28. Evil Plan

Romance Series 18623

"Don't go, please...," desis Night pada Jane sambil memegang lengannya yang satunya.

Jane melihat tatapan Night yang memelas. "Lepaskan tanganku!" perintahnya, lalu beralih menoleh ke Jayden. "Kau juga," sambungnya lagi memerintah.

Jayden maupun Night menurutinya dengan melepaskan tangan Jane.

"Ada barang tertinggal. Aku ke atas dulu," ijin Jane langsung melesat menuju kamar yang ditidurinya semalam. Saat ia masuk untuk mengambil tasnya, ia melihat ada pena dan kertas di atas nakas. Ia mengambilnya dan memutuskan untuk menulis sesuatu di kertas tersebut. Setelah selesai menulis, ia merobeknya dan menggenggamnya di kepalan tangannya.

Jane kembali menemui yang lain, tapi langkah kakinya terus menuju ke arah Jayden. "Ayo kita jalan, Jay!" ajaknya.

Buru-buru Jayden menganggukkan kepalanya pelan. Ajakan Jane tentu saja membuat Jayden senang dan tersenyum penuh kemenangan yang terukir di bibirnya. Tanpa pamit, Jayden berjalan menuju ke mobilnya dan Jane menyusul dari belakang. Saat Jane melewati Night, tangannya yang sedang menggenggam kertas, ia berikan ke tangan Night.

Night merasa tangannya diberikan sesuatu oleh Jane. Ia pun menunduk sejenak melihat ke tangannya yang terselip kertas, setelah itu beralih lagi menatap Jane yang main jalan saja tanpa menatapnya ataupun ucapan basa basi kepada dirinya.

Setelah Jane melewati Night, ia menghampiri adik-adiknya Night untuk berpamitan. Jane berdiri di hadapan ketujuh lelaki yang masih bergeming di tempat. "Terima kasih untuk kalian semua karena sudah menjagaku semalam," ucapnya.

"Sering-sering ke sini ya, Kakak Ipar," pesan Nick.

"Iya, tapi berikutnya aku tidak akan mabuk lagi dan dikerjai kalian," sahut Jane dengan nada sindiran.

"Sip." Nick terkekeh.

"Untuk kekacauan yang sudah aku buat, nanti aku akan tanggung jawab. Akan ku sewa tukang bersih-bersih untuk membersihkan kamar kalian," ujar Jane sebelum ia benar-benar pergi dari hadapan mereka. "Bye, semua!" Setelah mengucapkan salam perpisahan, ia pun menyusul Jayden ke mobilnya.

Setelah kepergian Jane, Night barulah melihat kertas yang diberikan Jane tadi. Ia pun membaca yang ternyata adalah sebuah pesan untuk dirinya.

Wynn Hotel,
07:00 PM

Jane sengaja menuliskan janjian jam tujuh malam karena ingin tahu apakah Night akan memilihnya atau penyewa wanitanya.

"Hem, jadi Kakak akan janjian dengan Jane di Wynn Hotel?" tanya Nick yang tidak sengaja membaca tulisan di kertas tersebut.

Night mengangguk. "Kali ini aku akan berbicara dengannya dan meminta maaf kepadanya," ujarnya.

Nick menepuk pelan bahu Night. "Bagus itu!" Setelah itu, Nick dan yang lain kecuali Denzel, kembali memasuki ruangan keluarga.

Night ikutan masuk menyusul adik-adiknya. "By the way, kekacauan apa yang dibuat Jane? Lalu, kalian mengerjai Jane?" tanyanya penasaran. "Coba ceritakan padaku semuanya!" pinta Night. "Aku ingin tahu."

Tidak ada yang berani menjawab, sampai Denzel yang dari arah belakang melewati Night. "Lebih baik Kakak jangan tahu."

Night menoleh dan terhenyak. "Denzel! Kita masih ada urusan yang belum terselesaikan!" Night pun mengejar langkah Denzel.

"Kakak seharusnya berterima kasih kepadaku karena aku telah memberitahukan keberadaan Jane," dalih Denzel dengan berjalan agak cepat. Saat Jane sedang memasak tadi, Denzel memang ada mengirim pesan ke Night. Denzel sengaja memberitahukannya bahwa Jane sedang berada di kediamannya.

"Lalu, kenapa dia bisa berada di sini?" tanya Night yang menyamakan langkah kakinya dengan langkah Denzel, lebih tepatnya berjalan di sebelahnya.

