Putuskan Hubunganmu

Romance Completed 22834

Nisa membuka matanya, sedikit takjub dengan pemandangan yang dia lihat. Sosok menyebalkan dan membuatnya seperti hidup dalam penjara padahal mereka baru saja bertemu. Kini dia ada di pelupuk mata Nisa.

Cahaya sinar matahari pagi menembus gorden berwarna putih. Warna kekuningan itu seperti hangat pelukan seorang ibu. Nisa mencoba bergerak, namun tubuhnya kini sedang berada dalam lingkaran tangan besar milik Leon.

"Kamu beneran sudah tidak waras Nisa, bagaimana bisa kamu melakukannya berkali-kali dengan laki-laki bejat dan mesum ini. Gilanya tubuhmu malah gak menolaknya," semburat wajah kemerahan mengalir seperti aliran darahnya yang datang dengan tiba tiba.

Deru nafasnya mengalir dan dia hampir saja melompat karena malu. Malu pada diri sendiri, apalagi saat ini dia merasa seperti wanita murahan.

Berkali-kali dia memaki dirinya, tetap saja, dia tidak bisa mengubah apapun. Yang terjadi sudah menjadi bubur dan alhasil dia benar-benar menikmati. Dan dia memberanikan diri menatap sosok menyebalkan itu, semakin dia lihat, dia merasakan desiran yang berbeda.

Seperti ada sengatan listrik yang mengalir. Semakin di tatap efeknya seperti bertambah ribuan volt.

"Aaaarrgghh! Nisa kamu gila. Gila, nggak mungkin kan kamu suka dia. Dia ini orang gila, mesum, perusak dan pemberi efek buruk buat kamu," kembali batin Nisa berteriak dan memaki. Dia seperti sudah kehilangan akal sehatnya.

Nisa menggeleng kuat, "Cepat pulang ke rumah Nisa, kamu harus bisa membujuknya," lagi dan lagi Nisa merasa otaknya makin konslet, bagaimana bisa orang yang dianggapnya biang pembawa masalah, laki-laki gila yang tidak punya otak sekarang dia malah diam-diam mengagumi.

"Tapi, kenapa saat tidur wajahnya malah seperti malaikat sih, sebel deh," lagi dan lagi Nisa mengumpat, dia sudah tidak bisa mengontrol pikiran dan hatinya di pagi yang menyesakkan ini.

Namun, saat dia bergerak perlahan Leon membuka matanya, "Kamu sudah bangun?" Leon malah menarik tubuhnya makin dalam dekapan.

"I–iya, aku sudah bangun dan aku sangat lapar sekali," Nisa segera memalingkan wajah dan berusaha mengontrol dirinya. Dia akan menjadi gila karena sikap Leon jika dia masih meladeni.

"Hari ini nggak usah ke kantor, kita akan mengurus barang-barang kamu," Leon menyibak selimut perlahan dan melepaskan dekapannya.

Nisa ingin sekali melompat, namun tangannya ditarik Leon.

"Mau sarapan apa, Nis?" Leon berkata dengan lembut tidak seperti sebelumnya, seperti seekor serigala yang sudah jinak.

"Nggak perlu, aku mau mandi dan sarapan bubur ayam dekat rumahku. Kalau kamu bilang nggak usah ke kantor berarti aku nggak ada kerjaan kan. Aku mau beberes rumah saja. Aslinya rumahku masih berantakan," Nisa sedang berbicara tapi Leon malah sedang sibuk sendiri menyusuri leher Nisa.

"Tidak usah memancingku. Aku sudah katakan kamu akan tinggal disini dan semua barangmu akan dipindahkan. Itu tidak akan berubah, jadi tidak perlu berusaha keras membujukku lagi,* meski perkaranya pelan, tetap saja atmosfer terasa mencekik leher Nisa.

"Aku mohon jangan seperti itu, aku nggak akan kemana-mana. Aku hanya ingin kembali ke rumah dan hidup secara normal. Kalau kamu memenjarakan aku seperti ini, aku hanya takut perkataan orang-orang akan membuat citra buruk. Bukannya kamu adalah seorang pemimpin perusahaan, kalau memiliki hubungan yang nggak jelas denganku, mana bisa perusahaan kamu berjalan dengan baik," alasan apapun Nisa harus gunakan. Dia hanya ingin pulang.

"Kamu sedang membujuk atau menyuruhku menjauh, hah? Keduanya tidak akan aku lakukan. Sekarang bangun dan mandilah. Aku akan menyiapkan sarapan untuk kamu," Leon melepaskan pelukannya dan bangkit dari ranjang.

