7. The Lies Uncovered

Romance Series 18623

Dalam perjalanan Jane mengantar Lizzie pulang, Jane menoleh ke sahabatnya yang dari tadi hanya diam tidak mengeluarkan suaranya. "Zie..," panggilnya.

"Hemm..." Lizzie hanya berdehem menjawab Jane sambil menatap lurus ke depan. Dalam pikirannya, ia masih tidak percaya bahwa ia terdaftar dalam situs penyewaan pacar. Kalau orang tuaku sampai tahu, mereka akan..., Pikiran Lizzie buyar seketika karena tangan Jane menyentuh tangannya.

"Kau sedang mikir apa sih? Apa kau marah kepadaku gara-gara pendaftaran atas namamu itu berhasil?" tanya Jane.

Lizzie menatap lurus ke depan sambil menjawab pertanyaan Jane. "Tidak Jane. Aku hanya sedang berpikir, kenapa pendaftaran itu bisa berhasil? Padahal...," Lizzie menyeret ucapannya sambil berpikir sejenak. Lalu, ia menoleh ke Jane. "Kau tahu Jane, aku tadi sengaja belum memasukkan foto ke persyaratan itu lho. Kok bisa berhasil ya? Ini kan aneh, walaupun memang bukan aku yang datang."

"Masa sih?" Jane sedikit terkejut mendengarnya. "Kok bisa ya? Sedangkan aku sampai matahari sudah menampakkan wujudnya saja, tidak bisa-bisa." Jane berpikir sejenak, tapi tidak menemukan jawabannya. "Ya sudahlah, mungkin error system. Setidaknya erornya ini menghasilkan keuntungan. Tahu begitu, seharusnya kau jangan mengklik bagian bayarnya juga biar gratis," ujar Jane sambil tertawa sendiri.

Lizzie tidak membalas tawanya Jane. Pikirannya masih bingung dengan situs itu.

Dan Jane maupun Lizzie tidak menyadari apa kesalahan Jane. Kenapa Jane tidak berhasil mendaftar malam itu, ya dikarenakan waktu pendaftarannya yang dimulai pukul 7 pagi.

*****

Sesampainya Jane di rumah Lizzie, Jane langsung memarkirkan mobilnya di luar pekarangan rumah Lizzie. Kemudian Jane keluar dari dalam mobil, disusul Lizzie. Dari jauh, Jane sudah melihat orang tua Lizzie sedang melakukan aktivitas paginya, yakni berolahraga. Orang tua Lizzie dibilang cukup gaul, berbeda jauh dari anaknya, Lizzie.

"Morning, Mrs. Hillary and Mr. Ricky!" Jane menyapa sambil menghampiri mereka, disusul Lizzie yang berjalan di samping Jane.

Mereka berdua pun menyapanya balik dengan senyuman.

Ricky menyambung senyumannya dengan perkataan, "Morning, Jane. Darimana kalian?" tanyanya.

"Aku minta Lizzie untuk membantuku sesuatu," jawab Jane.

Ricky menoleh ke putrinya. "Zie, kapan kau akan pergi dengan seorang lelaki? Masa sama Jane mulu?!" sindir Ricky halus, tapi sindirannya sanggup membuat mulut Jane sedikit terbuka mendengar penuturan darinya.

Jane menoleh ke Lizzie yang sudah menunduk dan langsung bergegas masuk ke dalam rumahnya.

Jane kembali menoleh ke orang tua Lizzie. "Kalian bukannya melarang Lizzie berpacaran?" tanyanya sambil mengerutkan keningnya. Otaknya yang lemot kuadrat tidak dapat mencerna ucapan orang tua Lizzie.

Kali ini giliran Hillary yang menjawabnya. "Iya, itukan dulu waktu sekolah. Sekarang kan dia sudah berusia 20 Tahun. Sudah saatnya dia mencari pacar. Benarkan, Honey?"

Ricky pun mengangguk setuju dengan perkataan istrinya.

Kini Jane akhirnya mengerti. Ternyata selama ini Lizzie yang berbohong padanya. Dasar tuh anak! umpat Jane sambil berdecak kesal. Bisa-bisanya Lizzie membohonginya selama ini. Jane pun minta ijin untuk masuk ke dalam rumah dan menyusul Lizzie.

Sampai di depan pintu kamar Lizzie yang terbuka, Jane berdiri sambil melipat kedua tangannya di dada. "Oh.. jadi selama ini kau berbohong padaku, Zie?" Jane memutar bola matanya. "Tidak boleh berpacaran?" Jane mendengus sebal. "Kau akan mendapat penghargaan atas drama yang kau perankan ini."

Lizzie menarik nafas panjang karena kebohongannya kini telah terbongkar. "Bukan begitu, Jane. Aku hanya tidak percaya diri sepertimu," sahutnya membela diri.

Jane berjalan masuk ke dalam kamar Lizzie. "Itu bukan alasan," dumelnya kesal. Jane pun duduk di pinggir ranjang milik Lizzie.

Lizzie mendekati Jane yang duduk dan ikut duduk di sebelahnya. Ia menunduk sambil menatap jari-jari tangannya yang ia mainkan. "Aku tidak seperti kau, Jane." Lizzie menoleh ke Jane. "Lihat, kau begitu cantik. Sedangkan aku?" Lizzie menyuruh Jane melihat ke dirinya. "Kau lihat sendiri?" Lizzie menghela nafasnya pelan.

Jane menatap wajah Lizzie, lalu ia menarik bibirnya membentuk senyuman manis. "Kalau untuk membuatmu cantik, aku bisa membantumu. Kau hanya perlu sedikit perubahan dan olesan dariku, terutama dari ini." Jane menarik kacamata Lizzie dan melepaskannya.

"Tetap saja, aku tidak percaya diri," sahut Lizzie.

"So, nanti malam kau saja yang menemui Nick, dan aku akan menemui Night. Okay?" usul Jane.

Lizzie memutar badannya menyamping menghadap Jane. "Jane, tadi kan kau sudah bilang bahwa kau yang akan pergi," sungutnya.

"Tapikan aku tidak berjanji," sahut Jane santai. Jane tersenyum lebar sambil memegang bahu Lizzie. "Aku akan membantumu nanti malam. Akan ku buat Nick terpana padamu," ucapnya sambil mengepal satu tangannya dengan bersemangat. Kobaran api yang mengebu-gebu pun terpancar di kedua mata Jane. Entah kenapa, ia begitu bersemangat dan bahagia bisa membuat Lizzie tampil cantik.

Bagi seorang Jane, itu adalah hal yang sangat mudah. Membuat perubahan seorang yang berparas jelek menjadi cantik hanya membutuhkan uang. Ia tinggal membayar uang kekenalannya di salon langganannya. Atau ia bisa membayar dokter muka yang terkemuka di negara ini untuk membantunya. Mudah kan?

Tapi ia tahu, Lizzie pasti akan menolaknya kalau ia berkata seperti itu kepadanya. Parahnya, Jane pasti ditegur Lizzie kalau sudah membawa-bawa uang dalam hal beginian. Walaupun kenyataannya memang seperti itu, uang menjadi hal utama dalam segalanya. Jane merasa dirinya beruntung karena terlahir di keluarga yang berada.

Setelah lama berteman dengan wanita bernama lengkap Lizzie Moretz, sebenarnya Jane cukup sadar kalau Lizzie adalah wanita yang cantik. Ia memiliki lesung pipi yang dalam saat menampilkan wajah manisnya bila tertawa. Warna matanya yang berwarna keabu-abuan juga menjadi daya tarik tersendiri untuk Lizzie. Hanya saja kecantikannya tertutupi oleh sebuah kacamata yang biasa dipakai orang-orang cupu. Kacamata besar yang bertengger manis di hidung mancungnya.

Jane sangat yakin, hanya dengan sedikit polesan saja, Lizzie akan tampil cantik seperti putri Cinderella yang terkena sihir oleh tangan seorang yang ahli dalam hal kecantikan.

Menurut Jane, yang terpenting sekarang adalah Lizzie harus mengeluarkan sikap percaya dirinya kalau ia juga bisa menjadi cantik. Cantik seperti dirinya.

Bukankah semua wanita terlahir cantik? Akan tetapi, kadang mereka kurang percaya diri. Dan itu yang mengakibatkan diri mereka menjadi cenderung minder dan mengatakan bahwa mereka tidak cantik.

Lizzie menatap serius ke Jane yang sedang bersemangat akan merubah dirinya menjadi cantik untuk acara kencan nanti malam dengan salah satu anggota Seven Boys Flower. "Aku tidak mau pergi, Jane," tolaknya kembali. Ia benar-benar tidak percaya diri. Pikirannya berkecamuk membayangkan 'kencan' yang tidak pernah ia lakukan.

Bagaimana kalau lelaki yang bernama Nick akan menolaknya setelah bertemu? Bisa kan kemungkinan itu terjadi? Kalau benar terjadi, Lizzie mau menaruh wajahnya di mana nantinya? Dan ia yakin, setelah itu ia tidak akan bisa lagi mencari lelaki untuk dikencani.

"Lizzie sayang, apa kau tidak percaya padaku?" tanya Jane mencoba meyakinkan diri Lizzie untuk mempercayainya. "Aku tidak mungkin membuatmu jelek. Justru sebaliknya, aku akan membuat Nick mengejarmu sama seperti aku akan membuat Mr. Night mengejarku. Aku akan menaklukannya malam ini dan aku hanya punya waktu lima jam."

"Jadi kau benar-benar akan menaklukan Mr. Night malam ini?" tanya Lizzie mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Jane mengangguk-ngangguk. "Sudah pasti dong. Bukankah itu tujuanku menyewa dia?" Jane menyenderkan kedua tangannya di ranjang Lizzie sambil menatap langit-langit kamar Lizzie. "Aku sudah bosan dengan lelaki di kampus. Sekarang aku sudah menemukan mainan baru, jadi aku harus bersenang-senang. Benar kan?" tanyanya sambil menoleh ke Lizzie.

Lizzie memutar bola matanya sambil menghela nafas kasar. "Ya, ya, semoga saja Mr. Night tidak mudah untuk ditaklukkan seperti lelaki lainnya."

Jane menatap Lizzie. "Jadi malam ini kau dan aku akan sama-sama berdandan dengan cantik." Jane beranjak dari duduknya dan berdiri. "Kalau begitu aku pulang dulu. Nanti aku akan menjemputmu lagi jam empat sore." Jane menoleh ke Lizzie. "Oke, Zie?" Jane mengedipkan sebelah matanya, lalu ia keluar dari kamar Lizzie, meninggalkan Lizzie yang sudah pasrah menyerahkan nasibnya pada Jane malam ini. Ia akan mencoba mempercayakannya pada Jane. Harus!

*****

Setelah berpamitan pada orang tua Lizzie, Jane pun berniat untuk kembali ke rumahnya. Tapi sebelum pulang, ia memutuskan mampir ke sebuah mall untuk berbelanja kebutuhan yang dibutuhkannya nanti malam.

Sekalian juga ia akan membelikan beberapa baju buat sahabatnya itu. Hitung-hitung sebagai hadiah karena dia mau menyetujui permintaannya untuk menemui lelaki bernama Nick. Dan juga baju itu untuk perubahan Lizzie nanti ke depannya. Ia yakin sehabis dia dipoles, banyak lelaki yang akan mengajaknya berkencan dan Lizzie pasti membutuhkan baju yang bagus. Benarkan?

Dengan senyum cerianya, Jane berjalan masuk ke toko butik dalam mall dan mulai berbelanja.

Satu jam Jane mengelilingi setiap butik ternama, tapi tidak juga mendapatkan apa yang Jane mau. Bukan karena harga yang dipasang terlalu mahal yang dipermasalahkan Jane. Dengan kekayaannya, ia sudah pasti sanggup membayar. Akan tetapi, hampir semua baju-baju bagus yang ditunjukkan padanya sudah dimilikinya. Ternyata Jane baru sadar bahwa baju-baju kepunyaannya sangat banyak. Ya, katakanlah ia adalah pengkoleksi baju-baju branded.

Sampai di sebuah butik yang belum pernah Jane datangi, Jane masuk ke dalam untuk melihat-lihat. Dan ia sangat senang karena kali ini semua baju yang diperlihatkan kepadanya sangat bagus dan ia juga belum memilikinya. "Ini, ini, ini.." Jane menunjuk baju-baju yang dipilihnya ke salah satu pelayan butik. "Aku mau semuanya dibungkus ya!" pintanya. Setelah itu, ia mendatangi kasir untuk membayar.

