Isak tangis Nisa masih memecah memenuhi ruangan. Leon akhirnya tak bereaksi setelah mendengar jawaban dari Nisa. Leon tidak akan sanggup jika harus melihat gadisnya menangis.
"Maafkan, aku tak bermaksud berteriak keras padamu," Leon luluh. Hatinya benar—benar tidak tega melihat tangisan Nisa lalu merengkuhnya dalam pelukan.
"Ke—kenapa seperti ini, apa salahku? Apa?" suara Nisa dengan bibir bergetar dan rasa takut yang masih menyelimuti kalbu. Menahan tangisnya di dada. Menghamburkan wajahnya ke dalam pelukan Leon.
"Apa kamu sungguh lupa? Kamu sungguh nggak mengingatku?" suara serak Leon terdengar lirih bahkan Nisa hampir tak bisa mendengarnya. Leon seperti sedang bergumam dalam hati.
"Aku sungguh tak mengenalmu, sungguh. Aku tidak tahu dan tak bisa mengingat—mu!"
Degh! Dada Leon teriris. Dia menarik wajah wanita yang sangat dicintainya.
Lima tahun dia mencarinya, tapi yang dia dapatkan sekarang adalah kekasih hatinya tak bisa mengingat dirinya. Pedih dan sangat sakit.
"Kamu sungguh nggak ingat denganku, Aznii?" Leon tak kuasa membendung air matanya.
Butiran bening itu tiba-tiba terjatuh di pipi Leon dan sekali lagi dia mendapatkan jawaban pasti dengan gelengan kepala dari Nisa.
"Apa yang sebenarnya terjadi denganmu Aznii? Kamu bahkan menghilang begitu saja tanpa kabar. Kamu tidak tahu, betapa gilanya aku mencari keberadaanmu."
"Baiklah, kalau kamu nggak ingat. Kita mulai dari awal saja, namaku Leonel Prawira, kamu bisa panggil aku dengan Leon, uhm."
Kini tata bahasa Leon mulai berubah tidak terlalu kaku. Dia ingin mencoba mengakrabkan dirinya kalau memang jalan itulah yang harus ditempuh untuk kekasih hatinya ingat kembali.
Nisa menatap laki—laki di depannya terlihat putus asa. Nisa bahkan tak mengerti dengan apa yang sedang dia rasakan, baginya laki—laki itu terasa asing.
Dalam pelukannya, Leon mengulurkan tangan untuk berkenalan, rasa ragu tergambar jelas di wajah Nisa, dia terlihat ragu untuk meraih tangan laki—laki yang sudah merenggut semua kehormatannya.
"Kalau kamu nggak mengingat aku, tidak apa-apa, masih banyak waktu untuk memulai dari awal. Asalkan kamu nggak pergi dan tetap disisiku."
Leon berusaha meyakinkan perkenalan pertama. Dia sedang mencoba mengulangi perkenalan pertama mereka.
"Na—namaku, Faranisa Aznii, kamu bisa panggil aku, Nisa," sedikit ragu akhirnya tangan Nisa terulur menyambut tangan Leon.
Dia tersenyum saat tahu gadis itu menerima uluran tangannya. Perlahan Leon menghapus sisa air mata Nisa yang masih membasahi di pipi.
"Nggak apa—apa, Aznii, asal kamu disisiku. Apapun akan aku lakukan. Tolong jangan pergi lagi."
Leon merengkuh kembali tubuh Nisa dalam pelukannya. Menangis dalam hati
"Aku antar pulang ya, Nis," lidah Leon kelu saat memanggilnya dengan panggilan yang berbeda.
"Nggak perlu. Aku bisa sendiri." Nisa langsung menolak tawaran Leon.
"Hanya mengantarkan pulang, apa itu pun masih sangat sulit untukmu?"
Nisa kembali menatap laki—laki yang begitu berharap dan terlihat tertekan dengan kata—katanya.
"Aku janji tidak akan melakukan apapun yang membuat kamu nggak nyaman, aku mohon!" bujuk Leon.
"Aku butuh waktu dan sendiri. Aku mau sendiri. Aku butuh menenangkan diriku, aku mohon!"
Nisa masih tidak ingin di ganggu. Saat ini Leon tak bisa memaksa, semakin dia keras mendekati, Nisa pasti akan menjauh darinya.
Dia meraih tasnya dan bergegas meninggalkan ruangan Leon. Mungkin saat ini, dia ingin sekali berlari sekencangnya, rasa pedih masih sangat terasa di sekujur tubuhnya. Dia menyesali hari pertamanya bekerja.
Langkah kaki Nisa terasa berat. Dia butuh tempat untuk bersandar dan mencurahkan segalanya.
Bunyi klakson tetap mengikuti Nisa yang terus berjalan tanpa arah, dia ingin sendiri.
Namun, setelah Leon menemukannya, mana bisa dia membiarkan Nisa pulang sendiri. Tekadnya bulat mengikuti Nisa, meski dia mengabaikan. Leon hanya takut tiba—tiba Nisa menghilang dan meninggalkan hidupnya lagi.
"Nis, aku mohon, naiklah. Aku hanya akan mengantarkanmu pulang. Aku janji nggak akan mengganggu lagi!" Leonel Prawira pantang menyerah, dia turun dan mengejarnya.
"Nis!" langkah kaki Leon begitu cepat mengejarnya hingga tangannya teraih dengan cepat olehnya.
"Ya ampun sampai kapan dia akan terus membuntutiku. Aku sungguh lelah menghadapinya."
"Kalau aku naik, aku mau kau membatalkan kontrak kerjaku. Aku mau berhenti sekarang juga!" ancam Nisa.
Dia pun merasa harus memiliki tameng untuk melindungi diri. Dia yakin, ancaman itu juga bisa membuat Leon tergerak. Entah kenapa juga Nisa bisa sampai berpikir kesitu.
Leon seperti mendapatkan tamparan yang keras dari Nisa. Dia tak mungkin begitu saja menyetujui permintaan Nisa setelah usahanya untuk mengikat Nisa disisinya.
"Jangan buat syarat yang sulit, Nis, aku mohon!" pintanya.
"Sulit katamu? Akulah yang sedang kesulitan disini. Aku tak mungkin bisa bertemu denganmu. Setelah perbuatanmu yang menjijikkan tadi!" Sekali lagi Leon mendapatkan tamparan dari Nisa. Dia pun melepaskan cengkraman di kedua lengan Nisa secara perlahan, membiarkan Nisa meninggalkannya.
Nisa memberhentikan taksi. Leon tidak akan menyerah begitu saja. Demi mengetahuinya tinggal dimana, dia pun mengikuti taksinya.
Nisa menghentikan taksinya di sebuah rumah sakit. Turun dari taksi dengan tatapan kosong. Berjalan menelusuri lorong rumah sakit dan berhenti di satu buah kamar. Dia menghapus air matanya yang tak henti mengalir.
Butiran kristal beningnya masih tak mau berhenti, tapi untuk menemuinya, Nisa harus segera menghapus wajah sedihnya.
Dia tak ingin kehadirannya mengganggu ibunya. Nisa tak ingin menangis didepan ibunya. Saat ini, hanya ibunyalah tempat gadis itu bersandar dari segala senang maupun sedihnya.
Perlahan Nisa membuka kamar rawat ibunya. Mencoba mengembangkan senyuman, meski dihadapannya kini, yang ada ibunya masih dalam kondisi terbaring lemah dan belum sadarkan diri.
"Ma, Nisa datang, bagaimana kabar mama hari ini? Apa mama sudah minum obat? Ma ... hari ini Nisa sudah mulai bekerja dan Nisa mendapatkan gaji yang cukup besar. Mama cepat sembuh ya. Jangan biarkan usaha Nisa ini jadi sia—sia ya Ma."
Nisa membekap mulutnya sendiri menahan sesak dan tangisnya yang terus keluar.
"Maaf Ma, Nisa nggak bisa lama-lama, Nisa pulang dulu ya!" sambil menyentuh lengan ibunya, Nisa memalingkan wajahnya dan melangkah keluar dari ruangan ibunya.
"Huhuhu. Kenapa harus begini. Aku bahkan tak bisa menjaga sesuatu yang paling berharga dariku. Kau bodoh, Nis. benar—benar bodoh Nisa!" raungnya dibalik kamar perawatan sang ibu. Tangisnya pecah dan tak terbendung lagi.
Gadis itu memukuli dadanya sendiri. Rasa sesak dan nyeri seolah membakar seluruh jiwanya.
Leon berhasil menemukan Nisa, dia ingin mendekat, tapi dia urungkan saat menyaksikan gadis itu terpuruk dan menangis di depan kamar seseorang.
Alhasil, dia hanya bersembunyi menatapnya dari balik tembok.
"Apakah jarak kita sudah sangat jauh, Aznii? Apa yang sebenarnya terjadi padamu sampai kau sudah tak bisa mengenaliku. Apa yang kau sembunyikan dariku, Aznii?"
Nisa berdiri tertatih. Menghapus perlahan air matanya. Dia harus mencoba menguatkan hatinya. Berjalan sempoyongan sambil tangannya memegangi tembok. Dia rasanya sudah tak kuat berjalan, tapi tetap berusaha sekuat tenaga keluar rumah sakit.
Pandangan Nisa mulai kabur hingga, tubuhnya ambruk di lantai. Dia pingsan. Leon segera berlari dan mengangkat tubuhnya. Membawa kembali masuk Nisa ke salah satu ruang rawat.
"Periksa dia!" setelah Leon meletakkan tubuh Nisa di salah satu bangsal UGD.
Leon panik dan menghubungi Bisma. Setelah diperhatikan, Leon baru menyadari kalau wajah gadis itu pucat. Dia merasa ada yang salah dengan kondisinya.
Leon sangat takut jika peristiwa lima tahun lalu terulang kembali. Dia tak ingin sesuatu yang buruk menimpa gadis itu.
Setengah jam kemudian Bisma sudah berada di rumah sakit. Dia berlari dengan cemas dan menyalahkan kebodohannya karena pulang untuk istirahat menuruti kemauan tuannya.
"Anda tidak apa-apa, Tuan. Dimana yang terluka?" Bisma langsung mengecek kondisi Tuannya.
"Hentikan, Bisma! Aku tidak sakit! Dan aku bukan anak kecil lagi yang harus kau cemaskan seperti itu."
Bisma menghentikan pemeriksaannya dan menatap tuannya dengan perasaan yang sudah campur aduk. Tapi, tuannya malah mendengus kesal terhadapnya.
"Anda tidak sakit?" tanya Bisma lagi, dia tak ingin salah mengecek kondisi tuannya.
"Uhm, sudah aku katakan aku tidak sakit! Ayolah, berhenti mencemaskanku seperti itu." Nada bicaranya terdengar sakras di telinga Bisma.
"Jadi kenapa anda ada disini, Tuan?" Bisma masih belum menyadari kehadiran Nisa. Dia hanya berkerut dahi memandangi tuannya.
"Kau itu bodoh, tuli atau buta sih? Jelas—jelas kau tahu aku sedang bersama dengan siapa!" dengus Leon makin kesal saat mendengar pertanyaan Bisma.
"Ma-maaf, Tuan. Saya hanya berpikiran soal anda!"
"Dasar Bodoh. Aku kan sudah katakan, mulai hari ini kau juga harus memperhatikan detail setiap kebutuhannya. Aku tidak mau dia kekurangan apapun!" lalu Bisma memutar kepalanya saat mendengar ucapan dia, dan,
"Rupanya Nona Nisa ini yang baru tuan temukan maksudnya, aku sampai melupakan hal besar ini."
"Baik, Tuan, maaf soal tadi. Mulai hari Anda dan Nona Nisa menjadi prioritas utama bagi saya!" Bisma berkata setengah menaikan suaranya saat melihat Nisa masih diperiksa oleh dokter.
"Huh, kau habis melepaskan keperjakaan dengan dia?" kata dokter berkecup bibir, mencibir Leon setelah memeriksa Nisa.
"Jangan banyak tanya, itu bukan urusanmu. Aku hanya perlu tahu kondisinya sekarang, Niko!" Leon mengabaikan cibirannya.
"Dia tidak apa-apa. Hanya sedikit shock dan kelelahan. Memangnya berapa jam kau melakukan dengannya?" Niko penasaran.
"Tidak lama, hanya dua jam!" mata Niko membulat lebar.
"Kau gila! Dua jam tanpa henti, hah!!" Niko hampir tak percaya dengan kelakuan gila temannya.
“Siapa suruh dia menghilang lima tahun dariku. Aku mencarinya hampir gila setiap hari. Setelah bertemu, memangnya kau pikir, aku akan melepaskannya begitu saja. Tidak akan, Niko. Aku sudah mengikatnya agar dia tidak akan lari lagi dariku!”
Leon berkata seolah itu hal biasa saja. Dia menggunakan alibi atas semua penderitaan yang dia rasakan saat di tinggalkan oleh Nisa.
Share this novel