"Raka, aku mohon, ini bukan permainan saling membakar atau membalas. Aku mohon, Raka, aku tahu kamu pasti mengerti keadaanku kan? Uhm?"
Nisa mencoba berbicara meski dia tidak yakin apakah bisa merubah keputusan menggebu Raka saat ini.
"Buka semua, biarkan aku melihatnya juga. Tukar bajunya sekarang dihadapanku kalau kamu memang benar-benar pernah menganggap aku sebagai seseorang yang berarti," tantang Raka, dia masih belum mau mengalah dan menuntut Nisa untuk berganti baju di hadapannya.
Raka ingin melihat apapun yang belum dia lihat. Dia menahan semua dan mencoba mengerti keadaan Nisa selama 5 tahun itu.
"Nggak gitu dong, Raka, kamu kan tahu, aku nggak mungkin melakukan itu," hampir saja suara Nisa tidak dapat terdengar, dia malu dan merasa bersalah dengan keadaannya saat ini.
"Kenapa? Kenapa hanya aku yang nggak boleh melihat juga menikmati nya? Kita ini pacaran kan, Nisa? Atau kamu hanya benar benar menjadikan aku sebagai pelarian dan kamu hanya merasa nggak enak saja dengan apa yang telah kulakukan padamu selama ini?"
"Apa itu perasaanmu padaku, Nisa? Apa kamu berpikir, kamu bisa membalas budi ku kalau kita berpacaran? Apa seperti itu pikiranmu, Nisa, hah? Katakan sejujurnya?" Raka terus menembakkan peluru keinginannya. Dia tidak akan mundur dengan hasratnya.
Sudah kepalang tanggung, Nisa tidak mungkin menghindarinya. Dia sadar, kalau tanpa bantuan dan perlindungan dari Raka selama 5 tahun ini, Nisa tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya.
Nisa tahu, semua yang dilakukan Raka tidak mungkin dia balas begitu saja. Jasanya begitu besar saat membantunya. Raka banyak ikut andil saat Nisa dalam kesulitan 5 tahun lalu. Raka benar-benar melindunginya dengan baik selama ini.
Hutang itu nggak mungkin dia balas hanya dengan berpacaran. Tentu saja, kali ini pun Raka meminta hak khususnya sebagai pacar. Hak yang selama ini nggak pernah Nisa berikan pada Raka. Raka, selalu melindunginya diam-diam, karena jika Nisa tahu, Raka membantunya secara terang-terangan, Nisa akan langsung menolak.
“Raka!” Semakin lirih suara Nisa.
“Buka dan lepaskan sekarang. Aku juga mau melihatnya. Aku mau tahu sejauh mana hubungan kalian,” meski terasa getir yang dirasakan Raka, dia nggak mungkin menghindari apa yang sedang dia ketahui.
“Atau aku yang akan melepaskannya? Heum?” Raka maju satu langkah lagi membuat Nisa makin tersudut hingga sudut kasur lantainya.
Saat ini dia tidak memiliki kemewahan seperti saat dia tinggal di negara Raka, kontrakan Nisa memang kecil dan seadanya.
“Nggak Raka, aku bisa lepas sendiri. Aku bisa ganti baju sendiri,” Nisa masih mencoba mengelak, tapi tatapan Raka masih mengintimidasinya.
Nisa akan berbalik badan, tapi Raka menahannya. Dia benar-benar tidak ingin gadis itu menghindari tatapannya.
Nisa mengangkat tangannya perlahan untuk meloloskan kaos yang di pakainya. Raka bisa melihat kalau gadis itu hanya mengenakan kain tipis atau semacam syal saja untuk menutupi dua benda kenyal padat dan berisi miliknya.
Semakin terangkat kaosnya, Raka semakin melihat banyak kissmark yang ditinggalkan Leon. Sepertinya Leon, tidak memberikan sedikitpun tubuh Nisa luput kissmark yang dia tinggalkan.
“Kamu benar-benar melakukan dengannya sejauh ini, Nis?” terasa sekali kesedihan juga kegetiran dari ucapan Raka, jika Nisa menyangkal, tapi bukti nyata adalah tubuhnya.
Dia hanya bisa tertunduk. Malu. Tentu saja. Dia bahkan tidak sanggup menjawab ataupun menyangkal ucapan Raka.
Tatapan Raka kembali ke bagian perut. Tangannya terkepal erat ketika melihat gadis yang dijaganya mengenakan boxer laki-laki.
“Lepaskan semua!” ucap Raka lagi.
“Raka!” Nisa merengek. Dia tidak ingin kalau Raka sampai kehilangan kendali saat melihat semuanya. Apalagi ponsel Nisa tetap tidak berhenti bergetak dan menandakan panggilan masuk.
Raka tidak sungkan menarik syal tipis yang menutupi dua benda kenyal miliknya. Sehingga saat ini, dua benda kenyal tersebut terpampang nyata di pelupuk mata Raka. Begitu padat dan berisi, bahkan ujung pucuknya yang berwarna merah muda membuat siapapun yang melihat pasti tergoda.
Setiap sudut tidak ada yang kosong. Kissmark itu benar-benar membuat emosi Raka makin berkibar.
“Bahkan milik mu ini membuatku haus, Nisa. Aku ingin mereguknya juga,” Raka mulai mengangkat tangannya dan melakukan terapi sentuhan di ujung pucuk milik Nisa.
“Ah, Ra–Raka, aku mohon umm ahhh!” suara Nisa hampir tidak bisa dikendalikan. Raka menggila lagi sesuai dengan getaran ponsel Nisa yang tidak berhenti.
“Apakah dia melakukan ini juga, Nisa?” Raka tidak menghentikan aktivitas di ujung pucuk yang berwarna merah muda milik Nisa.
“Umm i–i–iya, Raka, aku mohon, tolong hentikan,” Nisa mencoba menyentuh tangan Raka, getaran ponsel Nisa berhenti, namun sekarang yang berbunyi bel rumahnya.
“Aku mohon, Raka, jangan lakukan apapun. Aku bersedia melakukan apapun untuk menebus semua, tapi nggak dengan hal ini. Tolong jangan jadikan aku seperti wanita murahan, Raka,” Nisa masih bernegosiasi, lelehan bening itu mengalir di pipi.
Nisa bukan meminta dikasihani, tapi dia memang tidak ingin terlihat seperti wanita yang kemana saja mau diperlakukan seperti itu oleh laki-laki. Bahkan sampai saat ini Nisa masih belum tahu bagaimana perasaan dia yang sebenarnya pada Leon.
Leon memang sudah mengambil apapun, tapi Nisa masih merasa, Leon adalah laki-laki kurang ajar juga mesum.
Melihat seperti itu, Raka mana tega melihat Nisa menangis. Dia tidak mungkin tega menyakiti hati gadis itu. Raka menarik pinggang Nisa dan memeluknya dengan erat.
“Kenapa Nis? Kenapa bukan aku yang bisa menyentuh hatimu. Apa aku masih kurang baik untuk kamu. Aku bahkan rela mengorbankan apapun untuk kamu, Nis. Seluruh duniaku sudah aku isi oleh dirimu. Sekarang, kalau kamu menolakku seperti ini, bagaimana aku harus menjalani duniaku.”
Raka tersedu. Dia menangis menumpahkan semua perasaan. Dia bukan laki-laki melankolis, tapi untuk gadis yang sangat berarti dan dia cintai, Raka rela menunjukkan sisi lemahnya.
“Huhuhu, tolong maafkan aku, Raka. Aku benar-benar minta maaf. Semua terjadi begitu saja dan aku juga nggak tahu harus memulai ceritanya dari mana. Aku benar-benar nggak mau membuat kamu terluka, Raka, aku mohon maafkan aku, Raka,” sama halnya seperti Raka, Nisa tidak bisa membendung lelehan bening yang terus mengalir dengan deras.
Nisa menangis histeris. Selayaknya melepaskan seseorang yang paling berharga di hidupnya. Dia tidak menyangka, kisahnya akan dimulai seperti ini ketika dia kembali ke kota kelahirannya.
“Aku mohon Nisa, tolong jangan perlakukan aku seperti ini. Setidaknya, berikan aku juga kesempatan yang sama. Aku bisa membuktikan cintaku Nisa, aku bisa melakukan apapun yang kamu inginkan,” Raka mengendurkan pelukan Nisa dan menyentuh kedua pipinya. Raka masih berharap kalau gadis itu memberikan dirinya kesempatan.
“Aku nggak layak untuk kamu, Raka. Aku bukan seseorang yang patut kamu perjuangkan seperti itu. Aku benar-benar nggak pantas mendapatkan ketulusan kamu yang seperti ini. Aku bukan lagi Nisa yang kamu kenal 5 tahun lalu, Raka. Aku mohon maafkan aku, Raka ….”
Seluruh air mata tumpah. Nisa tidak mungkin menyembunyikan apapun. Dengan seperti itu, Nisa yakin, Raka pasti mengerti kondisinya. Dia yakin, laki-laki baik itu memahami kondisinya.
“Aku yakin, Raka, suatu hari nanti pasti akan ada wanita yang baik menemani kamu. Dia pasti hanya tercipta untukmu, Raka. Aku mohon, maafkan aku, Raka ….”
Raka tersedu. Ia menghapus lelehan yang tak henti mengalir dari pelupuk mata Nisa. Dia benar-benar sedih dan kecewa, namun dibandingkan dengan semua itu, Raka lebih tidak ingin melihat Nisa bersedih.
“Kamu diracuni apa sih, Nisa? Kenapa kamu mudah sekali seperti ini? Apa dia memberikanmu makanan yang aneh-aneh? Uhm?” Meski getir, Raka mengusap kening dan menciumnya, Raka memeluknya lagi, dia mencoba menenangkan tangisan gadis itu.
Raka tidak ingin menerima semua, tapi dia lebih akan terluka jika Nisa bersedih.
“Apa itu dia yang terus menekan bel rumah mu?” Nisa mengangguk dalam dekapan Raka, menarik napasnya dan mencoba mengatur tangisnya yang sesegukan.
“Dia memberikan aku waktu 2 jam untuk berbicara dengan kamu,” lepas sudah Nisa berkata, tidak ada yang dia sembunyikan tentang Leon. Si laki-laki pemaksa.
Raka mengatur napasnya. Dia mencoba menurunkan emisi. Dia tidak boleh terlihat marah saat berhadapan dengan Leon.
“Pakai bajumu, tapi biarkan aku melihatnya untuk yang terakhir kali,” Raka meminta apapun yang belum pernah dia dapatkan, “atau setidaknya ….”
“Nggak boleh Raka, aku yakin kamu bukan laki-laki seperti itu. Raka yang aku kenal adalah Raka yang sangat baik dan sangat sangat menghormati wanita,” Nisa melepaskan perlahan pelukan Raka, dia membuka lemari dan menarik salah satu dress yang bisa langsung dia kenakan. Kemudian dia melepaskan boxer yang dipakainya.
“Kenalkan aku padanya, kamu nggak keberatan kan?” Nisa menatap sesaat, lalu dia mengangguk dan tersenyum menelan semua pedih yang juga dia rasakan. Kepedihan karena harus melepaskan orang baik seperti Raka. Nisa tidak ingin Raka menjadi sasaran kemarahan Leon.
“Ayo, kita buka pintunya,” ajak Nisa akan berjalan lebih dulu, tapi Raka menarik lengannya dan merapatkan jari-jarinya di jari Nisa.
“Setidaknya anggap saja ini salam perpisahan kita, Nis. Dan aku mohon, tetap hubungi aku, kapan saja, aku pasti akan selalu ada buat kamu, Nis,” Raka berbicara juga tersenyum getir. Nisa tahu, luka yang dia tinggalkan tidak akan mungkin sembuh dengan cepat.
Nisa pasti akan sangat kehilangan sosok Raka. Dia adalah laki-laki baik dan Nisa benar-benar berdoa agar dia bisa menemukan seorang gadis yang bisa mencintainya dengan tulus.
Nisa yakin, orang baik pasti akan selalu dipertemukan dengan orang baik juga. Hanya saja, Raka tidak sengaja bertemu dengan Nisa yang mempunyai masa lalu yang rumit. Ada bagian dalam diri Nisa yang dia lupakan.
Share this novel