Saat ingin membayar, Jane hendak mengambil dompetnya. Tanpa disangka, dompetnya malah tertinggal di mobil. Ia pun merutuki dirinya sendiri. Dasar bodoh!

"Maaf, dompetku tertinggal di mobil. Aku akan kembali lagi ke sini setelah mengambilnya," ucap Jane kepada si kasir.

Respon si kasir pun agak ketus menjawabnya. "Kalau tidak punya uang jangan belanja!" cetusnya diikuti para pelayan butik lainnya yang tengah berbisik membicarakan diri Jane.

Emosi Jane pun meluap. Saat ia hendak menggebrak meja kasir untuk mendamprat si kasir, sebuah kartu kredit disodorkan oleh seorang lelaki yang baru saja datang dan berdiri di sampingnya.

"Saya yang bayar." Ucapan keluar dari mulut si lelaki yang memakai kacamata hitam serta dengan penampilan setelan jas mahal membalut dirinya.

Jane pun menoleh ke lelaki tersebut. Ia tidak bisa melihat jelas rupa wajahnya karena terhalang kacamata. Tapi yang bisa Jane tebak, umur lelaki tersebut pasti sudah kepala empat bahkan mungkin lima karena rambut putih yang mulai bercampur dengan rambut hitamnya.

"Maaf, Tuan, saya jadi merepotkan anda. Saya akan mengganti uang anda setelah saya mengambil dompet saya," ucap Jane.

Sambil si lelaki itu menunggu si kasir memproses pembayaran melalui kartu kreditnya, ia pun menoleh ke Jane. "Tidak perlu, anggap saja sebagai hadiah saya karena telah bertemu dengan wanita cantik seperti dirimu."

Oh my gosh! Benaran? Jumlah belanjaannya itu mencapai dua puluh jutaan dan dia tidak mau dibayar? Are you kidding me? Kalau tahu begitu, aku akan mengambil baju sebanyak mungkin, ucap Jane dalam hati.

"Benarkah?" tanya Jane memastikan kembali. Ya siapa tahu saat keluar dari butik ia ditagih. Dan saat tadi ia bilang akan membayar semua, ternyata hanya akal-akalan si lelaki tua itu untuk ajang pamer pada si pelayan-pelayan butik.

"Saya tidak pernah menarik ucapan yang sudah kukeluarkan," jawab si lelaki tua itu.

Jane langsung senang mendengarnya. "Thanks a lot."

Selesai si lelaki mengurus pembayarannya, ia pun menjinjing beberapa paperbag yang ia bawa. Dan Jane pun juga mengambil lima kantong paperbag yang diberikan si pelayan butik sambil melirik sinis. Awas saja kalian semua!

Mereka berdua pun berjalan bersamaan keluar dari butik.

"Baiklah, Tuan, terima kasih sekali lagi karena sudah membantuku dan secara tidak langsung menghadiahkan ini semua untukku," ujar Jane ke si lelaki itu.

Lelaki itu tersenyum. "Your welcome, Sweetheart." Lelaki itu pun memutar badannya hendak pergi dari hadapan Jane.

Jane juga hendak pergi dengan arah yang berbeda, tapi ia lupa menanyakan nama si lelaki yang membantunya. Ia pun kembali menoleh dan sedikit bersuara keras, "Boleh saya tahu nama anda, Tuan?" tanyanya membuat si lelaki itu berhenti dan menoleh ke Jane.

"Panggil saja Ben," jawab lelaki itu, lalu ia kembali melanjutkan langkahnya.

"Ben?" Jane terdiam sambil berpikir. "Apa dia adalah Benjamin Anderson?" gumamnya sambil menatap kepergian si lelaki itu. Dalam benak Jane, kalau benar itu dia, ya pantas saja dia tidak mau dibayar, kekayaannya saja melebihi orang tuanya. Jane mengedikan bahunya. "Whatever. Mungkin memang hari ini adalah hari keberuntunganku." Jane melanjutkan jalannya menuju ke area parkir.

Saat kembali ke mobil, ia melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. "Sudah jam 12. Lebih baik aku pulang," gumam Jane, kemudian ia menyalakan mesin mobilnya dan melajukan mobilnya kembali ke rumahnya.

