Night POV
Syok. Satu kata itu yang sedang ku rasakan sekarang. Bagaimana tidak syok, tiba-tiba Jayden datang dan sedang memeluk kekasihku. Ditambah dalam satu hari ini, aku telah membuat dua orang wanita menangis. Mamaku dan sekarang adalah Jane, kekasihku sendiri.
Aku melamun sendiri sambil berpikir, kenapa Jane-ku menangis. Padahal tadi ku dengar bahwa dia baru saja mengucapkan suka kepadaku dan dia cemburu padaku, tapi kenapa dia malah menangis?
Bugh!
Tiba-tiba sebuah pukulan menghantam wajahku hingga aku tersungkur. Akibatnya aku yang sedang termenung memikirkan jawaban dari pertanyaanku sendiri, buyar seketika.
"Fuck!" umpatku. Aku makin terkejut saat ku menatap orang yang memukulku. Dia adalah Jayden.
"Aku mewakili Jane untuk memukulmu, Hayden! Dan sekarang sudah kuputuskan akan mengambil Jane darimu!" Jayden berbalik badan sambil merangkul pundak Jane, lalu membawanya pergi keluar dari klub.
Hey, apa maksudnya?!
Aku baru saja mau berdiri, tiba-tiba ada suara wanita meneriaki namaku. Ya, aku mengenal suara ini karena panggilannya kepadaku.
"Nikey!!" teriak Sonia sambil berlari ke arahku. "Kau tidak apa-apa, Nikey?" tanya Sonia dengan nada khawatir saat dia tiba di hadapanku.
"Aku baik-baik saja." Aku berdiri dibantu oleh Sonia. Saat sudah berdiri, aku melihat Jane sedang berjalan ke arahku lagi. Dan entah kenapa dia menatapku dengan sorot sendu.
"Benarkah kau adalah Nikey?" tanya Jane kepadaku sambil mengusap wajahku dengan lembut.
Baru aku mau membuka mulutku untuk menjawab, tapi Sonia langsung menyelaknya.
"Kalau iya memangnya kenapa?" celetuk Sonia ketus.
Jane masih menatapku. "Kalau itu benar, berarti kau adalah cinta pertamaku, Night," ungkap Jane
What?? Aku cinta pertamanya? Bagaimana bisa?
Lanjut Jane dengan ucapannya, "Dan itu berarti kau telah menyakitiku dua kali. Hubungan kita berakhir sampai di sini." Setelah mengatakan itu, Jane pergi dari hadapanku dan menyisakan diriku yang berdiri dengan wajah bodoh, lalu deretan pertanyaan kembali berkecamuk di kepalaku.
"Wait!" Aku ingin mengejar Jane, tapi lagi-lagi Sonia menghadang tubuhku dengan tangannya.
"Biarkan dia pergi, Nikey!" perintah Sonia membuatku geram.
Aku menoleh ke Sonia dengan tatapan tajam. "Apa yang kau lakukan, Sonia? Aku harus mengejar Jane. Pasti ada kesalahpahaman di sini."
"Sudah ada Jayden yang mengejarnya, Night!"
"Tapi,..."
"Please, Night, aku ke sini karena ingin bicara hal penting denganmu dan ini soal Jayden," pinta Sonia. Dan nama yang disebutkan Sonia membuat diriku urung untuk mengejar Jane.
Kira-kira ada hal apa? Kenapa aku dihadapkan dengan situasi yang selalu membuatku jadi bingung, dan tampak seperti orang tidak tahu apa-apa.
Dan akhirnya sekali lagi aku melakukan hal bodoh, yaitu tidak berusaha mengejar Jane. Aku yakin sehabis ini Jane akan lebih membenci diriku ini.
"Baiklah. Ayo kita bicara! Semoga ini adalah hal penting, Sonia."
"Ayo kita duduk di sana!" ajak Sonia membawaku ke tempat duduk yang kosong.
Sampai di sofa, aku duduk sambil mengecek sudut mulutku yang berdarah. Sial! Kenapa Jayden suka sekali memukulku?
"Night..,"
Aku menoleh ke Sonia yang memanggilku dan membuka suara duluan. Dan akhirnya pembicaraan kami dimulai.
.......
.......
Satu jam kemudian setelah Sonia selesai berbicara dan memutuskan untuk pulang, aku duduk termenung sambil menenggak Vodka yang ku pesan.
"Jayden akan merebut Jane darimu. Jadi lebih baik kau waspada, Night!"
Dari sekian banyak yang dibicarakan oleh Sonia, yang ku ingat adalah peringatannya untuk waspada pada kembaranku. Katanya, Jayden akan merebut Jane dariku.
Tadinya aku tidak mau percaya, tapi karena tadi Jayden sempat mengeluarkan pernyataan akan merebut Jane dariku, jadinya aku percaya akan omongan Sonia.
Shit! Kalau itu benar terjadi, aku tidak boleh diam saja! Jane adalah milikku seorang!
Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang. "Kak, kenapa masih di sini? Bukankah aku menyuruhmu untuk mengantarkan Jane pulang?" tanya Nick yang mengagetkanku dan ku lihat dia pun terkejut melihatku.
Aku menenggak minumanku lagi, dan mengacuhkan pertanyaan Nick.
Nick langsung ikut duduk di sampingku dan juga memesan minuman kepada bartender.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi, Kak. Tapi sepertinya kali ini kau begitu kelewatan. Aku yakin hati Kakak Ipar pasti terluka," lanjut Nick setelah memesan minuman.
Dan setelah Nick mengatakan itu, adikku yang lain pun menemuiku. Ada yang ikut duduk menimbrung, ada yang menepuk bahuku untuk menenangkanku, ada yang cuek saja, dan ada juga yang sibuk dengan ponselnya. Ya begitulah mereka.
Lho, tapi aku tidak melihat adikku yang menggemaskan itu. "Ke mana Denzel?" tanyaku kepada adik-adikku.
"Satu jam yang lalu dia sudah pergi, Kak. Dia tidak pamit denganmu?" jawab Pieter.
"Kabur lagi sepertinya," timpa Matt sambil terkekeh.
"Kata dia ada misi." Evan ikutan menimpa. "Tapi tidak tahu misi apaan," sambungnya.
"Kak, sebenarnya perasaan Kakak ke Kakak Ipar itu gimana? Apa Kakak hanya main-main?" Justin menyeletuk dengan pertanyaan.
Aku meletakkan gelasku yang baru saja ku tenggak habis di atas meja. "Aku hanya tidak tahu bagaimana menyikapi Jane dengan status sebagai pacar. Kalian kan tahu, aku tidak pernah berhubungan serius dengan wanita," jawabku.
"Iya sih. Tapi menurutku perlakuan Kakak ke Jane itu beda sama wanita-wanita penyewa yang Kakak kencani. Contohnya saja nama Jane. Kakak bisa mengingat nama dia, walaupun sudah berhari-hari," sahut Justin.
"Benar. Lalu, Kakak juga bisa mengingat wajah Jane sampai sekarang. Bukankah itu merupakan suatu mukjizat yang jarang terjadi," sambung Matt.
Aku termangu mendengarkan paparan dari dua adikku. Ternyata mereka sangat memperhatikan sikapku ke Jane, seperti, hemm... Scott.
"Intinya, Kak, jangan sakiti Kakak Ipar. Kami semua sangat setuju dengan hubungan Kakak dan Jane," ujar Nick mendukungku.
"Thanks." Hanya itu responku
Setelah pukul 12 malam, Nick dan yang lain berpamitan kepadaku untuk pulang. Aku sendiri masih menikmati kesendirianku dengan ditemani oleh sebotol beer.
*****
Flashback ke waktu Jayden mengejar Jane ...
"Ijinkan aku untuk membahagiakanmu," ucap Jayden sambil menatap lekat mata biru Jane.
Jane terpaku sesaat seakan terhipnotis dengan tatapan Jayden. "Aku...," Saat Jane ingin menjawab, kesadarannya pun tiba-tiba hilang.
"Jane!" panggil Jayden dengan panik sembari menangkap tubuh Jane yang langsung tersungkur. "Bagaimana ini?" Jayden celingak-celinguk ke kiri, ke kanannya untuk mencari seseorang. "Di mana sih dia?"
"Bawa dia ke dalam mobilku!" perintah seorang lelaki yang tiba-tiba datang menghampirinya.
Jayden menoleh dengan cepat. "Oh syukurlah, kau datang tepat waktu." Jayden mengangkat tubuh Jane ala putri dan membawanya masuk ke dalam mobil si lelaki itu. "Baiklah, sampai sini ku serahkan padamu, Denzel. Aku tidak bisa lama-lama, karena Mama tidak tahu aku menyelinap diam-diam keluar dari kamar," ucap Jayden pada lelaki yang ternyata adalah adik Night, Denzel.
"Beres. Serahkan semuanya kepadaku. Lalu, bagaimana kau pulang? Apa perlu ku antar kau dulu?" tanya Denzel.
"Tidak perlu," tolak Jayden. "Aku ke sini bersama Carol."
"Oh, pantes saja aku tidak bisa membaca pikiranmu. Ternyata si wanita tukang blok itu ada di sini," nyinyir Denzel.
