Bab 25

Romance Completed 1452

Semuanya terlihat abu-abu dimata Jhen. Ketika ibunya dimakamkan ,Jhen tidak lagi menangis. Airmatanya terasa terkuras habis,ia juga tidak memiliki tenaga untuk menangis ataupun marah lagi. Mata Jhen yang sembab itu makin terlihat kosong saat orang-orang hadir memberikan ucapan belasungkawa kepadanya. Ucapan simpati dari orang-orang hanya membuatnya merasa sakit.

Ceci dan Brian berada dikediaman orangtua Theo sementara Jhen berduka.
Jhen mengurung dirinya dikamar selama beberapa hari , ia tidak mau makan jika Theo tidak memaksanya. Jhen lebih sering marah tanpa sebab daripada menangis. Theo yang memiliki kesibukan dengan bisnisnya harus membagi waktunya untuk Jhen. Selalu menyempatkan dirinya untuk menemani Jhen.

Pernah ketika Theo pulang dari dari resortnya, Jhen sedang melemparkan piring kelantai hanya gara-gara pembantu rumah tangganya memasak makanan yang rasanya tidak sama dengan masakan ibunya. Banyak hal-hal kecil membuat Jhen marah tanpa sebab.
Sampai Moa pun tidak bisa meredam kemarahan Jhen yang selalu datang tiba-tiba itu.

"Jhen,sampai kapan kamu akan seperti ini?" Tanya Moa ketika mengunjungi Jhen dirumah Theo. Hampir setiap hari Moa datang kerumah Theo untuk menemani Jhen ketika Theo tidak berada dirumah.

"Siapa yang melakukan ini pada mamaku,Moa?" Jhen berbalik tanya,matanya penuh dengan amarah.

"Pelakunya sudah ditangkap saat kejadian. Polisi juga sedang menyelidikinya. Sampai saat ini dia belum mengaku siapa dalang dibalik aksinya. Dia juga tidak memiliki motif untuk dampai melakukan hal itu pada mama." Jawan Moa dengan kesabaran yang tidak pernah dimilikinya.

"Apa itu semua perbuatan Putra?" Jhen menebak dengan hati yang begitu yakin.

"Aku mengira juga begitu,Jhen. Tapi kita tidak punya bukti. Aku juga sudah mencarinya kemana-mana. Tapi dia sepertinya tidak berada dikota ini sekarang." Jawab Moa. Jhen memalingkan wajahnya dari Moa.

"Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri jika memang dia yang membuat mama terbunuh." Jhen bersungguh-sungguh akan ucapannya.
"Tolong,carikan aku informasi mengenai Putra saat ini. Dimana dia tinggal dan kemana dia pergi. Jangan sampai Theo tahu akan hal yang aku pinta ini. Jika kamu tidak mau membantuku,aku akan mencarinya sendiri."

"Apa yang akan kamu lakukan jika memang Putra dibalik semua ini?"

"Membunuhnya dengan tanganku sendiri . Jika ia ingin mati bersama seperti dulu , akan aku penuhi" Kata Jhen dengan kesungguhan yang membuat Moa merinding.

"Jangan melakukan hal yang gila,Jhen. Mama sudah tidak ada,aku tidak ingin jika harus kehilanganmu juga." Moa bangkit dari duduknya dan mendekati Jhen yang tetap memandangi gelang tua yang selalu dipakai oleh ibunya itu.

Moa mengguncang pundak Jhen , membuat Jhen merasakan amarahnya mulai muncul kepermukaan.

"Jika itu adalah ibu kandungmu,apa kamu tidak akan melakukan hal yang sama?" Bentak Jhen pada Moa. Moa benar-benar terkejut akan sikap Jhen akhir-akhir ini yang begitu mudah sekali tersulut emosinya. Moa sudah banyak memberikan kesabarannya melihat kondisi jiwa Jhen yang tidak stabil sejak kepergian mama Jhen.

"Tentu saja aku akan mengejar orang yang membunuh ibuku dan pasti akan membunuhnya. Aku juga akan bersedia untuk mati bersamanya jika itu bisa membuatnya membayar akan apa yang ia lakukan pada ibuku." Moa balas berteriak pada Jhen. Kesabarannya sudah benar-benar menipis .
"Tapi apa itu akan mengembalikan ibuku sekalipun aku membunuhnya? Kalaupun aku ikut mati atas rasa bersalahku pada ibuku dan juga membayarkan perasaan dendamku , apa yang akan berubah setelah itu?"
Jhen terdiam dengan amarahnya, semua yang Moa katakan memang benar. Dan Jhen membenci itu.

"Membunuh Putra bukan hal untuk menyelesaikan rasa sakit dan kehilanganmu atas mama." Kata Moa mulai menurunkan nada bicaranya.

"Setidaknya dia akan merasakan apa yang mama rasakan!!!!" Jhen bangkit dari duduknya dan mulai berjalan mondar-mandir didepan kaca jendela ruangan itu. Moa menarik nafas panjangnya,kali ini ia tidak marah , ia merasakan kasihan pada Jhen. Jhen sudah mulai berada di fase dimana ia menyalahkan keadaan dan oranglain atas kepergian mamanya.

"Lalu .. Kamu tidak akan berbeda dengannya. Lebih mementingkan keegoisanmu hanya untuk memuaskan rasa sakit hatimu tanpa memikirkan apa yang akan terjadi setelahnya. Membalas dendam hanya akan membuatmu puas ketika tercapai tapi akan kosong setelahnya. Kamu tidak akan bahagia bahkan setelah dendammu terbalaskan. Rasa sakitmu akan tetap ada." Moa mengatakan hal itu seakan bukan untuk Jhen, tapi untuk dirinya sendiri.

"Mama segalanya bagiku. Dia sumber kekuatanku selama ini. Karenanya aku mau berjuang bangkit lagi. Mama melakukan segalanya untukku. Aku belum membalasnya sama sekali,tapi dia malah meninggalkanku. Apa kamu tahu betapa berharganya mama untukku?" Jhen mulai terlihat emosional sekarang. Dia hanya ingin dimengerti saat ini.

"Mama sangat berharga untukmu?" Tanya Moa lalu duduk di sofa dekat Jhen.

"Melebihi nyawaku." Jawab Jhen dengan tegas sambil menunjukkan jari telunjuknya kearah dadanya.

"Maka anak-anakmu juga sama." Balas Moa menatap lurus kemata Jhen.
"Kamu juga seorang ibu, apa kamu sudah lupa?"

Moa bisa melihat Jhen mulai berpikir tentang anak-anaknya.

"Kalaupun kamu ingin bersikap egois,pikirkan anak-anakmu. Kamu sudah merasakan kehilangan ibu yang begitu berharga. Lalu sekarang kamu tidak memikirkan anak-anakmu akan merasakan hal yang sama jika mereka harus kehilangan ibu berharga mereka. Dimana Jhen yang aku kenal dulu? Yang bisa memikirkan perasaan anak-anaknya daripada dirinya sendiri?" Salah satu senjata yang akhirnya Moa gunakan untuk membuka jalan pikiran Jhen agar tidak berbuat nekat adalah anak-anak Jhen.

"Jika kamu tidak peduli dengan perasaanku ataupun suamimu , juga oranglain , setidaknya pikirkanlah anak-anakmu. Mereka masih membutuhkanmu. Jika kamu ingin melakukan hal-hal gila diluar akalmu, ingatlah anak-anakmu akan merasakan apa yang kamu rasakan." Moa bangkit dari duduknya dan mengambil tas yang ia bawa tadi.
"Aku pulang dulu. Aku lelah harus berdebat denganmu. Hubungi aku jika kamu membutuhkan sesuatu." Kata Moa lalu pergi melangkah meninggalkan Jhen sendiri dengan banyak hal yang bergema didalam kepalanya.
----------------------------

Konsentrasi Theo sungguh tidak bisa benar-benar fokus di resort , kondisi mental dan jiwa Jhen tidak stabil setelah kepergian mama Jhen. Untuk sementara juga Theo menitipkan Ceci dan Brian kepada kedua orangtuanya , karena Jhen tidak bisa mengontrol emosinya sekalipun itu pada Ceci.

Dan setiap jam ia harus menghubungi telepon rumahnya untuk memantau kondisi Jhen melalui pembantu rumah tangganya , mengingat Jhen masih begitu terpukul dan tidak bisa menerima kepergian mamaJhen,Theo khawatir jika istrinya melakukan hal-hal yang bahkan Theo tidak ingin membayangkannya.

Untungnya ada Moa yang selalu menemani Jhen jika Theo harus pergi untuk menyelesaikan urusan pekerjaannya yang harus ia kerjakan sendiri. Theo masih merasa tenang.
Namun siang tadi Moa menghubunginya dan mengatakan jika ia sudah tidak sanggup menghadapi emosi Jhen lagi. Dan sekarang sudah meninggalkan rumah Theo. Setelah rapat dengan bagian humas resort. Theo langsung menghubungi telepon dirumahnya. Kali ini pembantu rumah tangganya begitu lama untuk menjawab panggilan telepon darinya. Theo merasa khawatir apa ada yang terjadi pada istrinya. Theo duduk dengan gelisah di kursi ruang kerjanya. Dan akhirnya pembantu rumahtangganya menjawab panggilan darinya.

"Kenapa lama sekali menjawab teleponnya?" Tanya Theo dengan nada tinggi,sepertinya ia juga menjadi sangat emosional beberapa hari ini.

"Maaf,Tuan. Tadi saya sedang membuang sampah didepan rumah." Jawab pembantu rumahtangganya pelan, Theo memejamkan matanya untuk mengontrol emosinya. Bukan salah pembantunya jika harus menjawab panggilan telponnya dengan lambat.

"Apa yang dilakukan istriku sekarang?" Tanya Theo kali ini lebih tenang.

"Tadi nyonya dan nona Moa sepertinya sedang bertengkar dan nona Moa kemudian pergi. Setelah Nona Moa pergi, nyonya sangat tenang. Nyonya tidak marah ataupun menangis lagi seperti kemarin-kemarin . Nyonya hanya duduk saja didepan televisi. Lalu pergi kekamar. Mungkin sekarang nyonya sedang beristirahat,Tuan."

"Apa dia sudah makan? Tadi dia hanya sarapan dengan segelas coklat panas saja." Theo tahu jika Jhen tidak akan makan jika bukan dia yang memaksa Jhen untuk makan sesuatu atau meminum sesuatu agar perut Jhen terisi. Tapi Theo masih berharap jika saja Jhen sudah mau memakan sesuatu hari ini walaupun tanpa ada dirinya disana untuk memaksa Jhen agar mau makan sesuatu.

"Tidak,Tuan. Nyoanya sama sekali tidak mau menyentuh makanan yang sudah saya sediakan."

"Baiklah , hubungi aku jika ada sesuatu yang terjadi dengan istriku." Kata Theo lalu menutup pembicaraan setelah pembantunya mengiyakan permintaannya.

Theo menutup laptop dimeja kerjanya dan meminta Mia untuk menghubungi supirnya. Dia akan pulang cepat hari ini dengan menggantikan segala janji temunya hari ini pada Adam.
------------------------------------------

Jhen sedang bersiap untuk merendam tubuhnya dalam air hangat dan boombath beraroma mawar kesukaannya. Ia banyak berpikir tentang kata-kata Moa yang begitu menusuk hatinya. Jhen sempat lupa jika ia juga seorang ibu , Ceci dan Brian masih sangat membutuhkannya. Jhen merasa begitu egois setelah kematian mama Jhen. Jhen hanya memikirkan dirinya dan juga rasa sakitnya sendiri,tanpa memikirkan anak-anaknya. Ia merasa begitu bersalah , bahkan seorang Moa bisa berpikir lebih tenang dan lebih bijaksana daripada dirinya.

Saat menanggalkan pakaiannya , Jhen mulai merasa sedikit pusing , perutnya juga terasa tidak nyaman dan terdengar bunyi udara yang menari didalam perutnya. Baiklah, kali ini ia bisa merasakan lapar. Diingatnya kembali. Hari ini ia sama sekali tidak menyentuh makanan yang disediakan oleh pembantu rumahtangganya.

Jhen mulai merasa bersalah juga pada pembantu rumahtangganya itu,yang harus menerima amarahnya selama beberapa hari ini. Jhen mendesah nikmat saat air panas didalam bathtub itu menyengat disekujur tubuhnya saat ia merendam kan seluruh tubuhnya disana. Jhen merasa lebih tenang sekarang dan mulai bisa berpikir lebih jernih. Dia begitu lelah menangis, lelah marah, lelah menyalahkan oranglain , dan lelah menyalahkan dirinya sendiri. Jhen memejamkan matanya untuk lebih menenangkan pikirannya. Ia juga membentak Ceci saat itu ketika Ceci menanyakan tentang mamaJhen. Brian bahkan sama sekali tidak ia peluk ketika menangis,Jhen saat itu hanya perduli dengan dirinya sendiri.

Dan Theo, Jhen malah lebih kejam kepada Theo. Apapun yang Theo lakukan untuknya selalu membuatnya marah tanpa sebab. Jhen merasa dirinya menjadi oranglain. Bukan dirinya seperti biasa. Pikirannya yang begitu rumit seakan membuat kepalanya sakit , memejamkan matanya terasa begitu nyaman dan tenang.

Theo sudah sampai dirumah tepat pukul 7 malam, dia ingin mengajak Jhen untuk makan sesuatu,bahkan jika Jhen menolaknya dan bahkan marah padanya lagi , Theo tidak peduli. Theo membuka pintu kamarnya,tidak melihat Jhen disana.

"Jhen?" Panggil Theo sambil meletakkan tas kerjanya dan melepas jasnya.
"Sayang?" Panggil Theo lagi. Mungkin Jhen sedang mandi. Tercium aroma boombath kesukaan Jhen ketika Theo berjalan kearah kamar mandi dan memanggil Jhen. Tapi Jhen tidak membalas panggilannya. Mungkin Jhen masih marah padanya soal memaksanya meminum coklat panas pagi tadi. Tapi perasaan Theo terasa tidak enak dengan diamnya Jhen. Theo membuka pintu kamar mandi,uap tipis dari kamar mandi memenuhi seluruh kamar mandi. Dan Jhen berada di bathtub,matanya terpejam seperti tertidur dengan kepala yang bersandar pada lengannya. Tangan Jhen tergantung ditepi bathtub.

"Jhen,kamu tidur?" Tanya Theo sambil menyentuh tangan Jhen,membangunkan Jhen. Namun tidak ada respon. Jantung Theo seakan akan keluar pergi meninggalkan rongga dadanya karena berdebar begitu cepat. Jhen tidak tidur, dia tidak sadarkan diri. Theo memeriksa nafas Jhen yang masih terdengar dan berhembus di telinganya. Theo menyelipkan lengannya di bawah tengkuk Jhen dan lengan lainnya dikaki Jhen. Dengan cepat Theo mengangkat tubuh Jhen dari bathtub , membawa tubuh mungil Jhen yang lemas itu ke tempat tidur , buru-buru Theo mengambil handuk untuk mengeringkan tubuh Jhen.
"Bi... Bibi. Panggil ambulans." Teriak Theo sambil mengeringkan tubuh Jhen dengan handuk.
-----------------------------------

"Istri anda mengalami kekurangan nutrisi dan dehidrasi." Kata dokter yang memeriksa kondisi Jhen di UGD rumah sakit itu. Theo menghembuskan nafas lega.

Jhen baik-baik saja .

"Apa dia mengalami stress atau tekanan akhir-akhir ini ?" Tanya dokter itu pada Theo.

"Iya, dia dalam kondisi yang tidak stabil akhir-akhir ini . Ibunya meninggal dunia , emosinya tidak terkontrol . Tidak mau makan juga minum." Jawab Theo sambil memegangi tengkuknya yang terasa begitu tegang sedari tadi.

"Kami sudah memberi infus nutrisi untuk istri anda. Mungkin sebentar lagi dia akan segera sadar." Kata dokter itu sambil melihat ke jurnal catatan kesehatan Jhen.
"Setelah istri anda sadar nanti, baru bisa dipindahkan kekamar inap."

"Terimakasih dokter." Kata Theo dengan suara pelan, ia merasa lemas. Theo lega Jhen baik-baik saja, sejenak terlintas dipikiran Theo jika Jhen akan meninggalkannya ketika ia melihat Jhen tertidur lemas di bathtub tadi.

