“Maaf Az, aku jadi merepotkan kamu,” Aldo duduk lesu di ruang tamunya.
“Nggak apa-apa, Al, aku juga hanya bisa bantu seperti ini,” Nisa menatap lekat wajah Aldo. Dia terlihat lesu dan benar-benar tidak bersemangat.
“Nata sudah pulas kan?” Aldo balik menatap Nisa.
“Iya, tadi aku sempat temani sebentar di kamar. Pas aku yakin dia sudah benar-benar pulas aku baru keluar,” Nisa tidak pernah menyangka kalau Nata akan benar-benar bersikap seperti tadi.
Nisa bukan seseorang yang gampang dekat dengan anak kecil, tapi sikap Nata sangat berbeda. Apalagi Nisa menganggap kalau Nata anak dari Aldo.
“Apa yang sebenarnya terjadi dengan Sofia, Aldo?” Nisa yakin kalau istri mantan pacarnya itu baik-baik saja, dia tidak terlihat seperti orang sakit.
“Aku nggak tahu apa yang disembunyikan oleh istriku, Az, tapi aku pun baru tahu hari ini kalau selama setahun belakangan ini kondisi istriku sudah dalam tahap mengkhawatirkan. Aku sebagai suami bahkan nggak pernah merasakan keganjilan itu. Sofia benar-benar bisa menyembunyikan semua hingga hari ini,” suara Aldo terasa berat.
Nisa dapat merasakan kalau kondisinya sedang tertekan oleh keadaan yang mengejutkan. Ditinggal istri dadakan. Kesedihan Aldo sudah pernah dia rasakan sebelumnya.
“Sofia sakit?”
“Uhm, dokter mengatakan, dia leukimia stadium akhir dan istriku meminta dokter merahasiakan. Dalam keseharian, Sofia nggak pernah menunjukkan kalau dia sakit. Dia benar-benar istri yang tegar dan tabah,” Aldo melanjutkan ceritanya sambil berkaca-kaca, tapi dia masih belum melepaskan semua kesedihan yang dirasa.
Nisa tertegun, dia benar-benar tidak menyangka kalau Sofia akan bersikap seperti itu. Dia hanya ingin merasakan penderitaan sakitnya sendiri, dia sangat tidak ingin Aldo cemas akan dirinya.
Tetapi, dengan seperti ini Nisa jelas bisa melihat penyesalan Aldo. Sepertinya Aldo begitu terpukul dengan kepergian Sofia.
“Kalau kamu mau menangis, menangislah. Aku janji nggak akan bilang pada siapapun,” kata Nisa seraya tersenyum dan menghibur Aldo, namun Nisa tahu usahanya itu sia-sia.
Aldo tanpa banyak bicara mendekatkan dirinya dan menarik Nisa dalam dekapan. Aldo hanya diam, tapi tanpa dia sadari, air matanya berlinang di pipi. Nafasnya tersengal dan terdengar tidak beraturan.
Nisa jelas sekali dapat merasakan kepedihan Aldo. Kehilangan seseorang, ya mungkin saja rasa cinta Aldo pada Sofia belum sepenuhnya, melihat seperti ini, Aldo seakan menyalahkan diri sendiri.
“Aku masih belum bisa membahagiakan Sofia, Azni. Selama ini aku belum sepenuhnya mencintai dia. Dia, tahu tapi tetap berada disisiku.”
“Dia bahkan rela melakukan apapun untuk tetap disisiku. Meski aku tidak menginginkan kehadiran buah hati, dia meminta dengan tulus. Dia, membesarkan anak kami dengan kasih sayang, meskipun Nata hanya anak yang kami adopsi dari panti asuhan.”
“Dia tidak mengeluh. Dia menginginkan seorang teman untuk berbagi, tapi selama ini aku nggak pernah peka sama sekali, Az.”
Aldo benar-benar menyesal. Dia sudah kehilangan istri yang paling berharga. Selama ini dia terus menyibukkan diri. Terlihat seperti keluarga utuh di hadapan Nata. Bersandiwara kayaknya keluarga yang utuh.
Namun, kenyataan itu tetaplah pahit. Sepertinya empedu ular yang berbisa. Siapapun yang menelan akan mati dalam kesengsaraan.
Nisa benar-benar terkejut dengan pengakuan Aldo. Bagaimana dia bisa berbuat seperti itu dengan kehidupan. Menjadi seseorang sebagai istri namun dia tidak mencintainya.
“Ba–bagaimana bisa, Aldo?”
Nisa meregangkan pelukan Aldo dan menatap wajahnya.
“Aku dan Leon sama saja, Azni, aku nggak akan bisa melupakan kamu begitu saja. Aku menahan semua dan mencoba mencari pelarian dengan Sofia,” betapa terkejutnya Nisa, bagaimana bisa mantan pacarnya bersikap seperti laki-laki kurang ajar dan tidak bertanggung jawab.
“Aldo.” Nisa mendorong dan segera berdiri, dia merasa tidak nyaman dengan ucapan Aldo.
“Tolong jangan bilang apapun sama Nata, Az, dia nggak tahu apa-apa. Dia hanya tahu, kalau kami adalah orangtuanya. Aku mohon, Az,” rasanya Nisa ingin sekali mendaratkan tangannya di pipi Aldo.
Bagaimana bisa seorang laki-laki berpikir untuk memainkan hati wanita selama bertahun-tahun. Dia bahkan bisa hidup satu rumah meskipun tidak saling mencintai. Aldo bisa bersandiwara hanya untuk menyenangkan hatinya.
“Aldo, ka–kamu?” Nisa mengepalkan tangan dan kehabisan kata.
“Ya, aku memang tidak bisa bersikap seperti Leon yang terus menghancurkan dirinya dengan hiburan malam. Meski dia tidak pernah berhubungan dengan wanita manapun setelah kepergianmu, Leon menjadikan dirinya dingin dan tidak mudah disentuh.”
“Sedangkan aku? Aku lebih memilih mengakhiri dengan pernikahan, meskipun aku dan Sofia hanya menikah karena aku nggak tega melihat Sofia. Wajahnya terlihat mirip denganmu, Az,” sekali lagi hati Nisa terbakar, bisa-bisa Aldo menjadi Sofia sebagai pengganti dirinya padahal Nisa bisa melihat dengan jelas kalau tatapan mata Sofia tulus pada Aldo.
“Kamu, gila, Al, mana bisa mempermainkan hati seseorang seperti itu,” decak Nisa, mata sudah memerah karena Nisa merasa bersalah dan ikut andil dalam permainan gila Aldo.
“Kamu ingat janjiku kan, Az? Janji yang aku ucapkan saat kita masih di sekolah tingkat atas. Aku bilang, kalau suatu hari nanti aku sudah menjadi seseorang dan memiliki banyak uang, aku akan menikahi kamu, Az. Kamu ingat itu kan?”
Nisa terdiam dan otaknya seperti rol film yang berputar diatas kepala. Dia bahkan benar-benar bisa mengingat ucapan Aldo itu terngiang kembali. Nisa berpikir, itu hanya omongan cinta monyet yang akan hanya hilang jika bertemu dengan orang yang dicintainya.
“Kamu tahu, alasan dulu aku meninggalkan kamu tanpa kejelasan? Itu karena aku merasa minder dengan kondisi keluarga kamu, Az. Kamu dari keluarga berada dan aku hanya dari keluarga sederhana.”
“Meski aku tahu kamu nggak pernah berpikir seperti itu, makanya aku benar-benar menyesal. Aku putuskan mencari kamu. Dan aku tahu kamu kuliah di salah satu kota. Aku menyusulmu dan ingin memperbaiki segalanya. Aku mau kita kembali seperti dulu lagi, Az.”
“Tapi, aku malah nggak pernah menyangka, kamu sudah memiliki seseorang. Kamu terlihat bahagia dengan orang itu dan seperti nggak pernah menganggap keberadaanku. Aku marah dan ingin merebutnya. Aku ingin apa yang dulu aku miliki, hanya menjadi milikku,” terang Aldo panjang lebar menceritakan kisah cinta masa lalu mereka.
Nisa tidak menyangka, di hari berduka seperti ini Aldo malah menceritakan hal tersebut. Sungguh suatu hal di luar nalar.
“Kamu, gila, Aldo!” pekik Nisa kehilangan kata untuk memaki laki-laki kurang ajar itu.
“Iya, aku memang gila. Aku benar-benar tergila-gila padamu, Az. Sejak dulu sampai sekarang nggak pernah berubah. Apalagi sekarang menurutku adalah waktu yang tepat untuk mengatakan. Dan kamu juga masih belum bisa mengingat Leon, kan? Heum?”
Nisa tidak menyangka kalau mantan pacarnya akan berubah seperti itu. Aldo yang dikenalnya sangat lembut dan tulus. Tidak seperti saat ini, meski terlihat sedih atas kehilangan Sofia, tapi tatapannya terasa begitu menakutkan.
Seluruh buluk kuduknya berdiri dan disaat seperti ini Leon malah tidak bersamanya. Leon keluar untuk mencari camilan kesukaan Nisa, dia tidak mau kalah lagi oleh Aldo seperti tadi.
Share this novel