“Jangan gila!” Spontan Nisa makin kesal dan memukul dada Leon.
“Hahahaha!” Nisa tergelak dan mendorong sedikit tubuhnya.
“Argh, nggak tau ah!” Nisa keki dan membalikkan tubuhnya, dia benar-benar malu.
“Jangan-jangan dulu aku yang sering minta duluan lagi. Aku yang nuduh dia mesum, padahal aku lagi,” batin Nisa, dia malu dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Nisa merasakan kedua tangan Leon melingkar di pinggang dan menariknya, “Aku suka, apapun sikapmu. Seperti barusan pun aku tetap suka. Aku sudah lama sekali nggak melihat kamu marah, Az, aku rindu saat-saat itu. Cepatlah kembali seperti Azniku yang dulu, sayang,” Nisa mendengarkan. Dia sedikit terenyuh mendengar ucapan Leon.
Anehnya, Nisa sama sekali tidak kesal mendengar ucapan itu atau berusaha menolak seperti sebelumnya. Nisa merasa memang pernah ada hubungan di antara mereka yang sudah Nisa lewatkan.
“Kenapa? Kenapa hanya dia yang nggak aku ingat? Ada apa sebenarnya?” batin Nisa, lalu Nisa mengendurkan dekapan Leon, kali ini Leon hanya mengikuti seperti serigala jinak.
“Tuan, makanan Nyonya,” suara Bisma dari balik pintu dan tentu saja Nisa langsung bangkit tanpa pemberitahuan.
Leon mengikuti dari belakang, namun dia tersadar kalau kekasihnya belum mengenakan pakaian lengkap.
“Wait, Wait, Az,” Nisa pun tidak keberatan kalau dia dipanggil dengan nama belakangnya, “jangan buka pintunya dulu,” kata Leon meraih tangan Nisa sebelum dia benar-benar membuka pintu, Nisa menoleh, “Kenapa?” Nisa mengerutkan kening karena perutnya sudah kelaparan apalagi barusan sudah melakukan pertempuran bersama Leon.
Leon menunjukkan kain berenda milik Nisa yang tadi dia lepaskan dan dimasukkan ke kantong celananya, “Ya ampun!” Nisa membekap mulutnya dan segera mengambil kain penutup miliknya. Dengan cepat dia memakai tanpa banyak bicara.
“Padahal aku masih mau lagi,” goda Leon sambil meraih pinggang Nisa ketika dia sedang memakai kain berenda miliknya.
“Nggak. Nggak boleh. Udah cukup tadi,” dengus Nisa, meronta dan mencoba melepaskan dekapan Leon.
“Tapi kan kita belum ngobrol dari hati ke hati, Az, aku benar-benar ingin ngobrol berduaan sama kamu,” sepertinya sekarang Leon sudah melepaskan topengnya sebagai seorang CEO perusahaan yang terkenal killer dan dingin di hadapan Nisa.
“Nggak usah alasan, aku lapar,” Nisa berhasil melepaskan pelukan Leon dan segera membuka pintunya.
“Nyonya Nisa, makanan anda sudah disiapkan di meja,” kata Bisma saat Nisa dan tuannya membuka pintu.
“Kau mengganggu kesenanganku, Bisma!” dengus Leon dengan rahangnya mengeras saat menatap Bisma.
“Maaf, Tuan, saya pikir ini juga penting,” Bisma menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kali ini memang sikap tuannya berbeda sejak kehadiran Nisa.
“Hah, sudahlah!” Leon mengibaskan tangan dan mengikuti Nisa yang berlari lebih dulu meninggalkannya.
“Pelan-pelan, Azni, jangan lari,” kata Leon yang makin overprotektif saat bersama dengan Nisa.
Nisa berlari turun dan dia masih mendapati Aldo berdiri di bawah tangga. Dilihatnya, penjagaan Leon benar-benar ketat, tidak membiarkan Aldo untuk naik.
“Kita makan bersama saja, Al. Sudah lama kita nggak makan bareng,” kata Nisa yang mau tidak mau mulai membiasakan diri. Baginya sudah tidak ada gunanya melarikan diri dari Leon, dia juga tidak ingin mencari masalah dan yang lebih penting dari apapun, mungkin saja jika dia dekat dengan Leon, semua kenangan yang hilang dengan Leon akan kembali.
Nisa mendekat, selangkah lagi tangan akan meraih lengan Aldo, tiba-tiba saja Leon menarik pinggang Nisa.
“Makan boleh, tapi kamu nggak usah pakai physical touch deh,” Leon mulai cemburu lagi dengan Aldo.
“Yaelah, Leon, elo segitunya. Gue nggak bakal ngapa-ngapain kok,” Aldo harus maklum dan dia segera mengekor di belakang Leon dan Nisa ke meja makan.
“Sstt! Diam. Nggak usah banyak cicit Lo! Kalo nggak senang, sadar dirilah, sana pulang urus bini sama anak Lo. Nggak usah ganggu kesenangan gue,” kata Leon masih berkata sensitif pada Aldo.
“Nggak gitu dong, Leon, gue juga punya hak buat ngobrol ama dia!” Aldo masih tidak mau kalah.
“Hak? Hak apaan? Nggak usah ngarang!”
“Adalah. Hak penuh gue sebagai mantan pacarnya.”
“Begitu aja Lo bangga, cih. Cuma mantan, Aldo. Mantan, apaan yang dibanggain?”
“Banggalah, setidaknya gue yang lebih dulu. Gue yang duluan. Dan elo tetep kalah dari gue, Leon. Elo bukan cinta pertama Azni.”
“Cinta pertama. Cih, Lo tau pepatah kan? Cinta pertama itu biasanya dilupakan. Nggak mungkin diingat dan kebanyakan cinta pertama itu nggak akan bersatu. Sadar dirilah. Sana pergi.”
Nisa hanya bisa duduk sambil menikmati spaghetti dan ice cream yang sudah dipesankan Aldo. Di hadapannya, dia melihat bayangan yang tidak asing. Leon dan Aldo sedang berperang mulut lagi.
Entah kenapa, Nisa merasa, kalau perasaan spesial seperti ini pernah dia rasakan. Dan peperangan mulut antara Leon dan Aldo sepertinya memang sudah pernah terjadi.
Bahkan tiba-tiba saja Nisa tersedak dan menjatuhkan garpu nya. Dia berdiri dan bangku lalu kedua laki-laki itu menoleh pada Nisa.
“Ada apa, Az?” Kompak keduanya menghampiri Nisa.
Namun, belum sempat Nisa membuka suara, ponsel dalam saku Aldo bergetar dengan kencang. Aldo memberikan kode jangan bersuara karena yang menelepon Sofia.
“Iya sayang, ada apa? Kok tumben kamu telepon?” ucap Aldo dengan wajah berseri. Tidak bisa dibohongi kalau Aldo benar-benar senang mendapatkan telepon dari istrinya.
“Selamat siang, maaf saya dari pihak rumah sakit, ingin mengabarkan kalau istri anda sekarang berada di rumah sakit ….”
Aldo tiba-tiba saja nge-bug. Sepertinya komputer yang loading dengan jaringan 2G. Dia tidak pernah seperti itu. Mulutnya langsung terkatup rapat, wajah berserinya lenyap seperti terhempas badai yang menghantamnya.
Aldo sangat yakin istrinya baik dan sehat. Tidak pernah ada gejala apapun atau sakit. Dia selalu terlihat cantik dan luar biasa sehatnya, sampai Aldo tidak percaya dengan telepon barusan.
Aldo berbalik dan langsung melesat pergi tanpa berpamitan dengan Leon dan Nisa. Padahal beberapa detik lalu mereka masih berperang mulut. Dia seperti tidak peduli dengan apapun, yang Aldo inginkan sekarang, mengetahui keadaan istrinya, Sofia.
Nisa pun menyadari ada hal buruk yang terjadi. Namun, dia hanya bisa menatap kepergian Aldo melalui punggungnya.
“Tenanglah, dia pasti akan memberi kabar kalau sudah lebih baik. Kamu pasti tahu Aldo kan?” Leon pun menyadari tatapan Nisa dan segera memberikan pelukan meskipun mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Nisa yakin dari gerakan yang ditujukan Aldo tadi, itu bukan hal yang baik. Sesuatu pasti sedang terjadi dan Nisa hanya berharap, apapun itu, apapun yang menyangkut kehidupan mantan pacarnya, Nisa tahu, Aldo adalah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab.
Nisa berharap, dia, Sofia selalu dilindungi dari segala musibah dan tetap baik-baik saja.
Share this novel