"Usahakan untuk menghilangkan stress nya. Juga asupan nutrisi yang cukup. Akan berbahaya bagi ibu dan janinnya." Kalimat dokter itu membuat Theo tidak bergerak untuk sesaat.

"Istriku hamil?" Tanya Theo antara bahagia dan juga terkejut. Dokter itu tersenyum kepada Theo.

"Sementara dilihat dari denyut nadi dan juga kondisi tubuh istri anda selama pemeriksaan, istri anda sedang hamil saat ini. Sepertinya usia kandungan juga masih muda. Setelah ini mungkin anda bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk lebih memastikannya. "

Theo terlalu merasa senang untuk menjawab tawaran dokter itu. Dokter itupun meninggalkan Theo yang sedang bingung akan berita yang baru saja ia terima itu.
Theo memandang Jhen yang masih memejamkan matanya itu. Theo duduk disamping tempat tidur Jhen. Ia tidak tahu harus mengekspresikan emosinya saat ini. Theo terlalu terkejut dan begitu ketakutan akan kehilangan Jhen tadi. Lalu bahagia ia akan memiliki anaknya sendiri dari wanita yang ia cintai. Theo menggengam tangan Jhen , membawanya kebibirnya dan mengecupnya.

Jhen merasa kepalanya berputar-putar. Rasanya seperti naik komedi putar yang berkecepatan tinggi. tangan kirinya terasa nyeri ketika ia mengangkat tangannya saat akan memegangi kepalanya. Mata Jhen terbuka lebar saat melihat langit-langit yang begitu asing dimatanya.

"Sudah bangun? Apa masih pusing? Atau apa ada yang terasa sakit?" Theo memborbardirnya dengan sejuta pertanyaan yang rasanya tidak dimengerti oleh Jhen. Ia hanya bisa merasakan kepalanya begitu pusing .

"Aku kenapa?" Tanya Jhen mulai memfokuskan pikiran dan ingatannya. Ia hanya ingat terkahir kali ia berada dikamar mandi dan berendam dengan santai dan nyaman di bathtubnya. Dia hanya merasa matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing lalu memejamkan matanya sejenak.

"Kamu pingsan tadi dikamar mandi. Untung aku pulang cepat. Kalau tidak , mau jadi apa kamu nantinya?" Kata Theo dengan begitu sabarnya. Jhen memandang Theo yang terlihat lelah sedang duduk dikursi disamping tempat ia tidur saat ini.

"Aku tadi cuma mandi. Lalu rasanya seperti berat dikepalaku . Aku cuma memejamkan mata saja. Ternyata pingsan?" Jhen mencoba mengingat kejadian terakhir kali ia lakukan sebelum terbangun di tempat tidur rumah sakit.

"Sebentar lagi aku akan memesankan makanan." Kata Theo sambil melepaskan tangan Jhen dan meraih telepon kamar yang ada disamping tempat tidur Jhen.

"Aku tidak mau makan." Kata Jhen tiba-tiba saat Theo hendak memesankan makanan untuk Jhen. Bukannya Jhen tidak ingin makan, dia tadi sudah merasa lapar, tapi saat ini konsentrasinya lebih kepada sakit kepalanya bukan pada perutnya yang lapar .

Theo tidak mengindahkan uapan Jhen dan tetap memesan makanan untuk Jhen.

"Sekalipun kamu tidak mau makan , makanlah sedikit dulu. Kamu sampai pingsan karena kekurangan nutrisi dan dehidrasi." Kata Theo sambil duduk lagi dikursinya lagi.

"Aku masih merasa pusing dan..."

"Kalau kamu tidak peduli dengan kesehatanmu, setidaknya pedulikan anak kita yang ada dalam kandunganmu." Theo memutuskan kalimat Jhen yang memberikan alasan padanya. Jhen memandang Theo dengan wajah penuh tanya.

"Kata dokter mungkin usia kandungannya masih muda. Setelah kamu merasa baikan kita akan ke dokter kandungan."

"Anak kita? Aku?" Jhen merasa dirinya berada diambang rasa bahagia dan juga bingung . Theo mengangguk sambil tersenyum dan meraih tangan Jhen. Jhen menarik tangannya dari Theo.

"Iya,apa kau tidak suka?" Tanya Theo ragu. Ketika mendengar Jhen sedang hamil, Theo merasa sangat senang. Tapi ia tidak tahu apa yang akan dirasakan oleh Jhen. Jhen yang dulu mungkin akan bahagia dan senang jika tahu ia sedang mengandung anak mereka. Sekarang Jhen sedang dalam kondisi emosi yang tidak stabil ,Theo tidak tahu apa yang Jhen rasakan saat ia memberikan berita ini.
Jhen terdiam, terlihat Jhen sedang berpikir. Jhen menggeleng dengan posisi tidurnya , ia memeluk perutnya dan melihat kearah Theo.

"Apa dia baik-baik saja? Aku pingsan apa itu membuatnya dalam bahaya?" Tanya Jhen sambil. menitikkan airmatanya yang tiba-tiba hadir karena merasa bersalah akan kelalaiannya.

Theo lega,Jhennya sudah kembali seperti yang ia kenal. Theo memeluk Jhen yang masih berbaring itu , merasa begitu bersyukur Jhen merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan. Jhennya kembali , Jhen yang naif, yang penyayang .

"Tidak , bayi kita baik-baik saja. Maka dari itu , mulai sekarang jagalah kesehatanmu dan bayi kita. " Jawab Theo lalu menegakkan tubuhnya dan menyeka tetesan airmata Jhen. Jhen mengangguk sambil tetap memeluk perutnya sendiri. Jhen memang masih bersedih untuk kehilangan ibunya, tapi ia bahagia dirinya sedang mengandung anak dari pria yang ia cintai. Jhen merasa sangat bersalah dirinya lebih mementingkan dirinya sendiri akhir-akhir ini.

"Maafkan aku,Theo. Aku terlalu egois, aku tidak tahu jika aku sedang mengandung anak kita." Jhen bangun dari tidurnya dan memeluk Theo yang duduk di tepi tempat tidur rumahsakit itu. Theo membalas pelukan Jhen , mengecup kening Jhen.

"Terimakasih sayang. Terimakasih sudah hadir dalam hidupku dan memberiku banyak hal berharga." Kata Theo dengan penuh kasih sayang.
-------------------------------------------

Theo seperti anak kecil yang bahagia mendapatkan hal yang paling diinginkannya saat melihat gambar calon bayinya lewat usg dari layar televisi yang berada didepan nya. Bentuknya seperti kacang , begitu kecil dan bergerak-gerak ringan.

"Dia bergerak." Seru Theo dengan spontan membuat dokter kandungan yang memeriksa kandungan Jhen dan juga perawatnya tersenyum sambil menahan tawa. Sungguh salah satu ciri-ciri seorang calon ayah baru yang begitu antusias.

Sementara Jhen merasa senang namun juga malu akan reaksi Theo.

"Ini adalah kepalanya, ini perutnya, ini tangan dan kakinya sudah mulai kelihatan." Dokter itu menjelaskan setiap detail dari janin Jhen dengan menunjukkan melalui cursor yang ada di layar dan tangan kanannya memegang detector usg yang ditempelkan pada perut Jhen yang masih ramping itu. Theo benar-benar menyimak apa yang dikatakan dokter itu sambil mengamati janin yang begitu kecil yang nantinya akan menjadi Theo junior atau Jhen junior.

"Panjangnya sudah 1,8 cm ... beratnya 1gram." lanjut dokter itu sambil melihat kearah layar USG.

"Kenapa kecil sekali? Apa dia butuh banyak asupan nutrisi? Apa itu normal?" Tanya Theo dengan wajah penuh kekhawatiran. Jhen menarik kemeja Theo sambil berkedip.

"Theo, hentikan." Kata Jhen dengan berbisik. Sang dokter hanya tertawa kecil.

"Tidak,Pak. Itu hal yang normal. Karena usia janin masih 8minggu saat ini. Mereka hanya sebesar biji kacang. Sudah mulai terbentuk telinga , tangan dan kaki. Dan juga mulai bergerak-gerak ringan." Dokter itu menjelaskan kepada Theo . Theo bernafas lega mengetahui calon bayinya baik-baik saja.

"Sekarang kita dengar detak jantungnya." Kata dokter itu sambil menekan tombol yang ada di mesin usg.
Terdengar suara detak jantung yang begitu cepat . Theo menatap layar USG yang memperlihatkan bentuk kasar dari calon bayinya dengan suara detak jantungnya. Bagi Theo yang ia rasakan saat ini tidak bisa digambarkan dengan apapun. Dia seolah memiliki semua yang ada didunia ini dalam genggamannya.
Jhen juga melihat kelayar usg ,melihat janinnya yang begitu kecil dan rapuh. Jhen tidak pernah melihat Ceci dulu seperti saat ini. Ia hanya dirawat oleh bidan selama mengandung sampai proses kelahiran Ceci. Jhen melihat Theo yang begitu terpaku melihat layar usg. Jhen melihat Theo menyentuh matanya sendiri. Seperti sedang menyeka airmata.

"Apa dia menangis?" Tanya Jhen dalam hati sambil tersenyum bahagia.

"Semuanya normal. Detak jantungnya juga bagus." Kata dokter kandungan itu sambil mengangkat detector usg itu dari perut Jhen dan perawatnya membersihkan gel dari perut Jhen. Theo membantu Jhen turun dari tempat tidur pemeriksaan itu dengan begitu hati-hati.

"Sayang, aku hanya sedang hamil bukan sakit keras." Kata Jhen sambil tersenyum lebar. Wajah Theo tampak begitu serius dan polos.

"Kamu harus lebih berhati-hati. Kamu juga baru saja pingsan kemarin." Jawab Theo dengan wajah yang serius.

"Usia janin masih sangat muda, memang butuh perhatian yang agak istimewa. Apalagi sang ibu sempat mengalami kekurangan nutrisi dan dehidrasi. Anda harus banyak mengkonsumsi banyak makanan yang bergizi dan berprotein tinggi. Anda juga tidak boleh stress atau tertekan . Saya akan memberikan resep vitamin dan juga penguat kandungan. Hindari juga minuman berakhohol, caffein, juga rokok. " Jelas dokter itu saat Theo dan Jhen sudah duduk didepan meja prakteknya.

"Nanti satu bulan lagi kembalilah untuk kontrol lagi. Kita bisa melihat perkembangan janin anda." Lanjut sang dokter sambil memberikan kertas resep kepada perawat yang mendampinginya itu.

"Kenapa lama sekali kita harus melihat perkembangannya ? " Tanya Theo seolah tidak sabar untuk melihat calon bayinya lagi. Sang dokter tersenyum lebar.

"Radiasi dari alat usg tidak bagus jika sering terpapar oleh janin. Jadi ada baiknya jika tidak ada suatu kendala berarti , usg sebaiknya dilakukan satu bulan sekali atau 3 minggu sekali ."

Theo mengangguk dengan wajah yang tegang. Ini benar-benar pengalaman pertamanya menjadi seorang ayah. Dia benar-benar menyimak apapun yang dikatan dokter itu padanya.
----------------------------------

"Kita akan kerumah orangtuamu , aku rindu dengan Ceci dan Bree. " Kata Jhen didalam mobil saat mobil Theo sudah melewati pos parkir rumah sakit.

"Apa kamu tidak ingin beristirahat dulu?" Theo masih merasa khawatir akan kesehatan Jhen dan janinnya.

"Theo,aku baik-baik saja. Dokter juga sudah mengatakannya tadi. Lagipula kalaupun Ceci dan Bree kembali kerumah , mereka selalu bersama perawat dan juga bibi. Aku hanya perlu mengawasi mereka saja." Jawab Jhen ,.
"Apa perasaanmu akan berubah sekarang kepada Ceci dan juga Bree?"
Mata Jhen terlihat khawatir ketika menanyakan hal itu. Theo menoleh sejenak kepada Jhen. Tangan kirinya menyentuh tangan Jhen.

"Tidak. Aku janjikan perasaanku pada mereka tidak akan berubah. Aku saat ini hanya sedang terserang euforia menjadi ayah untuk anakku sendiri. Ceci dan Bree juga anak-anakku. Tanpa mereka juga kita tidak akan bersama seperti saat ini." Jawab Theo sambil tersenyum hangat pada Jhen.

