Kepulangan Aluna, menyisakan tiga manusia yang sebentar lagi masuk kuliah. Mereka bertiga pun bersama-sama berjalan menuju kelasnya.
"Hai, Jane! Malam ini kau senggang?" tanya salah seorang pria yang mendekati Jane saat dia sedang berjalan.
"Ya, datang saja ke klub seperti biasa. Aku ada di sana," jawab Jane menanggapi.
"Jane, hari ini kau cantik banget deh," puji pria lain yang berpapasan dengan Jane.
"Basi sekali pujianmu," tanggap Jane untuk pria kedua ini yang memang sering memujinya cantik.
"Jane..! Ini untukmu!" sapa pria lain sambil memberikan buket bunga mawar merah ke Jane.
Jane menerimanya dan menciumi bunga tersebut. "Thanks, Edo." Bisa-bisanya dia ke kampus bawa bunga. Setelah itu, Jane meninggalkannya dan tetap berjalan.
Dari arah belakang Jane, Nick dan Lizzie sudah melihatnya. Pemandangan yang biasa bagi Lizzie, tapi tidak dengan Nick.
"Apa para pria-pria itu selalu begitu ke Kakak Ipar?" tanya Nick.
"Ya begitulah. Jane memang terkenal di kampus. Hampir semua pria di kampus ini sudah dikencani Jane, tapi hanya bertahan satu hari."
"Oh ya?" Nick terkejut mendengarnya.
"Ya. Jane memang tidak pernah serius berhubungan dengan lelaki sejak pacar pertamanya direbut Sonia," jawab Lizzie.
"Sonia merebutnya?"
Lizzie mengangguk. "Bahkan Jane memergoki mantannya itu tidur dengan Sonia di apartemennya."
"Serius? Astaga ternyata Kakak Ipar punya kenangan sangat buruk tentang pria."
"Ya. Yang pertama adalah cinta pertamanya. Yang kedua adalah pacar pertamanya," timpa Lizzie lagi.
"Cinta pertama?"
"Ya cinta pertamanya mengatainya jelek dan gendut. Makanya hal itu yang membuat Jane merubah dirinya menjadi cantik agar dipuja banyak pria dan alhasil dia berhasil."
"Hem, begitu rupanya. Aku harus membantu Kakak Ipar agar jangan sampai disakiti lagi oleh pria ketiga, yaitu Kakakku." Nick mengeluarkan ponselnya, lalu memotret Jane yang sedang dirayu pria-pria yang tahu-tahu sudah ramai mengerubungi Jane.
Click!
Setelah memotret, Nick mengirimkannya ke Night-kakaknya. "Kalau dia tidak cemburu, dia tidak akan balas," gumamnya pelan.
Tidak memakan waktu lama untuk ponsel Nick berdering. Tanda panggilan video call dari Night pun muncul di layar ponsel Nick.
Nick tersenyum senang. Setidaknya kakaknya masih punya perasaan ke Jane, walaupun sedikit. Masa iya perasaannya sudah mati melihat wanitanya yang sudah diputuskan olehnya untuk menjadi kekasihnya didekati oleh pria-pria. Nick menerima panggilan tersebut. Terpampang wajah kakaknya di layar ponsel.
"Bukankah aku menyuruhmu untuk menjaga dan mengawasi Jane?! Kenapa para lelaki pada mengerubungi Jane?"
"Kakak hanya menyuruhku menjaga Jane dari Sonia, bukan dari para pria-pria," sahut Nick memasang wajah serius.
"Mana Jane? Aku ingin bicara dengannya."
"Dia lagi sibuk, Kak."
Night memicingkan matanya.
"Ssh tidak percaya banget! Kalau tidak percaya, nih lihat sendiri." Nick memutar ponselnya ke arah Jane agar kakaknya bisa melihat Jane yang sedang dirangkul mesra oleh pria lain lagi sambil tertawa terbahak-bahak.
Nick menutup mulutnya menahan tawa mendengar umpatan kecil yang dilontarkan sang kakak. Walaupun pelan, tapi masih terdengar olehnya.
Layar kembali terputar ke hadapan Nick. "Aku tidak bohong, kan? Kakak Ipar itu lagi sibuk. Hem.. Kakak tidak cemburu, kan?" selidik Nick sambil memicingkan matanya menatap Night.
"Aku tidak cemburu. Sudah ya, aku tutup."
Panggilan video terputus sepihak karena Night langsung mematikannya. Nick terkekeh sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya.
Nick dan Lizzie kembali berjalan.
"Apa Night cemburu?" tanya Lizzie.
"Aku tidak tahu. Tapi sepertinya iya, walaupun gengsi," jawab Nick. Arah matanya masih lurus melihat Jane. Tiba-tiba dalam pandangannya sekarang, Jane tengah mengeluarkan ponselnya, kemudian menaruhnya ke telinganya.
Back to Jane...
"Ya, Hon," sapa Jane ke penerima telepon yang tak lain adalah sang kekasih.
"Kau sedang apa?"
"Aku lagi kuliah," jawab Jane bohong.
"Jangan menipuku. Jelas-jelas kau sedang bermesraan dengan lelaki di kampus."
Eh? Jane tersentak. Ia menoleh ke arah Nick yang dari tadi berusaha memberikannya kode. Dalam pandangan Jane, Nick tengah menggerak-gerakkan tangannya memberikan isyarat padanya.
Nick berupaya memberitahukan pada Jane bahwa tadi ia ada memberikan sebuah foto ke Night.
Tadinya Jane tidak mengerti isyaratnya, dan butuh waktu lama untuk mengerti. Namun pada akhirnya Jane tahu maksud dari kode Nick.
"Kenapa diam?"
"Ah, jadi ceritanya kau cemburu ya, Hon?"
"Tidak. Aku tidak cemburu."
"Oh ya? Ku kira kau akan cemburu. Padahal aku ingin membalasmu karena kau dengan seenaknya menyuruhku datang ke klub nanti malam. Bukankah kau akan bekerja malam ini di sana?" Jane mendengus karena kekesalannya mencuat mengingat maksud dan tujuan Night mengajaknya ke klub. "Kau anggap aku apa coba, menyuruhku datang hanya untuk melihatmu bermesraan dengan wanita lain?"
"Kau bisa tidak datang kok. Aku tidak akan memaksamu."
Jane kembali mendengus kesal. "Tenang saja, aku akan datang! Kau telah salah memilih tempat, Hon. Klub itu adalah sarangku. Banyak fans-fans-ku di sana. Jadi kita lihat saja nanti, siapa yang akhirnya akan kebakaran jenggot!?" tantang Jane.
"Oh, jadi begitu. Thanks buat petunjukmu, Sweety. Bisa kupastikan nanti malam para fans-mu tidak akan muncul di sana, dan pada akhirnya kau yang akan cemburu padaku."
(Terdengar suara kekehan) "Kita lihat saja nanti malam."
"Yes. We will see."
Jane mematikan panggilannya dengan perasaan gusar. "Dasar lelaki gengsi, tidak mau kalah! Aaaargghhh!!" gerutunya frustasi sambil mengacak-acak rambutnya.
"Ada apa, Jane?" tanya salah seorang pria pemuja Jane.
Jane menoleh ke pria tersebut dan juga pria-pria lainnya yang berada di samping-sampingnya. "Kalian semua--," tunjuk Jane satu-satu ke arah pria-pria tersebut. "Harus datang ke klub nanti malam dan senangkan diriku! Mengerti?!" serunya memaksa.
"Tenang, Jane. Kami pasti datang ke sana tanpa kau pinta juga," ucap dari pria bertubuh kekar dan macho.
"Bagus!!" Jane tersenyum puas. Awas kau, Night!!!!
Nick dan Lizzie menggeleng kepalanya pelan melihat tingkah Jane.
"Mereka seperti anak kecil ya?" tanya Nick.
Lizzie mengangguk. "Maklumlah. Mereka berdua tidak pernah serius berhubungan, kan?"
"Aku jadi tidak sabar menunggu malam. Pasti akan kacau," ujar Nick sambil menghela nafas kasar.
"Nanti ceritakan padaku ya!" pinta Lizzie.
Nick menoleh. "Lho, kau tidak ikut?"
Lizzie menggeleng. "Aku tidak suka pergi ke tempat begituan. Lagipula--," Lizzie menoleh ke Nick dan tersenyum lembut. "Aku tidak mau seperti Jane yang akan cemburu melihat seseorang bermesraan dengan wanita lain," sindirnya halus.
Nick melebarkan matanya tidak percaya. "Kau cemburu padaku ya?" tanyanya.
Lizzie terperanjat dengan perkataannya sendiri karena ternyata Nick peka dengan sindirannya. Ia pun langsung berjalan dengan cepat meninggalkan Nick. Wajahnya sudah merona merah dan ia tidak mau Nick melihatnya.
Nick mengejar Lizzie. "Tunggu, Zie!"
*****
Kantor kepolisian pusat...
"Kakak!!!" panggil Sonia dengan nada merajuk sembari berjalan menghampiri Ernest, sang kakak.
Ernest yang sedang duduk sambil bergelut dengan dokumen-dokumen yang menumpuk di atas meja pun menoleh. "Mau apa lagi kau ke sini, Sonia? Jangan ganggu Kakak kerja!" ocehnya.
"Kakak..," desis Sonia langsung merangkul manja leher Ernest dari belakang kakaknya duduk. Dan sambil memasang wajah sedih, Sonia berkeluh kesah. "Kakak, bantu aku lagi dong untuk membalas perbuatan Jane. Masa tadi dia bilang bahwa Night adalah kekasihnya."
"Apa?" Mendengar perkataan Sonia yang menurutnya lucu, Ernest pun spontan tertawa terbahak-bahak. "Sonia, Sonia, masa kau mau saja ditipu dengan lelucon murahan begitu? Mana mungkin Night punya pacar! Kau ada-ada saja deh, Sonia. Seumur-umur kita mengenalnya, kau lihat sendiri kan, mana pernah dia mempunyai kekasih? Kekasih semalam baru benar. Lagipula, bukannya tadi sudah Kakak bantu membuatkan surat penangkapan untuk memenjarakan Jane ya?"
"Dia merobek suratnya, Kak. Katanya, lagi, aku disuruh menyelidiki pemilik tempat kantor kepolisian Kakak. Memang siapa sih pemiliknya, Kak? Tidak ada hubungannya dengan keluarga Jane, kan?"
Ernest mengerutkan dahinya bingung. Setahunya, pemilik kantor ini adalah seorang kakek-kakek yang tidak menikah. Masa iya tuh kakek kenal dengan Jane? Ernest menyadari bahwa sepertinya Sonia telah dikerjai oleh Jane. Ernest meletakkan bulpennya. "Baiklah. Apa yang bisa Kakak bantu kali ini?" tawarnya menoleh ke Sonia.
Sonia melepaskan rangkulannya. "Kakak sudah tahu kan bahwa Night mempunyai kembaran?"
Ernest mengangguk. "Kembaran yang saling membenci itu?"
Sonia balas mengangguk. Dia berjalan mondar-mandir sambil berpikir keras menemukan sebuah ide untuk menghancurkan siapa pun yang membuatnya kesal. "Bagaimana kalau kita mengadu domba mereka, Kak? Tentu saja dengan Jane sebagai umpannya, gimana?"
"Caranya?"
"Tapi sebelum itu, aku membutuhkan bantuan 'Dia'."
"Dia?" Kedua alis Ernest menyatu. Jangan-jangan....
"Kau tahu kan, Kak, kalau di antara mereka ada orang yang bisa membaca pikiran. Rencana kita tidak akan berhasil kalau dua orang tersebut masih berada di dekat mereka. Kita harus menyingkirkan dua orang itu dulu secara bersamaan."
"Carol dan Denzel maksudmu?" tanya Ernest memastikan.
Sonia menjentikkan jarinya. "Benar."
"Jadi kau mau Kakak memanggil 'Hippo'?" tanya Ernest lagi.
Sonia mengangguk. "Bukan hanya untuk menyingkirkan mereka, tapi membuat mereka berdua berpihak kepada kita." Sonia tersenyum senang membayangkan rencananya.
"Kakak tidak setuju, Sonia! Kau itu baru sembuh. Kakak tidak mau melihatmu terkurung di ruang rehabilitasi lagi."
"Ayolah, Kak," mohon Sonia sembari menatap Ernest dengan mengeluarkan puppy-eyes.
"Pokoknya tidak! Kakak juga tidak mau ikut campur urusanmu lagi. Dari dulu Kakak lihat kau selalu ingin bersaing dengan Jane. Bahkan kau sampai meniduri kekasihnya. Itu sudah lebih dari cukup," ujar Ernest berusaha menasehati sang adik yang selalu dilanda rasa kebencian, mau menang dari siapapun dan harus menjadi nomor satu. Ditambah, Sonia sangat ingin menjadikan Night miliknya dan berharap suatu saat adiknya itu akan menikah dengan Night. Walaupun itu tidak akan pernah terjadi karena hubungan mereka adalah sepupu.
"Kakak! Ishh, jangan bahas yang dulu-dulu!" tegur Sonia. "Lagipula bukan salahku dong telah tidur dengan lelaki itu? Lelakinya saja yang mudah banget dirayu," sahut Sonia.
"Pokoknya Kakak tidak setuju kau berulah lagi! Kau tidak ingat, dulu kau hampir saja membunuh sainganmu waktu kau berada di Aussie? Dan akhirnya Kakak-Kakak juga yang membereskan masalahmu itu. Sekarang Kakak tidak yakin kau tidak akan berbuat hal yang sama ke Jane."
"Kakak jahat! Kakak tidak sayang kepadaku, kan?" Sonia merajuk dengan pura-pura menangis.
Ernest beranjak dari kursinya dan berjalan mendekati Sonia, kemudian memeluknya untuk menenangkannya. "Justru Kakak itu sayang kepadamu. Kakak tidak mau kau hidup selalu diliputi rasa benci dan rasa iri. Kakak ingin kau bahagia, Sonia. Hilangkan rasa bencimu dan cobalah untuk bergaul dan menerima semua kelebihan serta kekurangan temanmu," paparnya memberikan nasihat kembali.
Sonia memang berpura-pura menangis. Tapi, tanpa sadar air matanya malah keluar sungguhan. Sonia melepaskan diri dari pelukan kakaknya. "Aku bisa sendiri mengurus hidupku." Sonia langsung melesat pergi meninggalkan Ernest sambil menyeka air matanya. Setelah itu, ia tersenyum miring. Tanpa Kakak pun aku bisa sendiri menjalankan rencanaku! Sonia tertawa dalam hati.
Sonia langsung mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi orang yang disebut Hippo oleh Ernest tadi.
"Hippo, aku butuh bantuanmu. Bisa kita bertemu?"
{....}
"Baik, tempat biasa."
*****
Jarum pendek menunjukkan ke angka 6 dan terpampang jelas di jam berbentuk bundar bergambar keropi.
Saat ini, Jane sedang merias diri dengan sangat sempurna. Ia bercermin tidak hentinya kalau-kalau ada yang kurang dalam penampilannya yang terbalut dengan gaun silver sepanjang atas lutut. "Oke, sepertinya sudah cukup dengan penampilanku," gumamnya pada pantulan dirinya di cermin. Terakhir Jane meletakkan lipstick warna peach yang baru saja diolesi ke bibirnya ke atas meja riasnya.
Jane pun keluar dari kamarnya dan langsung berjalan menuju mobilnya.
Saat di perjalanan, bunyi ponsel Jane terus berdenting. Jane mendapatkan banyak pesan di ponselnya. Sambil menyetir, ia memeriksakan ponselnya dan melihat satu persatu pesannya.
From : Edo ( EX -10)
My Jane, maaf aku tidak bisa ke klub.
"Kau memang tidak bisa diandalkan!" gumam Jane mencibir. Jane memeriksa pesan berikutnya.
From : Rei (EX - 177)
Janeku Sayang, aku sudah sampai, tapi tidak bisa masuk ke sana. Jadi aku pulang lagi.
Jane mengernyitkan keningnya bingung. "Tidak bisa masuk gimana? Dasar tidak bisa diharapkan juga!" gumam Jane lagi yang mulai merasa kesal. Tatapannya turun lagi ke pesan berikutnya.
From : Romi (Ex-377)
My Sweetheart, kenapa dengan klub? Kenapa tempat ini harus ditutup dan memisahkan kita?
Jane memutar bola matanya malas membaca sang mantan yang lebay kalau sudah berbicara.
"Kenapa semua pesan-pesan ini tidak ada yang menyenangkan sih?!" Jane melihat lagi kotak pesannya yang masih ada 20 yang harus dibaca. Akhirnya Jane memilah orang-orang yang mengiriminya pesan. "Mungkin Samuel---sang mantan tertampan di antara semua---bisa membuatku senang," gumamnya sambil membuka pesannya.
From : Samuel (EX-488)
Jane, aku sudah tiba, tapi klub tutup. Bisakah kita ketemu di tempat lain? Aku sangat merindukanmu.
Jane mengerang kesal. "Tutup gimana sih? Dasar para lelaki menyebalkan! Awas saja kalau aku sampai di sana dan klub itu ternyata tidak tutup! Akan ku pecat mereka semua jadi mantan!!" celotehnya dengan nada gusar. Jane pun menambah laju kecepatan mobilnya.
Satu jam kemudian, Jane tiba di Las Vegas Club. Ia memarkirkan mobilnya, lalu melihat klub tersebut yang menyala lampunya. "Tutup gimana coba? Jelas-jelas buka dan lampunya saja nyala!" gerutunya.
Sebelum keluar dari dalam mobil, Jane menarik nafas panjang. "Lupakan kekesalan. Mari bersenang-senang sekarang," gumamnya.
Jane membuka pintu mobilnya, lalu keluar. Dan setelah mengunci mobilnya, ia melihat deretan mobil mewah terparkir di samping mobil Jane. Mereka sudah datang rupanya. Jane melanjutkan jalannya menuju pintu masuk Club.
Sampai depan pintu masuk. Terbelalak matanya Jane melihat tulisan yang dipampang dengan jelas di samping pintu masuk. "Tempat ini sudah disewa Anderson Family." Jane membacakan dengan jelas tulisan tersebut. "Apa-apaan ini!" serunya geram.
Dari arah belakang, seseorang datang menyapanya. "Maaf, Nona, apa anda bernama Jane?" tanya seorang petugas yang berjaga di tempat itu.
Jane menoleh. "Benar. Kenapa?" jawab Jane, lalu bertanya balik.
"Anda sudah ditunggu di dalam oleh Mr. Night," jawab si petugas.
Tanpa membalas lagi ucapan si petugas, Jane pun masuk dengan amarah yang sudah mencuat. Sampai di dalam, ia langsung mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok yang sebentar lagi akan ia damprat.
"Hai, Sweety!" sapa lembut dari arah belakang Jane berdiri.
Dengan memasang wajah kesal, Jane menoleh. "Apa-apaan kau, Night, menyewa tempat ini dengan seenaknya!!" Kemarahannya makin menggebu karena melihat Night merangkul pinggang wanita penyewanya dengan mesra.
Night tersenyum tanpa dosa. Ia melepas rangkulan wanita penyewanya dan berjalan mendekati Jane. Ia memajukan wajahnya ke samping wajah Jane dan berbisik padanya. "Ini balasanku karena kau ingin membuatku cemburu, dan sekarang aku ingin melihat kau yang cemburu kepadaku, Sweety." Kecupan singkat pun didaratkan di pipi Jane sebagai penutup ucapannya, di sambung dengan mengedipkan sebelah matanya ke sang kekasih.
.......
TBC.
Share this novel