“Sudah nggak usah banyak tanya kalau kamu mau apa yang kamu inginkan tadi berlanjut. Kalau kamu terus bertanya, lebih baik nggak sekalian!” Skakmat Leon dibuatnya mendengar perkataan dari Nisa.
“Nggak bisa gitu dong, sayang. Ini kan dia yang ngajakin aku ribut,” suara Leon kini melemah dan menurunkan kedua tangannya. Sikap berubah dari keras dan lembut ketika mendengar ancaman Nisa.
Leon tidak terima kalau permintaan lamaran dia ditangguhkan akibat ulah Aldo. Aldo memicingkan matanya pada Nisa, “Ada apa ini? Apa yang kalian rencanakan? Az, kita sudah sepakat malam ya,” Aldo tidak terima dan membuat kebimbangan diantara mereka lagi.
Nisa mengabaikan dan segera berbalik. Dia melihat kantong baju yang sudah disiapkan oleh Leon saat dia mandi tadi.
“Balik badan kalian!” Nisa memberikan perintah, kali ini setelah ingatan dia kembali, dia tidak mau jadi boneka diantara dua laki-laki itu.
Nisa sudah yakin mencintai Leon dan siap memilih Leon, tapi jika harus dihadapkan dengan kejadian seperti 5 tahun lalu, dia akan memilih untuk mundur.
“Tapi, sayang!”
“Tapi, Az!”
Mereka berbarengan bicara, “nggak usah macam-macam atau kalian aku pastikan setelah ini nggak akan pernah bisa ketemu aku lagi,” dengus Nisa, suaranya meninggi untuk mengancam kedua laki-laki itu. Nisa tidak boleh kalah.
Mau tidak mau mereka menuruti perkataan Nisa. Apalagi Leon, dia tidak ingin rencananya hari ini gagal oleh tingkah Aldo.
“Jadi, Az, Kamu tetap nggak akan ingkar janji kita semalam kan?” Aldo berbicara lebih dulu sambil bersikap sama seperti Leon. Berbalik badan ketika Nisa memakai bajunya.
“Itu hal yang berbeda,“ Nisa dengan segera mengenakan baju dan melewati mereka berdua.
“Nggak bisa gitu dong, Az, kamu sudah janji!” Aldo menarik tangan Nisa dan menghentikan langkahnya.
“Jangan pegang-pegang, dia pacar gue!” Leon tidak terima dan menepis tangan Aldo yang menarik tangan Nisa. Tatapan mereka kembali saling sinis.
“Apa Lo? Lo nantangin gue lagi, Leon. Kali ini gue nggak akan ngalah!”
“Siapa bilang Lo suruh ngalah. Gue bilang lepasin tangan pacar gue.” Rahang Leon mengeras dan sama sekali tidak mau mengalah.
Nisa menghela napasnya, “Apa mungkin lebih baik aku nggak ingat keduanya. Kalau seperti ini, aku menikah pun nggak akan menyelesaikan masalah. Aldo mulai lagi keras kepalanya. Leon juga nggak akan mengalah, kalau begini terus nggak akan ada jalannya,” Nisa memaki dirinya sendiri dalam hati. Dia benar-benar terlihat seperti orang bodoh untuk kedua kalinya. Dia tetap menjadi bahan pertarungan dua sahabat.
Lalu Nisa berbalik, dia bertekad mengakhiri segalanya meski taruhannya sangat besar.
“Stop, Al. Sudah nggak usah mulai lagi kelakuan kamu itu. Aku akan segera menikah dengan Leon dan aku berharap seperti kamu yang sudah pernah menjalani kehidupan pernikahan, kamu bisa merelakan aku,” kata Nisa, tatapannya hanya tertuju untuk Aldo.
Nisa harus bisa mengakhiri godaan mantan pacar dan cinta pertamanya itu. Dia tidak boleh terbelenggu dan terjerumus dalam hal yang tidak pasti. Dia harus membuka lembaran baru dan Nisa juga berhak untuk bahagia.
Leon menoleh pada Nisa, dia terkejut mendengar ucapan Nisa. Dia benar-benar tidak menyangka kalau gadis pujaannya akan mengambil keputusan dengan cepat. Dan itu adalah Nisa menerima lamarannya.
“Nggak. Aku nggak terima, aku sudah bilang, aku sangat mencintaimu. Dari dulu hingga sekarang. Jadi, kamu nggak ada alasan menolak ku seperti ini,” Aldo tidak mau menerima kenyataan kalau dia sudah kalah telak dari Leon.
Aldo sudah lama tergantikan. Sejak kehadiran Leon dalam hidup Nisa, gadis itu sudah menyerahkan sepenuhnya hati untuk seorang Leon. Hanya saja, dengan segala upaya terakhir Aldo tetap ingin Nisa kembali dalam hidupnya. Leon tidak marah lagi. Setelah ucapan Nisa, suasana hatinya berubah bahagia.
“Udahlah, bro, relain. Emang mau sampai kapan kita begini. Lo mau menghancurkan persahabatan kita? Hah?” kata Leon, dia benar-benar berpikir seperti Nisa. Ingin mengakhiri segalanya dan menghapus segala kenangan buruknya.
Apa yang sudah Nisa lalui, Leon yakin itu bukan hal mudah. Dia bukan sengaja bersembunyi atau melarikan diri seperti dugaan Leon selama ini. Kondisi Nisa saat ini memang tidak bisa untuk menemuinya.
Bahkan ketika dia yakin gadisnya sudah di hadapan, tetap saja, Leon seperti merasa frustasi dan benci pada gadisnya yang tidak mengenal dirinya. Maka dari itu, meskipun kali ini akhirnya Nisa bisa mengingat dan cinta tulusnya yang menang.
Namun, jika dia harus mengakhiri dengan persahabatan yang sudah dibina, Leon akan mempertimbangkan kembali.
“Cih, elo enak ngomong begitu. Elo yang dipilih Azni, bukan gue. Kalau sekarang ada di posisi gue, Lo nggak akan mungkin akan ngomong kayak begitu kan?” Aldo sedikit meninggikan suaranya. Dia terbawa emosi dan terbakar cemburu.
“Nggak gitu, Aldo, kalau sekarang Lo minta Azni, gue rela. Gue nggak mau kita berantem karena cewek lagi. Udah cukup sekali gue kehilangan orang yang gue cinta. Sekarang gue nggak akan mau kehilangan sahabat gue, Al,” Aldo menoleh begitupun Nisa.
Nisa tidak menyangka kalau Leon akan mengatakan hal yang luar biasa. Dia benar-benar tidak percaya kalau dengan kondisi terjepit seperti ini Leon malah lebih bisa berbesar hati ketimbang Aldo yang terus menerus memaksa juga bersikap egois.
Nisa tersadar, apapun yang terjadi pada dirinya dengan Leon, melihat sikap Leon kali ini, dia mengerti. Kalau saja sejak dulu Leon atau Aldo tidak terbawa emosi dan berpikir dengan kepala dingin, semua hal buruk tidak akan terjadi pada dirinya.
Mungkin saja, jika dia tidak ikut ke pesta Natasya karena ajakan Leon, hal buruk tidak akan menimpa dirinya. Dia tidak harus di dorong ke dalam kolam dan harus dilarikan ke rumah sakit. Ketika sadar, karena menghawatirkan dirinya ayah dan adiknya tidak mungkin mengalami kecelakaan.
Lalu dia tidak harus kehilangan banyak harta untuk membiayai dirinya. Kemudian sang ibu pun tidak perlu mengalami musibah hingga menyebabkan dia berada di rumah sakit.
“Tante Nisa,” suara Nata akhirnya memecah suasana mencekam itu.
Nisa melihat gadis kecil tidak berdosa itu berdiri di ambang pintu dengan tatapan kosong. Hatinya pasti masih sangat kehilangan Sofia. Di saat gadis kecil itu tulus merasakan kehilangan, mereka para orang dewasa malah bertikai untuk masalah cinta. Nisa seperti tertampar. Gadis itu menyadarkan semua.
“Aku lelah main petak umpet. Kita akhiri saja. Kalau memang Leon bisa merelakan aku, aku terima dengan catatan aku nggak mau kembali lagi dengan Aldo. Aku akan menganggap apa yang terjadi dengan aku dan Leon sebagai kisahku. Aku nggak akan menuntut apapun pada kamu, Leon,” meski hati Leon terasa sakit mendengar ucapan Nisa. Dia harus benar-benar berlapang dada. Dia harus merelakan, daripada persahabatan hancur.
“Aku hanya meminta, setelah ini, kita nggak perlu lagi ketemu. Kita akan jalani hidup masing-masing dan nggak perlu saling mengganggu. Dan untuk kamu, Aldo …,” Nisa menatap tajam wajah mantan pacar juga cinta pertamanya.
Dia adalah orang yang pernah sangat Nisa cintai. Nisa bahkan tetap menginginkan kembali padanya setelah putus, tapi keadaan sekarang berbeda setelah semua hal yang terjadi pada Nisa.
“Kalau kamu nggak mau Nata, aku, bersedia menjadi ibu pengganti untuk dirinya,” Nisa berjalan mendekati Nata dan menariknya dalam pelukan.
Nisa tidak ingin ada masa buruk atau trauma yang dihadapi gadis kecil itu setelah dia tahu kalau dia anak adopsi dan hanya dijadikan alat keluarga pelengkap dari Aldo. Nisa tidak ingin gadis itu tumbuh menjadi anak kurang kasih sayang.
Aldo tersenyum, dia merasa menang setelah Nisa memutuskan untuk menjadi ibu pengganti Nata,”Aku nggak bilang akan menikah dengan kamu ya, aku hanya bilang akan menjadi ibu untuknya. Menjadi ibu, nggak pernah menikah kan?” Senyuman Aldo seketika runtuh, dia benar-benar sudah kalah telak dengan penolakan Nisa berkali-kali.
Nisa merasa ini adalah hukuman yang setimpal untuk laki-laki yang mempermainkan ketulusan hati seseorang. Nisa sangat merasa bersalah pada Sofia kalau selama menjalani pernikahan dengan Aldo, Sofia pasti sangat menderita. Dia terlihat bahagia di depan dirinya, namun menyimpan luka yang sangat dalam.
Leon takjub dengan keputusan Nisa. Bahkan, saat ini hatinya yang sakit sedikit terobati. Meski Leon tidak mengetahui apa yang dibicarakan Aldo semalam, melihat ekspresi Nisa, dia sudah dapat memastikan kalau gadisnya sangat terluka oleh perkataan Aldo semalam.
“Anggap saja ini hukuman buat kamu, Aldo. Introspeksi diri dan hargailah perasaan seseorang yang benar-benar tulus mencintai kamu. Karena kamu nggak akan pernah mendapatkan cinta yang sama meskipun kamu sudah berganti dengan pasangan lain. Dia pernah ada, meski kamu menyakiti. Dia tetap tulus meski kamu mengabaikan. Sadarlah, Aldo, nggak selamanya cinta yang kamu paksakan akan berakhir bahagia.”
“Jadilah laki-laki sejati bukan seorang pecundang dan pengecut. Kamu sudah lama kehilangan aku dan mesk apapun yang kamu lakukan padaku, semua itu nggak akan merubah segalanya. Hubungan kita sudah lama berakhir dan kita sudah lama putus. Kamu yang meninggalkan aku, Aldo. Itu kenyataan yang nggak mungkin kamu rubah.”
Aldo terdiam. Dia seperti tertusuk ribuan pedang dan tamparan ratusan kali. Perkataan Nisa sudah menyadarkan keegoisannya.
“Minta maaflah yang benar di makam Sofia. Untuk sementara, Nata akan tinggal bersama denganku. Aku nggak akan membiarkan Nata sendirian disini,” kata Nisa meminta izin sekaligus berpamitan.
Kemudian Nisa berjongkok di hadapan gadis kecil itu, “Nata mau kan tinggal sama Tante Nisa? Uhm?” Nisa memegangi pipi Nata dan menatap sendu matanya.
Gadis itu tidak memberikan jawaban dengan kata-kata, dia mengangguk dan memeluk Nisa, “Oke, sekarang kita pulang sama Tante ya. Kita akan mampir beli boneka dan ice cream dulu ya,” suara Nisa penuh haru, dia tidak menyangka kalau akan mudah mendapatkan kasih sayang dari Nata, padahal mereka baru sekali bertemu.
“Aku akan mengantarmu, Az,” suara bariton Leon menghamburkan suasana haru mereka. Nisa menatap Leon, “aku nggak akan memaksa lagi, seperti kata aku tadi, aku nggak akan memperebutkan kamu kalau harus mempertaruhkan persahabatanku,” meski terdengar terlalu cepat, tapi perkataan Leon benar-benar melegakan hatinya.
“Aku juga sudah memindahkan ibumu. Aku yakin sekarang dia sudah lebih baik karena maaf, aku sudah melakukan operasi tanpa persetujuan darimu. Tadinya aku mau memberikan ini sebagai kejutan saat kamu sepenuhnya menerimaku,” Nisa lagi-lagi terkejut dengan perkataan Leon. Air matanya mengalir begitu saja.
“Terima kasih banyak, Leon, kamu benar-benar baik padaku,” Nisa merasa pernah salah memilih seseorang, tapi setelah bertemu dengan Leon semua hal itu berubah menjadi hal yang lebih baik.
Leon tidak menjawab, hanya mengulurkan kedua tangannya. Perlahan Nisa menerima uluran tangannya, kemudian Nata juga menyambut uluran tangan itu.
“Kita akan beli ice strawberry dengan ekstra topping strawberry juga coklat. Paman yakin, Nata pasti suka itu,” kata Leon, perkataan sudah mirip seperti seorang ayah yang sedang mengajak putri kecilnya.
Nata tersenyum dan mengangguk pelan. Gadis kecil itu menggenggam erat kedua tangan orang yang mencintainya dengan tulus. Setidaknya Nisa bisa merasakan perasaan yang ingin dia rasakan, memiliki keluarga utuh dan bahagia. Meskipun bukan dalam artian keluarga sebenarnya, tapi ini sudah sangat berarti untuk dirinya memulai hidup yang baru.
Aldo dengan segala penyesalan hanya bisa melihat punggung mereka pergi semakin menjauh darinya. Dengan segala keegoisannya, dia bahkan lupa kalau selama ini Nata juga sudah menghiasi hari-harinya. Aldo rela melepaskan itu hanya agar bisa kembali dengan Nisa.
Tidak ada yang kekal dengan kebahagiaan yang dipaksakan. Karena semua yang dipaksa, hanya akan berakhir dengan kesedihan. Merelakan seperti itu, meski sakit, tapi dia bisa belajar untuk menghargai ketulusan hati seseorang.
-Tamat-
Share this novel