"Hati-hati dengan bicaramu. Lama-kelamaan kau bisa tertarik padanya," ledek Jayden sebelum ia pergi.
"Tidak akan!" tepis Denzel dengan cepat. Setelah itu, Denzel masuk ke dalam mobil dan langsung menyalakan mesin mobilnya. Ia membuka kaca mobil untuk mengucapkan pesan terakhir ke Jayden. "Jay, walau aku tidak bisa membaca pikiranmu, aku bisa mengendus hal buruk akan terjadi. Jadi kuingatkan padamu, berhati-hatilah bila berpergian dan juga untuk penjagamu itu."
"Apa maksudmu?" tanya Jayden sembari mengernyit tidak mengerti.
"Aku tidak tahu. Tapi sebentar lagi kita akan bertemu dengan musuh yang menakutkan."
"Aku tidak mengerti, tapi terima kasih karena telah mengkhawatirkanku. Akan ku ingat baik-baik pesanmu ini, dan akan ku sampaikan pada Carol."
"Oke. Kalau begitu, aku balik dulu!" pamit Denzel sambil memasukkan gigi mobil.
"Bye!" Jayden melambaikan tangan perpisahan. "Oh ya, kirimkan alamat rumahmu lewat pesan. Besok pagi aku akan menjemputnya."
"Oke. Thanks for your help and bye!" balas Denzel sambil menaikkan kaca mobil dan mulai melajukan mobilnya pergi dari klub itu.
Setelah Denzel pergi meninggalkan Jayden yang masih berdiri sambil menatap kepergiannya, dari arah belakan Jayden datanglah Carol. "Sudah selesai, Tuan Muda?" tanyanya.
Jayden menoleh. "Sudah. Ayo kita pulang!" ajaknya. Sambil berjalan, Jayden membuka suaranya lagi. "Carol, tadi Denzel berbicara tentang sesuatu yang buruk akan terjadi. Apa itu? Apa kau tahu sesuatu, Carol?"
"Saya tidak tahu, Tuan Muda. Tapi kalau Tuan Denzel sudah berbicara begitu, berarti kita harus waspada sekarang."
"Kau benar."
*****
Keesokkan harinya....
Jane membuka kelopak matanya yang masih terasa berat. Saat ia ingin bangun, tubuhnya ada yang menindih oleh sesuatu yang berat. Ia melihat ke arah perutnya dan ada dua buah tangan yang sedang memeluknya.
Tangan siapa ini? batin Jane sambil mengangkat satu tangan tersebut untuk dipindahkan dari tubuhnya.
Karena penasaran, Jane pun menoleh ke samping kirinya. Terbelalaklah mata Jane melihat pemandangan samping kirinya. Jane langsung menoleh ke samping kanannya juga yang terdapat tangan satunya.
Oh my God, apa yang telah kulakukan semalam? Kenapa mereka semua ada di sini? Kenapa aku bisa tidur satu ranjang dengan mereka semua?
Tidak-tidak! Sepertinya lebih tepatnya mereka semua yang tidur satu ranjang denganku!
Apa yang terjadi semalam? Aku bahkan tidak ingat apa-apa. Lalu, kenapa pakaianku berubah? Ini juga kamar siapa? Jane memperhatikan pakaiannya yang sudah terganti dan berlanjut memperhatikan ke sekeliling kamar yang ditempatinya.
"Kakak ipar sudah bangun?" tanya Nick yang terbangun akibat gerakan tangan Jane.
Masih dengan rasa terkejut yang menyelimuti Jane. "A-apa ya-yang terjadi semalam?" tanyanya terbata sambil mengerjapkan matanya mencoba tidak panik.
"Apa Kakak tidak ingat?" Kali ini suara datang dari mulut Evan. Evan yang berada di samping kirinya.
Jane menoleh ke Evan. "Ingat apa?"
"Kakak telah melakukan sesuatu pada kami semua." Giliran Javier yang bersuara dengan nada serak sambil mengucek matanya yang masih mengantuk.
"Hah?" Jane melebarkan matanya sambil menganga lebar karena syok, bahkan rasa syoknya bertambah dua kali lipat.
Hey, hey, ini tidak benar, kan? Memang apa yang telah ku lakukan dengan ketujuh lelaki yang berada dalam satu ranjang denganku?
Jane tertawa terbahak-bahak membuat ketujuh lelaki yang mulai pada bangun dari tidurnya, beranjak dari ranjang dan mengubah posisinya menjadi duduk.
"Kenapa tertawa, Kakak Ipar?" tanya Nick.
Jane masih tertawa, lalu kelamaan tawanya menjadi sumbang. Ia tertawa hanya untuk menghibur dirinya karena takut dengan realita yang terjadi pada dirinya. Masa iya aku melayani tujuh lelaki sekaligus? Tunggu! Kalau benar itu terjadi, seharusnya sekarang aku...
Jane langsung meloncat turun dari ranjang dan mulai berjalan. Tidak sakit!
Berarti bukan itu, kan? Jane menghela nafas pendek. Lalu, apa? C'mon, Jane, coba ingat-ingat apa yang sudah kau lakukan pada mereka? Masa iya, nanti aku dituduh memerkosa tujuh lelaki dalam satu malam? Aih gila! Tidak mungkin!
Jane menggeleng kepalanya dengan cepat untuk membuyarkan lamunan anehnya.
Ketika Jane diam melamun dengan pikiran-pikiran anehnya, ketujuh adiknya yang memperhatikan gerak gerik dan tingkah Jane itu pun tertawa dengan pelan. Bagi mereka, Jane sangat lucu apalagi dengan kelakuannya semalam. Dan biarlah Jane seperti itu sampai mereka puas mengerjainya, sekaligus sebagai balasan semalam yang telah Jane lakukan pada mereka.
Denzel berjalan mendekati Jane berdiri. "Kakak Ipar mau tahu apa yang terjadi semalam?"
Jane mengangkat wajahnya untuk menatap Denzel, setelah itu ia mengangguk pelan.
Denzel terkekeh sebentar, lalu ia merapatkan bibirnya menahan tawa yang bisa meledak kapan saja. "Baiklah kalau begitu, tapi ada syaratnya."Denzel menoleh ke para lelaki yang sedang menatapnya antusias. "Ya kan, guys?"
Mereka semua mengangguk bersamaan tanda setuju.
"Apa syaratnya?" tanya Jane ragu-ragu. Masalahnya lelaki ini suka menggodanya.
Denzel merangkul lengan Jane untuk mengikuti dirinya melangkah. Dan para lelaki sisanya pun ikut menyusul Denzel. Mereka tidak sabar dengan apa yang akan diperintahkan Denzel untuk mengerjai Jane.
Sampainya di ruang dapur, Denzel dan Jane berdiri, sedangkan dengan ke enam lelaki lainnya, mereka hanya duduk menonton.
"Mau apa kita di dapur?" tanya Jane sambil mengernyitkan keningnya.
"Syarat dariku mudah kok, Jane." Denzel tersenyum jahil ke Jane. "Bagaimana kalau kau buat sarapan untuk kami?" usulnya, lalu menoleh ke kakak dan adiknya sambil mengedipkan sebelah matanya meminta persetujuan. "Bagaimana, guys?"
"Setuju!!" jawab ke enam lelaki dengan serempak.
Jane menelen saliva-nya dengan susah payah karena tercekat. Seumur hidupnya, ia tidak pernah berkunjung ke dapur, apalagi yang namanya memasak. Secara kalau ia mau makan, itu selalu dihidangkan oleh para pelayannya dan yang memasak juga tentu koki-koki ternama. Tapi, itu juga jarang banget ia makan di rumah. Kebanyakan ia menghabiskan waktu makannya di luar bersama Lizzie.
Oh Tuhan Yesus, Bunda Maria, Buddha, Dewi Kwan Im, Allah, Dewa apapun help me! Jane meringis dalam hati.
"Bagaimana, Jane? Mudah kan syarat dariku ini? Bukankah kaum wanita sudah biasa memasak? Jadi kurasa ini pekerjaan mudah bagimu," ujar Denzel dengan nada sindiran. Sebenarnya ia sudah tahu kalau Jane tidak bisa memasak, hanya saja bisa menggoda calon kakak iparnya itu menjadi kesenangannya sendiri. Jane dan Kakak kan sangat lucu kalau digoda.
Karena permintaan Denzel ini, Jane harus memikirkan jawabannya matang-matang. Ia tak boleh salah jawab. Kalau ia jawab tidak bisa, bukankah itu dapat menjatuhkan harga dirinya sebagai wanita? Ditambah lagi gengsinya amat besar. Akhirnya Jane menjawab dengan lantang. "Tentu saja aku bisa!" Jane berjalan menuju ke arah dapur. Bagaimana ini? Apa yang harus ku masak? Ia benar-benar panik sekarang.
Jane memperhatikan area dapur untuk melihat apa yang bisa dibuat. Dan dewi keberuntungan berpihak padanya. Roti! Ah, itu saja. Itu kan mudah! Jane tersenyum penuh kebahagiaan dan bersorak dalam hatinya. Tanda kelegaan muncul di wajahnya.
Jane menoleh ke Denzel dan yang lain sambil mengangkat dagunya angkuh. "Aku akan buat sarapan dengan itu!" tunjuknya ke arah roti tawar.
"Ide bagus, Kakak Ipar," ucap Nick sambil mengulurkan jari jempolnya.
Jane menepuk tangannya. "Oke. Mari kita lakukan sekarang!" Demi mengetahui apa yang terjadi semalam! Semangat Jane! batinnya yang mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Denzel pun berbalik badan dan berjalan menyusul ke arah kakak dan adiknya duduk. Sampai di hadapan mereka, Denzel tersenyum lebar sambil memberikan tos ala lelaki kepada Matt dan Pieter yang merentangkan tangannya ke arahnya saat ia melewati mereka.
Saat ini Jane dengan pakaian kemeja longgar menutupi tubuh atasnya dan celana boxing yang kebesaran banget menutupi tubuh bawahnya tengah memilah-milah roti.
Sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia mencari mesin panggang roti. Ia celingak-celinguk. Itu pasti mesinnya. Oke, kita taruh roti ini di sana, batin Jane sambil menaruh dua roti dalam mesin panggang itu.
Setelah itu, Jane mengambil panci untuk menggoreng telur. Yang Jane mau buat adalah roti sandwich. Karena ia pernah makan itu, jadi setidaknya ia tahu isi dalam sandwich tersebut. Telur, pasti tidak salah, gumamnya dalam hati. Jane membuka kulkas kembali dan mengambil beberapa telur, daging untuk isi sandwich. Tidak lupa dengan daun selada.
Sambil menunggu roti matang, ia menyuci daun selada sambil bersiul. Ini sih sangat mudah! Tapi kok aku sudah seperti ibu-ibu punya tujuh anak, cibir Jane dalam hati sambil melirik ke para lelaki yang duduk dan masih dengan serius memperhatikan dirinya memasak. Ck!
Jane kembali fokus dengan tugasnya lagi. Baru beberapa menit, ia mulai bergerutu kembali dalam hatinya, Untung saja ayah mereka tidak di sini. Kalau tidak, bisa-bisa aku dijadikan istri ke delapannya. Buru-buru Jane menggeleng kepalanya untuk menghilangkan pikiran bodohnya. Apa sih yang kupikirkan?
Saking keasyikan melamun, Jane tidak menyadari kalau roti dalam mesin panggang tersebut sudah matang. Ia masih mendiamkannya sampai tercium bau hangus.
"Bau apa nih?" tanya Jane sambil mengendus.
Dan tidak hanya Jane yang bertanya-tanya, ketujuh lelaki yang duduk pun pada bertanya-tanya.
"Bau apa nih?" tanya Nick yang berani bertanya duluan.
"Jangan bilang...," timpa Evan sambil menoleh ke Nick.
"Gosong maksudmu?" tanya Nick dengan pelan, takut terdengar oleh Jane.
Evan mengangguk pelan.
"Kalau begitu gawat!" sahut Nick pelan dengan keringat yang sudah keluar.
Back to Jane...
"Gawat-gawat...!" seru Jane yang melihat kedua rotinya yang sudah berwarna coklat kehitaman. Ah, sudah matang ternyata. Oke, lebih baik aku taruh ini di piring. Jane segera mengambil piring dan menaruh dua rotinya di sana, setelah itu ia menempatkannya di meja makan.
Jane kembali lagi ke dapur untuk melanjutkan dengan menggoreng telur serta memanggang roti lagi.
Karena Nick penasaran dengan hasilnya, ia berjalan dengan mengendap-ngendap menuju arah meja makan.
Mata Nick melebar dengan mulut termanga melihat roti yang baru saja diletakkan Jane di atas meja. Nick menoleh ke arah Evan.
Evan merentangkan tangannya sambil bercuap bertanya tanpa suara, Bagaimana hasilnya?
Nick menjawab dengan menggeleng kepalanya. Ia berbalik kembali ke tempatnya semua. Sampai di tempat duduknya, ia menoleh ke Denzel. "Kak, dia bisa memasak, kan?" tanyanya memastikan. Nick jadi ragu-ragu setelah melihat hasilnya. Masa kita disuruh makan makanan gosong?
Denzel mengedikkan bahunya tanda ia tidak tahu. Ya tentu saja Denzel berbohong. Mana mungkin juga ia tidak tahu, tapi demi memberikan surprise untuk para adiknya serta hiburan yang menyenangkan di pagi hari, kenapa tidak?
"Auw..," pekik Jane pelan karena terkena cipratan telur yang meletuk saat digoreng. Itu karena Jane tidak mengecilkan apinya dan juga ia tidak tahu bagaimana cara membalikkan telurnya. Alhasil saking kelamaan ia berusaha membalikkan telur, warna telur bagian bawahnya kembali berubah warna.
Akhirnya berhasil dibalik juga. Nakal juga nih telur! Jane berusaha mengangkat telur tersebut dan menaruhnya ke piring. Oke selesai untuk telur. Jane kembali meletakkan piring berisi telur di atas meja makan dan ia kembali melanjutkan dengan yang lain. Ia juga berencana membuat segelas susu hangat dan kopi hangat sebagai pelengkap. Aku memang baik hati.
"Kau saja yang lihat, aku takut melihat hasilnya," usul Nick ke Evan.
"Baiklah." Kali ini Evan yang mengendap-ngendap menuju meja makan.
"Astaga!!" ucap Evan yang tidak sengaja bersuara keras membuat Jane sampai menoleh karena terkejut.
"Ada apa?" tanya Jane panik.
"Astaga..., i-ni kelihatan enak!" alibi Evan sambil tersenyum terpaksa mengeluarkan deretan giginya ke Jane.
"Oh. Ya ampun, thanks ya pujiannya. Belum selesai kok. Aku sedang membuat minuman sebagai pelengkap. Sabar ya!" ucap Jane, lalu ia kembali lagi dengan pekerjaannya.
Evan berbalik badan dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan dengan kata-kata. Wajahnya memucat seketika. Sebagai koki ternama dan profesional, baru kali ini ia melihat seseorang yang memasak dengan buruk. Ia sampai speechless sambil mengelap keringat yang keluar di keningnya.
Jane tersenyum bahagia karena dipuji. Berarti ia telah berhasil, pikirnya. Jane bersiul ria sambil mengambil toples kecil berisikan serpihan bubuk putih. Ini gulakan, ya? tanyanya dalam hati. Bentuk gula seperti apa ya? Lalu, ini apa? Jane melihat toples kedua dan memperhatikannya baik-baik. Bubuk putih ini apa lagi? Astaga! Sepertinya habis ini aku harus kursus masak deh. Dan dengan kesimpulan Jane yang berhasil ia terka gula yang mana, ia langsung memasukkannya ke cangkir kopi.
Setengah jam kemudian....
"Selesai!" ucap Jane dengan senyum lebar terukir di bibirnya saat meletakkan piring ke tujuh dengan dua roti beserta isinya. Ia pun menoleh ke adik-adiknya. "Ayo sarapan!"
Ketujuh adiknya berjalan dengan langkah yang ragu-ragu menuju meja makan. Mereka melihat piring terakhir yang diletakkan Jane.
Mereka semua saling menatap satu sama lain dan saling bertanya dengan kode mata. Apakah ini bisa di makan?
Nick melirik ke cangkir kopi dan segelas susu putih. Mungkin ini bisa diminum, pikirnya. Nick mengambil secangkir kopi tersebut dan mulai meminumnya. Dan baru menempelkan bibirnya pada sisi cangkir dan menyeruputnya sedikit, ia langsung memuntahkannya serta batuk karena begitu manisnya.
"Kakak Ipar, ini gulanya berapa sendok?" tanya Nick memastikan.
"Berapa ya?" Jane mencoba mengingat. "Sepertinya enam sendok deh," jawabnya polos.
Nick dan Evan kembali membuka mulutnya lebar-lebar.
Denzel yang melihatnya, hanya bisa cekikikan di belakang Matt. Ia sakit perut menahan tawa.
Nick melirik ke meja makan. Pasti ada sesuatu yang bisa ia santap. Ah, telur ini matang dengan sempurna. Mungkin bisa ku makan yang ini, ucapnya dalam hati. Nick memotong kecil telur tersebut dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Dan setelah ia gigit dan mau menelannya, telur itu tidak ketelan. Alhasil ia muntahkan kembali. "Kak, kalau ini Kakak kasih garamnya berapa sendok?"
"Telur dadar itu aku kasih satu sendok teh. Tadinya aku ragu-ragu takut tidak ada rasa, jadinya aku samain saja seperti minum obat. Satu sendok teh," jawab Jane dengan tegas.
Nick memukul keningnya pelan. Ia sudah tidak bisa berkomentar apa-apa lagi. "Aku menyerah, Kak! Aku masih mau hidup." Nick menoleh ke Denzel yang daritadi hanya ketawa. "Biar Kak Denzel saja yang makan semua makanan ini." Setelah itu Nick pergi dari ruang makan.
"Tunggu, tunggu!" cegah Jane sambil mengejar Nick dan meraih tangannya. "Tidak enak ya masakanku?" Jane cemberut dan memasang raut wajah sedih. "Maaf kalau begitu. Sejujurnya aku tidak bisa memasak."
Nick menghela nafas panjang. "Seharusnya Kakak Ipar bilang dari tadi. Untung saja Kakak tidak meledakkan dapur."
Dan akhirnya tawa Denzel semakin membahana sampai Jane dan Nick menoleh ke dirinya.
"Sudah, sudah." Matt menengahi. "Lebih baik kalian semua kasih tahu ulah Jane," perintah Kakak keduanya.
Nick pun mulai bercerita. "Jadi begini Kakak Ipar,..."
Kejadian semalam..
Denzel membawa pulang Jane yang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Karena tidak tahu alamat Jane, akhirnya Denzel memutuskan untuk membawanya sementara ke kediamannya.
Saat tiba, Denzel langsung mengangkat tubuh Jane ala bridal style, dan membawanya ke kamar kosong yang memang teruntukkan untuk tamu menginap. Ia membaringkan Jane di ranjang besar, lalu menyelimuti tubuhnya. Setelah itu, ia keluar kamar sambil mematikan lampu.
Satu jam kemudian....
Semua orang di kediaman tersebut yang sudah pada kembali dari klub, tidak ada yang tahu akan keberadaan Jane di sebuah kamar kosong yang berposisi tepat di tengah yang diapit oleh kamar-kamar mereka. Sebenarnya dulu kamar itu adalah kamar yang ditempati oleh Night. Tapi karena Night memutuskan untuk keluar, akhirnya kamar itu dibiarkan kosong.
Satu jam kemudian lagi, akhirnya mereka semua bisa memejamkan mata untuk beristirahat atau tidur.
Jane membuka matanya karena ada hal mendesak yang harus ia lakukan cepat-cepat. Perutnya bergejolak hebat membuatnya harus segera mengeluarkannya. Jane menutup mulutnya dan mencari tempat untuk bisa membuangnya. Ia membuka pintu kamar dan melihat banyak pintu kamar. Karena sudah tidak tahan, ia membuka salah satu pintu kamar dan, "Hoek..." Akhirnya Jane mengeluarkan muntahan air yang sudah tidak bisa ia tahan lagi.
Dan orang yang berada dalam kamar tersebut langsung terkejut melihat Jane muntah. Lelaki ini memandang jijik muntahan yang sekarang mengotori lantai kamarnya.
Jane yang belum sadar hanya menunduk meminta maaf, lalu ia keluar dari kamar tersebut dan berjalan ke sebrang kamar. Lelaki yang ditinggalkannya hanya diam terpaku dan tidak bergeming sama sekali karena syok melihat keberadaan Jane di kamarnya. Kenapa Jane bisa berada di sini? pikirnya dalam hati.
Jane membuka pintu kamar kedua yang tidak terkunci, lalu berjalan ke arah lemari pakaian. Ia membuka lemari tersebut lalu mengacak-ngacak pakaian yang tertata rapi. Ia membuang satu persatu pakaian untuk mencari pakaian yang bisa ia kenakan dan juga celana. Setelah berhasil menemukannya, ia keluar dari kamar dan berganti lagi ke kamar berikutnya. Dan orang yang berada di kamar itu juga terbangun karena suara pintu, lalu ia hanya bisa memandangi Jane dengan syok. Kenapa Kakak Ipar ada di sini?
Kamar ketiga yang Jane masukki adalah kamar Denzel. Banyak minuman beer dari tahun berapa yang dipajangnya rapi. Dengan penasaran akan rasanya, ia membuka botol beer-nya yang bisa ia buka, lalu menenggaknya. Karena bunyi suara botol, Denzel terbangun dan terkejut melihat Jane mengobrak-abrik minuman beer kesayangannya. Ia pun meringis melihatnya. My beer..! Padahal tadi Denzel sudah waspada karena ia akan tahu ini akan terjadi, tapi ia ketiduran dan alhasil semua penglihatannya terealisasi.
Sehabis ke kamar Denzel, Jane membuka pintu kamar keempat yang ditiduri oleh Evan. Dan di kamar ini yang gelap gulita, Jane mengganti pakaiannya dengan pakaian yang ia ambil lalu setelah itu, Jane kembali memuntahkan isi perutnya yang belum lega itu.
Suara muntahan membuat penghuni kamar ini menyalakan lampu. "Astaga, Kakak Ipar kok bisa di sini?" Evan langsung menghampiri Jane yang masih mau muntah. "Ayo Kak, kita ke kamar mandi!" ajak Evan, tapi tidak dihiraukan oleh Jane. Ia seakan tidak sadar bahwa dirinya berada di kediaman orang. Jane masih berjalan terhuyung-huyung untuk membuka kamar berikutnya.
Di kamar berikutnya yang ditempati oleh Justin, Jane langsung meloncat-loncat di ranjang, membuat Justin langsung bangun dari posisi tidurnya dan loncat turun dari ranjangnya.
"Kakak Ipar?!" seru Justin memanggil nama Jane, tapi diacuhkan oleh Jane
Jane sibuk meloncat-loncat sambil memejamkan matanya. Menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan seakan-akan ada musik di dalam kepalanya.
"Sepertinya dia mabuk deh," ucap Pieter yang menyender di pintu sambil bersedekap.
Justin menoleh ke Jane lagi sambil mengguncangkan tangannya. "Kakak Ipar, sadar!"
Jane membuka matanya dan menatap Justin dengan sendu. "Kau..," tunjuk Jane ke Justin. "Menyakiti hatiku! Dan aku membencimu, Night!" ucapnya yang melihat Night dalam diri Justin.
"Aku Justin, bukan Kak Night."
"Semua lelaki di mana saja sama! Bisanya menghancurkan hatiku," keluh Jane dan sekarang ia menangis. Ia meraung dengan keras sampai semua penghuni menghampirinya.
"Ada apa ini?" tanya Nick. Matanya beralih ke dalam kamar Justin. "Kakak Ipar!" Nick langsung mendekati Jane dan menariknya turun dari ranjang. Ia memeluk Jane untuk menenangkannya. "Sudah Kakak Ipar, jangan menangis lagi."
Setelah Jane terdiam, ia langsung tertidur kembali dalam pelukan Nick.
Buru-buru Nick membawa Jane ke kamar yang tadi ditempati Jane setelah diberitahu oleh Denzel. Setelah membaringkannya di ranjang, Matt malahan ikut merebahkan diri di ranjang. "Kamarku bekas muntahan dia, jadi aku tidur di sini saja bareng Jane."
"Aku juga kalau begitu. Dia pun muntah di kamarku," celetuk Evan, lalu merangkak ke atas ranjang untuk tidur di sebelah Jane.
"Ah kalian ini, kalau begitu aku juga," sambung Nick tidak mau kalah. Ia merangkak ke ranjang dan tidur di samping Jane satunya.
Javier dan Justin saling pandang, "Sepertinya menarik," ucapnya bersamaan sambil tersenyum. Mereka pun ikut naik ke ranjang dan merebahkan dirinya di tempat yang masih bisa di tidurin.
Denzel dan Pieter pun ikut-ikutan. Dan mereka semua memutuskan untuk tidur dalam satu ranjang bersama Jane. Walaupun mereka harus berhimpit-himpitan dan saling memeluk agar muat.
Ini balasan dari apa yang kau lakukan pada kamar kami, Jane, batin Denzel sambil menyeringai jahil.
****
Jane menatap Nick dengan malas setelah mendengarkan ceritanya. "Kalian ini membuatku takut saja. Aku kira, aku telah memerkosa kalian bertujuh," cibir Jane.
"Memangnya kau sanggup melayani kami sekaligus, Kakak Ipar?" tanya Nick sambil mengedipkan sebelah matanya genit.
Eh? "A-aku hanya bercanda," ujar Jane menjadi kikuk.
Nick tertawa geli.
"Jane!!!" panggil lelaki yang baru saja datang dengan tergesa-gesa.
Jane menoleh, begitupun dengan yang lain.
"Night?" -- "Kakak??!" seru Jane dan Nick bersamaan.
"Aku ingin bicara denganmu," pinta Night.
Dan bertepatan Night bicara, suara bel pintu berbunyi.
Ting-tong!
"Apa kalian bikin janji dengan seseorang?" tanya Night yang merasa heran. Karena tidak biasanya para adiknya mendapatkan tamu dipagi hari.
Mereka semua mengedikkan bahu tanda tidak tahu, kecuali satu orang yang sudah berjalan ke arah pintu masuk untuk membukanya.
"Mana, Jane?"
"Masuklah! Kak Night juga baru datang."
"Wah kebetulan sekali, Zel." Lelaki yang bertamu itu tiba-tiba berteriak. "JANE!!!" Dan teriakannya itu membuat semua orang pada datangcup menghampiri, begitu juga dengan Night dan Jane.
"Jayden? Ngapain kau ke sini?" tanya Jane mengerutkan keningnya karena terkejut.
"Aku datang untuk menjemputmu, Jane." Jayden maju dan menggandeng tangan Jane untuk membawanya pergi bersamanya, tapi saat Jane melangkah, tangan satunya dipegang oleh Night.
Tentu Night kali ini tidak diam saja. Ia juga langsung menahan Jane pergi. "Don't go, please...," pinta Night sembari menatap Jane yang kini juga sedang menatapnya kaget.
....
TBC
Yuk baca cerita baruku berjudul Harvest Love. Vote, koment ya. tq
Share this novel