Leon terus saja bersiul dan berseri setelah dia lebih dulu rapih memakai bajunya. Bisma masuk ke ruangan tuannya setelah dua jam. Dia menunggu di depan pintu sambil membawa masuk satu paper bag.
"Kau membeli ukuran yang kuminta kan?" Leon berkata dengan wajahnya yang terus tersenyum saat menerima paper bag yang diberikan Bisma.
"Sesuai yang Tuan minta dan Tuan memintaku untuk membelikan gaun tertutup pada bagian leher." Leon melirik Bisma.
"Kosongkan jadwalku hari ini, aku tidak ingin di ganggu!” perintah Leon lagi lalu dia menekan tombol rahasia sambil terus senyam senyum sendiri.
"Hah, tadi pagi kebakaran jenggot. Sekarang senyum-senyum sendiri. Benar-benar sulit di tebak."
Bisma menggeleng lagi sambil melihat kondisi ruangan berantakan dengan pakaian Leon yang tercecer di lantai.
"Ahh, pantas saja." Bisma memahami kegilaan tuannya.
Pintu terbuka, Nisa langsung bersembunyi di belakang tubuh Leon dengan selimut membungkus tubuh polosnya. Malu. Leon memberikan baju gantinya dan membawa Nisa keluar dari ruangan yang ditutupi tadi oleh Leon.
"Aduh ... Nisa, baru beberapa jam saja kau sudah membuat ulah. Sekarang, bagaimananya caranya kamu bisa pergi darinya."
Nisa merutuki kesialannya hari ini. Leon menarik pinggang Nisa hingga dia bebas memeluk pinggangnya dari belakang.
"Hih, apa sih peluk—peluk segala, bikin risih saja."
Nisa mencoba menepis, namun semakin dia tepis, tangan Leon semakin erat memeluknya. Seperti tidak ingin ditinggalkan.
"Dia itu Bisma, orang kepercayaanku. Mulai hari ini, kapanpun kamu membutuhkan sesuatu, kau bisa langsung katakan padanya!" Leon bergelayut manja di pundak Nisa.
"Ah, iya, Pak Bisma, halo, saya Nisa!" Nisa mengulurkan tangannya. Canggung untuk berkenalan, Bisma baru saja akan mengulurkan tangannya.
"Ehem!" kode keras dari tuannya agar Bisma menarik tangannya kembali.
"Saya, Bisma asisten pribadi Tuan Leon, Nona Nisa tak perlu sungkan, panggil saja Bisma!"
"Asisten pribadi katanya, lalu aku apa? Kenapa dia masih membutuhkan seorang sekretaris kalau sudah ada asisten pribadi."
Omel Nisa dalam hati setelah tahu semua kebohongan yang dirancang oleh Leon. Pastinya Nisa sudah dapat menebak kalau dia bisa seperti ini, rencananya Leon pasti sudah ikut andil.
"Apa yang kau lamun kan? Dan sejak kapan kau merubah nama panggilanmu?" Leon menarik hidung Nisa yang terlihat melamun. Nisa menautkan alisnya.
"Bagaimana dia bisa tahu? Emangnya dia kenal aku?" Herannya Nisa menautkan kening membuat Leon menyadari kalau Nisa sedang tidak berpura-pura.
Leon meraih gelas air yang ada di atas mejanya, "Minumlah, kau pasti haus. Makanannya berapa lama lagi, Bisma?" setelah memberikan gelas, dia mendelikkan matanya pada Bisma.
Belum sempat Bisma menjawab suara ketukan langsung membuyarkan pembicaraan mereka. Bisma membukakan pintu, seorang kurir pengantar makanan sudah berada di ambang pintu. Dia membawa masuk beberapa paper bag makanan yang sudah di pesannya dan meletakkannya di meja.
"Ini pesanan anda, Tuan!"
"Berikan kunci mobilku dan kau bisa pulang untuk istirahat!" Bisma hampir tidak percaya, Tuannya yang setiap hari bekerja tanpa henti kini menyuruhnya untuk pulang.
"Pu–pulang? Anda serius, Tuan? Anda sedang tidak main main kan?" Ini adalah momentum bersejarah bagi Bisma tuannya mengusirnya pulang.
"Uhm, tinggalkan kuncinya di meja kerjaku!" perintahnya lagi.
"Baik, Tuan!" Bisma mendekati meja Tuannya dan menaruh salah satu kunci mobil miliknya. Kali ini tidak lagi ada pertanyaan yang dikeluarkan.
"Kemarilah!' Leon menarik tangan Nisa yang masih ling-lung. Dia membawanya kembali di sofa yang membawa pengalaman buruk bagi Nisa.
"Besok akan aku ganti, duduklah!" Leon menyadari ke-enggan-an dari wajah Nisa.
"Maaf, Tuan Leon, saya harus mulai bekerja dari mana?" Nisa tak ingin basa-basi agar hari ini dapat segera berlalu.
Leon melipat kedua tangannya di dada memicingkan matanya dengan tajam pada Nisa, "Kalau kamu tidak duduk, aku akan melakukannya lagi, disini!" ancam Leon. Nisa tersentak langsung melompat duduk di sampingnya.
"Ck, ck, ck. Apa aku harus terus mengancamnya baru dia menurut."
Leon membuka satu demi satu makanan yang sudah di pesannya. Nisa melihat dengan jelas makanan yang sudah tersedia di atas meja.
Nisa memberanikan diri menatap wajah Leon, "Bagaimana Tuan bisa tahu makanan kesukaan saya? Setahu saya, saya belum pernah memberitahu apapun soal makanan kesukaan saya!" Nisa masih berbicara dengan formal terhadap Leon. Dia kembali menatap wajah Nisa, polos tanpa kebohongan.
"Apa dia benar-benar lupa denganku? Kamu kenapa, sayang?"
Leon enggan menanggapi, dia benar-benar yakin kali ini, Nisa sedang tidak pura pura lupa mengenalnya.
"Kita bicara setelah makan, ayo buka mulutmu, aa'!" Leon mengambil salah satu makanan, mendekatkan ke mulut Nisa.
Nisa mau mengambil sendok yang dipegang Leon, tapi laki-laki menggeleng, terpaksa Nisa membuka mulutnya.
"Sa–saya bisa makan sendiri, Tuan!" Leon mendelik dan melemparkan sendok yang dia pegang. Dia sedikit frustasi dengan sikap Nisa.
"Terserah!"
Leon beranjak dari sofa dan berkacak pinggang mondar mandir di ruangan. Terkadang meremas wajah dengan kasar. Nisa hanya bisa melirik tak peduli dan melanjutkan makannya.
Nisa mencari keberadaan bunyi ponselnya, dia melihat tasnya masih tergolek di lantai. Mata Leon spontan melirik setiap gerak gerik Nisa.
Nisa meraih tasnya dan melihat nomor yang muncul pada layar ponselnya.
"Ah, Raka, dia pasti cemas mencariku." Nisa sedikit panik saat melihat nomor di layar ponselnya.
"Maaf, Tuan saya angkat telpon dulu," ucap Nisa membawa ponselnya agak menjauh sambil menempelkan ponselnya di daun telinga. Leon mendekat dan menguping pembicaraan Nisa di telpon.
“Kemana saja, kamu, Nisa. Kamu mengabaikan teleponku?” suara penuh khawatir dari ujung telepon.
Nisa menghela nafas saat Raka memburunya dengan pertanyaan kekecewaan.
“Maafkan aku, aku harus pulang. Mamaku sekarang membutuhkanku.” Nisa tak berdaya, mencoba mengatur suaranya, seolah sedang membujuk suara dalam panggilan telepon itu..
“Kalau kamu bilang, aku pasti menemanimu!”
“Terima kasih, tapi biarkan kali ini aku berjuang sendiri.”
“Tapi Nis, aku nggak suka kamu pergi tanpa memberitahuku dulu.”
“Iya, maafkan aku. Aku tutup dulu ya.”
“Tunggu Nis, aku belum selesai bica—ra ...,” Telepon diputus Nisa dengan cepat. Nisa tidak ingin bertengkar kalau dia terus melanjutkan pembicaraan.
Bugh! Saat berbalik Leon sudah berdiri di depannya.
"Aw!" pekik Nisa. Leon memicing tajam padanya.
"Siapa dia?" dengus Leon terdengar kesal. Dia mendengar dengan jelas suara di telepon tadi seorang laki-laki.
Nisa memilih tak menjawab hanya memalingkan wajah dan melewatinya. Nisa masih merasa sakit hati dan benci pada perlakuan Leon beberapa jam lalu. Walaupun mereka sekarang dalam ruangan yang sama, di hati Nisa, dia benar—benar membenci pria dihadapannya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, siapa dia?” Leon mencengkram tangan Nisa dengan erat.
"Le-pas! Tanganku sakit!' hardik Nisa dengan tatapan penuh kebencian.
"Apa itu? Dia membenciku? Azni membenciku?"
Leon melepaskan cengkramannya, "Jadi hari ini saya belum memiliki tugas kan? Kalau begitu saya mau pulang dan istirahat!" Nisa meraih tas dan akan pergi.
Brukk! Nisa di dorong kasar lagi oleh Leon hingga tubuhnya terhempas kembali ke sofa. Tatapan Leon penuh kemarahan dan dia mulai melepaskan kembali ikat pinggangnya, mata Nisa membulat lebar.
"Tidak, jangan lakukan lagi!' Nisa bergidik dan terus menghindar.
"Aku bertanya siapa dia? Apa kau tuli!!" Leon berteriak, suaranya menggema di ruangan.
"Te-teman-ku, dia temanku!" Nisa menutup kedua telinganya dan terisak.
"Kamu nggak berbohong? Katakan!!" Teriak Leon makin keras. Dia berubah overprotektif.
"Ya ampun, apa sih maunya orang ini, kasar dan mau menang sendiri. Sudah mendapatkan apa yang dia inginkan. Sekarang aku katakan teman pun, dia masih tak percaya."
"Dengar, mulai hari ini kau adalah milikku, jangan berpikir untuk kabur dari sisiku lagi, paham!!" Eratan gigi Leon terdengar dengan jelas di telinga Nisa.
Tubuh Nisa bergetar, dia bahkan tak berani menatap wajah laki laki yang sedang mengancamnya.
"Mama, apa salahku. Siapa dia? Kenapa aku tidak bisa mengingat sedikit pun tentangnya!" Batin Nisa berteriak lirih kembali, air matanya mulai mengalir kembali saat mendengar ancaman dari Leon.
"JAWAB!!!' Leon kembali berteriak dengan keras ketika Nisa masih saja diam, tak bergeming.
"I-iya!” tangis Nisa kini benar benar pecah. Nisa ketakutan.
"Benar, begini, kau adalah milikku . Aku tidak akan melepaskanmu lagi. Sekalipun sekarang kau sedang berpura-pura tak mengingatku."
Share this novel