******

Tak terasa angka 3 pada jarum jam sudah tampak di penglihatan Jane yang baru saja membuka matanya. Ia memutuskan untuk tidur setelah kembali dari mall tadi siang. "Saatnya aku bersiap-siap." Jane bangun dan beranjak dari ranjangnya.

Dan jam 4 lebih, Jane pun sudah berada di depan rumah Lizzie. Ia segera menelpon Lizzie.

"Halo," sapa Lizzie di telepon.

"Halo, Zie! Aku sudah di depan rumahmu. Keluar sekarang, ya!"

"Oke."

Jane dan Lizzie sama-sama memutuskan panggilan telepon.

Beberapa menit kemudian, Lizzie keluar dari rumahnya dan berjalan menghampiri mobil Jane. Setelah itu, mobil Jane jalan mengarah ke salon langganannya.

Sampai di salon, Jane memerintahkan Dion untuk meng- make over Lizzie.

"Awas kalau tidak cantik ya!" gertak Jane ke Dion. Biasanya Dion yang akan melayani dirinya jika ia ke salon. Jane sangat puas dengan kemampuan Dion yang dapat membuat pelanggan wanita menjadi cantik. Maka itu ia menyerahkan Lizzie padanya

Dion berdecak sebal mendengar ucapan Jane. "You know me, Dear. Apa aku pernah mengecewakanmu?" tanyanya dengan nada bersungut.

"Tidak sih." Jane tertawa.

"Serahkan pada ahlinya." Dion segera memanggil orang kepercayaannya. "Caren!"

Wanita bernama Caren datang menghampiri Dion dan Jane.

"Caren, tolong bantu make up Jane, karena aku harus urus temannya," perintah Dion.

"Oke. Ayo, Miss Jane!" Caren menjulurkan tangannya mengisyaratkan kepada Jane untuk ikut dengannya dan Jane pun mengikutinya.

Jane menoleh ke Lizzie di sela-sela ia sedang berjalan. "Zie!" Panggilan Jane membuat Lizzie menoleh ke Jane. "Santai saja dan percayakan semua pada Dion," pesannya.

Lizzie hanya tersenyum tipis ke Jane, lalu ia berjalan mengikuti Dion ke arah yang berbeda dengan Jane.

Dan acara make over untuk Lizzie pun dimulai dari sekarang.

2 jam kemudian...

"Ya ampun, ternyata kau tuh sangat cantik," puji Dion sembari melihat hasil karyanya sendiri.

Jane yang juga sudah selesai berdandan, menghampiri sahabatnya itu. Jane cukup tertegun melihat perubahan Lizzie. Ia puas dan senang karena Dion telah berhasil merubah penampilan Lizzie menjadi penampilan yang tiga huruf diucapkan Jane, "WOW! Tidak sia-sia aku membawanya kepadamu," kata Jane ke Dion.

Dion membalasnya dengan senyuman yang merekah senang. Ia juga senang dapat membantu Jane mengubah temannya menjadi tampil cantik dan memukau.

Lizzie yang sedang menatap dirinya di cermin pun tidak percaya bahwa pantulan dirinya tersebut itu adalah dirinya. Aku tidak tahu kalau diriku bisa secantik ini?

"Sudah kukatakan padamu bahwa kau sangat cantik, Zie," puji Jane sambil mendekat ke arah Lizzie berdiri.

"Kau sendiri juga cantik," puji Lizzie balik sambil menatap penampilan Jane di cermin.

"Of course." Jane tersenyum miring. Ia jadi tidak sabar bertemu dengan Mr. Night. Ia memegang bahu Lizzie. "So, are you ready tonight?" tanyanya sembari menatap pantulan Lizzie di cermin.

Lizzie hanya mengeluarkan senyuman ke Jane. Dalam hatinya, semoga saja ia tidak mengecewakan lelaki yang bernama Nick itu.

Selesai membayar, Jane dan Lizzie menuju ke tempat janjian bertemu. Namun, tempat mereka berdua bertemu berbeda. Jane di Club sedangkan Lizzie hanya menuliskan tempat bertemu di restoran.

"Let's get the party started," ucap Jane bersemangat.

...

TBC

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience