apa yang ia hadapi dan juga Jhen. Dan yang pasti ayahnya akan membantunya juga Jhen.
Ayah Theo tidak tahu bila yang dihadapi oleh putra kesayangannya begitu rumit. Mulai dari masalalu Jhen, kisah Brian dan juga soal psikopat yang mengganggu menantunya. Ayah Theo memejamkan mata mencoba menyaring semua hal yang disampaikan Theo dan mulai memikirkannya.
"Lalu apa rencananmu selanjutnya?" Tanya ayah Theo.
"Aku masih mencoba untuk mengobati trauma Jhen. Dia tidak bisa selamanya terkurung dalam luka masalalu yang bukan karena kesalahannya. Dia berhak untuk bisa bahagia tanpa terikat akan luka
masalalunya." Jawab Theo.
"Bagaimana kamu menjelaskan semuanya pada mamamu? Jelas ia akan terpukul jika mengetahui kebenaran soal semua ini , apalagi mamamu sangat menyayangi Bree. Tapi cepat atau lambat kamu harus menjelaskannya pada mamamu. " Tanya ayah Theo lagi.
"Aku akan memikirkan caranya,Pa. Apapun yang terjadi, Jhen adalah istriku secara sah. Ceci juga Bree adalah anak-anakku secara hukum. Mereka keluargaku !!" Tegas Theo dengan tatapan teguh kepada ayahnya. Ayah Theo melihat keteguhan putranya dan merasa bangga atas apa yang akan dilakukan putranya itu.
"Papa akan mendukungmu,Theo. Setidaknya kamu memiliki sifat yang membuat papa bangga. Lindungilah keluargamu. Mintalah bantuan papa jika memang kamu membutuhkan bantuan papa. Papa juga akan melindungi semua anggota keluarga papa." Kata ayah Theo sambil menepuk pundak Theo. Theo tersenyum lega kearah ayahnya,bebannya berkurang satu soal kebohongannya pada keluarganya selama ini. Dan ia merasa lega ayahnya bisa memahami akan dirinya dan juga Jhen.
----------------------------------------------
Setelah Brian tertidur lelap,Jhen meletakkan Brian didalam box bayinya. Lalu meninggalkan kamar Brian perlahan-lahan sambil berjinjit agar tidak mengeluarkan suara agar tidak membangunkan Brian. Kemudian Jhen mengitip ke kamar Ceci. Dilihatnya putri kecilnya itu sudah terlelap sambil memegang boneka, hadiah dari ibu Theo tadi. Jhen membenarkan posisi selimut Ceci dan mematikan lampu kamar putrinya. Malam ini terasa melelahkan karena Brian agak rewel hari ini,membuatnya sedikit kewalahan . Brian sama sekali tidak mau di gendong oleh perawatnya dan hanya mau dengan Jhen saja.
Jhen berjalan kekamarnya untuk beristirahat. Ia lelah sekali hari ini . Hari ini ia menjalani terapi dengan Dr. Diana dan entah kenapa prosesnya hari ini terasa melelahkan.
Jhen terkejut ketika membuka kamarnya , lampu kamarnya mati dan lantainya dihiasi oleh lilin-lilin kecil dengan gelas-gelas mungil. Lantainya juga dihiasi oleh kelopak-kelopak bunga mawar kuning. Theo berada ditengah kamar sedang menunggu Jhen datang. Jhen berjalan kedalam kamar sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Benar-benar seperti cerita dalamm drama-drama yang selama ini ia lihat,namun saat ini benar-benar terasa luar biasa karena ia merasakannya sendiri.
"Apa ini kado untukku?" Tanya Jhen setelah dirinya berada didekat Theo. Theo tersenyum padanya.
"Hmm... Ya, sedikit kejutan untuk istriku yang berulang tahun hari ini. Dan juga maaf aku tidak bisa menemanimu hari ini untuk terapi dengan Dr. Diana. " Jawab Theo sambil menyentuh pipi Jhen dengan lembut.
"Terimakasih,Theo." Jhen memeluk Theo merasa terharu akan yang dilakukan Theo untuknya. Hal kecil yang membuatnya merasa terharu.
"Ini kado yang indah, dan permintaan maaf diterima " Lanjut Jhen lalu melepaskan pelukannya. Jhen menyadari tangan Theo masih berada dibalik punggung Theo.
"Apa masih ada hadiah lain?" Jhen merasa ada hal lain yang ingin diberikan Theo padanya. Theo tersenyum dan memberikan sebuah kotak berbentuk persegi sebesar buku pada Jhen. Jhen menerimanya dan membuka kotak itu. Walau dalam cahaya yang tidak terang,namun Jhen bisa tahu apa itu. Matanya mulai terasa buram oleh airmata yang mendadak muncul.
"Itu adalah foto keluarga kecil kita. Kartu keluarga dan juga akta kelahiran Ceci juga Bree." Kata Theo menjelaskan isi kotak itu pada Jhen.
Kini Ceci juga Brian benar-benar sudah menjadi anak mereka berdua dalam status yang jelas dan kuat. Jhen tidak bisa berkata-kata. Baginya ini adalah sebuah kado terindah dalam hidupnya. Juga lelaki yang berdiri didepannya saat ini merupakan hal teristimewa dalam hidup Jhen. Jhen tidak pernah bermimpi akan mendapatkan lelaki yang mau menerima setiap kekurangannya dan juga masalalunya. Namun sekarang ia memilikinya , bahkan lelaki itu mau menerima anak Jhen dan juga mau menghadapi segala sesuatu bersama Jhen.
"Tidak suka kado dariku?" Tanya Theo sambil menyeka airmata Jhen yang jatuh di pipinya yang merona karena emosi yang ia rasakan. Jhen menggeleng.
"Tidak,bukan. Terimakasih Theo. Terimakasih sudah hadir dalam hidupku. Terimakasih sudah mau menerima segala kekuranganku.Aku tidak tahu harus berkata apa.." Kata Jhen sambil tersenyum dalam tangisnya. Theo memeluk Jhen dengan sayang.
"Aku tidak menikahi seseorang hanya karena melihat kelebihannya saja. Aku juga harus menerima kekurangannya juga. Bukan hanya melihat bagaimana kamu menjadi sempurna tapi berusaha bersama untuk kita sama-sama saling menyempurnakan." Suara Theo yang lembut itu menghangatkan seluruh hati dan pikiran Jhen.
Theo sudah berkorban banyak untuknya. Memberikan banyak hal untuknya juga anaknya. Betapa ia sangat berterimakasih kepada suaminya. Baru kali ini juga ia mencintai dan merasa dicintai oleh oranglain selain orangtuanya.
"Aku juga menyiapkan air hangat untukmu mandi. Kata Dr. Diana terapimu kali ini sepertinya akan menguras emosi dan tenagamu." Kata Theo sambil melepaskan pelukannya dari Jhen. Jhen mengangguk dan pergi kekamar mandi.
Bathtub itu sudah penuh oleh air hangat dan juga serpihan kelopak-kelopak bunga mawar yang wanginya terasa manis dihirup oleh Jhen. Aromanya menenangkan. Jhen melepaskan pakaiannya dan mulai merendamkan tubuhnya dalam bathtub. Menikmati sensasinya.
Terapinya kali ini memang melelahkan. Dr. Diana memulai terapinya yang kedua. Mulai membuka setiap luka yang ia rasakan namun ia pendam selama ini. Membuat Jhen harus mau menerimanya dan menghadapinya agar bisa terlepas dari segala trauma yang ia rasakan. Rasanya begitu menyakitkan. Untung saja tadi Theo tidak bersamanya.
Theo sudah mau berbagi beban yang ia rasakan selama ini, ia juga menanggung beban dari mantan tunangannya,dan dia memberikan banyak hal pada Jhen. Selama ini Theo harus berkorban rela untuk tidur di sofa agar tidak mengganggu ketenangan Jhen. Dan selalu sigap jika Jhen mengalami mimpi buruk. Dr. Diana juga mengatakan pada Jhen. Kesembuhannya semua berasal dari dirinya sendiri. Jhen harus bisa memerangi traumanya sendiri.
--------------------------------------------
Theo sedang bersiap untuk tidur diatas sofa yang sudah ia tata setelah Jhen masuk kedalam kamar mandi. Memang rasanya tidak senyaman tidur di tempat tidurnya. Tapi ia juga tidak bisa jika harus seranjang dengan istrinya tanpa merasa ingin menyentuh tubuh mungil menggiurkan istrinya. Setidaknya ia menjaga jarak dengan Jhen tanpa harus membuat Jhen merasa sendiri.
Pintu kamar mandi terbuka,Theo menoleh kearah Jhen yang hanya mengenakan selembar handuk pada tubuhnya sama seperti saat dihari pertama pernikahan mereka,namun kali ini rambut Jhen tergerai indah dibelakang punggungnya. Cahaya remang kamar mereka membuat siluet tubuh Jhen terlihat makin erotis. Theo menelan ludahnya dan berbalik melihat sofanya.
"Mmm.. Kalau .. kamu ingin beristirahat. Aku akan mematikan lilin-lilin ini dan membereskannya nanti..." Pelukan dari tangan Jhen di pinggang Theo membuat Theo menghentikan kalimatnya.
"Jhen.." Theo hendak melepaskan tangan Jhen dari tubuhnya,takut jika ia akan kehilangan kendali. Namun Jhen makin mempererat pelukannya pada Theo.
"Aku ... Tidak akan lari dari masalaluku lagi. Aku ingin menghadapinya bersamamu." Kata Jhen dengan lirih. Wajah Jhen yang menempel dipunggung Theo terasa menembus kain pakaian yang Theo kenakan. Theo berbalik kearah Jhen. Melihatnya dalam keremangan. Mata Jhen yang bulat berwarna Hazelnut, hidungnya yang mancung tapi mungil dan bibirnya yang lembab dan merekah. Kulit Jhen terlihat hangat dan lembab sehabis mandi.
"Aku jelas tidak akan bisa menahan diri lagi bila memulainya sekarang." Kata Theo memperingatkan.
Jhen mengangguk penuh keyakinan lalu berjinjit mencium bibir Theo. Theo membalas ciuman Jhen dengan lembut dan manis awalnya,makin Jhen merapatkan tubuhnya kepada Theo. Makin intens Theo mencium Jhen,nafasnya muali terasa panas di pipi Jhen. Jhen bisa merasakan otot-otot tubuh Theo menegang. Jhen menyentuh punggung Theo yang terasa panas ditangannya. Nafas Theo makin memburu ketika ia melepaskan handuk itu dari tubuh Jhen dan meraba kulit tubuh Jhen yang telanjang itu,membuat Jhen terkesiap.
Theo menghentikan ciumannya namun Jhen menekan tengkuk Theo dan menciumnya lagi.
Theo membopong tubuh mungil Jhen keatas tempat tidur yang terasa dingin,merebahkan tubuh Jhen diatas tempat tidur.
"Jhen,aku benar-benar tidak akan bisa menghentikan ini semua." Kata Theo dengan tatapan matanya yang sudah gelap oleh gairahnya akan Jhen selama ini.
"Maka jangan hentikan." Balas Jhen sambil menyentuh wajah Theo dengan kedua tangannya.
Theo membuka kaos putih yang ia kenakan dengan cepat juga sisa pakaian yang melekat pada tubuhnya. Theo mencium bibir Jhen lagi , kali ini tidak selembut tadi. Ciumannya begitu panas dan memburu. Seperti menikmati buah segar setelah lama berada di cuaca panas.
"Love you , My Jhen." Ucap Theo sambil mencium Jhen dengan seluruh rasa cintanya yang ia pendam selama ini.
-----------------------------
Jhen menyandarkan tubuhnya pada Theo. Theo menempelkan dagunya di puncak kepala Jhen. Nafas mereka sudah stabil sekarang. Tubuh mereka ditutupi selimut biru muda yang senada dengan warna sprei tempat tidur mereka. Jhen memeluk pinggang Theo.
"Aku selalu dihantui ketakutanku sendiri karena kejadian itu." Kata Jhen tiba-tiba memecahkan keheningan yang terjadi. Theo diam mendengarkan apa yang akan dikatakan Jhen.
"Hari ini Dr. Diana membuatku mengingat lagi kejadian itu. Aku menyalahkan diriku sendiri karena sudah mau datang sendiri menjemput tragedi hari itu."
Theo mengencangkan pelukannya dipundak Jhen yang tampak rapuh itu.
"Semua orang bisa saja mengalami hal itu , tidak hanya dirimu. Jangan menyalahkan dirimu sendiri,Sayang." Kata Theo memberikan dukungan untuk istrinya yang sudah mau menceritakan tentang luka masalalu kepadanya.
"Hari itu aku datang dengan harapan mendapatkan beasiswa seperti yang ia katakan dalam pesan. Sampai disana .. " Jhen memejamkan matanya dan menempelkan pipinya di dada telanjang Theo, mencari rasa aman disana.
" ... Aku hanya meminum minuman yang ia berikan , setelahnya aku tidak tahu. Ketika aku terbangun aku sudah berada dalam kamarnya yang gelap dan pengap. aku tidak bisa bergerak , tangan dan kakiku terikat . Aku juga tidak bisa bersuara , mulutku tertutup oleh sesuatu yang lengket dan tebal. Dia mulai menyentuhku , membuatku jijik , takut , dan marah . Dia memukulku jika aku melawannya. " Lanjut Jhen dengan suara bergetar. Theo diam mendengarkan cerita Jhen dan menahan emosinya dengan membelai tangan Jhen yang berada di dadanya,berusaha memberikan dukungannya untuk Jhen.
"Selama aku disana aku tidak bisa memikirkan apapun, berharap seseorang datang menolongku, seseorang bisa mendengarkan suaraku. Banyak suara orang-orang yang aku dengar diluar rumah itu. Tapi mereka tidak bisa mendengarkanku. Aku merasa kosong dan tidak ada harapan. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya mendengar suara Moa yang memanggilku dengan teriakannya yang kencang. Baru aku bisa melihat sedikit harapan aku akan kembali hidup . Aku melihat Putra yang begitu marah melihatku dan juga pria itu. Aku ketakutan dengan pria itu tapi aku lebih takut dengan Putra. Ia menusuk pria itu berulang-ulang. Walaupun aku akui aku senang pria itu mendapatkan ganjaran akan apa yang ia lakukan padaku. Tapi ... Wajah Putra ketika itu membuatku berpikir betapa menakutkannya dia." Jhen ingat ekspresi wajah Putra saat Putra membunuh asisten dosen itu didepan matanya.
"Bukan wajah marah yang terpancar diwajah Putra ketika itu , tapi bahagia." Ucap Jhen merasa tiba-tiba bulu kuduknya berdiri.
"Saat itu aku tahu betapa menakutkannya Putra."
"Mungkin kalau aku berada diposisi Putra , aku akan melakukan hal yang sama." Kata Theo yang juga merasakan amarahnya muncul saat Jhen menceritakan hal itu kepadanya.
Sudah pasti Theo akan membunuh pria itu. Bukan Theo membela tindakan Putra saat itu. Jika saja saat itu Jhen adalah kekasihnya dan mendapatkan perlakuan seperti itu sudah pasti dia akan membunuh pria itu. Bahkan akan menyiksanya terlebih dahulu.
"Setelah itu aku takut untuk bertemu siapapun,aku takut untuk disentuh oleh siapapun. Dalam sehari aku bisa membersihkan badanku dengan mandi berkali-kali berharap aku bisa melupakan setiap sentuhan pria itu. Dan juga mimpi burukku yang selalu datang jika aku memejamkan mataku." Kata Jhen dengan tatapan mata yang kosong.
"Aku berusaha bangkit dari keterpurukanku karena melihat mama yang selalu menangis setiap malam , menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi padaku. Aku sudah akan bangkit lagi tapi tiba-tiba aku mengetahui aku sedang mengandung anak pria itu. Aku membencinya, aku ingin dia menghilang. Aku berusaha untuk bunuh diri saat itu. Jika saja seseorang tidak menghentikanku. aku tidak akan berada disini hari ini."
Theo teringat cerita Moa tentang Jhen yang sempat menghilang lagi tanpa diketahui keberadaannya dan akhirnya kembali pulang.
"Kamu pergi kemana ketika itu? Dan bertemu siapa?" Tanya Theo penasaran.
"Aku pergi ke sebuah jembatan yang sepi. Aku sudah akan melompat , tapi orang itu menarik tanganku. Dia menahanku dan menenangkanku. Aku dibawanya kesebuah panti asuhan. Dia memperlihatkan banyak hal padaku. Ada banyak bayi yang dibuang oleh orangtua mereka karena tidak mengingkan mereka ataupun tidak sanggup merawat mereka. Mereka bayi-bayi yang tidak berdosa . Mereka juga tidak akan mau tercipta dan terlahir jika mereka bisa memilih. Membuat aku harus menghargai setiap kehidupan yang diberikan Tuhan sekalipun itu menyakitkan. Tuhan menitipkan janin itu padaku bukan karena hukumanNya padaku. Dia adalah hal yang harus aku jaga dan aku syukuri. Saat itu aku memutuskan untuk pulang dan menjaga bayi dalam kandunganku. Walau aku belum sepenuhnya sadar akan keputusan yang aku ambil saat itu. Saat Ceci lahir,aku sama sekali tidak membencinya dan malah jatuh cinta padanya." Jhen menengadahkan wajahnya melihat wajah Theo .
"Semua bukan kesalahanmu. Kamu hanya gadis berumur 19 tahun saat itu. Keputusan yang tidak mudah untuk bisa bangkit lagi dan juga membesarkan anakmu. Ceci juga tidak berdosa atas kehadirannya didunia ini." Kata Theo dengan matanya yang teduh, menyejukkan hati Jhen. Rasanya segala beban dihati Jhen selama ini terangkat lepas darinya.
"Keputusan yang tidak mudah juga harus mengakui anak dari mantan tunanganmu dan sepupumu sebagai anakmu sendiri. " Balas Jhen sambil tersenyum melihat Theo.
Theo terkejut dengan apa yang diketahui oleh Jhen tentang Brian. Theo memeluk Jhen, seolah-olah takut Jhen akan meninggalkannya jika tahu Brian bukan anak kandungnya.
"Dari siapa kamu tahu soal Bree? Sejak kapan kamu mengetahuinya?" Tanya Theo mulai memikirkan siapa yang akan memberitahukan hal itu pada Jhen. Jhen tersenyum dalam pelukan Theo.
"Tidak ada yang memberitahuku, hanya saja saat itu mamamu bercerita tentang Bianca dan Adam. Dalam rentang waktu itu , jelas dia bukan anakmu. Bree adalah anak mereka berdua. Tapi kamu menanggung beban tanggung jawab mereka berdua sendirian." Jhen membalas pelukan Theo dengan lembut.
"Apa yang kamu takutkan sampai memelukku seperti ini?" Tanya Jhen memahami makna pelukan Theo padanya.
"Aku takut kamu akan pergi jika tahu bila Bree bukan anakku." Theo menyusupkan kepalanya diantara leher dan rambut Jhen. Jhen tertawa mendengar jawaban Theo. Jawaban yang begitu polos untuk pria yang rasional.
"Kenapa aku harus pergi? Hal itu malah membuatku makin jatuh cinta padamu. Aku malah tidak rela jika harus kehilanganmu, jadi untuk apa aku pergi meninggalkanmu." Balas Jhen sambil membelai punggung Theo yang lebar dan hangat itu.
Theo melepaskan pelukannya dan melihat wajah Jhen yang berada di sampingnya. Wajah yang selalu ia rindukan akhir-akhir ini jika ia tidak melihatnya. Rambutnya lembut berwarna selaras dengan matanya. Bibirnya yang mungil dan penuh membuatnya selalu ingin mencicipi rasanya. Yang membuat Theo jatuh cinta pada Jhen bukan hanya parasnya yang imut dan menggoda. Tapi hatinya yang lembut dan bisa memahami segala sesuatu.
"Kamu tidak akan menyesal? Aku orang yang rasional , tapi aku selalu posesive akan hal yang aku miliki, aku akan selalu mengikutimu kemanapun kamu pergi , aku pasti akan selalu cemburu jika kamu bersama dengan pria lain." Kata Theo sambil memandang lurus dan dalam ke mata Jhen. Jhen mengernyitkan keningnya berpura-pura untuk berpikir.
"Memangnya aku masih boleh untuk mundur?" Tanya Jhen menggoda suaminya.
"Tidak. Tidak akan pernah boleh." Jawab Theo lalu mencium bibir Jhen dengan intens dan menarik pinggul Jhen untuk merapat dengan tubuhnya.
----------------------------------
Alarm di meja tidur disamping Jhen berbunyi agak lama , baru Jhen terbangun dari tidurnya yang lelap. Sekujur badannya terasa nyeri dan lelah. Theo benar-benar tidak memberikannya waktu untuk beristirahat sejak semalam. Dia benar-benar liar dan bergairah.
Jhen bertanya-tanya bagaimana Theo bisa menahannya selama ini. Dan hal itu membuatnya tersenyum ketika melihat wajah Theo yang sedang tertidur pulas disampingnya. Jhen membalikkan tubuhnya untuk mematikan alarmnya , kemudian tangan Theo meraihnya dan membuat tubuh Jhen jatuh dalam pelukan Theo lagi.
"Kamu sudah bangun? Ayo bangun, kamu harus berangkat bekerja pagi ini." Kata Jhen sambil tertawa dalam pelukan Theo yang malas pagi itu.
"Aku yang punya resort itu , terserah aku mau bekerja atau tidak. Aku masih mau tidur lagi dengan istriku." Balas Theo dengan suara malas sambil tetap memeluk Jhen dan kakinya menindih tubuh Jhen yang mungil dari balik selimut.
"Walaupun itu resortmu , tapi kamu tidak bisa seenaknya begini. anak buahmu akan jadi malas juga kalau bos nya malas begini. Resortmu bisa bangkrut nantinya. Lalu siapa lagi yang akan mencari nafkah disini?" Tanya Jhen berusaha membuat Theo untuk bangun dari tidurnya .
"Kedua orangtuaku masih sanggup untuk menghidupi kita dan anak-anak." Jawab Theo dengan malas.
"Aku paling tidak suka dengan pria yang mengandalkan kekayaan orangtuanya." Balas Jhen dengan nada mengomentari kata-kata Theo.
"Terserah, kamu juga tidak akan bisa pergi kemana-mana walaupun aku seperti itu." Ucap Theo sambil mengusapkan wajahnya ke ujung kepala Jhen. Jhen menengadahkan kepalanya dan membisikkan sesuatu ditelinga Theo dengan nada menggoda.
"Kalau kamu berangkat bekerja sekarang,aku akan ada kejutan untukmu nanti malam." Jhen mengakhiri godaannya sambil mengecup ringan kulit di bawah telinga Theo. Theo mendesahkan nafasnya sekaligus menggeram. Lalu bangkit dari tidurnya dengan malas dan segera berjalan kekamar mandi dengan telanjang.
Membuat Jhen tertawa melihat tubuh Theo dari belakang. Kini Theo adalah suaminya, prianya, yang akan menemaninya seumur hidupnya. Dalam hidup Jhen kali ini ia tidak menyesali keputusannya. Menikahi pria yang sempurna dalam hidupnya.
---------------------------------------
Situasi resort sangat kacau hari itu. Ada banyak komplain tentang kerusuhan yang terjadi di bar . Ada pula kejadian soal terbengkalainya tamu dari sebuah travel yang sejak awal sudah membatalkan reservasi. Dan juga pembatalan kerjasama antara resort Theo dengan Biro perjalanan luar negeri yang sudah lama bekerjasama dengan resort Theo.
Banyak panggilan telepon masuk di masing-masing divisi hari itu. Juga termasuk di meja kerja Mia.
Adam memasuki ruangan kerja Theo tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Soal rombongan yang membatalkan reservasi di awal dan datang kemari sudah teratasi. Mereka akan mendapatkan cottage sebagai ganti kamar yang sudah penuh terbooking hari ini. " Kata Adam yang datang dengan membawa beberapa lembar laporannya.
Kemudian disusul oleh Mia yang membawa catatan ganti rugi atas tamu yang menjadi korban insiden di bar resort.
"Semua tamu yang menjadi korban akan mendapatkan ganti rugi sesuai dengan yang Bapak minta." Kata Mia sambil menyerahkan lembaran laporannya pada Theo. Theo membaca laporan itu dengan teliti.
"Lalu para pelaku yang terlibat ? Siapa saja mereka . Data pribadi mereka. Mereka yang harus bertanggung jawab atas semuanya." Tanya Theo dengan tegas pada Mia. Mia menyerahkan kertas laporan yang ada ditangan satunya kepada Theo.
"Semua data mereka ada disana,Pak. Dan mereka juga sedang dalam penyelidikan di kantor polisi." Jawab Mia dengan sigap. Theo mengangguk menyukai cara kerja sekretarisnya itu.
"Pembatalan kerja sama dengan Biro yang baru saja terjadi, paman sedang dalam perjalanan menegosiasikannya sekarang. Karena kerjasama mereka terjadi bersama paman saat itu." Lanjut Adam memberikan laporannya pada Theo. Theo membaca semua berkas yang ada dimejanya satu persatu dengan cermat dan teliti.
"Bagus,untuk saat ini semuanya teratasi dengan baik. Tolong proses lagi untuk kelanjutan soal biaya ganti rugi para korban. Dan juga para pelakunya ... Tolong data semua kerusakan yang mereka sebabkan dan juga biaya untuk para korban." Kata Theo pada Mia.
"Baik,Pak" Jawab Mia sambil mengangguk.
"Kembalilah ke mejamu." Perintah Theo pada Mia yang langsung direspon oleh Mia dengan patuh.
Setelah Mia meninggalkan ruangan Theo. Adam mendekati meja kerja Theo. Tangannya bertumpu di meja Theo.
"Apa kamu tidak merasa aneh dengan semua ini?" Tanya Adam mulai merasa curiga ketika kericuhan ini terjadi. Theo memandang Adam menyetujui pendapat Adam.
"Apa pendapatmu?" Theo bersiap menunggu pendapat Adam tentang insiden di resortnya.
"Semuanya terjadi karena Biro perjalanan dan juga travel yang bermasalah. Aku tadi juga menyelidiki jika Biro dan travel yang bermasalah itu adalah milik Putra,lelaki yang kamu minta aku untuk awasi beberapa hari ini. Dan Biro yang sedang bernegosisasi dengan paman adalah Biro perjalanan milik paman Putra." Kata Adam menjelaskan dasar kecurigaannya pada Theo.
Kali ini Theo mengerti , Putra sudah membuat pergerakannya sekarang dengan menyerang resortnya. Dan Jhen tidak boleh mengetahui hal ini. Ini akan membuat Jhen merasa terbebani.
" Untuk kerusuhan yang terjadi di bar. Apa ada hubungannya dengan Putra juga?" Tanya Theo yang mulai mencurigai insiden kerusuhan di Bar resortnya dengan Putra.
"Aku masih belum menyelidikinya dengan pasti. Aku tidak bisa menjawab dengan pasti ada hubungannya atau tidak Putra dengan insiden di bar semalam. Tapi aku akan minta anak buahku untuk menyelidikinya." Jawab Adam meyakinkan Theo. Theo menganggukkan kepalanya menyetujui kata-kata Adam.
"Perketat juga keamanan resort mulai hari ini. Aku tidak mau ada kejadian serupa atau lebih parah daripada hari ini." Pinta Theo pada Adam. Adam mengangguk.
"Oke. Aku akan menghubungi pihak keamanan." Balas Adam lalu berbalik menuju pintu ruangan Theo. Langkah Adam terhenti yang kemudian berbalik melihat kearah Theo .
"Berhati-hatilah, Bro. Sepertinya dia bukan pria sembarangan." Adam memperingatkan Theo.
"Aku tahu." Balas Theo lalu Adam meninggalkan ruangannya.
Theo meraih ponselnya dan mulai menghubungi Moa. Dia juga harus memastikan keamanan istri dan anak-anaknya . Dan juga orangtuanya juga mama Jhen.
---------------------------------------
Share this novel