Laki-laki Menyebalkan

Romance Completed 22834

"Kamu ini benar—benar gila, Leon! Sudah beruntung dia tidak mati!" celetuk Niko.

Bugh! 

Satu tinju besar tepat mendarat di perut Niko. Leon sangat marah ketika mendengar perkataan Niko yang terdengar menyumpahi.

"Berani kamu bilang mati sekali lagi, aku pastikan akan membunuhmu lebih dulu," dengus Leon. Menarik kerah bajunya.

"Agh, kau memang teman gila. Sekalinya gila mencari wanita itu … sekarang kam muuuu—," Niko memutarkan bola matanya menatap wajah Leon. Dia, tahu selama ini Leon  hanya gila kerja dan mencari wanitanya.

"DAMM!!  Jangan bilang kalau dia wanita yang kamu cari selama ini. Dimana kamu menemukan dia?"

Niko mengabaikan rasa sakit di perutnya malah penasaran dengan sosok Nisa yang masih terbaring lemah di bangsal belum sadarkan  diri.

"Dia sendiri yang mendatangiku," Leon berkata penuh percaya diri. Tanpa ragu dan terdengar sombong ditelinga Niko.

"Hah, Kau pikir aku akan percaya dengan kata—katamu. Kau  pasti sedang bercanda." Niko memutar kembali kedua bola matanya. Tidak mempercayai ucapan Leon.

"Sungguh! Yaa, meskipun  sebenarnya aku menggunakan sedikit trik dan jebakan!” cetus Leon tanpa ragu.

“Menjebak?" Niko menggelengkan kepala saat mendengar perkataan Leon yang membuatnya bengek.

"Uhm, aku membiarkan dia disisiku!"

Lagi lagi Leon berkata penuh percaya diri, tidak memperdulikan perasaan Nisa saat ini.

"Membiarkannya disisimu, ungkapan apa itu? Kau benar-benar gila, kamu langsung ....” 

Niko tak melanjutkan bicaranya hanya melakukan pantomim kedua telapak tangannya di satukan dan di hentak-hentakan. Persis seseorang yang sedang memompa sesuatu dengan gerakan tangannya.

"Kira—kira  seperti itu—lah  ...."

“Kau benar—benar sinting dan gila, Leon. Pantas saja dia sampai shock seperti ini.”

Niko berkomentar,  sementara Bisma pura-pura tak mendengar pembicaraan mereka. Mengalihkan  pandangannya ke segala ruangan.

Nisa mulai menggeliat. Meski Leon sedang mengobrol. Pandangan matanya tak lepas dari Nisa. Dia pun segera menghampiri.

"Dimana yang sakit?" Leon duduk di pinggir bangsal. Leon menatap Faranisa Aznii dengan cemas.

Nisa sendiri tak kuasa menutupi rasa kebenciannya pada laki—laki  dihadapannya. Dia tetap diam. Nisa menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, turun dari bangsal.

"Nisa, kau mau kemana?" Leon meraih tangannya. Namun, gadis itu menepis. Keluar dari ruangan tanpa menoleh.

"Dia menolakmu?  Setelah   kamu?  Benar—benar gadis yang luar biasa. Aku bahkan berani memberikan apapun yang dia inginkan sekarang," ledek Niko.

Seperti mereka sedang melakukan taruhan yang membagongkan.

"Diam, jangan banyak bicara!" Leon  mengejar Nisa, namun dia sudah tak menemukannya.  Di lorong maupun halaman rumah sakit, Nisa sudah seperti ditelan bumi.

"Cepat sekali, kemana dia lari?" Leon celingak celinguk melihat sekitar, hasilnya tetap nihil. Nisa sebenarnya belum pergi, dia hanya bersembunyi. Bersembunyi  dari segala yang membuatnya sesak.

Butiran bening kembali meleleh di pipi Nisa. Dia masih belum menerima kehadiran laki—laki  yang menurutnya asing. Dia masih belum menerima mahkota kehormatannya direnggut secara paksa.

"Aku sangat membencimu!" teriak Nisa di hatinya yang penuh dengan luka.

***

Nisa membuka pintu rumahnya. Berjalan  gontai masuk ke kamar mandi. Ia membiarkan tubuhnya tersiram dengan air yang mengalir diatas kepalanya.

Rasanya  tak akan pernah cukup. Walaupun  dirinya berkali-kali mandi. Dia tetap saja menatap tubuh kotornya di cermin penuh dengan tanda yang ditinggalkan oleh  Leon.

"Arrrggghhhh!!! Aku benci, aku benci diriku sendiri!!!"  teriakan pilu Nisa menggema di kamar kecilnya merutuki semua kelemahannya.

***

Nisa meraih ponselnya yang terus berdering, setelah dia merasakan sedikit tenang dan bisa mengontrol emosinya.

“Ra—Raka  ...,” suara Nisa bergetar dengan isak tangisnya yang tertahan.

“Ada apa Nis? Kau kenapa? Kau menangis?” suara dari seberang sana terdengar penuh dengan khawatir.

“Rakaa ....”  dan yang terdengar kemudian hanya jerit tangis yang bergema di telepon Raka.

“Dimana kamu sekarang? Katakan padaku, Nis?” Raka berteriak dengan keras dengan kepanikan dalam dadanya yang terus bergetar ketika mendengar tangisan Nisa.

Gadis itu tak menjawab, hanya terus terisak. Bel rumahnya berbunyi tanpa henti. Nisa berjalan pelan membuka pintu sambil mengusap air matanya.

Seorang laki—laki  langsung memeluk tubuh Nisa dengan erat. Nisa menyadari sosok di hadapannya. Matanya kembali berlinang saat melihat sosok dalam pelukannya.

"Aku sudah bilang jangan pergi. Aku sudah bilang,  kau harus boleh pergi bersamaku. Kenapa  kau ingkari, uhm ...." suara nan lembut menyayat hati Nisa. Laki—laki tadi  mengusap punggung Nisa, menenangkannya seperti anak kecil. Juga mengusap lelehan kristal yang membanjiri pipinya.

Yang ada bukan berhenti tangisnya. Nisa meraung seperti anak kecil dalam pelukannya.

Satu jam berlalu

"Kau sudah tenang?"

"Uhm, terima kasih Raka, bagaimana kau bisa berada disini?"  Nisa menatap lelaki berkacamata di hadapannya yang tak sedikitpun mengurangi ketampanannya.

Dia adalah Raka, laki-laki yang sedang dekat dengan Nisa beberapa tahun ini. Hubungan mereka memang belum terbilang resmi, karena Nisa masih saja menolak kejelasan hubungan mereka.

Nisa selalu mengatakan belum siap untuk lebih serius berhubungan dengan Raka. Dan sampai saat ini dia hanya bisa menganggap Raka sebagai teman terbaiknya.

Berbeda dengan Raka, sejak pertama kali bertemu, Raka sudah terpikat oleh sosok Nisa.

"Kau bertanya? Atau pura-pura bodoh. Apa aku akan sanggup berada di sana tanpa kehadiran dirimu?” ucapnya terdengar menuntut.

Degh! Dada Nisa tersentak lagi. Dia  merasa bersalah dengan laki—laki  dihadapannya kini.

Memang tidak ada hubungan, tapi Raka selalu memperlakukan Nisa layaknya seorang gadis yang sangat spesial di hatinya.

"Ada apa, katakan padaku? Dan kenapa kau tinggal di tempat seperti ini? Bahkan kau melarikan diri dariku. Andai kamu bicara, aku akan mempersiapkan segalanya, Nis. Aku pastikan kamu mendapatkan tempat yang lebih baik."

"Kalau aku tidak menempatkan seseorang untuk menjaga kamu, mungkin aku selamanya nggak akan pernah tahu kalau kamu sudah meninggalkan aku. Untung aku benar-benar mengikuti naluriku, kalau tidak, kamu sudah menghilang dariku," ucap Raka ketus.

Sepertinya, kali ini dia marah besar terhadap Nisa.

Nisa terdiam, dia bahkan tak bisa membuka suaranya. Lehernya terasa tercekik oleh semua yang diungkapkan Raka.

"Nis, kau baik-baik saja?" tatapan Raka jelas mengetahui gadis di hadapannya sedang mengalami goncangan yang dalam.

Tetap saja Nisa bergeming. Dia bahkan seperti tidak bernapas.

"Baiklah, kalau kamu belum mau bicara. Kita akan bicarakan besok. Aku akan biarkan kamu istirahat malam ini dan aku juga perlu istirahat, aku baru saja tiba di kota ini, Nis. Aku pulang dulu!" Raka beranjak dari duduknya yang di lantai.

"Aku baik-baik saja, kau nggak perlu khawatir," Nisa mencoba menarik senyum di wajahnya agar laki—laki  dihadapannya tak perlu merasa khawatir.

Raka hanya menghela napas panjang. Dia tak ingin memaksa lagi. Dia tahu, saat ini gadis itu masih belum mau bercerita padanya.

"Kemarilah,  antar aku turun ke bawah!" Raka mengulurkan tangannya, Nisa berdiri dan meraih tangan Raka mengikutinya turun.

"Aku jemput besok ya!" ucap Raka, Nisa mengangguk lirih.

"Uhm, hati-hati di jalan!" Satu kecupan dari Raka mendarat di kening Nisa. Nisa melambaikan tangan dan tersenyum.

Raka tidak banyak berkata apapun, dia benar-benar langsung meninggalkan kediaman Nisa. Satu hal yang selalu membuat Nisa nyaman berteman dengan Raka, meski sebenarnya Nisa pun tidak bodoh, dia juga tahu perasaan Raka pada dirinya.

Tetapi, entah kenapa sampai saat ini Nisa masih belum memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius.

Dukk! Nisa terkejut. Dan langkah kakinya sempat mundur ke belakang beberapa langkah.

"Kamu melarikan diri dariku  selama ini hanya untuk bersama laki laki bodoh dan idiot itu, hah? Apa matamu buta? Kamu bahkan tersenyum seperti orang bodoh padanya. Benar—benar menyebalkan."

Tangan Nisa sudah di cengkram erat oleh Leon. Kedua matanya seakan tercungkil keluar ketika menyaksikan pertunjukan yang membuat matanya sakit. Leon  memicingkan matanya penuh emosi.

"Akh, sakit! Lepas! Itu bukan urusanmu. jangan  ikut campur!" Nisa mendelik.

Dia sudah merasa tidak tahan dengan kelakuan Leon yang dianggapnya benar benar menyebalkan.

"Bukan urusanku?  Kau  lupa?  Kau  milikku sekarang! Apa aku perlu mengulangi semuanya agar kau bisa mengingatku lagi. Hah? Aku gak keberatan kok, aku dengan senang hati mengulangi sekali, dua kali ataupun seribu kali pun aku bersedia mengulanginya." 

Leon mencengkram mulut Nisa dengan kasar. Dia berteriak, memaki Nisa karena terbakar cemburu dengan pemandangan tadi.

"Kau gila, lepas. Lepaskan aku!"  Nisa mencoba melepaskan cengkraman kasarnya  yang membuat Nisa  tercekik.

"Tuan, jaga emosi anda. Jangan sampai melukai Nona Nisa yang akan membuat anda menyesal seumur hidup!" Bisma melihat emosi tuannya sudah hampir hilang kendali, Bisma berusaha menyelamatkan Nisa.

"Arrrggghhh!!" Tubuh Nisa di hempaskan, Nisa menghirup dalam—dalam  udara yang hilang beberapa saat darinya karena ulah gila Leon.

"Pria ini benar–benar gila. Dia  seperti monster. Huh, aku sungguh bodoh, jika memang dulu aku pernah mengenalnya."

Nisa memaki Leon dalam hati dan menatap Leon dengan penuh kebencian.

"Pindahkan semua barangnya sekarang juga, Bisma. Aku nggak mau dia tinggal di tempat seperti ini. Kamu harus memastikan semua berjalan dengan perintahku. Kalau tidak aku, aku tidak akan segan menembak kepalamu." Perintah Leon membabi buta. Dia kebakaran jenggot sendiri, dia benar-benar takut kalau sampai kehilangan Nisa atau dia direbut oleh lelaki lain.

Nisa bangkit saat mendengar ucapannya, meski tubuhnya masih terasa sakit dan remuk,"Tidak. Aku nggak mau. Kamu nggak punya hak mengaturku. Kamu bukan siapa siapa aku!"  

Dengan tegas Nisa menolak. Dia tidak mau pergi kemana pun, apalagi harus berurusan dengan laki—laki yang membuatnya sakit jiwa.

Leon sangat kesal. Marah. Dia tak ingin sekali lagi kehilangan Nisa. Leon menarik paksa tangan Nisa dan melemparkannya ke dalam mobil. Beberapa  pengawal lain sibuk menaiki anak tangga ke arah kamar Nisa.

"Hanya berdua saja di dalam rumah. Apa  saja yang kau lakukan dengan laki—laki  tadi, Aznii? Aku cemas mencarimu, kau malah enak—enakan dengan dia. Huh."

Leon sedang mengumpat di hatinya, dia kesal saat melihat kehadiran lelaki asing bersama gadis pujaan hatinya.

Dua jam sebelumnya

"Bisma dimana dia tinggal?" 

Leon bertanya saat dia tidak menemukan Nisa di seluruh rumah sakit dan sekitarnya. Leon bahkan mencari dan memerintahkan Bisma agar para pengawalnya ikut mencari dulu di sekitar rumah sakit.

"Saya akan bawa anda ke tempatnya nona Nisa, Tuan." 

Setelah tuannya yakin Nisa sudah tidak ada di rumah sakit.

Leon memerintah Niko memindahkan kamar rawat yang sempat Leon kunjungi setelah kepergian Nisa. Kamar ibunya Nisa.

"Bawa beberapa orang untuk ikut. Aku akan membawanya pulang!" perintah Leon lagi.

Dia sudah bertekad, tidak akan membuat Nisa jauh lagi dari pandanganya.

Bisma melajukan mobilnya dengan cepat menuju kediaman Nisa. Sampai di tempat lokasi yang di luar dugaan. Leon miris melihat  lingkungan tempat tinggal gadis itu. Sangat  berbeda dengan lima tahun lalu dia mengunjunginya.

Namun,  saat Leon terbang dengan lamunan menyedihkan tentang Nisa.  Dia  melihat Nisa membukakan pintu untuk seorang laki-laki. Laki laki tadi, memeluk Nisa dengan erat dan dia masuk.  Menutup pintu rumah Nisa dengan rapat.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience