Nisa terdiam saat mendengar pertanyaan dari Raka. Napasnya seolah berhenti mendadak. Dia juga tidak boleh membuat Raka makin terluka dengan kenyataan yang harus dia ketahui.
Nisa juga tidak boleh membohongi Raka. Saat ini detik ini, mereka bertemu memang untuk membicarakan masalah itu.
"Emm, sebentar ya, aku ganti baju dulu," yakin Nisa juga tidak nyaman dengan baju yang dipakainya. Apalagi bau dari baju itu sudah tercium aroma khas tubuh dari Leon. Mungkin aroma itu menyengat hingga tercium oleh hidung Raka.
Bukan Nisa ingin menghindari pertanyaan Raka, tapi dia harus mengatur perkataan yang tepat agar tidak membuat Raka makin terluka.
Tanpa banyak bicara Raka mengikuti Nisa ke kamarnya.
"Raka, kamu tunggu saja di luar. Aku nggak akan lama kok," Nisa berbalik, dia tetap nggak nyaman kalau Raka mengikutinya.
"Ada apa? Kenapa aku nggak boleh melihat apa yang pacar aku lakukan? Kamu kan hanya berganti baju. Kita ini sudah berhubungan hampir 4 tahun Nisa, tapi sepertinya kamu nggak pernah menjalankan tugas kamu sebagai pacar. Aku hanya bisa menggandeng tangan atau menatap wajah kamu saja kalau bicara, lainnya kamu nggak pernah mengizinkan aku," dengus Raka menatap Nisa dari ujung rambut hingga kaki. Entah kenapa Raka jadi terbawa suasana panas ketika melihat tanda tanda yang berbekas di leher Nisa.
"Kita kan sudah sepakat, Raka? Kamu nggak akan bertanya apapun dan kamu kan sudah tahu ala—,"
"Alasan apa? Aku nggak tahu? Atau itu hanya kamu saja yang sedang mencari alasan? Hmm? Kamu hanya nggak mau aku menyentuhmu kan? Apa yang kurang dariku, Nisa? Hemm?"
Langkah kaki Raka makin mendekat, seolah menuntut Nisa mempertanggung jawabkan apa yang sudah disepakati selama 5 tahun ini bersama Raka.
"Tu–Tunggu, Raka, bukan, bukan itu maksudnya, aku hanya nggak ingin kita melakukan kontak fisik hingga nantinya …," Nisa menunduk dan menggigit bibirnya, dia tahu, dia salah kalau menggunakan alibi ini sebagai tameng. Apalagi saat ini apa yang dia miliki sudah tidak ada.
Kehormatan yang dia jaga selama ini sudah di renggut oleh Leon. Tepatnya, saat ini malah secara tidak sadar Nisa menikmati apa yang dilakukan Leon dan tubuhnya secara sadar maupun tidak sadar sudah memberi akses penuh pada Leon.
"Kontak fisik katamu? Kamu nggak salah? Lalu ini apa? Semalam kamu nggak pulang dan pagi ini aku melihat ini di lehermu atau sebenarnya masih ada lagi tanda serupa yang seperti ini di tempat lainnya kan? Jawab jujur Nisa, masih ada dimana lagi tandanya?"
Tangan Raka menunjuk bekas kissmark Leon di leher Nisa. Laki-laki itu memang sengaja meninggalkan tandanya. Suaranya bernada keras dan penuh dengan tekanan.
"Bu–bukan seperti itu, Raka, kamu, kenapa kamu jadi seperti ini sih? Bukannya kamu juga sudah tahu keadaanku sejak awal, aku memang nggak berniat untuk berhubungan dengan siapapun karena aku merasa masih meninggalkan seseorang dari masa laluku dan orang itu aku benar-benar belum bisa mengingatnya."
"Haruskah aku mengungkit segalanya? Tolong jangan seperti ini, Raka. Aku tahu kamu sekarang hanya dalam keadaan marah dan nggak nyaman aja kan? Aku tahu kamu nggak seperti ini, Raka."
Nisa merasa sikap Raka pagi ini begitu over. Atau sebenarnya itu hanya perasaan yang Raka pendam. Dia hanya ingin mendapatkan sedikit tempat dan perhatian dari Nisa, tapi yang terjadi malah sebaliknya, Nisa terlalu cuek dan menganggap hubungan mereka hanya sebatas teman.
"Aku nggak mau kamu banyak alasan lagi, Nisa," Nisa terkejut saat tubuhnya sedikit terdorong ke dinding dan tatapan mata Raka berbeda dari biasanya.
"Kalau kamu bisa bebas dengan laki-laki itu semalam, kenapa aku juga nggak bisa. Aku selama ini sudah menahannya selama kita berhubungan dan nggak pernah menuntut apapun sama kamu," tangan Raka menarik pinggang Nisa ke dalam dekapan dan hidung mereka benar-benar tidak memiliki jarak.
Mau menghindar pun Nisa sulit, dia seolah di himpit oleh gelora Raka yang sudah dalam kondisi di batas kewajaran.
"Aku nggak pernah peduli dengan apapun yang kamu lakukan dengan dia semalam. Aku hanya ingin kamu bersikap adil. Apa yang dia dapatkan, hari ini kamu juga harus memberikannya padaku," desak Raka, nafasnya sudah menderu dan tidak bisa dikendarai.
Dia sudah seperti banteng lepas kandang yang siap melakukan pertempuran hingga akhir. Nggak akan mengalah sampai lawan menyerah.
"Ra–Raka, tolong kamu jang– ah umm," Nisa sudah tidak bisa mengendalikan lagi gejolak dalam diri Raka, saat lidahnya dililit oleh lidah Raka.
Raka sedang mengabsen setiap rongga mulut Nisa. Dia menarik, membelit dan bertukar air liurnya. Dia ingin mereguk setiap kehangatan yang tidak pernah dia rasakan selama ini. Raka sudah sangat cukup menahan dan dia mulai terbakar untuk menyentuh yang lain.
Tangan Raka tidak hanya berhenti disitu, dia menerobos masuk ke dalam kaos yang dipakai Nisa dan dia menyadari kalau Nisa hanya mengikat sesuatu untuk menutupi dua benda kenyal miliknya.
"Aku mau merasakan juga, aku nggak mau kamu menolaknya, aku mohon, kamu juga bersikap adil denganku, Nisa. Aku juga butuh perasaan seperti ini, aku juga ingin mendapatkan hak ku untuk dimanja oleh kamu," Raka tidak menghentikan sentuhan, dia mulai meremas dan sesekali memilin ujung pucuk benda kenyal milik Nisa.
"Ah umm!" Nisa menggeliat dan masih mencoba mengontrol dirinya.
"Nisa sadarlah. Kamu jangan gila. Kamu bukan wanita murahan," Nisa bergelut dengan perasaannya dan mencoba menghentikan tangan Raka yang tidak menghentikan sentuhannya.
Apalagi tiba-tiba saja telepon Nisa bergetar, membuat Raka hilang fokus dan juga penasaran dengan telepon yang memanggilnya.
"Raka, aku mohon, hentikan. Aku mau angkat telponnya," Nisa mendorong perlahan tubuh Raka dan mencoba menghindari tatapan matanya yang mengintimidasi.
"Siapa? Siapa yang kamu rahasiakan? Kita belum membahas masalah ini, Nisa," intonasi suara Raka berubah karena merasa kesenangannya terganggu oleh getaran telepon tersebut.
Raka maju dan terus memepet tubuh Nisa, dia tidak ingin kehilangan informasi. Baru kali ini selama beberapa tahun belakangan Raka tidak dapat mengontrol apapun tentang Nisa.
Nisa berbalik dan tidak jadi menjawab teleponnya, "Kita akan bicara, aku juga memang perlu berbicara dengan kamu. Tapi, aku mohon, keluarlah sebentar, aku akan berganti baju dulu," tangan Nisa menopang tubuh Raka saat laki laki itu mendorongnya semakin mendekat ke arah ranjang.
"Aku nggak mau keluar, aku mau disini. Aku mau bicara disini. Seperti apa yang kamu lakukan semalam, aku yakin kamu pasti mengerti maksudnya kan?" Raka menjadi keras kepala dan baru kali ini menolak permintaan Nisa.
Nisa menghela nafasnya, sepertinya tidak ada cara lagi untuk mengubah pendirian Raka yang sedang keras kepala.
Share this novel