Bruk! Meski lemparan Leon tidak cukup keras, namun itu membuat Nisa terkejut. Leon membanting pintu mobilnya dan segera menutup rapat pintunya.
“Le-Leon, tunggu dulu. Jangan marah lagi. Kita sudah bicarakan ini, aku mau di rumahku dulu kan? Bukannya kamu mau mempertimbangkan itu?” Nisa mendesak, dia benar-benar tidak ingin kembali ke rumah Leon. Baginya itu terasa seperti dalam penjara.
“Jangan harap. Kamu pikir, aku bodoh, huh, kamu hanya ingin bermain-main dengannya kan? Kamu ingin dua-duaan sama laki-laki culun itu kan?” amuk Leon, matanya memerah dan giginya menahan geram. Sepertinya kalau bukan Nisa yang di depannya sekarang, Leon akan menghajarnya habis-habisan.
“Nggak seperti itu, Leon, aku mohon dengarkan aku. Aku bisakah, argh!” Nisa menjerit saat tubuhnya diangkat ke pangkuan Leon. Dia seperti serigala yang kelaparan dan siap memangsa Nisa.
“Katakan, apa yang kamu lakukan? Dua jam lebih, hah?” Leon memegang kedua pipi Nisa dan menginterogasi. Tatapan benar-benar seperti serigala yang akan memakannya hidup-hidup
“Aku nggak ngapa-ngapain, beneran. Dia, Raka, dia laki-laki baik, sungguh. Dia nggak melakukan apapun padaku, Leon, percayalah,” Nisa mencoba menghindari tatapan mematikan Leon dan mencoba menepis kedua tangannya.
“Bohong, aku nggak percaya. Aku harus memastikan sendiri semuanya. Aku akan memeriksanya sendiri,” Leon sudah menatap gadis itu dari atas hingga bawah.
“Jangan asal tuduh, jangan bertindak sembarangan, aa–aku bukan wanita sembarangan. Memangnya aku seperti itu. Kamu saja yang nggak punya moral dan mesum. Memaksaku, cuma kamu yang tega melakukan itu padaku,” kini meski bibir Nisa bergetar, dia ingin melawannya sekali saja. Nisa ingin melawannya sekuat tenaga.
Leon terdiam sesaat saat melihat mata Nisa yang mulai memerah. Dia tahu, kekasihnya itu sedang menahan kesedihan. Tapi, bagi Leon, dia masih marah karena Nisa masih belum bisa mengingat apapun tentang dirinya.
Leon bisa saja mencari informasi itu, tapi demi kekasihnya, dia hanya ingin kalau Nisa sendiri yang bercerita dan mengatakan alasannya. Dia tidak ingin memaksa gadis itu.
Leon menarik napasnya perlahan, dia tahu, semakin dia memaksa kehendak, Nisa pasti akan lebih memusuhinya. Dia ingat, 5 tahun lalu saat mereka masih kuliah dan masa di mana Leon masih pendekatan dengan Nisa, Nisa bukan seseorang yang mudah dia dekati, gadis itu selalu menutup diri dan menghindarinya.
Leon tidak ingin kejadian 5 tahun lalu terulang kembali dan dia juga belum menemukan apa yang terjadi 5 tahun lalu dengan kekasihnya hingga dia bersikap jauh berbeda.
Nisa selalu saja menjaga jarak. Bahkan saat Leon yakin kalau saat itu Nisa memang sendiri, tetap saja Nisa tidak memberikan sinyal baik-baik terhadap maksud pendekatannya. Jadi, kali ini pun Leon tidak bisa memaksanya terlalu jauh lagi.
“Sabar, Leon, kamu harus bisa mengontrol emosi dan sekarang. Kamu harus bisa membuatnya jatuh cinta kembali seperti dulu. Aku yakin, Aznii masih memiliki getaran itu,” batin Leon, dia mulai mengendurkan cengkraman di pipinya.
Leon harus bisa berdamai dengan dirinya juga dan jangan ikut terbawa emosi. Dia tidak boleh egois kali ini.
“Jadi, aku harus bagaimana agar kamu percaya, aku benar-benar tulus dan menyayangimu,” suara Leon melemah, dia tidak mungkin menaikan kembali intonasinya saat melihat sikap Nisa seperti itu.
“Bo–bohong, mana ada orang percaya bersikap kasar seperti ini,” jawab Nisa kecut dengan bibir bergetar. Dia tentu saja masih takut menatap wajah Leon.
“Huh!!” Jelas sekali Nisa dapat mendengar tarikan napas laki-laki di hadapannya, dia sepertinya benar-benar kesal menahan apapun yang sekarang sedang terjadi.
“Oke, jadi kamu mau apa sekarang, Azni? Heum?” Kata Leon lagi, suaranya masih benar-benar lembut, tapi tatapannya tidak terlepas sedetikpun.
“Aku kan sudah bilang, aku mau di rumahku dulu. Kamu masih saja nggak mengabulkan itu,” Nisa masih berkerut bibir.
Terdengar kembali tarikan berat napas Leon, sudah sangat jelas kalau laki-laki itu tidak akan mengabulkan apa yang diminta Nisa. Tiba-tiba saja, Leon menggenggam tangan Nisa.
“Bisakah kamu nggak minta hal itu, Azni. Tolong pahami aku, sudah 5 tahun ini aku kehilangan kamu dan aku sudah pernah gila karena nggak bisa melihatmu, sekarang aku hanya menginginkan kamu disisiku, apa itu terlalu sulit?”
Suara Leon benar-benar seperti seseorang yang kehilangan. Penuh tekanan dan penderitaan. Nisa bahkan tertegun mendengar ucapannya. Dia memang tidak bisa mengingat apapun tentang Leon, tapi bukan berarti perasaannya tidak bisa membedakan kata yang tulus atau kebohongan.
“Aku hanya ingin didekat kamu, Azni. Aku nggak mau sedikitpun kamu hilang dari pandanganku. Aku benar-benar nggak mau kehilangan itu lagi, Azni,” tekanan itu sungguh membuat Nisa seperti orang bodoh. Dia seperti terhipnotis oleh perkataan Leon.
“Aku berjanji, sebisanya, aku akan menahan perasaan rinduku. Aku nggak akan kebablasan seperti orang mesum atau nggak bermoral lagi,” janji Leon, sinar matanya menyiratkan tidak ada kebohongan.
“Aku nggak akan melakukan itu lagi, Azni, aku mohon percayalah. Ikut denganku, aku nggak mau kita pisah lagi, Azni,” rasanya bagi Nisa, rongga udaranya dikuasai oleh sang Leon. Laki-laki itu sudah tidak memberikannya kesempatan bicara ataupun menolak.
Dan sekali lagi, Nisa tidak bisa berbicara. Leon mendekapnya dalam pelukan. Pelukannya benar-benar erat, hingga Nisa tidak mampu mengartikan pelukan itu. Nisa ingin sekali mendorong pelukannya, namun entah kenapa sisi lain dalam dirinya yang tidak bisa dia jelaskan seakan menahannya.
“Aku hanya ingin punya sedikit ruang. Aku ingin berpikir, aku ingin memikirkan semua. Aku nggak bisa mengingat apapun tentang kamu,” suara Nisa lirih di dekat telinga Leon. Nisa yakin, laki-laki itu bisa mendengarnya.
“Aku akan berikan. Aku akan berikan semua yang kamu inginkan, Azni, asalkan kamu nggak pergi. Asalkan kamu tetap disisiku. Aku hanya ingin kamu, nggak yang lain,” Leon meyakinkan dan membuat Nisa tidak bisa mundur dengan perkataannya lagi.
“Mama, bagaimana ini? Apa aku harus percaya? Aku nggak tahu apa aku harus percaya dia atau nggak? Tapi, dia memanggilku, Azni, mah, nggak mungkin aku mengabaikannya kan?” Nisa memejamkan matanya, air matanya mengalir perlahan di pipi. Dia benar-benar dalam kebimbangan hati.
Detik itu, dia tidak bisa lagi mengelak. Leon seolah mengunci hatinya dan dia benar-benar membawa Nisa kembali ke rumahnya. Gerbang pintu Leon terbuka, terlihat sebuah mobil sedang menunggu. Leon lebih dulu membuka pintu dan mengulurkan tangannya.
“Lo gila? Seenaknya aja Lo tinggalin perusahaan pada saat rapat mendesak seperti tadi. Kemana aja Lo?” Suara itu terdengar marah dan menyemprot Leon. Suara itu bahkan tidak peduli alasannya.
“Aduh, Elo? Ngapain Lo kesini? Cerewet banget sih!” jawab Leon tidak mau kalah, tapi nada bicaranya seperti tidak formal, “Tadi kan Bisma juga udah bilang ke Lo, ini urusan yang nggak mungkin gue tinggalin. Ini hidup dan mati gue,” Leon masih saja mengoceh dan menarik perlahan tangan Nisa.
“Hidup dan mati? Aduh, Lo mulai drama kolosal lagi, Leon? Sejak kapan Lo ngomong kayak git–,” suaranya sedikit teralihkan saat Nisa keluar dari mobil Leon.
“Elo itu nggak mungkin ngerasa kayak gitu, Aldo. Elo kan udah ada Sofia. Ini hidup dan mati gue, Al …. “
Mata Aldo dan Nisa saling beradu dan mereka berdua tertegun sesaat.
Share this novel