Keluar kamar dan dia benar-benar menyiapkan sarapan khusus untuk Nisa. Nisa melirik ponselnya yang tidak jauh dari ranjang dan ternyata Leon mematikan ponselnya.

"Dasar laki-laki jahat, dia bahkan cemburu dengan ponselku," gerutu Nisa, dia menyalahkan kembali ponselnya.

Baru beberapa detik ponsel menyala, puluhan pesan dan panggilan tidak terjawab masuk satu persatu. Panggilan dari Raka tentunya, dia pasti sangat mencemaskan Nisa yang tidak memberikan kabar.

"Benar-benar Raka, bagaimana ini? Dia pasti khawatir padamu, Nis," Nisa bergelut dengan pikirannya, dia hanya ingin bisa menjelaskan apa yang terjadi semalam.

Nisa yakin Raka pasti akan bertanya kenapa semalam dia menangis seperti itu. Tapi si bodoh Nisa saat ini malah berada dalam jebakan laki-laki yang telah menodainya.

"Dasar Nisa bodoh, bodoh," Nisa sedang merutuki kebodohannya dan memukuli kepalanya saat ponselnya bergetar dalam panggilan masuk Raka.

Mau tidak diangkat akan dipertanyakan kalau diangkat akan menambah masalahnya, jadi Nisa membawa ponselnya ke kamar mandi. Dia memilih tidak menjawab sementara sambil otaknya berpikir agar dia bisa tetap mencari cara pulang ke rumah.

Nisa mandi dengan cepat, dia harus segera kembali ke rumah. Dia memilih kaos dan bawahan yang bisa digunakan meskipun dia tidak mengenakan kain penutup untuk dua benda kenyal juga belahan bibir bawahnya.

Bugh!

Nisa terkejut saat dia selesai berpakaian dan dia baru saja akan membalas pesan Raka malah tertabrak sesuatu. Bukan sesuatu, itu sudah sangat jelas, Leon berdiri di hadapannya dengan tatapan bengis ke arah ponsel Nisa.

"Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat serius?" Auranya sudah berada seperti di medan perang.

"Ah, itu, bisakah aku kembali mengambil barangku sendiri, emm maksudnya aku saja yang mengambil barang-barangku," gugup sudah bercampur aduk, Nisa sudah sulit menjelaskan. Lidahnya seperti tercekat apalagi wajahnya sudah terlihat panas dingin ketika menatap Leon.

"Apa dia menghubungimu lagi?"

Degh!

Pertanyaan yang langsung membakar tubuh Nisa. Dia seperti diberikan bom bunuh diri.

"Apa? Siapa?" Nisa ingin berpura-pura, tapi wajahnya memang tidak diciptakan untuk berbohong.

"Apa perlu aku yang membalas semua pesan atau panggilan dalam teleponmu itu?"

Dan dor dor dor. Sekali lagi Nisa mendapatkan tembakan bunuh diri. Dia seperti mati berkali kali karena sikap posesif Leon yang sudah terbakar api cemburu.

Nisa membisu. Sepertinya laki-laki di depannya tidak akan mungkin bisa diajak bernegosiasi ataupun berbicara. Dia laki laki dengan prinsip kokoh dan tidak akan mudah digoyahkan.

Akhirnya, Nisa menghela nafas panjang dan memutuskan untuk berkata sebenarnya.

"Nggak perlu. Aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Yang harus kamu tahu, dia adalah orang terpenting dalam hidupku. Selama 5 tahun ini dia sudah menjaga dan memberikan perlindungan untukku. Aku nggak bisa gitu aja pergi tanpa berbicara dengan dirinya."

"Dia pasti akan sangat mencemaskan ku. Baginya, aku adalah yang paling berharga dan karena itu aku nggak akan membiarkan kamu ikut campur dan merusak hubungan dengannya."

Nisa menjawab dengan lantang. Dia tidak mungkin mundur apalagi menyangkut Raka. Selama ini Raka sudah banyak membantu dan baik padanya.

"Aku nggak peduli. Yang aku mau, putuskan hubunganmu dengan dia sekarang juga!" 

Sarkas Leon memberikan keputusan. Sejenak tadi tangannya terkepal dengan kuat ketika Nisa memuji Raka. Leon merasa seperti laki-laki yang tidak berguna, dia tidak bisa menjaga dan melindungi Nisa 5 tahun belakangan ini.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience