"Mama mau bertemu cucu mama sebelum mama mati." Kata ibu Theo tanpa memandang kearah putranya.
"Ma.."
"Mama akan berhenti melakukan pengobatan kalau tidak boleh bertemu cucu mama." Ibu Theo bersikeras ingin bertemu Brian,tanpa bertanya kebenarannya.
"Ma,mama belum mendengar penjelasanku. Ini tidak seperti yang mama pikirkan." Jelas Theo sambil menggenggam tangan ibunya. Ibu Theo menarik tangannya dari genggaman Theo.
"Mama sudah dengar sendiri tadi. Kamu dan gadis itu adalah orangtua dari anak yang sedang dirawat diruangan tadi." Ibu Theo bersikeras dengan apa yang ia ketahui tadi. Theo menghela nafas panjang.
"Ma.."
"Siapa namanya?" Tanya ibu Theo tidak sabar.
"Ma,dia bukan anakku." Jawab Theo pada akhirnya.
" Theo,mama tidak pernah mengajarkanmu untuk tidak bertanggung jawab seperti ini." Ibu Theo menatap tajam pada Theo. Theo menarik nafas dalam. Kondisi ibunya sedang tidak baik akhir-akhir ini. Theo berusaha bersabar menghadapi kesalah pahaman ibunya.
"Sampai ibunya mengajaknya untuk bunuh diri. Apa karena kamu tidak mengakuinya?"
"Bukan begitu ma. Dengarkan aku dulu."
"Mama kecewa padamu,Theo." Kata ibu Theo.
Ibu Theo mengernyitkan keningnya seperti menahan sakit.
"Mama tidak apa-apa? Aku panggilkan dokter yah?" Tanya Theo sambil berdiri dari duduknya dan menyentuh pundak ibunya. Ibu Theo menepis tangan Theo.
"Tidak usah pedulikan mama." Kata ibu Theo dengan keras kepala. Tanpa menuruti kata-kata ibunya,Theo bergegas menekan tombol memanggil dokter untuk datang kekamar tempat ibunya dirawat.
"Ma,mama harus menjaga kesehatan mama. Tekanan darah mama naik terus akhir-akhir ini." Kata Theo dengan lembut,tanpa menyaingi sikap keras kepala ibunya itu.
Saat diperiksa dokter,dokter menyarankan ibu Theo untuk melakukan rawat inap dulu. Karena tensi darah dan gula darahnya naik lagi. Namun ibu Theo menolak.
"Aku akan pulang,aku akan beristirahat dirumah." Kata ibu Theo dengan keras kepala.
"Tapi bu.." Kata- kata dokter itupun terputus ketika ibu Theo turun dari ranjang rumah sakit. Dan ibu Theopun terhuyung. Theo dan dokter itu langsung membantu ibu Theo agar tidak terjatuh. Ibu Theo menepis tangan keduanya dan berdiri sendiri.
"Aku bisa sendiri."Kata ibu Theo masih bersikukuh.
"Ibu kalau tidak dirawat,mungkin bisa saya anjurkan untuk perawatan dirumah?" Sang dokter menawarkan alternatif lain pada Theo juga ibunya.
"Tidak perlu!" Jawab ibu Theo dengan tegas.
Ibu Theo adalah orang yang keras kepala dan harus mendapatkan apa yang diinginkan. Theo sangat memahami itu,namun Theo juga orang yang keras kepala juga.
"Ma,Bree itu bukan anakku."
"Jadi namanya Bree?" Mata ibu Theo terlihat berseri-seri. Seketika membuat hati Theo merasa kalah oleh ekspresi bahagia ibunya.
"Namanya Brian. Jhen memanggilnya Bree. " Lanjut Theo.
"Nama ibunya itu Jhen." Ibu Theo tersenyum lebar . Benar-benar membuat Theo tidak bisa berkata-kata.
"Ma,dia bukan... Kami ini bukan.. "
"Mama akan menemui Jhen kalau begitu." Ibu Theo langsung berjalan lurus kearah pintu kamar rumah sakit. Dan dilihatnya Jhen sedang berada didepan pintu dengan posisi hendak mengetuk pintu kamar itu. Jhen sudah memakai baju yang dibelikan oleh supir Theo. Jhen terlihat terkejut juga melihat ibu Theo yang membuka pintu tepat ketika ia berada disana.
"Ah..kamu Jhen?" Tanya ibu Theo dengan semangat dan senyum yang benar-benar lebar. Jhen yang masih bingung itu hanya mengangguk dan melirik kearah Theo yang berada dibelakang ibunya.
"Iya.." Jawab Jhen sedikit linglung. Jhen melihat Theo. Theo hanya mengangguk,memberi isyarat pada Jhen itu mengiyakan yang dikatakan ibunya.
"Ijinkan aku melihat cucuku." Pinta ibu Theo dengan wajah penuh harap.
"Oh tentu saja. Tapi sekarang Bree sedang tidur... " Kata-kata Jhen terputus karena tangannya ditarik oleh ibu Theo.
"Beritahu aku dimana ruangannya?" Tanya ibu Theo sambil menggandeng tangan Jhen. Jhen secara otomatis menuruti keinginan ibu Theo. Setelah mereka sampai di ruang inap Brian,ibu Theo langsung buru-buru masuk ke kamar Brian. Betapa senang ibu Theo melihat wajah Brian yang tanpa dosa itu sedang tertidur pulas.
"Cucuku. Kamu manis sekali." Kata ibu Theo dengan berbisik sambil mengelus wajah Brian dengan hati-hati.
Jhen melihat kearah Theo yang berjalan mengikuti ia dan ibunya.
"Sepertinya ibu anda menyukai Bree?" Tanya Jhen sambil berbisik kepada Theo.
Jhen tidak habis pikir kalau ibu Theo sebegitu senangnya punya cucu,kenapa sampai Bianca dan Theo tidak bersama saja. Dan kenapa Bianca harus seputus asa itu kepada Brian?.
"Hmm" Balas Theo dengan wajah datar.
"Yang ini juga aneh. Ibunya menyukai anaknya kok dia malah tidak suka?" Pikir Jhen sambil mengernyitkan keningnya. Dan pandangan Jhen beralih dari Theo ke ibu Theo yang sedang menikmati melihat cucunya.
"Tadi dia sangat hangat dan pengertian. Sekarang sikapnya berubah jadi sedingin ini. Dia memang orang yang susah ditebak isi hatinya." Batin Jhen.
Ponsel Jhen bergetar dan Jhen melihat ponsel nya itu,dilihatnya pada layar siapa penelponnya namun tidak ada nama disana. Nomor baru. Theo yang juga melirik kearah layar ponsel itu nampaknya ingin tahu juga siapa yang menghubungi Jhen.
Jhen membungkuk,berpamitan untuk menerima teleponnya lalu meninggalkan ruangan itu.
"Halo?"
"Kenapa kamu tidak berada dirumah? Kenapa hanya ada mama mu dan anak sial itu." Suara itu terasa familiar ditelinga Jhen. Itu Putra.
Jhen terkejut Putra bisa mengetahui rumahnya saat ini. Firasat Jhen tidak enak tentang seseorang yang mengawasi rumahnya tempo hari. Sudah tujuh tahun lamanya Jhen berpisah dengan Putra.
Jhen sengaja menghilang dari kehidupan Putra hingga rela pindah rumah karena sifat Putra yang terlalu gila pada Jhen. Dan sekarang Putra menemukan rumahnya. Hawa dingin seketika menyerang sekujur tubuh Jhen.
"Putra?" Tanya Jhen seakan masih tidak percaya pada pendengarannya.
" Memangnya siapa lagi yang akan mencintaimu seperti aku?" Balas Putra terdengar seperti tersenyum dalam nada bicaranya.
"Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu mulai seperti ini lagi?"
"Kita tidak pernah berakhir,Jhen. Kamu tahu,kita saling mencintai. Sudah saatnya kita bertemu dan kembali seperti dulu. Aku dulu yang bodoh,mau melepaskanmu pergi. Sekarang aku akan menghilangkan semua penghalang diantara kita." Kata Putra dengan santai.
"Putra,kamu gila. Aku tidak..." Belum Jhen menyelesaikan kalimatnya,ponsel Jhen sudah berpindah tangan pada Theo.
"Masih berani kamu menghubungi istri orang? Aku benar-benar akan membuat perhitungan denganmu kali ini jika kamu berani mengganggu istriku lagi. " Kata Theo dengan jelas dan tegas. Lalu menatap tajam kearah Jhen. Membuat Jhen tidak bisa membantah Theo.
"Jhen tidak pernah menikah denganmu. Aku tidak menemukan catatan sipil tentang pernikahanmu dan Jhen. Jhen masih milikku." Balas Putra dengan bangga. Mata Theo masih terpaku pada Jhen. Jhen menaikkan alisnya,bertanya-tanya apa yang dikatakan Putra pada Theo.
"Kami hanya belum mendaftarkannya saja secara negara. Tapi kami sudah menikah." Balas Theo tenang. Jhen makin terpana,sungguh pandai Theo berdusta walau itu hanya sandiwara. Sudut mata Jhen melihat ibu Theo yang berada diantara pintu kamar inap Brian yang terbuka.
"Ini tidak bagus." Batin Jhen menjerit.
"Berhentilah mengganggu istri oranglain dan berhentilah mengungkit masalalumu yang tidak perlu." Theo memutuskan pembicaraan dengan Putra dan memfokuskan pandangannya pada Jhen.
"Dia masih menelpon mu?" Tanya Theo dengan tajam.
Jhen berkedip-kedip dan memberi isyarat kehadiran ibu Theo dibelakang Theo. Theo menoleh ke belakang. Ibunya menyilangkan tangan didepan dada dengan sikap tegas.
"Kalian berdua. Ikut mama." Kata ibu Theo dengan nada tegas dan tanpa terbantahkan. -----------------------------------------------------------------------------------
"Kalian sudah menikah? Dan punya anak?" Tanya ibu Theo sambil duduk tegak didepan Theo dan Jhen di kantin rumah sakit.
"Bu,sepertinya anda sudah .. "
"Iya ma. Aku mengakuinya." Kata Theo langsung memotong penjelasan Jhen.
Jhen menoleh kearah Theo seketika dan membelalakkan matanya kearah Theo,Theo tidak membalas menatap Jhen. Theo hanya meremas tangan Jhen. Meminta Jhen untuk bekerjasama dengannya.
Ibu Theo nampak marah dengan jawaban Theo.
"Dan kamu menyembunyikannya dari mama dan papa? Selama ini?" Tanya ibu Theo lagi.
"Bagaimana dan kapan kalian menikah?"
"Tahun lalu ma,saat aku ke singapura ketika memulai negosiasi proyek resort baru disana. Aku merahasiakannya karena aku tidak mau banyak orang tahu. " Jawab Theo serius,masih tetap menggenggam tangan Jhen dibawah meja. Jhen memandang Theo dan merasa takjub.
"Sungguh pandai dia bersandiwara. Tapi ini sudah terlalu jauh." Pikir Jhen kemudian melihat kearah ibu Theo yang sedang menatapnya. Jhen hanya bisa tersenyum kecil lalu menundukkan kepalanya.
Ibu Theo melihat kearah Jhen lalu kearah Theo lagi.
"Tapi kami orangtuamu,seharusnya kamu memberitahukan hal bahagia ini kepada kami. Kami bukan oranglain. Kami orangtuamu!!"
"Jika mama dan papa tahu,sudah pasti akan menggelarkan resepsi meriah untuk kami. Dan tentu saja oranglain akan tahu. " Theo berusaha mencari alasan yang tepat.
Ibu Theo terdiam sejenak. Kemudian melihat Jhen dengan fokus.
"Namamu Jhen?" Tanya ibu Theo. Jhen menengadah dan menjawab
"Iya bu." Jawab Jhen dengan tegang.
"Dimana rumahmu? Apa pekerjaan orangtuamu? Apa pekerjaanmu?..."
Theo memotong pertanyaan ibunya yang pasti akan menjadi panjang.
"Ma,inilah alasanku tidak memberitahukan kepada mama dan papa. Aku menikahinya karena mencintainya. Aku tidak melihat latar belakangnya. " Kata Theo meyakinkan ibunya. Jhen menunduk melihat ke tangannya yang di genggam Theo.
"Kalau saja ini bukan sandiwara,aku akan melompat kegirangan. Jhen,pertahankan hatimu. Theo sudah.. jangan terlalu jauh lagi." Pikir Jhen dalam diamnya.
Terdengar ibu Theo menghela nafas panjang. Sikapnya sedikit melembut.
"Kapan Brian lahir? Berapa umurnya sekarang? "
Jhen bingung harus menjawab apa. Jhen sama sekali tidak tahu soal Bryan. Tangan Theo terasa sedikit menggenggam erat tangan Jhen. Tanda Jhen harus mengarang jawaban untuk ibu Theo.
"15 desember,Bu" Jawab Jhen asal.
"Berarti sekarang Bree sudah 2bulan usianya." Ibu Theo mengangguk pada dirinya sendiri sambil menghitung umur Brian. Kemudian menatap marah pada Jhen.
"Lalu kenapa kamu ingin bunuhdiri dengan cucuku?" Tanya ibu Theo tidak bisa menyembunyikan amarahnya. Jhen bagai terkena arus listrik oleh tuduhan ibu Theo.
"Apa? Saya? Tidak bu.. saya tidak akan membuat anak saya dalam bahaya" Jawab Jhen spontan dengan emosi. Lalu Jhen baru sadar ada yang salah dengan kalimatnya. Kenapa dia mengakui Brian sebagai anaknya dalam kalimatnya.
"Ah.. maaf bu" Lanjut Jhen lalu menutup mulutnya dengan tangannya yang bebas.
"Lalu apa yang terjadi pada Bree sampai dia harus dirawat seperti ini?"
Kali ini Theo yang mengambil alih.
"Kami sedang berjalan-jalan ditaman,dipinggir kolam. Tiba-tiba ada seseorang yang sembrono menabrak Jhen dan Bree. Membuat Bree lepas dari pelukan Jhen. Dan jatuh ke kolam,tapi Jhen langsung masuk juga kekolam untuk menyelamatkan Bree. Aku juga ikut membantu Jhen." Karang Theo dengan sangat meyakinkan ibunya.
Ibu Theo terdiam sejenak. Melihat Theo dan Jhen bergantian.
"Sungguh itu yang terjadi?" Tanya ibu Theo pada Jhen. Dengan ragu Jhen mengangguk.
"Sungguh bukan ingin bunuhdiri dengan Bree seperti kata suster-suster tadi?"
"Saya tidak akan melakukan hal-hal seperti itu,Bu. Saya sangat menyayangi Bree." Jawab Jhen dengan jujur. "Saya menyesal melepaskan Bree dari pelukan saya." Mata Jhen berkaca-kaca mengingat moment ketika Bree menangis saat diambil dari pelukannya dan tidak bernafas ketika keluar dari kolam.
Ibu Theo melihat ketulusan di mata Jhen.
"Jangan pernah berbuat kesalahan seperti ini lagi pada cucuku. Lainkali jaga cucuku dengan baik." Kata ibu Theo melembut.
"Pasti." Jhen mengangguk tanpa sadar. Theo tersenyum melihat reaksi Jhen yang spontan itu.
Ibu Jhen melihat Theo yang sedang memandangi Jhen.
"Benarkah Theo jatuh cinta padanya? Tapi mata tidak bisa berbohong. Lagipula dia ibu dari cucuku yang selalu kunantikan." Batin ibu Theo. Ibu Theo menghela nafas.
"Setelah Bree sembuh total. Bawa Jhen kerumah. Biarkan dia tinggal bersama kita. Tidak baik juga kalian hidup terpisah seperti ini. Mama juga ingin tiap hari bertemu cucu mama." Ungkap ibu Theo.
Kepala Jhen bagaikan diberi beban batu seberat 1ton rasanya. Memangnya dia sedang bermain rumah-rumahan dengan Theo? Jhen mengira bila mengikuti sandiwara Theo dirinya akan terbebas dari ibu Theo. Tapi sekarang malah dia harus satu atap dengan Theo. Jhen juga bukan ibu kandung dari Bree. Otak Jhen terasa berputar-putar.
"Kenapa tidak menjawab mama? Mama tadi dengar juga ada seseorang yang mengganggu Jhen. Mama tidak mau cucu mama juga mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. " Lanjut ibu Theo .
"Nanti aku akan bicara dengan ibunya Jhen,Ma" Jawab Theo sambil melihat kearah Jhen sejenak yang sedang memelototi Theo karena jawaban Theo dan kembali melihat ibunya.
"Akan mama tunggu jawabanmu besok." Ibu Theo bangkit dari duduknya. Jhen hendak bernafas lega dan bersiap menyerang Theo dengan banyak kata dalam otaknya. Namun ibu Theo duduk kembali .
"Oh iya. Mama juga dengar tadi. Pernikahan kalian belum terdaftar di catatan sipil. Segera urus itu. Jangan sampai Bree tidak punya akta lahir." Ujar ibu Theo,menanti jawaban dari Theo maupun Jhen.
"Mama tidak perlu khawatir." Jawab Theo. Membuat lega hati ibunya yang kemudian ibu Theo pergi meninggalkan mereka berdua disana.
"Apa ini? Aku benar-benar akan menikah dengan Theo? Sedang bermimpikah aku? Jika ini mimpi,tolong siapapun bangunkan aku?" Teriak Jhen dalam hatinya.
----------------------------------------------------------
Share this novel