"Aku membawanya tadi malam saat dia pingsan akibat mabuk," jawab Denzel.

"Bukankah tadi malam Jane bersama dengan Jayden? Jayden tidak mengantarkannya pulang?"

"Jayden bilang, dia menyelinap keluar dari rumah secara diam-diam tanpa Auntie tahu. Jadinya dia tidak bisa lama-lama, dan dia juga tidak tahu alamat rumah Jane."

"Oh begitu. Hem, setelah kupikir-pikir berarti kau membantu Jayden secara diam-diam ya? Makanya kau sempat menghilang di klub," sindir Night sambil memicingkan matanya penuh curiga.

Denzel terkekeh pelan. "Aku hanya merealisasikan apa yang kulihat," jawabnya santai. Tiba-tiba Denzel mengubah raut wajahnya yang cengengesan menjadi serius. Ia berhenti berjalan, membuat langkah Night ikutan terhenti. Denzel menoleh ke Night dan menatap matanya dengan serius. Ia mencoba membaca sesuatu tentang masa depan lewat kakaknya. "Kak..," jedanya sambil memegang kedua sisi bahu Night. "Berhati-hatilah mulai sekarang! Dan jangan percaya ucapan dari siapapun karena kita akan diserang oleh musuh yang sangat jahat!" pesannya mencoba memperingati Night.

Night mengernyitkan alisnya. "Musuh?"

Denzel kembali melanjutkan langkahnya. "Aku tidak bisa membaca orang itu, tapi ini ada hubungannya dengan Sonia. Jadi, Kak, berhati-hatilah jika berpergian. Kusarankan jangan pergi malam ini, begitu juga dengan Jane!" pesan terakhir dari Denzel sebelum ia masuk kamar dan menutup pintunya.

Night ingin masuk, tapi pintu kamar Denzel langsung ditutup membuat hidung Night hampir terpentuk pintu. "Denzel!!!" hardiknya geram. "Kau bohong kan, agar aku tidak memberimu pelajaran?!" makinya. "Dasar kau ini!!!" Night menggedor-gedor pintu kamar Denzel dengan keras. "Buka, Zel!!" perintahnya.

"Aku mau mandi, Kak," jawab Denzel dari dalam. Sehabis itu Denzel tertawa senang dari dalam kamarnya. Kakaknya memang bodoh dan mudah dikerjai. Tapi musuh itu, siapa sebenarnya dia? batin Denzel sambil berpikir keras, namun ia tidak menemukan petunjuk apa-apa. Ini aneh! Kenapa aku tidak bisa membaca orang itu?

Akhirnya Night menyerah karena Denzel tidak juga membukakan pintu. Ia pun memutuskan ke dapur untuk mencari makanan. Saat sedang berjalan, Night melewati meja makan. Tidak sengaja ia melirik ke atas meja yang sudah tersedia makanan.

"Tumben ada makanan," gumamnya sambil berdiri di hadapan meja makan. Night mengernyit saat melihat pemandangan makanan di hadapannya. Satu tangannya mengangkat piring yang berisi roti sandwich berwarna hitam. Apa Evan yang masak? Apa ini resep barunya? batinnya sambil meletakkan kembali piring tersebut, kemudian ia memanggil adiknya. "Van!!!" Suara lantang diserukannya.

Mendengar namanya dipanggil, Evan langsung menemui kakaknya. Saat ia sampai di ruang makan, ia pun terhentak. Gawat! Aku lupa membersihkan masakan Jane. "Ya, Kak?" tanya Evan sambil melihat Night sedang memasang pose berpikir.

Tangan Night, ia taruh di dagunya sambil melihat ke arah makanan. "Ini semua buatanmu?" tanyanya dengan menunjuk ke arah beberapa piring.

"I-itu..," jeda Evan sambil berpikir ragu-ragu antara mau mengatakan kebenarannya atau berbohong. Apa aku harus bilang kalau itu buatan Kakak Ipar? Tapi, kalau kuberitahu, apa Kakak akan ilfeel padanya? batinnya.

"Itu buatan Kakak Ipar, Kak." Nick menyeletuknya dengan polos saat ia muncul dan tengah berjalan ke arah kulkas untuk mengambil sekotak susu segar.

Evan langsung melongo melihat Nick dengan entengnya menjawab tanpa berpikir dulu.

"Oh ya? Aku tidak menyangka kalau Jane bisa memasak. Kalau begitu, aku akan mencobanya."

Nick langsung tersedak susu yang diminumnya karena ucapan Night. "Tunggu, Kak!" cegah Nick cepat-cepat, membuat gerakan tangan Night berhenti saat mau memasukkan telur dadar ke dalam mulut.

Setengah alis Night terangkat. "Kenapa?"

Buru-buru Nick menghampiri kakaknya untuk merebut makanan yang sedang dipegangnya. "Lebih baik Kakak jangan makan!" cetusnya.

"Lho, kenapa? Aku kan juga ingin mencoba masakan Jane!" sahut Night kesal.

"Pokoknya tidak boleh!" sahut balik Nick yang tidak mau kalah. "Semua ini demi keselamatan Kakak."

"Hah?" Night terperangah. Ia malah makin bingung dengan ucapan Nick. Arah matanya kini beralih menatap ke cangkir kopi. "Kalau begitu aku coba kopi ini saja." Night masih mencoba memaksa untuk menyicip yang lain. Kali ini tangannya mengangkat cangkir kopi.

"Kakak...," tahan Nick kembali sambil merebut cangkir yang dipegang Night. "Kalau Kakak masih mau bertemu dengan Jane nanti malam, lebih baik ku sarankan ja.ngan." Nick menoleh ke Evan untuk meminta pembelaan. "Ya kan, Van?"

Evan mengangguk setuju.

"Kalian ini sungguh aneh! Aku jadi semakin curiga. It's okay, aku masih bisa menyuruh Jane langsung untuk membuatkanku," cibir Night yang agak sedikit kesal. Ia pun memutuskan meninggalkan dapur dan berjalan menuju ke ruang keluarga, kemudian duduk di sana.

Setelah Night pergi, Evan dan Nick menghelakan nafas lega sambil mengelap keringat yang sudah membasahi keningnya.

******

Matt yang sudah selesai mandi menghampiri Night. "Nanti malam Kakak jadi menemui Jane?" Matt duduk di sebrang Night sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

Night mengangguk sambil menonton film.

"Tidak berkencan?" tanya Matt lagi.

"Aku libur dulu. Aku sudah beritahu Scott dan juga Justin tadi malam agar diinformasikan di situs."

"Oh. Baiklah. Pilihan yang bagus." Matt terkekeh. "Kali ini jangan dilepaskan, Kak! Kalau sampai gagal lagi, kami tidak mau mengenalmu!" Matt mengancam.

Night mengacuhkan gertakan dari Matt dan berdalih dengan mengganti topik lain. "Matt, apa kita punya musuh?" tanyanya yang dari tadi dipenatkan oleh sesuatu dalam benaknya sambil bertopang dagu, walaupun arah matanya fokus mengarah ke televisi.

Matt terhentak. "Musuh? Banyak sih? Kenapa, Kak?"

Night langsung menoleh ke Matt dengan raut wajah penuh tanda tanya. "Banyak?"

Matt mengangguk. "Setiap malam kita berkencan dengan wanita yang menyewa kita. Entah itu hanya untuk menyenangkan diri si penyewa atau untuk alasan balas dendam memanas-manasi mantannya, ya pokoknya siapapun itu. Bukankah itu berarti kita tidak bisa terbebas dari kata musuh. Benar, kan?"

"Benar juga. Tapi Denzel bilang musuh ini tidak bisa dibaca olehnya," lanjut Night menganalisis.

"Kak, kau lupa kalau kita adalah anak dari orang terkaya nomor satu di kota ini? Ya, sudah pastilah banyak musuh," urai Matt.

Night menjentikkan jarinya. "Kau benar!" Night beranjak dari duduknya dan berdiri. Tapi saat Night mau jalan, ia kembali menoleh ke Matt. "Tapi, Matt, Denzel bilang ini ada hubungannya dengan Sonia," lanjutnya.

Matt memutar bola matanya malas karena mendengar nama Sonia disebut-sebut. Sambil menghela nafas kasar, Matt menyahuti. "Kalau itu aku tidak tahu. Mungkin saja Sonia cemburu kepada Jane, lalu dia berniat menyelakakan Jane dan juga Kakak. Kakak tahu sendirilah sifat Sonia bagaimana. Dan kalau Denzel sudah memperingati Kakak seperti itu, berarti Kakak dan Jane harus waspada!" pesannya.

Night mengangguk tanda mengerti akan perkataan Matt. "Lebih baik aku pulang sekarang," pamitnya.

*****

"Tidak! Tolong! Jangan sentuh aku, Brengsek!" teriak Sonia sambil meronta melepaskan diri dari perlakuan kasar seorang lelaki yang memaksa membuka gaunnya sambil mencumbunya.

"Tadinya aku tidak mau menggunakan 'itu', namun karena kau tidak bisa diam, terpaksa aku akan membuatmu tunduk kepadaku bahkan mengemis untuk bercinta kepadaku," ujar si Lelaki itu.

Sonia memukul-mukul dada telanjang si lelaki itu dengan keras. "Lepaskan aku! TOLONG!!!" teriaknya.

"Percuma berteriak, Sayang, karena tidak akan ada yang mendengarnya. Soalnya tidak ada yang tahu tempat ini, Sonia! Ini adalah tempat yang tidak akan bisa dijangkau dengan mudah oleh orang-orang," tukas si Lelaki dengan wajah tersamarkan. Tidak mau menunda waktu, ia langsung menjalankan aksinya pada Sonia. Dan tidak berapa lama kemudian, Sonia sudah dalam pengaruhnya. "Bukalah bajumu sendiri, Sonia!" perintah Lelaki itu.

"Baik." Sonia pun melepaskan gaun yang dikenakannya tanpa membantah. Terlihat air mata di pelupuk matanya yang terus saja keluar dan turun membasahi wajahnya.

Setelah si lelaki itu selesai memuaskan nafsu bejatnya, ia memakai bajunya kembali, kemudian berkata kapada Sonia yang sudah sadar. "Jika kau membutuhkan pertolonganku, aku akan siap membantumu kapan saja tanpa bayaran."

Sonia duduk terdiam di atas ranjang dengan tubuh tanpa sehelai kain. Meskipun telinganya masih bisa mendengarkan perkataan si lelaki tersebut, ia tak menggubrisnya. Ia masih merasa syok atas perbuatan bejat si lelaki itu padanya. Karena tak bisa melakukan apa-apa sekarang, ia hanya bisa mengeluarkan air matanya, menangis dalam diam untuk melampiaskan kesedihan dan kemarahan yang dipendamnya.

Selesai memakai baju, si lelaki itu kembali melakukan aksinya lagi pada Sonia dengan menghapus semua ingatannya, terutama tentang kejadian malam ini. Lelaki itu tidak bisa membiarkan Sonia mengingat perbuatan bejatnya, apalagi sampai memberitahukan kekeluarganya, termasuk Ernest, kakaknya.

Sonia membuka paksa kedua matanya setelah ia bermimpi buruk. Mimpi yang terasa nyata dirasakan Sonia. Keringat keluar mengalir membasahi tubuhnya. Ia beranjak dari tidurnya dan menyadari bahwa dirinya sedang berada di kamar seseorang dengan tubuh tak berhelai kain. "Di mana ini?" tanyanya sambil memperhatikan sekeliling kamarnya.

"Kau sudah sadar rupanya?!" jawab dari seorang lelaki yang sedang duduk di bangku sambil menenggak beer-nya.

"Hippo?" Sonia terhentak dan menoleh ke arah Hippo duduk. "Apa yang kau lakukan padaku?" tanyanya. Buru-buru ia mengambil selimut di sampingnya untuk menutupi tubuhnya yang sudah telanjang.

"Hanya bersenang-senang sebentar sebelum bekerja," jawabnya sambil menuang beer ke gelas kosong yang sedang dipegangnya.

Sonia berusaha mengingat apa yang terjadi saat ia tengah janjian dengan Hippo.

Flash back...

"Hippo!" panggil Sonia sambil memeluk teman dari kakaknya, Ernest.

Orang yang dipanggil Hippo pun membalas memeluk Sonia. "Lama tidak berjumpa, Sonia?" Hippo melepaskan pelukannya. "Kau tambah cantik saja," sambungnya dengan memujinya.

"Kau bisa saja. Kau juga tidak berubah banyak sejak terakhir kita bertemu," sahut Sonia sambil memperhatikan penampilan Hippo.

"Jadi, apa yang bisa kubantu kali ini?" tanya Hippo sambil duduk, begitu juga dengan Sonia.

Sonia mengeluarkan selembar foto dari dalam tasnya dan meletakkannya di atas meja. "Aku ingin kau mengerjai dia agar dia kapok berurusan denganku."

"Alasannya?" tanya Hippo kembali.

"Dia merebut orang yang kusuka. Dan dia adalah sainganku dari aku masih sekolah," jawab Sonia sambil bersedekap.

Hippo mengambil foto tersebut.

"Namanya Jane," sambung Sonia menuturkan.

"Kau ingin aku mengerjai seperti apa?" tanya Hippo sambil memandangi foto tersebut.

"Terserah," jawab Sonia. "Seperti yang kau lakukan pada korbanmu dulu juga tidak masalah." Sonia memajukan dirinya mendekat ke Hippo. "Ku dengar, dia masih perawan," bisiknya.

Hippo tersenyum menyeringai mendengarnya sambil menatap Sonia. "Itu yang mau ku dengar darimu, Sonia. Sudah lama aku tidak meniduri perawan."

"Ya anggaplah bonus dari pekerjaanmu. Aku tidak akan berlama-lama. Kalau sampai Kak Ernest tahu aku menemuimu diam-diam, dia akan memasukkan ku kembali ke ruangan yang ku benci itu."

Hippo tertawa terbahak-bahak. "Kita tidak bersenang-senang dulu? Aku juga ingin menikmati tubuhmu seperti dulu saat ku renggut perawanmu."

"Ish! Kau ini bicara apa sih, Hippo?" elak Sonia. "Kita kan tidak pernah bercinta." Sonia beranjak dari duduknya. "Bayaranmu nanti akan ku transfer."

Saat Sonia tengah berjalan melewati Hippo, Hippo langsung mencekal lengannya untuk menahan Sonia pergi.

Sonia terkejut dan langsung menoleh ke Hippo. "Apa lagi?"

"Kalau kau tidak mau, aku akan membuat dirimu mau." Hippo pun menatap mata Sonia, lalu menarik Sonia sampai Sonia tersungkur di pelukan Hippo. Dengan cepat Hippo mencumbu bibir Sonia dengan lahap.

Kembali ke Sonia yang sudah mengingatnya. "Dasar lelaki, Brengsek!" umpatnya emosi. "Kalau aku tidak butuh keahlianmu itu, aku tidak akan sudi meminta bantuanmu," sambungnya sambil menatap tajam ke arah Hippo. Hatinya berdesir kemarahan. Bagaimana tidak marah? Dirinya disekap sampai pagi tanpa ia sadari apa yang sudah dilakukan Hippo padanya selama ia dalam pengaruhnya.

Hippo tertawa terbahak-bahak mendengar umpatan Sonia kepadanya. "Anggap saja bayaranmu untukku. Kau tidak perlu lagi membayarku dengan uang. Tubuhmu yang lezat itu sudah cukup memuaskanku sementara waktu."

Sonia berdecak sebal. Ia pun beranjak dari ranjang, mengambil pakaiannya yang berserakan dan memakai pakaiannya kembali. Saat ia ingin pergi, ia mendapatkan pesan bergambar dari Lucy dan Emma di ponselnya. Mereka berdua memang sudah ditugaskan oleh Sonia sebelumnya untuk mengawasi Jane dan Night.

Lucy mengirimi Sonia gambar Jane yang baru keluar dari rumah kediaman adik-adik Night dan diantar pulang oleh Jayden. "Fuck! Sekarang dia berniat mendekati Jayden juga." Sonia menjadi geram melihat fotonya. Buru-buru Sonia menelepon Lucy. "Di mana kau sekarang?"

"Aku sedang mengikuti mobil Jayden."

"Terus awasi dan laporkan apapun tentang Jane kepadaku!" Sonia langsung memutus panggilan teleponnya dengan perasaan gusar. "Aku pergi dulu, Hippo!" pamitnya ke Hippo.

"Mau ke mana kau?" tanya Hippo.

"Aku mau menyusul temanku untuk mendamprat si wanita bernama Jane," jawab Sonia.

"Tidak perlu kau yang turun tangan, Sonia. Bukankah kau sudah memberikan pekerjaan itu padaku? Biarkan aku saja yang melakukannya. Ya itung-itung salam perkenalan dariku untuk wanita perawan itu," tutur Hippo sambil mengangkat gelasnya, diiringi dengan senyuman licik ke arah Sonia.

Tampak Sonia ikutan tersenyum menyeringai, tanda ia sangat paham maksud ucapan Hippo. "Kalau begitu, aku menantikan kabar gembira darimu."

"Siap! Sehabis ini aku akan memberikan salam perkenalan dengan cara halus padanya," ujar Hippo. Ia pun mengakhiri perbincangannya dengan menenggak minumannya sampai habis, kemudian membantingnya keras ke meja. "Permainan dimulai!"

.....

TBC

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience