"Mr. Night, mobil anda sudah siap," ucap Scott.
"Baiklah. Thanks, Scott," balas Night sambil mengancing tuxedo birunya.
"Jadi anda akan menjemput Nona Sonia, Tuan?" tanya Scott yang berdiri di belakang Night.
"Iya."
"Bagaimana dengan Nona Jane?" Kali ini pertanyaan Scott membuat Night berdecak.
"Kenapa semua orang menanyakan hal itu kepadaku?" Night menghela nafas kasar.
"Sayang sekali kalau anda harus berpasangan dengan Nona Sonia dan bukan dengan wanita yang anda suka," sahut Scott.
Night langsung menoleh ke Scott. "Suka katamu?" Night menaikkan setengah alisnya. "Apa aku pernah mengatakan bahwa aku suka pada Jane?" Night kembali menoleh ke cermin melihat pantulan dirinya dan Scott. "Aku sudah pernah bilang kepadamu kalau aku tidak mau berurusan dengan yang namanya menjalin hubungan serius, terutama wanita. Karena itu pasti sangat merepotkan," urainya.
"Kalau begitu saya minta maaf." Scott menunduk, lalu undur diri dari hadapan Night.
Suka? Itu tidak boleh terjadi pada diriku! batin Night. Ia membuang jauh-jauh perasaan asing yang mulai mendatanginya.
Sekiranya sudah rapi, Night pun segera keluar dari kamarnya. Ia berjalan menuju sofa tempat Lily yang sedang terbalut kain. "Aku pergi dulu ya, Li," pamit Night kepada Lily sambil mengecupnya.
"Guk!" (** Aku ikut)
Night pun keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ke mobilnya. Ia sudah bersiap untuk menjemput pasangannya, yaitu Sonia.
******
Centennial High School adalah sekolah menengah umum yang berlokasi di wilayah Clark, Nevada- Amerika Serikat, di Las Vegas. Sekolah ini melayani sekitar ribuan siswa dari kelas 1 sampai 12 di Distrik Sekolah Kabupaten Clark. Dan juga, rata-rata sekolah ini diisi oleh perkumpulan siswa-siswi dari kalangan orang-orang ternama, yakni anak dari seorang model atau artis, anak perdana menteri maupun anak dari orang paling kaya di kota tersebut. Salah satunya adalah Jane. Dan tidak hanya Jane, Lizzie, Sonia yang adalah mantan alumni Sekolah Centennial High, ternyata Night dan Seven Boys Flower pun merupakan alumni dari sekolah tersebut.
Sebenarnya tujuan utama acara reuni ini digelar untuk merayakan ulang tahun pemilik Centennial High School yang sekarang sudah memasuki usia 75 Tahun. Dia adalah Mr. Sylvester Constantine. Reuni ini juga diadakan dengan sengaja bertujuan untuk saling mengenang masa-masa sekolah dan ajang perkumpulan dari semua murid sekolah dasar, menengah pertama maupun menengah ke atas.
Para panita yang membuat acara tersebut berharap dengan diadakannya reuni ini, semua teman-teman lama dan baru bisa saling bertemu serta bertegur sapa kembali. Dan tidak hanya murid yang diundang, tetapi semua para guru ikut berpartisipasi dalam acara reuni tersebut.
Hotel Monte Carlo, Las Vegas.
Saat ini para alumni sudah mulai berdatangan. Area parkir pun menjadi penuh karena terisi oleh bermacam-macam mobil mewah.
Reporter dan wartawan yang tidak mau ketinggalan, ikut hadir untuk meliput berita yang menjadi trending tropic kota tersebut. Karena baru pertama kali ini digelarnya reuni terbesar dengan mengundang semua alumni dari tahun ajaran pertama sekolah didirikan sampai tahun ajaran sekarang. Ditambah orang-orang ternama dan terkaya akan hadir dalam acara tersebut.
Mobil Ferrari LaFerrari Merah memasuki kawasan lobby hotel. Dari dalam mobil keluarlah Ernest dan Cecilia. Dilanjut di belakangnya, mobil Maybach Exelero berhenti dan keluarlah Night dan Sonia yang memakai gaun panjang berwarna merah.
Selang beberapa menit setelah Night masuk, enam mobil sport memasuki area depan lobby utama hotel. Para petugas Vallet pun menghampiri masing-masing mobil untuk mengambil alih mobil-mobil tersebut untuk diparkirkan.
Keenam lelaki itu turun bersama, tapi tidak semua yang membawa pasangan. Hanya Matt-lah yang menggandeng pasangan.
Evan melirik Matt yang benar-benar membawa pasangannya, lalu lirikkannya beralih ke Denzel. "Kak Denzel, mana pasanganmu?" tanya Evan.
"Jangan urusi diriku." Denzel pun tadi melihat Evan keluar dari dalam mobil sendirian. "Bagaimana dengan kau sendiri? Mana pasanganmu?" tanya balik Denzel.
Evan berdehem kecil sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.
"Lagipula aku sudah tahu kok kalau reuni ini tidak wajib membawa pasangan. Ngapain juga aku harus membawa pasangan," tutur Denzel.
"Jadi Kak Denzel sudah tahu?" sahut Evan dengan pertanyaan balik. "Tapi tadi sore Kakak bilang mau membawa Carol. Berarti itu semua--,"
Denzel langsung memotong ucapan Evan. "Aku hanya bercanda lagi. Kenapa kalian jadi serius menanggapinya?" Setelah berbicara begitu, tawa Denzel meledak.
Evan mendecak sebal sambil bergerutu, "Wah, Kakak mengerjai kami ya?"
Denzel berhenti tertawa. "Kalian seperti tidak mengenalku saja. Aku kan suka bercanda." Setelah berkata, ia tertawa lagi.
Evan menoleh ke Denzel sambil memicingkan matanya. "Jangan bilang yang omongan Kakak ke Nick untuk pulang ke rumah mamanya juga hanya bercanda?" tanyanya memastikan.
Dengan tanpa berdosanya, Denzel pun menjawab, "Iya. Memang kenapa?" Denzel menoleh ke belakang, samping kiri dan kanannya mencari keberadaan Nick. "Dia belum datang juga ya?" Denzel tersadar sesuatu. "Jangan bilang....?" Denzel terdiam sebentar. Dan sekali lagi ia tertawa terbahak-bahak. "Ya ampun, ternyata dia sungguh pulang," sambungnya.
Even menggeleng kepalanya. "Dasar, Kak Denzel!" serunya, lalu pergi menjauh dari Denzel.
Denzel mencoba menyusul Evan. "Siapa suruh dia mudah percaya pada ucapanku?!" hardiknya.
"Semoga dia datang. Karena setahuku rumah mamanya lumayan jauh," sahut Evan dengan nada sindiran. "Kalau Kak Night sampai tahu bahwa Kakak mengerjai Nick dan membuatnya tidak datang dalam acara ini, aku tidak akan membelamu, Kak. Apalagi jika Kak Night marah, aku lepas tangan."
"Hey, hey, kok gitu, Van?!" Denzel merajuk. "Kak Night tidak akan marah kok. Dia mana pernah marah pada kita."
"Ya semoga saja begitu."
******
Mobil Porsche putih kepunyaan Jane memasuki lobby utama hotel. Ia dan Lizzie bersamaan keluar dari dalam mobil. Petugas Vallet yang mengenali Jane langsung membungkukkan setengah badannya memberi hormat. "Selamat malam, Nona Jane."
Jane hanya merespon dengan tersenyum. Ia menyerahkan kunci mobil ke petugas Vallet sebelum ia dan Lizzie melangkahkan kakinya masuk ke dalam hotel.
Sambil berjalan masuk, ia mencoba menelepon Carol untuk menanyakan keberadaan si calon pasangannya. Tapi setelah Jane mencoba menelepon, Carol tidak mengangkatnya. Apa dia di jalan? batin Jane.
Kecemasan Jane pun menyerbak. Jane tidak menyerah dan terus meneleponnya sampai tidak terasa dirinya dan Lizzie sudah memasuki hall yang dipilih sebagai tempat acara berlangsung. Lima ruangan dijadikan satu ruangan agar bisa mencakup ribuan orang.
Jane dan Lizzie pun ternyata tidak menyangka bahwa yang datang begitu banyak. Walaupun rata-rata tidak banyak yang dikenalnya karena bukan angkatannya.
Sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, Jane dan Lizzie mencari teman-teman seangkatannya yang mungkin dikenalnya. "Aku hanya berharap kita tidak bertemu si wanita ular itu," ucap Lizzie tiba-tiba.
Jane mendengus. "Memang kenapa kalau ketemu? Aku juga tidak takut. Lagipula dia tidak akan berani macam-macam padaku ataupun kau. Hanya karena dia adalah keponakan dari orang terkaya, so what? I'm Jane Collins. Hotel ini pun milik orang tuaku, jadi kau tidak perlu takut dengannya. Mengerti, Zie? Angkat dagumu, dan berjalanlah selayaknya putri!" perintah Jane dengan nada tegas.
Lizzie tidak menanggapi. Ia bukan takut dengan si wanita ularnya, tapi yang ia risaukan adalah kedatangan Nick. Sampai sekarang Nick tidak ada kabarnya. Karena cemas, ia mencoba melirik ponselnya sekilas tanpa sepengetahuan Jane. "Eh?" Lizzie terhentak karena melihat ada pesan masuk yang tanpa disadarinya. Buru-buru Lizzie langsung membuka dan membacanya.
From : Nick
Maafkan aku, Lizzie. Lebih baik jangan menungguku. Aku tidak tahu apakah aku bisa datang tepat waktu atau tidak. Aku sedang dalam perjalanan menuju ke sana, tapi di sini ada kecelakaan yang menyebabkan kemacetan lalu lintas. Mobilku tidak bergerak sama sekali dari tadi. Ku harap kau mengerti. Sekali lagi maafkan aku. Kalau aku bisa tiba pada waktunya, aku akan langsung menemuimu.
Sehabis membaca, Lizzie menghela nafas panjang membuat Jane menoleh.
"Kenapa?" tanya Jane yang melihat raut wajah Lizzie mendadak pucat.
Lizzie tersenyum datar. "Tidak ada apa-apa," Lizzie berbohong. Ia tidak mungkin membuat Jane khawatir. Pikirnya, Jane pun sudah risau akan calon pasangannya yang belum kelihatan batang hidungnya, mana mungkin ia menambah kerisauannya dengan mengatakan Nick belum tentu datang juga.
Dari arah belakang Jane dan Lizzie berdiri, Sonia datang menghampirinya diikuti empat orang wanita yang menjadi anggota geng-nya.
"Lihat, siapa yang telah datang ini?" tanya Sonia dengan nada menyinyir.
Jane dan Lizzie langsung menengok ke belakang. Jane memutar bola matanya malas karena melihat Sonia yang muncul. Jane bersedekap, begitu juga dengan Sonia. Mereka saling menebar pandangan permusuhan dengan dagu yang sedikit diangkat ke atas.
Cih! Kenapa dia harus pakai warna yang sama denganku, cibir Jane dalam hati.
"Mana pasanganmu?" tanya Sonia dengan nada angkuh.
"Tunjukkan dulu mana pasanganmu?" jawab Jane dengan pertanyaan balik.
Sonia mendengus sambil tersenyum menyeringai. "Dia sedang di toilet. Bagaimana dengan pasanganmu, Jane? Apa dia di toilet juga?" tanya Sonia, dan diiringi tawa angkuh dari teman-temannya Sonia yang lain.
"Hey kalian berempat! Wanita-wanita penjilat dan pengkhianat! Ternyata kalian memang pantas jadi kacungnya Sonia," ejek Lizzie dengan berani.
"Apa kau bilang?" tanya Joanna, salah satu teman Sonia dengan nada marah.
"Kenapa marah? Benar kan ucapanku? Kalian dulu berteman manis dengan Jane sambil meloroti uangnya. Dan setelah kalian puas, kalian tinggalkan begitu saja karena mendapatkan mangsa yang lebih kaya. Kalau bukan penjilat dan pengkhianat apa namanya? Ah... aku tahu, mungkin lebih tepatnya, lo.ser!" jawab Lizzie menekankan kata loser. Ia tidak terima mereka menghina Jane.
Joanna ingin maju untuk menampar Lizzie, tapi Jane langsung menahan tangan Joanna. "Kalau kau berani menyentuh Lizzie, aku akan membuatmu beserta keluargamu sengsara tujuh keturunan!" gertak Jane dengan memberikan tatapan tajam.
Sonia tertawa terbahak-bahak mendengar gertakan Jane. "Lucu sekali. Aku sampai sakit perut mendengarnya." Sonia berhenti tertawa. "Persahabatan yang indah. Baiklah kalau begitu. Aku mau lihat sampai mana persahabatanmu bertahan. Akan ku beri waktu setengah jam untuk membawa pasanganmu ke sini. Kita akan lihat siapa yang menang dan siapa yang akan kalah. Kau tidak melupakan tantanganku, kan? Apa kau sudah belajar menari telanjang?" Sonia kembali tertawa terbahak-bahak sambil melangkah pergi menjauh dari Jane dan Lizzie. Sambil berjalan dengan tatapan lurus ke depan dan tanpa menoleh ke Jane, Sonia kembali mengeluarkan ancamannya, "Kau tidak akan bisa kabur ke mana pun karena para bodyguard-ku akan mengawasimu."
Jane dan Lizzie mendesah pelan sambil menggeleng kepalanya.
"Dasar wanita-wanita angkuh! Aku sangat membenci mereka!" rutuk Jane kesal.
Jane dan Lizzie kembali berjalan untuk memasuki ruangan. Ketika sedang berjalan, bahu Jane ditepuk oleh Denzel yang langsung mengenalinya dari jarak jauh.
"Hai, Calon Kakak Ipar," sapa Denzel dengan mengeluarkan senyuman jahilnya.
Jane menoleh kaget. "Denzel?"
Denzel mengamati penampilan Jane dari atas sampai bawah. "Kau sungguh cantik, Jane," pujinya.
Wajah Jane merona merah. "Gombal."
Denzel melirik wanita di samping Jane. "Kau pasti Lizzie, kan?" tebaknya.
Mata Lizzie melebar. "Bagaimana kau tahu namaku?"
Jane menyenggol lengan Lizzie memberi kode. Jane mendekatkan wajahnya ke samping wajah Lizzie. "Dia punya kekuatan yang sama seperti Carol," bisiknya.
Denzel tersenyum sambil terkekeh. "Kau mengenal Carol juga, Jane?" tanyanya.
"Bisakah kau tidak membaca pikiranku?" oceh Jane menegur.
"Habis aku senang menggodamu, Jane," jawab Denzel polos.
"Kalau kau sudah membaca pikiranku, lebih baik kau tidak perlu bertanya apa-apa!" sahut Jane ketus. Jane tiba-tiba tersadar sesuatu. "Oh ya, ngomong-ngomong sedang apa kau di sini? Apa kau alumni sekolah ini juga?" tanyanya penasaran.
Denzel mengangguk. "Kak Night dan Nick juga alumni sini."
"APA?" Jane dan Lizzie berseru bersamaan karena terkejut. Tapi aku tidak pernah melihatnya di sekolah, batin Jane dan Lizzie secara bersamaan lagi.
Jane celingak-celinguk mencari keberadaan Night. "Lalu dia mana?"
"Siapa? Kak Night? Aku juga belum bertemu dengannya dari tadi," jawab Denzel.
"Kak Denzel!" panggil Justin dari arah samping Denzel berdiri.
Denzel menoleh dan melihat para saudaranya datang menghampiri.
"Siapa, Kak?" tanya Justin melihat ke arah Jane dan Lizzie.
"Yang dress merah, dia adalah calon Kakak Ipar kita," bisik Denzel ke telinga Justin.
"Apa? Jadi dia adalah Jane?" Justin menoleh ke saudara-saudaranya. "Guys, dia Jane."
Jane mengernyitkan dahinya bingung. Ia hanya tersenyum kecut melihat tatapan dari para lelaki tampan yang berdiri sambil memandanginya.
"Cantik ya?! Sayangnya Kakak malah menggandeng si wanita yang menyebalkan itu," celetuk Evan.
Jane makin bingung. Night membawa pasangan ke sini? Pantes saja dia tidak membalas pesanku, cibirnya dalam hati.
"Mana Kakak? Apa dia tahu kalau Jane ada di sini?" tanya Justin sambil mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Kakaknya.
"Kau tidak akan bisa ketemu dengannya kalau cuma dengan mata. Di sini kan terdapat ratusan orang, lebih baik telpon saja," usul Pieter.
"Benar juga." Justin segera menelepon Night. Saat Night mengangkat, Justin menanyakan keberadaannya. "Di mana, Kak?"
"Kenapa?
"Ada Jane di sini?"
"Lalu?"
"Siapa tahu Kakak mau bertemu dengannya."
"Aku sedang bersama Sonia."
"Ah, Kakak tidak seru!"
"Apa semuanya sudah pada datang?"
"Nick tidak tahu datang atau tidak?"
"Kenapa?"
"Hem... Dia terjebak macet karena ada kecelakaan."
"Memangnya kalian tidak datang bersama?"
"Hanya dia saja yang tidak. Karena dia pulang ke rumah mamanya."
"Kenapa dengan mamanya?"
"Itu...," Justin melirik ke arah Denzel. Denzel komat-kamit memberi kode supaya jangan sampai keceplosan bicara.
"Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, Kak. Ya sudah, Kak, nanti saat pulang kita baru bertemu. Di sini ramai juga, jadi susah untuk ketemuan."
"Baiklah."
Justin langsung menutup teleponnya. Ia bernafas lega karena kakaknya tidak menanyakan secara rinci alasan Nick tidak datang bersama.
"Oh ya, Jane, kenalkan mereka semua termasuk diriku. Mereka semua adalah adik-adiknya Kak Night. Lebih tepatnya adik tiri karena kami semua berbeda mama."
Jane dan Lizzie cukup terkejut mendengarnya.
Denzel mengenalkan satu persatu dimulai dari yang tadi berbicara dengan Night di telepon. "Ini Justin Anderson, lalu ini, Evan Anderson," tunjuk Denzel mengarahkan tangannya ke arah Evan.
"Hai, Kak Jane," sapa Evan tersenyum menampilkan lesung pipinya.
Jane membalasnya dengan tersenyum.
Lanjut Denzel, "Ini Pieter Anderson, ini Javier Anderson dan terakhir adalah Matthew Anderson dengan pasangan yang dibawanya, Christina Pauline. Ada satu lagi, yaitu Nick, tapi dia belum datang."
"Hai semuanya! Aku Jane Collins. Dan ini sahabatku, Lizzie Moretz." Giliran Jane menyebutkan nama dirinya dan memperkenalkan Lizzie. Jane berdehem. "Hem, Zel--," jeda Jane sebentar. "Apa Papa kalian itu Benjamin Anderson? Soalnya nama kalian belakangnya semua Anderson." tanyanya menyelidik untuk memastikan tebakannya.
Denzel mengangguk. "Ya dia Papa kami. Papa dari Kak Night juga."
What the hell!! umpat Jane dalam hatinya. "Jadi Night adalah anak dari Benjamin?" tanyanya lagi karena masih tidak percaya. Ia mencoba menghubungkan sesuatu yang menurutnya akan terjadi bencana.
"Ya. Dia adalah anak pertama dari Benjamin Anderson dan Kelly," jawab Denzel.
Mata Jane membulat sempurna dengan mulutnya yang sudah menganga lebar.
Kelly? Kelly? Jane mencoba mengingat sesuatu dengan nama tersebut. Jangan bilang Kelly yang dimaksud?
Jane menepuk dahinya pelan karena baru menyadari kalau Kelly yang diselamatkannya tadi sore itu adalah Mama dari Night, sekaligus istri dari Benjamin Anderson, orang terkaya nomor satu di kota ini.
Pantes saja Jane merasa tak asing saat melihat wajah Kelly karena ia pernah melihatnya di sebuah majalah. Jane memang tidak pernah tahu akan profil dari seorang Benjamin Anderson. Yang ia tahu hanya Benjamin adalah orang terkaya nomor satu di Las Vegas.
Jane kembali berpikir. Kalau Kelly adalah mama dari Night, berarti hadiah yang dimaksud Kelly adalah...,
"Setengah jam sudah berlalu, Jane Collins," celetuk Sonia yang kembali datang tiba-tiba dan menghampiri Jane bersama keempat temannya, yaitu, Joanna, Lucy, Tina dan Emma.
Lamunan Jane buyar seketika. Jane dan Lizzie menoleh begitu dengan Denzel dan yang lain.
"Kalian lagi!" seru Lizzie. "Kalian tidak punya hiburan ya selain mengganggu kami?!"
"Kenapa? Sepertinya kalian jadi gemetaran karena kedatanganku ini," sahut Sonia. Sonia ingin mengenalkan pasangannya, tapi baru mau berkata, Denzel langsung memotong.
"Maaf, Jane, aku pergi dulu. Ada sesuatu yang harus aku lakukan." Sebelum Denzel pergi, ia berbisik pada Jane. "Jangan takut kepadanya, karena akan ada seseorang yang datang membantumu." Setelah mengatakannya, Denzel pergi menjauh dari semuanya dan pergi ke arah lobby, diikuti dengan yang lain.
"Kami permisi dulu." Kali ini Justin mewakili yang lain untuk berpamitan. Alasan mereka pergi karena malas berurusan dengan Sonia. Setelah berpamitan, mereka semua pergi meninggalkan Jane.
"Kebiasaan yang tak sopan!" gerutu Sonia melihat kelakuan mereka yang main memotong ucapannya dan pergi begitu saja tanpa menyapanya. Ia beralih menatap Jane lagi. "Oh ya, sekarang aku akan memperkenalkan pasanganku." Sonia menoleh dan memanggil seseorang. "Night!!"
Jane diam bergeming saking terkejut mendengar nama Night yang dipanggil oleh Sonia. Tanpa diduganya, pasangan dari Sonia adalah Night. Dan dugaan yang sempat terpikirkan oleh Jane tadi bahwa hadiah dari Kelly itu adalah Night ternyata salah besar.
Night datang dari arah samping. Ia tadi terpisah oleh Sonia karena tertahan oleh beberapa wanita yang mengenalnya dan langsung mengerubunginya sebentar. Ia pun berjalan menghampiri Sonia sambil melirik sekilas ke arah Jane.
Begitu Night sampai di hadapan Sonia, Sonia langsung merangkul lengannya dengan mesra.
"Sudah kuperlihatkan pasanganku," ujar Sonia. "Sekarang tunjukkan pasanganmu, Jane Collins!" Sonia menyunggingkan senyum liciknya.
Jane dan Lizzie hanya terdiam. Jane menatap Night, begitu juga dengan Night. Pandangan mereka bertemu, tapi tanpa teguran sapa.
"Eh, kuper! Kau sudah tidak bisa membela sahabatmu lagi, heh?! Mana keberanianmu yang tadi?!" ejek Joanna menyindir.
Jane dan Lizzie benar-benar geram. Mereka ingin melawan, tapi bingung dengan cara bagaimana.
Lucy bersedekap. "Sepertinya mereka ketakutan, Sonia."
"Ya pastilah. Mereka akan bersiap untuk menari telanjang," timpa Emma sambil tertawa.
Sonia melepas rangkulan tangannya dari lengan Night. Ia berjalan mendekati Jane dan Lizzie. "Siapa yang akan memulai duluan untuk menari telanjang?" tanyanya.
Jane menatap tajam Sonia yang mulai mendekat. Lizzie ingin maju untuk melawan, tapi tiba-tiba tubuhnya ditahan oleh Lucy dan Joanna. "Bukan waktunya dirimu tampil lagi."
"Lepaskan!" Lizzie berontak.
Jane ingin membantu, tapi dirinya juga ditahan oleh Emma dan Tina. "Apa-apaan ini!" Jane juga berusaha berontak untuk melepaskan diri.
Night yang melihat mereka di-bully hanya berdiam diri. Bukan hanya tidak mau ikut campur urusan mereka, tapi Sonia sudah memperingatkannya sewaktu dalam perjalanannya menuju hotel. Sonia bilang kepadanya kalau di acara nanti, ia akan mengerjai seorang wanita karena ingin membalas dendam.
Tentu saja semua itu hanya bualan. Sonia mengarang cerita kalau wanita ini telah merebut pacarnya ke Night. Dan Night percaya begitu saja dengan karangan ceritanya.
Tetapi yang tidak disangka oleh Night adalah wanita yang dibicarakan oleh Sonia adalah Jane. Dan sekarang Night sendiri jadi bingung mau melakukan apa.
Sonia merubah arah jalannya ke arah Lizzie. Ia mencengkram dagu Lizzie. "Kau duluan untuk menari telanjang. Kalau kau tidak mau, aku akan menelanjangi Jane ditengah orang banyak," ancam Sonia.
"Jangan dengarkan dia, Zie!" seru Jane.
Kemarahan Lizzie sudah di ubun-ubun kepalanya. "You b*tch, Sonia! Kau hanya berani main keroyokan!" umpatnya geram.
"Sonia, jika kau berani menyentuh Lizzie, akan kubuat kau menyesal!!" sembur Jane dengan gertakan.
"What?" Sonia terhenyak. "Beraninya kau mengataiku b*tch?" Sonia menyuruh Lucy dan Emma untuk menampar keduanya. "Tutup mulut mereka dengan tamparan!" perintahnya.
Jane dan Lizzie pasrah menutup mata saat geng sonia ingin melayangkan pukulan di wajahnya.
Satu detik..
Dua detik...
Tiga detik...
Jane dan Lizzie tidak merasakan sakit apa-apa. Mereka berdua membuka matanya perlahan untuk mengecek. Jane dan Lizzie melihat dua tangan dari orang yang berbeda memegang pergelangan tangan Lucy dan Emma untuk menahannya.
Dan semuanya menoleh ke arah datangnya dua orang lelaki yang membantu Lizzie dan Jane. Mereka berdua terkejut dengan satu lelaki yang dikenalinya. Seorang lelaki yang tanpa disangka-sangka datang membantu Lizzie.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya lelaki pertama yang memegang tangan Lucy yang hendak menampar Lizzie.
Kak Juna.., seru Jane dan Lizzie bersamaan dalam hati.
"Beraninya kalian menyakiti wanita yang telah menyelamatkan nyawa Mamaku!!" gertak lelaki kedua, yang memakai kacamata hitam. Ia mencengkram tangan Emma dengan kuat sambil memberikan tatapan membunuh ke Emma, tapi sayangnya tatapan itu tertutupi oleh kacamata hitamnya.
"Siapa kalian?" tanya Sonia.
Dua lelaki itu pun melepaskan tangannya. Mereka tidak langsung menjawab karena si lelaki kedua berjalan maju mendekati Night dengan wajah yang sudah meredam amarah.
Siapa yang tak gusar melihat Night diam saja tanpa membantu Jane?
Dengan amarah yang sudah meluap, si lelaki kedua langsung menyalurkan emosinya dengan memukul wajah Night sampai tersungkur. Suara pukulan tersebut membuat beberapa orang yang berada di sekitar mereka menoleh kaget.
Teriakan histeris pun terdengar dari Sonia. "Night?!!" serunya sambil membantu Night.
"Apa-apaan kau!!" seru Night sembari menatap ke lelaki yang memukulnya tanpa alasan. Sambil tangannya memegang sudut bibirnya yang sudah mengeluarkan darah segar, Night menatap lelaki itu dengan sorot kesal.
Tidak lama kemudian adik-adik Night pada datang dan menghampiri ke arah Night.
"KAKAK!!" seru Javier yang terkejut melihat Night telah terluka. Ia melirik ke lelaki berkacamata hitam itu. "Siapa kau? Berani sekali kau memukul Kakakku?!" Javier mengepal kedua tangannya karena amarah yang mencuat. Ia berdiri menantang si lelaki kedua.
Lelaki kedua tersebut melepaskan kacamata hitamnya. Dan semua orang yang melihatnya sontak terkesiap kaget, termasuk Night.
"Kak Night ada dua," ucap Javier dengan mata yang sudah terbelalak lebar.
....
TBC
Share this novel