"Apa yang kau lakukan di sini, Jane? Dan siapa lelaki tadi yang keluar dari kamarmu? Apa yang kalian berdua lakukan di dalam kamar?" tanya Juna yang mengintrogasi Jane sambil menuang botol beer di gelas kosong.
Jane yang sudah memakai pakaiannya kembali, kini berada di kamar Juna. Ia duduk di pinggir ranjang sambil diintrogasi oleh Juna, kakaknya. Sebelum ia menjawab deretan pertanyaan Juna untuknya, pikiran Jane melayang sambil melihat Juna yang mondar-mandir sibuk menuang minuman. Dalam benak Jane, ia tidak menyangka bisa bertemu dengan kakaknya. Kebetulan yang tidak tepat waktu.
Padahal bisa dikatakan, kakaknya ini adalah seorang petualang. Juna suka berpergian. Entah ke mana saja dan baru kembali setahun sekali. Atau kalau lagi benar otaknya, enam bulan sekali ia akan pulang hanya untuk menyetor mukanya ke orang tuanya, setelah itu ya pergi lagi. Dan ini masih terbilang baru tiga bulan setelah kepergiannya.
Orang-orang pun kadang tidak menyangka kalau Jims Collins, papa dari mereka berdua mempunyai dua anak. Yang mereka tahu pasangan Jims dan Nate Collins hanya memiliki satu anak dan itu adalah Jane. Keberadaan kakaknya memang jarang diekspos di publik.
Kakaknya sudah suka berpergian dari usianya sepuluh tahun. Entah ia ikut berpergian bersama Paman Ronald, Kakak dari Papanya yang suka naik gunung. Atau kadang ia ikut pergi bersama Auntie Noelle ke Belanda hanya untuk membeli buttermilk yang merupakan ciri khas makanan di negara sana.
Alasan Juna tidak betah di rumah pun tidak ada yang tahu. Tapi saat sekolah dulu, Juna memang pernah bilang ke orang tuanya kalau ia bercita-cita ingin berkeliling dunia.
Juna juga pernah berkata kepada Jims, kalau ia akan bekerja di perusahaan menggantikannya jika dirinya sudah siap. Papanya pun tidak memaksanya dan begitu saja menyetujuinya. Karena kebaikan papanya itu, Juna pun berjanji padanya. Jika usianya sudah menginjak dua puluh enam tahun, ia baru akan menginjakkan kakinya di perusahaan untuk membantu papanya. Walaupun itu masih dibilang dua tahun lagi sampai itu terjadi.
"Jane, kenapa tidak jawab? Apa kalian tidur bersama?" tanya Juna memicingkan matanya sambil meneguk minumannya.
"Tidak, Kak. Kami tidak tidur bersama. Dia bahkan menolakku karena aku menyebutkan masih perawan," jawab Jane sambil menghela nafas.
"Hah?" Juna terkejut mendengarnya. Mulutnya termanga tidak percaya. Seorang lelaki menolak gadis yang masih perawan? "Apa mungkin dia gay, Jane?" tanyanya memastikan. Sebagai lelaki, ia sangat penasaran juga. "Padahal aku saja tidak akan menolak jika ada gadis yang masih perawan minta ditiduri," ucapnya dengan nada santai.
Jane mendengus. Masalahnya ia sendiri juga tidak tahu harus menjawab apa. Ia pun bingung. Karena setelah kejadian penolakan waktu kecilnya dulu, baru kali ini lagi ada lelaki yang menolaknya kembali. "Kurasa dia bukan gay, karena dia adalah...," jeda Jane sambil menimbang-nimbang sesuatu. Jika ia bilang ke kakaknya kalau ia menyewa seorang pacar di situs, yang ada kakaknya malah akan meledek dan menertawakannya.
"Karena apa?" tanya Juna penasaran. "Kok berhenti?"
Jane menatap Juna, "Karena dia terkenal suka gonta-ganti wanita," lanjutnya. Benarkan ia jawab begitu? Secara dia adalah Mr. Night, setiap hari pasti dia melayani wanita yang berbeda-beda.
"Oh ya?" Juna semakin ingin tahu tentang lelaki yang berani menolak pesona adiknya itu. Padahal Juna sangat tahu kalau adiknya sangat terkenal di kalangan lelaki. Teman-teman sekolah atau kampusnya dulu saja banyak yang ingin berkenalan dengannya, bahkan meminta bantuan padanya untuk bisa dekat dengan adiknya itu.
Dan terakhir kali Juna pulang beberapa bulan lalu saja, ia mendapati ada seorang lelaki sengaja membelikan Jane rumah seharga seratus miliyar hanya untuk menikahinya. Tapi ditolak Jane, karena usianya. Ya lelaki yang melamarnya itu lebih tua dari Jane 20 tahun dan lebih pantas menjadi pamannya, daripada menjadi suami.
"Ya begitulah," jawab Jane. Jane beranjak dari duduknya untuk mengambil minuman di meja dan ikut meminumnya. "Lalu dengan Kakak sendiri, kenapa berada di hotel ini?" tanya baliknya sambil menatap Juna.
"Aku janjian dengan seorang teman, tapi dia belum datang. Aku ingin meminta bantuan darinya. Karena yang aku tahu, dia bisa membaca pikiran," jawab Juna.
"Membaca pikiran?" Apa mungkin?
Suara ketukan pintu pun terdengar.
Jane dan Juna sama-sama menoleh ke arah pintu. "Mungkin itu dia. Sebentar, Jane." Juna berjalan menuju pintu. Sebelum membukanya, ia memastikan dulu dengan mengintip dari lubang pintu. Juna tersenyum saat melihat temannya yang sudah berada di depan pintu kamarnya. Ia pun langsung membuka pintu tersebut.
"Sorry, telat," ucap seorang wanita.
"Tidak apa-apa. Mari masuk!" Juna mempersilahkan wanita itu masuk.
Jane pun bernafas lega melihat wanita yang masuk. Tebakannya yang sempat terpikirkan di dalam benaknya ternyata salah. Untung bukan dia orangnya. Tapi menarik juga kalau Denzel dipertemukan oleh wanita ini. Sama-sama bisa membaca pikiran, pasti seru menyaksikan tingkah mereka. Jane terkikik sendiri membayangkannya.
Saat wanita itu masuk, ia terkejut melihat Jane. "Maaf kalau kedatanganku mengganggu kalian."
Lamunan Jane buyar dan ia juga langsung menepis perkataan si wanita karena dikira mengganggu. "Tidak-tidak, jangan salah sangka. Aku adalah adiknya. Kita juga bertemu secara kebetulan di sini."
Wanita itu pun sedikit menunduk malu. "Maaf kalau aku salah."
"Kenalkan Jane, ini Carol. Dan Carol, ini Jane, Adikku," sebut Juna memperkenalkan masing-masing.
Jane dan Carol pun bersalaman sambil tersenyum. Saat bersalaman, Carol mendapat penglihatan akan diri Jane dan kejadian Jane sebelum ini. Sebenarnya ia tidak mau membacanya, tapi memang karena sentuhan dan tatapanlah, ia bisa membacanya, sama seperti Denzel. Wanita ini mengenal Tuan Night?
Selesai bersalaman, Jane hendak berpamitan pada Juna karena tidak mau mengganggunya. "Aku balik kamar ya, mau tidur!"
"Baiklah. Besok kita breakfast bareng sebelum aku pergi lagi," pesan Juna dan dijawab anggukan oleh Jane.
Setelah itu, Jane keluar dari kamar Juna. Saat di kamar, Jane berjalan menuju ranjangnya dan menghempaskan dirinya di atas kasur. Ia melihat jam di pergelangan tangannya. "Sudah jam 12, apa Lizzie sudah pulang ya?" gumam Jane. Ia ingin menelepon Lizzie, tapi kedua matanya terasa berat. Dan akhirnya ia malah memutuskan untuk tidur dan menunda menelepon Lizzie.
------Mr.Night------
Bunyi ketukan dan panggilan dari luar pintu membuat Jane membuka perlahan kelopak matanya. Tangannya meraba-raba sisi meja untuk melihat waktu di jam tangannya. Saat mendapatkannya, ia melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 7.00 pagi. Jane pun bangun dengan rasa malas dan beranjak dari ranjang untuk membuka pintu kamarnya.
Juna hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat adiknya yang berantakan dalam segi rambut, make up wajahnya yang sudah luntur, dan tubuhnya yang terbalut dengan baju handuk karena ia tidak membawa pakaian. "Cepat mandi, kita sarapan. Kau juga ada kuliah, kan?"
Jane hanya mengangguk dan segera pergi ke arah kamar mandi untuk mandi.
Satu jam kemudian, Jane dan Juna menikmati breakfast di hotel tersebut. Saat makan, sebuah pesan masuk dalam ponselnya Jane. Ia pun segera membacanya. Ada laporan mengenai uang masuk di rekeningnya sebesar satu milliar.
Jane mengangkat kedua alisnya bingung dengan siapa yang sudah mentransfer uang ke rekeningnya. Lalu saat Jane mencoba mengingat, sebuah pesan masuk kembali dari nomor yang tidak dikenal. Dan pesan tersebut hanya menuliskan, 'uang pendaftaranmu sudah kukembalikan.'
Night?
Nama itu saja yang bisa Jane tebak. Karena kalau bukan Night, siapa lagi yang berhubungan dengan kata pendaftaran. Jane pun menghela nafas pelan.
Dasar lelaki terkutuk! Awas saja kalau ketemu lagi. Aku akan meminta penjelasan padanya, kenapa dia menolakku?! Rutuk Jane dalam hati.
Dan sebenarnya kenapa juga dirinya harus marah? Jane pun tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Namun penolakan atas dirinya itu membuat Jane teringat kembali akan masa kecilnya dulu di sekolah dasar, yang di mana ia ditolak mentah-mentah oleh seorang anak lelaki. Anak tersebut mengatai dirinya jelek dan gendut.
Sebab itulah yang membuat Jane mengubah dirinya habis-habisan, bahkan Jane melakukan diet ketat sampai dirinya berhasil menjadi dirinya yang sekarang. Cantik dan dipuja para lelaki adalah motto dalam percintaan Jane. Jane sungguh berharap dapat menemukan anak lelaki tersebut dan menunjukkan ke dirinya bahwa sekarang ia tidaklah jelek dan gendut.
"Siapa?" tanya Juna memperhatikan raut wajah adiknya yang banyak kerutan seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kau seperti nenek-nenek yang tidak dikasih jatah?" candanya.
Jane memukul kepala Juna dengan sendok. "Enak saja mengataiku nenek-nenek! Memang mau punya adik tampang nenek-nenek?" rajuk Jane sambil merenggut kesal.
Juna meringis kesakitan sambil mengusap kepalanya yang dipukul, lalu ia mulai tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Jane.
Satu jam mereka menghabiskan sarapan sambil bercengkrama. Dan tidak lama kemudian, Lizzie datang menyusul Jane ke hotel. Sebelum pergi sarapan, Jane sudah mengirimkan pesan meminta tolong ke Lizzie untuk mengambil mobilnya yang terparkir di Club Las Vegas dan menjemputnya. Lizzie memang bisa menyetir mobil karena Jane yang mengajarinya.
"Zie!!" Jane melambai-lambai tangannya memberi tanda keberadaan dirinya yang duduk di pojokkan. Ia tersenyum lega melihat sahabatnya telah menyadari dan langsung berjalan menghampirinya.
Dari jauh, Lizzie melihat seorang lelaki tengah duduk membelakangi dirinya. Ia mengira lelaki itu adalah Mr. Night. Saat sampai di hadapan Jane dan Juna, Lizzie langsung melihat ke arah lelaki itu, dan ternyata tebakannya salah. Kedua matanya pun melebar sempurna karena melihat paras wajah lelaki tersebut. "Kak Juna, kan?" sebutnya memastikan.
Juna yang sedang menyicip salad, mendongak. "Lizzie ya?" tebak Juna juga untuk memastikan penglihatannya. "Wah sudah lama ya tidak bertemu?"
Lizzie sangat terkejut saat melihat Juna ada di hadapannya sekarang. "Ya, Kak." Lizzie pun duduk di kursi yang kosong. "Kakak kok bisa berada di sini?"
Juna dan Jane sontak tertawa kecil karena pertanyaan yang terlontar dari Lizzie sama seperti yang telah diutarakan Jane semalam.
"Apa tidak boleh aku di sini? Kalian berdua sepertinya tidak suka melihatku di sini."
Buru-buru Lizzie menepisnya. "Bukan begitu, Kak. Aku malah senang bisa bertemu dengan Kakak," jawabnya dengan suara pelan. Kepala Lizzie pun menunduk untuk menutupi rona merah di pipinya.
Juna mengacak-ngacak pelan rambut Lizzie. "Kau kok jadi cantik begini, Zie?" pujinya.
Pujian Juna membuat Lizzie semakin gugup. Kedua pipinya sudah memerah seperti kepiting rebus yang baru matang. Lizzie pun menggigit bibir bawahnya menahan kegugupannya.
Jane menaruh curiga pada Lizzie. Wajah yang merah, malu-malu, sikap itu jangan-jangan...? Jane menarik sisi mulutnya membentuk senyuman. Ternyata sahabatnya menyukai kakaknya.
Jane tersadar sesuatu. "Ah, Zie! Aku hampir lupa. Kau tahu siapa yang meneleponku semalam?"
Lizzie mendongak dan mengangkat bahunya tanda ia tidak tahu. "Apa Night?" tebaknya.
"Isshh..," gemas Jane. "Jangan ungkit si lelaki yang tidak punya perasaan itu!" umpatnya kesal.
"Lho kenapa? Bukannya tadi malam kau bersenang-senang dengannya?" tanya Lizzie. Ia jadi bingung sendiri dengan kekesalan Jane yang tiba-tiba meradang itu.
"Jangan dibahas deh, bikin mood-ku jadi jelek saja!" oceh Jane.
"Oh, jadi lelaki gay itu namanya Night ya?" celetuk Juna.
Jane dan Lizzie menoleh ke Juna.
"Gay?" tanya Lizzie yang jadi tambah berlipat ganda kebingungannya. "Aku tidak mengerti sama sekali. Siapa yang gay? Night kah?" tanyanya. "Tunggu deh! Mana mungkin dia gay kan? Bukankah dia pemimpin dari situs---," ucapannya terhenti karena tiba-tiba tangan Jane menyekap mulut Lizzie dengan cepat.
Juna mengangkat sebelah alisnya menatap Jane, dan Jane hanya menyengir sambil terkekeh. "Bukan apa-apa, Kak," ucapnya. Lalu, Jane menoleh ke Lizzie dan memberi kode lewat matanya untuk tidak membahasnya di depan kakaknya.
Lizzie yang mengerti kode dari Jane, akhirnya diam dan tidak melanjutkan. Ia menatap Juna dan tersenyum datar.
Keheningan tercipta untuk beberapa menit sampai Lizzie membuka suara kembali. "Tadi kau mau bilang apa Jane masalah telpon?" tanyanya mengingatkan Jane.
"Ah ya! Yang meneleponku adalah Sonia, kau masih ingat dia?" tanya Jane dan Lizzie menjawab dengan anggukan.
"Tentu saja aku ingat. Dia kan sainganmu sepanjang masa," jawab Lizzie. "Dan aku selalu yang kena bully dia beserta para geng-nya kalau sudah bersamamu." Lizzie menghela nafas kalau mengingat kejadian-kejadian saat dulu sekolah.
Jane terkikik. "Maaf." Jane lalu melanjutkan, "Dia meneleponku untuk memberitahukan ku kalau nanti malam akan ada reuni di Hotel Monte Carlo jam tujuh dan kita berdua diundang untuk datang. Lalu katanya kita diharuskan membawa pasangan."
"Hah? Bawa pasangan?" Lizzie melebarkan matanya. "Mau reuni atau ajang pamer lagi?" Lizzie menggeleng kepalanya pelan. Ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi nanti malam. Saling pamer, saling mem-bully, saling menjatuhkan, semuanya itu membuatnya menarik nafas panjang dan bergidik ngeri. "Lalu, kau mau datang Jane?" tanyanya.
"Harus dong! Dia mengejekku dengan berkata kalau aku tidak datang, maka aku akan selalu menjadi nomor dua. Membuatku kesal saja!" keluh Jane dengan nada gusar.
"Memang kau mau bawa siapa, Jane? Night?" Lizzie menebak dan spontan tangannya dipukul pelan sama Jane.
"Sudah ku bilang jangan bahas dia!" cibir Jane.
Lizzie terkikik. "Ya maaf. Duh aku jadi sangat penasaran dengan apa yang terjadi semalam pada kalian berdua," sahutnya. "Jadi siapa yang akan kau bawa? Aku yakin Sonia tidak akan membawa sembarangan pasangan." Lizzie mengulang kembali pertanyaannya.
"Aku belum tahu," jawab Jane. Nanti aku akan cek di daftar kontakku, kira-kira siapa ya yang bisa ku bawa?"
"Kalau begitu kau datang saja. Aku tidak ikut. Lagipula harus membawa pasangan segala. Kau sih enak, cowok di mana-mana. Sedangkan aku? Kau tahu kan, pacar saja aku tidak punya," sungut Lizzie.
"Bagaimana dengan Nick? Apa semalam kalian bertukar nomor telepon? Dan apakah dia terpesona akan kecantikanmu?" cecar Jane dengan antusias.
Wajah Lizzie kembali memerah. Ia menangkup wajahnya sendiri untuk menutupi rona merah pipinya. Semalam ia memang bertukar nomor telepon karena Nick yang memaksanya.
"Wah, pasti ada kejadian seru nih. Hayo cerita!" paksa Jane sambil menarik-narik tangan Lizzie.
Juna melihat Lizzie dengan tatapan semu. Sekilas wajah Lizzie tampak berbeda di matanya. "Siapa Nick?" tanya Juna yang keceplosan.
Jane menoleh ke Juna. "Dia gebetannya Lizzie," jawab asal Jane. Jane sengaja menjawabnya seperti itu untuk mengetes sesuatu.
"Dia bukan gebetanku, Jane," tepis Lizzie cepat-cepat.
Jane menahan tawanya dalam hati.
Ada kelegaan di hati Juna mendengar jawaban Lizzie. "Bukan gebetan kok wajahmu memerah?" Juna menyindir halus. Ada sedikit kecemburuan yang terselip di dalam dirinya.
"Ya itu pasti ada hal yang romantis tadi malam, ya kan, Zie?" Jane mengerjapkan matanya untuk meledek Lizzie.
Lizzie menunduk kembali. Ia merasa malu sekarang. God help me!
"Intinya, kau bawa saja Nick nanti malam. Siapa tahukan dia mau." Jane mencoba membujuk Lizzie..
"Tapi, Jane..." Lizzie menyeret ucapannya sejenak. "Dia itu sibuk kalau malam. Kan kau tahu sendiri pekerjaannya. Jadi ku yakin dia tidak akan bisa."
"Sini ponselmu!" pinta Jane.
"Buat apa?" tanya Lizzie bingung.
"Sudah cepat pinjam!" paksa Jane.
Lizzie pun mengambil ponselnya yang berada di dalam saku celananya, lalu memberikannya ke Jane. "Nih.."
Jane mengambil ponsel Lizzie sambil memastikan sesuatu. "Beneran ada nomor Nick di sini?" tanya Jane dan Lizzie mengangguk.
Jane mulai mencarinya dan ternyata benar. Sungguh ada nama Nick di kontak Lizzie. Ia pun mulai mengetik sebuah pesan ke Nick.
"Kau menulis apa, Jane? Jangan tulis yang aneh-aneh!" Lizzie mencoba memperingati Jane. Ia juga berusaha merebut ponselnya dari tangan Jane. Tapi Jane berhasil menghindar.
Selesai mengetik, Jane langsung mengirimnya. Setelah itu, ia mengembalikan ponsel Lizzie ke tangan Lizzie.
Lizzie yang penasaran langsung mencari tahu dengan mengotak-atik ponselnya dalam menu pesan. Setelah ketemu, terbelalak mata Lizzie membaca pesan yang dikirimkan oleh Jane. "Kau gila ya, Jane! Kau menyuruhnya datang dengan ancaman aku tidak mau bertemu dengannya lagi?" Lizzie mendengus marah. "Aku itu bukan siapa-siapa dia, Jane. Dia tidak mungkin datang. Percaya padaku! Yang ada dia akan membenciku karena pesan ini."
Lizzie mencoba tidak melanjutkan perkataannya karena yang ada air matanya akan keluar. Padahal ia baru saja mendapatkan teman lelaki yang tampan untuk sekedar berbincang. Sekarang pupus sudah harapannya itu karena tidak mungkin terjadi. Nick pasti akan membencinya setelah membaca pesan tersebut. Nick pasti tidak akan menghubunginya lagi.
"Kalau dia tidak datang, aku akan menyuruh lelaki-lelaki yang mengejarku untuk menemanimu malam ini," sahut Jane.
Lizzie tidak menjawabnya. Ia merasa sedikit kesal dengan Jane.
Juna yang dari tadi hanya mendengarkan dan menatap kedua wanita di hadapannya dengan menopang dagunya, cuma bisa menyengir sendiri. Ada rasa penasaran dan ketertarikan tersendiri bagi Juna untuk masalah yang dihadapi Lizzie. Dan rasa khawatir yang menyelimuti Juna membuatnya mengambil keputusan yang tidak akan diketahui Jane ataupun Lizzie.
Tidak lama kemudian, tanpa penyelesaian dan jalan keluar untuk acara nanti malam membuat Jane dan Lizzie tidak membahasnya lagi. Mereka memutuskan untuk berpamitan dengan Juna. Setelah kepergian Jane dan Lizzie, Juna yang masih menatap punggung mereka berdua langsung menarik sisi mulutnya membentuk sebuah senyuman. Senyuman yang mengisyaratkan bahwa ia akan membantu Lizzie malam ini.
Sampai ketemu nanti malam, Lizzie!
.....
TBC
Share this novel