"Apa kamu tahu aku juga sudah tidak sabar untuk memberitahu mama soal berita bahagia ini. Tadi aku sudah akan menghubungi mama soal kehamilanmu. Aku berusaha keras menahan diri. Sudah pasti mama akan langsung kerumah sakit dan akan membuat gempar seluruh rumah sakit." Theo tertawa membayangkan jika ibunya tahu berita tentang kehamilan Jhen, sudah pasti akan membuat gaduh seisi rumah sakit. Jhen juga ikut tertawa membayangkannya.

"Bicara soal gaduh. Kamu tadi sungguh sudah gaduh sewaktu usg." Kata Jhen sambil terkekeh. Terlihat wajah Theo sedikit cemberut.

"Aku baru pertama kali ini memiliki anakku sendiri. aku juga tidak tahu bagaimana bisa bentuk yang begitu kecil dan rapuh itu bisa membuatku merasa begitu bahagia." Theo membela dirinya sambil berkonsentrasi melihat kearah jalan yang ada didepannya.

"Dan kamu menangis?" Tanya Jhen menggoda Theo.

"Hmm." Jawab Theo singkat hanya dengan gumaman.
Jhen tersenyum mendengar jawaban Theo.

"Ini juga pertamakalinya aku melakukan pemerikasaan usg. Aku juga baru tahu jika janin itu bisa begitu kecil dan rapuh. Dia begitu membuatku takjub dan bahagia. Walau sekecil itu,tapi dia ada. Dia bergerak dan bertahan hidup." Kata Jhen lalu melihat kearah Theo .
"Dan ini juga pertamakalinya aku memiliki anak dengan orang yang aku cintai." Lanjut Jhen membuat Theo menatapnya dengan sorot mata yang teduh dan penuh cinta.

"I love you more ... " Balas Theo sambil meraih dan mengecup tangan kanan Jhen. Jhen membalasnya dengan senyuman yang begitu menggoda Theo. Theo melihat kearah jalan didepannya lagi.

"Ahh Jhen ... Boleh kita pulang saja?" Keluh Theo saat melihat senyuman istrinya itu. Jhen tertawa terkekeh mendengar ucapan Theo.
---------------------------

Putra memang sengaja meninggalkan kota itu untuk sementara waktu . Tapi dia masih memiliki banyak mata untuk mengawasi setiap gerak-gerik Jhen. Putra juga tidak ingin ayahnya mengetahui apa saja yang telah ia lakukan selama ini. Ia sudah berjanji pada ayahnya untuk menjalani kehidupan yang tanpa masalah. Jika sampai ayahnya tahu ia membuat masalah lagi , maka ia akan dikirim kembali ke rehabilitas yang memuakkan itu.

Putra begitu marah ketika mengetahui Jhen sedang mengandung anak pria lain lagi. Dia merasa semuanya begitu tidak adil untuknya. Mengapa penghalang untuk mereka bersama semakin banyak. Tapi ia benar-benar bertekad untuk bisa membawa Jhen kesisinya lagi,apapun caranya. Sekalipun jika mereka harus mati bersama.

"Tidak.. Kamu tidak bahagia Jhen." Kata Putra pada sebuah potret dirinya bersama dengan Jhen . Tangannya mengucurkan darah segar setelah ia memecahkan gelas minumannya dengan tangannya sendiri saat menerima kiriman foto Jhen dan Theo dari informannya yang selalu mengikuti kemana Jhen ataupun Theo pergi.

"Bahagiamu adalah bersamaku. Bukan dengan pria lain. Kamu akan lihat nanti. Kita akan bersama pada akhirnya." Lanjut Putra sambil membelai pipi Jhen dalam foto itu hingga kaca pigora itu berhias darah dari tangan kanan Putra.

Tangan kiri Putra meraih ponsel yang berada di meja disampingnya. Ia menghubungi seseorang disana.

"Kita akan kerencana selanjutnya." Kata Putra lalu menutup pembicaraan sambil tetap memandangi wajah Jhen yang tersenyum lebar dalam foto itu.

"See you my angel." Kata Putra sambil tersenyum hangat dan penuh rasa sayang pada potret Jhen.
-------------------

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience