Bab 12

Romance Completed 1452

Sesuai prediksi Jhen. Ketika ia baru saja bangun tidur pagi itu. Moa sudah menelponnya sampai empat puluh panggilan tak terjawab. Jhen sengaja membisukan notif ponselnya. Lalu Jhen membuka pesan dari Moa.

Pesan 1.
(Aku sudah tahu kejadiannya akan seperti ini. Kenapa harus menghentikan Jo untuk menghabisi bajingan gila itu? Kamu masih mencintainya? )

Pesan 2.
(Apa suamimu tau dia selalu mengikutimu? Kenapa dia tidak ada disampingmu saat kamu membutuhkan bantuannya? Jangan katakan kamu menikahi seorang bajingan yang sama dengan si gila itu)

Pesan 3.
(Jhen. Angkat telepon dariku. Aku mau penjelasan semuanya darimu.)

Pesan 4.
(Kalau sampai ada berita si gila itu terbunuh. Jangan salahkan aku!!)

Pesan 5.
(Jheennn!!! Jawab!!!)

Dan masih banyak pesan yang lain,yang sengaja Jhen tidak baca . Hari ini dia bangun terlambat karena terlalu lelah. Saat Jhen keluar dari kamarnya. Mama Jhen sedang membersihkan bekas sarapan Ceci.

"Ceci sudah berangkat,ma?" Tanya Jhen masih terlihat belum sepenuhnya bangun dari tidurnya.

"Sudah,tadi Jo kesini. Katanya kamu yang memintanya untuk antar Ceci sekolah?"

"Oh.. iya.." Balas Jhen langsung merasa tidak mengantuk lagi. Moa memang benar-benar hati-hati dan sangat berpikir cepat. Jhen berjalan ke kursi meja makan. Mama Jhen memberikan segelas air putih untuk anaknya yang terlihat lelah itu.

"Kamu pulang jam berapa semalam? Kenapa kelihatan lelah sekali?" Tanya mama Jhen sambil membawa piring kotor ke tempat cuci piring.

"Jam sebelas,Ma." Jawab Jhen setelah meneguk habis air putih yang terasa menyegarkan ditenggorokannya itu.
"Waktu Jo datang,kenapa tidak membangunkan aku ?" Tanya Jhen pada mamanya.
"Kamu tidurnya pulas.. Mama tidak tega membangunkanmu. Kata Jo juga tidak perlu dibangunkan , semalam kata Jo kamu memang agak lelah." Mama Jhen mengambil air dari kran ke dalam cerek aluminium menimbulkan suara yang sedikit berisik.
"Bagus Jo tidak cerita apapun kepada mama" Gumam Jhen sambil mengambil roti tawar yang ada didepannya. Mama Jhen menoleh pada Jhen.
"Apa Jhen?" Tanya mama Jhen sambil menutup kran. Mengira Jhen berbicara dengannya. Jhen mengangkat kedua alisnya.

"Oh .. tidak , Ma. Kita sarapan apa hari ini?" Tanya Jhen mengalihkan pembicaraan. Mama Jhen berjalan ke arah kompor dan meletakkan cerek itu diatas kompor lalu menyalakan kompor.

"Hari ini kita sarapan roti dan selai saja ya? Tapi kalau kamu ingin yang lain nanti mama belikan." Balas mama Jhen kemudian duduk didepan Jhen sembari menunggu air yang dimasak itu mendidih.
"Ceci sudah cerita belum kalau bulan depan akan ada pekan olahraga disekolahnya?" Tanya mama Jhen sambil membukakan tutup selai untuk Jhen. Jhen mengangguk malas.

"Iya tadi malam."

"Dia juga cerita ke mama.. kalau dia diejek teman-temannya." Lanjut mama Jhen dengan raut muka kesal. "Jaman sekarang anak-anak kenapa bisa berbicara tentang hal yang seperti itu. Orangtuanya apa tidak mengajari anak-anaknya sopan santun?"

"Nanti aku akan kesekolah Ceci. Biar aku hajar mama-mama yang membuat pembicaraan seperti itu." Kata Jhen kesal. Mama Jhen menyentuh tangan putrinya.

"Kamu tidak punya pikiran untuk menikah?" Tanya mama Jhen dengan hati-hati,takut bila Jhen merasa tersinggung atau sedih. Jhen terdiam,dia lupa akan persoalannya dengan Theo. Kalau dia menerima tawaran Theo. Apa yang akan dikatakannya pada mamanya nanti.

"Nantilah ,Ma." Jawab Jhen singkat.
"Aku mandi dulu Ma,nanti aku ada urusan. Mama nanti dirumah aja kan?"

"Iya ,hari ini mama sepertinya dirumah saja. Mama mau mengerjakan pesanan ibu Cokro." Jawab mama Jhen. Jhen merasa tidak masalah jika mamanya akan berada dirumah saja. Moa juga sudah pasti menempatkan anak buahnya disekitar rumah Jhen untuk berjaga-jaga jika Putra hendak melakukan sesuatu yang berada diluar nalar. Jhenpun segera mandi dan berbenah diri sementara mamanya menyiapkan kopi untuknya.

Hari ini Jhen memilih memakai celana jeans biru tua yang membalut sempurna kakinya yang indah dan kemeja warna merah maroon berlengan panjang yang ditekuk sampai bawah sikunya. Jhen memakai riasan tipis dan tak lupa parfum favoritnya disemprotkan di belakang telinga dan juga dipergelangan tangannya.
Jhen melihat ponselnya. Tepat saat Theo menelponnya.

"Aku sudah didepan rumahmu." Kata Theo diawal pembicaraan mereka.

"Iya,aku akan keluar." Balas Jhen yang langsung menekan tombol menutup telepon dan buru-buru mengambil tasnya diatas tempat tidur yang sudah dia siapkan tadi. Jhen keluar dari kamarnya.

"Ma,aku berangkat dulu." Ujar Jhen buru-buru sambil mencium pipi kanan dan kiri mamanya.

"Kopinya tidak diminum dulu?" Tanya mama Jhen .

"Oh iya." Jhen meletakkan tas nya diatas meja juga ponselnya. Jhen mengangkat gelas kopinya dan meniupnya lalu meminumnya dengan buru-buru. Kemudian ponsel Jhen berbunyi lagi. Theo menelpon lagi. Jhen kemudian buru-buru meletakkan gelasnya dan meraih ponsel nya.

"Ma,aku berangkat dulu." Kata Jhen lagi lalu bergegas keluar dari rumahnya. Jhen berlari kearah mobil Theo dan langsung masuk di kursi penumpang depan,bersebelahan dengan Theo yang mengemudi sendiri hari ini.

"Maaf,aku kesiangan tadi." Kata Jhen sambil menarik sabuk pengaman dan saat hendak memakainya,Jhen ingat tas nya masih tertinggal dirumah.
"Oh Pak..maaf tas saya tertinggal. Tunggu sebentar." Jhen langsung berlari keluar dari mobil Theo , meninggalkan ponselnya ditempat duduknya tadi. Theo melirik layar ponsel Jhen yang menyala. Ada dua puluh pesan yang belum dibaca Jhen.

Kemudian panggilan masuk dari Moa. Theo sebenarnya tidak ingin ikut campur urusan Jhen apalagi itu adalah ponsel Jhen. Tapi Theo penasaran pesan dari siapa sampai dua puluh pesan di ponsel Jhen. Dan sekarang Moa menelpon Jhen pagi begini. Akhirnya Theo menerima panggilan dari Moa.
"Bagus akhirnya kamu menjawab panggilanku. Kenapa tidak balas semua pesanku? Padahal kamu membacanya." Sembur Moa seketika membuat telinga Theo sedikit mendenging.
"Lainkali jika pria gila itu menemuimu lagi ataupun kamu melihatnya. Langsung hubungi aku. Jangan sampai seperti kemarin malam. Kalau tidak ada yang membantumu kemarin,mau jadi apa kamu hari ini?" Lanjut Moa masih bernada emosi.

Theo terkejut mengetahui hal itu dari Moa. Theo menoleh kearah Jhen yang sedang masuk kedalam rumahnya.

"Aku Theo." Kata Theo singkat.

"Oh kamu suami Jhen waktu itu? Kemana saja kamu sebagai suaminya? Jhen diserang oleh si gila itu semalam di hotel tempat dia menyanyi. Kalau tidak ada yang membantunya semalam dan juga anak buahku disana,aku tidak tahu apa yang terjadi pada Jhen." Bentak Moa pada Theo.

"Dia tidak bercerita apapun padaku. Kenapa si gila itu begitu terobesesi dengan Jhen?" Theo menahan rasa marah yang tidak bisa dia kendalikan keluar begitu saja dari dirinya.

"Jhen tidak menceritakan apapun padamu? Sama sekali? " Tanya Moa akhirnya menurunkan nada bicaranya.

"Tidak." Jawab Theo singkat melihat Jhen sudah keluar dari rumahnya membawa tasnya dengan terburu-buru.
"Nanti kita bicara lagi,jangan katakan pada Jhen aku yang menjawab teleponmu"

"Oke" Balas Moa . Kemudian mereka mengakhiri pembicaraan. Theo meletakkan kembali ponsel Jhen ditempatnya semula.

Jhen membuka pintu mobil kemudian duduk dan menutup pintu mobil.
"Maaf,aku tadi terburu-buru. Tasku sampai tertinggal." Kata Jhen sambil tersenyum kepada Theo. Wajah Theo terlihat tidak bersahabat,sangat dingin.

"Apa dia marah karena lama menunggu?" Tanya Jhen dalam hati sambil memakai sabuk pengamannya.

"Semalam kamu tampil dimana?" Tanya Theo tiba-tiba. Sebuah pertanyaan yang sangat mengejutkan Jhen. Tangan Jhen seketika berhenti tepat ketika Jhen hendak memasukkan ujung sitbelt ke sisi kursi mobil.

"Semalam? Aku.. ada jadwal di hotel dekat dengan alun-alun kota." Jawab Jhen pada akhirnya sambil menegakkan badannya dan berusaha tenang.

"Apa ada yang terjadi?" Tanya Theo lagi sambil menghidupkan mesin mobilnya dan memindahkan persneling mobilnya.

"Tidak.. hanya seperti ketika aku tampil seperti biasa. " Jawab Jhen sambil memutar-mutar cincin di jari telunjuknya. Theo memperhatikan kebiasaan kecil Jhen sedari dulu. Jhen akan memutar-mutar cincin ditelunjuknya jika sedang gelisah ataupun berbohong. Theo menahan dirinya untuk bertanya lagi. Theo yakin Jhen tidak akan memberitahunya soal insiden semalam ataupun Putra. Theo menyetir dalam diam. Sama sekali tidak berkata-kata. Jhen merasa bingung harus berbuat apa atau harus memulai pembicaraan seperti apa. Suasana hati Theo sepertinya juga tidak sedang dalam keadaan yang bagus.

"Jadi bagaimana?" Tanya Theo tiba-tiba.

"Aku .. memikirkannya sepanjang malam." Jawab Jhen ragu-ragu. Theo menahan nafasnya tanpa dia sadari untuk mendengar jawaban Jhen selanjutnya.
"Mungkin bisa kita coba." Jhen menoleh dengan ragu kearah Theo sambil menggigit bibir bawahnya. Theo membalas pandangan Jhen dengan alis terangkat.

"Aku menikah bukan untuk coba-coba. Pernikahan kita akan nyata dan tercatat secara hukum dan akan disaksikan oleh orangtua kita nantinya. Tidak akan ada perjanjian hitam diatas putih." Jawab Theo sambil mencengkeram setir mobilnya dan melihat kearah jalan yang ada didepannya.

"Baik. Tapi aku punya persyaratan." Kata Jhen memberanikan dirinya.

"Katakan." Balas Theo singkat memandang Jhen lagi. Saat itu mereka berhenti karena lampu merah pada lampu lalulintas sedang menyala.

"Aku tidak mau berhenti dari pekerjaanku."

"Sementara kamu akan cuti dari pekerjaanmu. Uangku lebih dari cukup untuk menghidupimu dan keluargamu. Ibu dan ayahku juga akan mengawasimu selama beberapa bulan ini,karena mereka akan fokus pada kehidupan kita nantinya." Balas Theo menolak persyaratan pertama dari Jhen. Jhen terpana dengan balasan dari Theo yang secepat kilat itu.

"Kedua,aku ingin ... Status Ceci nantinya akan menjadi anak kita." Kata Jhen dengan ragu namun dia harus menyampaikan hal ini. Theo berpikir sejenak.

"Akan aku pikirkan caranya nanti." Balas Theo.

"Ketiga,aku mau anda menemui ibuku untuk melamarku dan memberikan alasan sesuai dengan apa yang aku susun semalam."

"Baik,nanti setelah pulang dari rumah sakit aku akan menemui ibumu." Theo menyanggupi syarat ketiga
Jhen.
"Itu saja?" Tanya Theo. Jhen mengangguk.

"Aku juga punya satu syarat." Kata Theo sambil melirik kearah lampu lalulintas yang mulai berpindah warna menjadi hijau.

"Apa?" Tanya Jhen.

"Tidak akan ada perceraian ! " Kata Theo sambil memindahkan persnelingnya dan mulai menginjak gas mobilnya.
-------------------------------------------

Ayah dan ibu Theo menyambut hangat kehadiran Jhen ketika Jhen memasuki kamar ina Brian yang baru. Jhen tidak menyangka hal ini terjadi. Tadinya dia sudah mempersiapkan diri bertemu dengan kedua calon mertua yang menyambutnya dengan dingin dan tatapan intimidasi pada dirinya.

"Kalian baru datang? Bree sedang diperiksa dan diberi imunisasi oleh dokter tadi." Kata ibu Theo dengan ramah dan mencium pipi kanan dan kiri Jhen. Ayah Theo juga menghampiri Jhen dan menjabat tangan Jhen dengan hangat.

"Aku papanya Theo." Kata ayah Theo sambil menepuk hangat tangan Jhen.
"Maafkan kami sudah menyusahkanmu. Theo juga seharusnya sejak awal mengenalkanmu pada kami,maka kamu dan Brian tidak akan kesusahan seperti ini."

Jhen menyukai ayah dan ibu Theo yang bersikap ramah dan hangat padanya. Jhen tersenyum kepada ayah dan ibu Theo.
"Saya yang seharusnya meminta maaf. Saya yang meminta Theo untuk merahasiakannya. " Balas Jhen sesuai dengan apa yang diceritakan Theo sepanjang perjalanan.

"Ayo duduk dulu. Kita akan menunggu Bree datang sebentar lagi." Kata ibu Theo sambil merangkul pundak Jhen dan menggiring Jhen ke arah sofa diruangan itu. Ruangan VIP memang berbeda. Tidak terasa seperti dalam rumah sakit. Malah seperti kamar hotel. Jhen duduk disamping Theo yang sudah duduk disana terlebih dahulu. Ayah dan ibu Theo duduk di seberang mereka.
Ayah Theo merangkul pundak istrinya dengan mesra.

"Jadi bagaimana rencana kalian selanjutnya?" Tanya ayah Theo santai.

"Kami akan mendaftarkan pernikahan kami besok,Pa. Dicatatan sipil." Jawab Theo. Jhen terkejut dengan kata-kata Theo namun berusaha bersikap tenang.

"Apa? Besok? Kenapa tidak diberi waktu yang agak panjang sih?" Protes Jhen dalam hati.

"Mama ingin ada acara syukuran kecil-kecilan. Hanya kita dan orangtua Jhen." Ucap ibu Theo dengan mata memohon pada Theo dan Jhen.

"Iya ma. Nanti aku akan menyampaikannya pada mamanya Jhen. Beliau juga akan setuju."Jawab Theo dengan yakin.

"Nanti papa dan mama akan ikut kalian ke catatan sipil. Setelah itu kita langsung mengadakan syukuran." Lanjut ibu Theo dengan wajah bahagia.
"Nanti kan Bree sudah boleh pulang. Boleh Bree mama bawa pulang dulu?" Tanya ibu Theo pada Jhen.

"Boleh bu" Jawab Jhen sopan.

"Jangan terlalu kaku. Panggil aku mama juga seperti Theo. Kita kan keluarga sekarang. Kamu juga istri Theo,berarti kamu juga anakku." Ujar ibu Theo dengan senyuman hangat tersungging di bibirnya.

"Iya,kami bukan keluarga seperti yang kamu bayangkan,Jhen. Kami tidak akan memandang rendah seseorang dari strata sosialnya. Kami lebih suka dengan kepribadian orangnya. Panggil aku papa juga. Jangan begitu sungkan kepada kami." Ayah Theo menambahkan. Jhen hanya mengangguk pelan dan tersenyum pada orangtua Theo. Mereka orang yang baik dan juga hangat. Keluarga Theo membuat Jhen merasa nyaman.

"Oh iya. Rumah Theo sementara kami renovasi untuk kamar Bree. Dan juga kamar kalian. Jadi setelah kalian menikah resmi,sementara kalian akan tinggal dirumah papa." Kata ayah Theo memberitahukan hal itu dengan santai dan menggenggam tangan istrinya.

"Mama Theo sangat antusias dengan kehadiran Bree juga kamu, Jhen. Jadi dia sangat ingin mendekorasi kamar Bree." Ayah Theo melihat kearah Jhen mencari persetujuan dari Jhen akan tawarannya.

"Mama minta maaf tidak mendiskusikan hal ini pada kalian,terutama Jhen." Ibu Theo menatap Jhen dengan perasaan bersalah. Jhen harus berkata apa disaat seperti ini . Theo merangkul pundak Jhen dengan lembut.

"Kami akan nyaman berada dimanapun , Ma." Jawab Theo dengan hangat pada ibunya itu. Lalu melihat wajah Jhen.
"Ya kan sayang?" Tanya Theo lembut sambil tersenyum. Jhen membalas senyuman Theo dengan spontan.

"Mama juga minta maaf sebelumnya. Mama sudah berlaku kasar sama kamu,Jhen." Kata ibu Theo dengan menyesal.

"Ah.. tidak Bu.. Ma" Ralat Jhen seketika akan ucapannya dalam memanggil ibu Theo. Dia belum terbiasa.
"Itu wajar kok,mama waktu itu sedang shock. Aku bisa paham , Ma." Jawab Jhen dengan lembut,memahami emosi ibu Theo saat itu. Theo tersenyum senang dengan jawaban yang diberikan Jhen pada ibunya. Ayah Theo bisa melihat hal yang dikatakan istrinya sewaktu mengatakan bila Theo benar-benar mencintai istrinya.

Pintu kamar itupun berbunyi dengan ketukan konstan yang khas,lalu terbuka. Sang suster terlihat mengintip dari balik pintu

"Permisi." Kata suster itu lalu masuk membawa serta Brian dalam pelukannya.
"Adik Brian sudah selesai diperiksa." Lanjut suster itu. Ibu Theo langsung berdiri bersamaan dengan Jhen. Ayah Theo tertawa terkekeh melihat reaksi ibu Theo dan Jhen.

"Benar-benar ciri khas seorang ibu." Komentar ayah Theo sambil melihat Theo. Theo menyambut tawa ayahnya dengan senyum yang memperlihatkan giginya yang rapih. Sang suster sempat bingung akan memberikan Brian kepada siapa. Lalu ibu Theo menyentuh punggung Jhen dengan lembut. Memberi tanda pada Jhen untuk menggendong Brian. Jhen berjalan kearah suster itu dan mengambil Brian dengan lembut,menempatkan Brian dengan nyaman dalam pelukannya. Brian tersenyum ketika Jhen menggendongnya dan menyapa Brian seperti yang biasa dia lakukan selama merawat Brian.

"Apakabar sayang?" Tanya Jhen sambil mencium pipi Brian. Jhen merindukan Brian yang biasa tidur dengannya selama ini. Theo yang tiba-tiba berada dibelakang Jhen memeluk Jhen dari belakang,dagu Theo berada dipundak Jhen, sambil ikut membelai kepala Brian. Rasanya sangat canggung bagi Jhen namun Jhen menyukainya.

"Hai,sudah sehat sekarang sayang?" Tanya Theo lembut tepat di sebelah telinga Jhen. Jhen seakan menahan nafasnya merasakan nafas Theo di lehernya dan suara Theo yang berat ditelinganya. Wajah Jhen menjadi memerah karena perlakuan Theo yang sangat hangat dan romantis secara tiba-tiba itu.

"Pak,apa ini tidak berlebihan?" Bisik Jhen benar-benar pelan takut ayah dan ibu Theo juga mendengarkan kata-katanya. Theo menempelkan hidungnya pada pipi Jhen yang sudah memerah itu dan berbisik.

" Panggil aku 'sayang' . Nanti mama dan papa dengar." Bisik Theo ditelinga Jhen sambil tersenyum senang.
Theo senang mencium wangi parfum yang dipakai Jhen membaur dengan bau tubuh Jhen yang terasa sangat manis dihidung Theo. Theo juga bisa merasakan Jhen merasa canggung dengan kedekatan mereka saat ini,tapi Theo menyukainya.
"Suster,bagaimana kondisi Bree sekarang?" Tanya Jhen mengalihkan perhatiannya dari Theo. Jantungnya benar-benar akan meledak kali ini jika Theo tetap seperti itu padanya.
Sang suster tampak tersipu dengan adegan yang ada didepannya. Sepasang suami istri yang beradegan romantis didepannya.

"Adik Bree sudah sehat. Paru-parunya juga sudah bersih dari air yang masuk kemarin. Cuma nanti mungkin setiap pagi usahakan agar adik Bree di jemur di bawah matahari jam 9 pagi setiap hari. Tadi juga sudah mendapatkan imunisasi. Jadi mungkin nanti akan panas,jadi nanti akan kami beri resep untuk penurun panasnya dan juga untuk pemulihan adik Bree." Jelas sang suster. Jhen bisa merasakan Theo tersenyum di samping wajahnya.

"Terimakasih,suster." Jawab Theo lalu menunduk lagi di pundak Jhen seolah-olah sedang menyapa Brian lagi. Sang susterpun pergi undur diri dari kamar itu.

"Benarkan yang aku katakan?" Bisik ibu Theo pada suaminya yang sedang memeluk pundaknya. Dibelakang Theo dan Jhen.

"Iya,aku juga lihat tadi. Theo sungguh mencintai ibu Bree. Jhen juga terlihat baik." Balas ayah Theo merasa lega anaknya sudah memiliki tambatan hati.

Ibu Theo melangkah mendekati Theo dan Jhen. Dan Jhen merasa bisa bernafas lagi karena Theo akhirnya menjauh darinya.

"Coba lihat cucu oma." Ibu Theo terlihat bahagia melihat Brian dalam pelukan Jhen. Brian yang sedang bermain-main dengan tangannya yang mengepal dimasukkan kedalam mulutnya dengan seketika memberi isyarat untuk ibu Theo mengambil botol susu untuk Brian.
"Cucu oma lapar yah?"

Lalu ibu Theo mengambil Brian dengan lembut dari pelukan Jhen. Dan memberikan susu pada Brian yang nampaknya lapar setelah menangis.

"Nanti orang akan mengira kamu ibunya,bukan Jhen" Canda ayah Theo pada istrinya. Namun tidak digubris oleh istrinya yang sibuk dengan Brian.

"Mama tidak periksa lagi tekanan darah mama dan gula darah mama?" Tanya Theo merasa khawatir akan tekanan darah ibunya yang sempat melonjak kemarin.

" Sudah,papamu lebih cerewet daripada kamu, sudah dari pagi tadi. Semuanya normal. Mama sehat kalau ada Bree." Jawab ibu Theo sambil menyipitkan matanya. Seakan bosan dengan pertanyaan itu. Jhen melihat penuh tanya kearah Theo dan ibu Theo.
"Ib.. mama sakit?" Tanya Jhen yang masih salah memanggil ibu Theo itu. Theo mengangguk.

"Mama punya darah tinggi dan kadar gula darah yang naik turun. Tergantung sama kondisi pikiran dan makanan mama." Jawab Theo lembut.

"Maka dari itu kalian jangan buat mama banyak pikiran. Kalian harus segera pindah kerumah utama. Sekarang sudah ada Bree.. mama tidak akan stress lagi." Kata ibu Theo kepada Jhen dan Theo.
-----------------------------------------------

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience