Chapter 12

Romance Completed 3114

Roy pulang lebih awal dari biasanya, Sheila sedang berada didepan laptopnya seperti biasa di area pribadinya.
Sheila bisa tahu Roy sedang dalam kondisi tidak bagus emosinya dari suara pintu yang Roy hempaskan dengan kencang dan juga langkah kaki Roy yang terdengar begitu kencang hingga sampai ke area pribadinya.

Hidup bersama dengan Roy dalam beberapa minggu sudah membuat Sheila cukup terbiasa dengan tabiat dan perilaku Roy. Kali ini Sheila juga mendengar jika Roy sedang menuju ke area pribadinya.

"Ella." Panggil Roy sebelum sampai ke pintu kaca area pribadi Sheila.

"Apa?" Balas Sheila dengan pelan dan malas, mungkin yang bisa mendengarkan suaranya hanyalah dirinya sendiri.

"Ella." Panggil Roy lagi sambil membuka pintu kaca area pribadi Sheila. Sheila yang sedang duduk di karpet ruang tamunya sambil menghadap kearah laptop menoleh kearah Roy yang baru saja datang dengan wajah kacau itu.

"Apa?" Ulang Sheila dengan helaan nafas yang panjang kemudian menatap kearah laptopnya lagi.

Roy menghampiri Sheila sambil melepaskan dasi yang sudah tidak beraturan bentuknya dari kemeja yang ia kenakan.

"Keluar." Kata Roy sambil menarik tangan Sheila,namun Sheila menarik tangannya dengan tenaga yang tidak kalah kuat dengan Roy.

"Aku bisa berdiri sendiri." Kata Sheila sambil berdiri dari duduknya dan berjalan melewati Roy dengan kesal . Sheila tahu jika Roy ingin bicara dengannya diluar area pribadinya karena mungkin ayah Roy memasang penyadap ataupun kamera tersembunyi di area pribadi Sheila. Sheila berjalan keluar sampai pintu kaca area pribadinya kemudian berhenti yang diikuti oleh Roy.

"Kau mau bicara dimana?" Tanya Sheila dengan enggan.

"Areaku." Jawab Roy singkat lalu Roy berjalan mendahului Sheila menuju tangga.

Sheila mengikuti Roy sambil menyeret langkah kakinya dengan sangat malas. Sheila tahu apa yang akan Roy katakan, melihat situasi hatinya yang begitu buruk jelas ini berkaitan dengan ayahnya.
Sesampainya di ruang tamu Roy, Sheila langsung duduk di sofa milik Roy.

"Minumlah dulu. Tidak bagus untuk kesehatanmu jika kamu baru saja pulang lalu sudah harus marah-marah." Sheila mencoba memberikan nasehatnya kepada Roy sambil menunjuk kearah lemari es Roy yang berada disamping meja bar depan dapur kecil di area pribadi Roy.

"Bagaimana tua bangka itu bisa tahu tentang kehamilanmu?" Tanya Roy dengan emosi tanpa memperdulikan nasehat Sheila.

"Aku juga tidak tahu. Memangnya aku sebodoh itu harus mengatakan hal yang jelas tidak terjadi kepada ayahmu?" Balas Sheila sambil membuang wajahnya melihat kearah lain selain Roy, hari ini Sheila benar-benar tidak ingin melihat Roy.

Hati dan pikirannya begitu kacau akan apa yang terjadi pada dirinya semenjak dirinya menikah dengan Roy.

"Tua bangka itu juga menemuimu hari ini. Dan kau tidak memberitahuku soal ini. Bukankah seharusnya kau memberitahuku tentang hal ini? Aku juga menghubungimu seharian ini tapi tidak kau jawab. Apa yang ada di otakmu itu?" Tanya Roy dengan emosi.

"Aku sedang berpikir. Dan pada akhirnya aku tidak menemukan apapun untuk hal ini. Ayahmu masih saja mengancamku dengan menggunakan nenekku. Dia ingin mengubah kesepakatan. Kali ini kesepakatannya adalah aku harus melahirkan cucunya dengan sehat dan selamat atau nenekku yang menjadi taruhannya. Baru kita bisa bercerai." Kata Sheila dengan nada datar kepada Roy.
"Kenapa sekarang masalahnya harus bertambah lebih berat?" Tanya Roy kepada dirinya sendiri juga kepada Sheila.

"Tadi siang tua bangka itu datang kekantorku dan dengan bangga berkata padaku akan segera memberikan seluruh bisnisnya pada cucunya. Seluruh staffku bahkan bisa mendengarkan hal itu."

"Seharusnya ini adalah masalahmu sendiri. Sekarang aku juga harus ikut menanggungnya bersama dengan nenekku dan juga Teddy." Kata Sheila skeptis. Roy menatap tajam kearah Sheila sambil bertolak pinggang.

"Aku juga tidak tahu jika akan seperti ini. Kalau sampai si tua bangka itu sampai tahu jika kamu ternyata tidak hamil, tidak hanya nenekmu saja yang terancam tapi juga bisnis yang sudah aku bangun dengan jerih payahku sendiri. Dan juga kehidupan pribadiku. Seharusnya pernikahan ini sudah cukup untuk menyelesaikan masalahku dengan keluargaku, tapi malah jadi berantakan dan semakin rumit. Ironis sekali." Kata Roy seolah menyalahkan Sheila kali ini. Sheila tertawa dalam sekali nafas.

"Ironis? Semuanya karena kebohongan yang kau ciptakan sendiri, jika bicara masalah ironis, aku yang seharusnya mengatakan hal itu bukan kamu." Balas Sheila sambil melipat tangannya didepan dadanya.

"Kamu seharusnya merasa bersyukur. Bisa tinggal di tempat mewah, kamu juga bisa makan dengan enak dan semaumu. Kamu memiliki status sosial yang tinggi sebagai istriku. Apapun yang kamu inginkan pasti akan aku penuhi, belum lagi tua bangka itu jelas akan memanjakanmu ketika ia tahu tentang kehamilanmu walaupun itu palsu."

"Apa aku menginginkan semua ini?" Tanya Sheila kali ini dia ingin mengatakan apa yang ia ingin katakan kepada Roy. Sheila menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Aku tidak pernah meminta semua ini. Aku memang membutuhkan uang untuk biaya hidupku sendiri dan juga nenekku, tapi aku tidak meminta sebesar apa yang aku dapatkan saat ini. Aku tidak menginginkannya ,Roy. Aku tidak meminta rumah mewah untuk aku tinggali. Kau sebut ini rumah? Ini lebih seperti penjara mewah untukku. Aku juga tidak meminta status sosial sebagai istrimu, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidupku dengan seseorang yang aku cintai dan mencintaiku, bukan pernikahan yang kita jalani, hanya untuk memperbaiki nama baikmu dan menutupi aibmu. Pertamakalinya aku tidur dengan seorang laki-laki malah denganmu, aku harus menghadapi kebohongan yang menyatakan bila aku mengandung anakmu, aku bersedia menikah denganmu hanya karena aku tidak mau nantinya anakku mendapatkan cemoohan seperti yang aku alami, tapi.. kenyataannya aku hanya dijebak dalam sebuah ikatan pernikahan hanya untuk egomu. Aku juga harus siap bercerai setelah aku melepaskan segala yang berarti dalam hidupku untuk pernikahan yang malah menghancurkan aku seperti ini. Kalaupun aku harus bertahan dalam pernikahan ini, aku harus bersaing dengan seorang laki-laki, aku harus berbagi status dengan seorang laki-laki, bukan wanita. Aku juga menyakiti Teddy begitu dalam, sampai aku juga merasakan sakit itu." Kata Sheila begitu emosi hingga suaranya bergetar karena tak sanggup menahan air matanya yang hangat mengalir dipipinya.

"Aku yang seharusnya mengatakan -ironis- disini. Bukan kau ataupun keluargamu. Aku hanya secuil pelengkap yang nantinya akan kau buang tanpa berarti apapun." Lanjut Sheila sambil menyeka air matanya dengan punggung tangannya.

"Aku mencoba menyelesaikan masalah disini...." Kata Roy sambil berdehem melihat Sheila yang terlihat begitu putus asa dibalik emosinya yang nampak saat ini.

"Aku menyerah tentang ini, ceraikan aku, Roy. Kita akui saja semua sebelum terjadi hal yang lebih menakutkan lagi. Tempatku bukan disini. Kembalikan aku ketempatku semula. Aku tidak akan menuntut apapun kepadamu ataupun keluargamu.Aku juga tidak mau menyakiti Teddy lebih parah lagi." Kata Sheila begitu putus asa kepada Roy. Roy tediam mendengarkan perkataan Sheila. Sebuah rasa tidak rela muncul dari dalam batin Roy.

"Tempatmu disini. Kamu masih milikku selama aku tidak menceraikanmu. Dan kau akan tetap berada disampingku membelaku seperti saat kau mengatakan kepada Teddybearmu terakhir kali kalian bertemu, walaupun kau tidak mencintaiku, aku adalah suamimu." Balas Roy akan permintaan Sheila.

Sheila menatap Roy dengan pandangan tidak menerima balasan dari Roy untuknya.

"Tidurlah. Hari ini juga melelahkan untukku.Aku akan memikirkan caranya untuk mengambil nenekmu dari tua bangka itu. Untuk selanjutnya, biar aku saja yang memikirkannya." Kata Roy lalu masuk kedalam kamarnya.

Sheila menutup matanya, merasa begitu lelah. Emosinya hari ini benar-benar terkuras , ingin rasanya ia menemui Teddy dan berada dalam pelukan Teddy yang selalu menenangkannya. Sheila tidak mungkin bisa menemui Teddy ketika dirinya harus berada dalam posisi ini, posisinya akan mengancam Teddy nantinya. Lagipula Sheila juga merasa begitu bersalah kepada Teddy, ia bahkan merasa tidak pantas untuk berhadapan dengan Teddy semenjak dirinya memutuskan untuk memilih Roy di depan Teddy saat resepsi pernikahannya malam itu.

Roy bisa mendengarkan isak an tangis Sheila hingga Sheila meninggalkan area pribadi miliknya dan menutup pintu kaca milik Roy. Roy melepaskan seluruh pakaiannya dan masuk kedalam kamar mandi pribadinya, menyalakan shower air hangat yang membasahi seluruh tubuhnya yang terasa begitu lelah hari ini. Setidaknya air panas yang mengguyur kepala dan tubuhnya membantunya untuk merasa lebih baik saat ini. Roy berusaha menutup hati dan dirinya semenjak ia masih remaja dulu. Roy berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak pernah mempercayai siapapun untuk masuk kedalam hatinya terutama wanita. Wanita yang paling menyakitinya adalah ibu kandungnya sendiri. Roy tidak ingin memiliki hubungan batin dengan wanita manapun. Cukup yang ia rasakan dulu ketika dirinya disakiti begitu dalam oleh ibu kandungnya sendiri.Namun karena jebakan licik Katarina , ia harus menikmati indahnya kebersamaan intim bersama wanita dengan Sheila. Berulang kali Roy menolak kenangannya bersama Sheila dan juga sentuhan Sheila malam itu, hati kecilnya seakan berteriak mengingatkan Roy akan semua itu. Roy seharusnya tetap nyaman dengan hubungannya bersama Tonny, orang yang sama-sama merasakan sakit yang sama dengan dirinya. Hubungan mereka selama ini sangat dirasa nyaman oleh Roy, tanpa ada hal yang menyakiti hatinya. Kali ini Roy merasakan rasa sakit itu karena Sheila.

Semenjak Sheila menginjakkan kakinya dirumah Roy, Roy sudah menganggap jika Sheila adalah miliknya. Miliknya yang tidak boleh di ambil oleh siapapun. Entah itu karena perasaan sayang ataupun obsesinya , Sheila tidak akan kemana-mana tanpa persetujuan darinya. Sekalipun hati dan cinta Sheila untuk oranglain, yang terpenting adalah Sheila tidak akan pergi dari sisinya. Ego Roy semakin besar ketika Sheila sendiri yang mengatakan jika dirinya sudah berada dirumah yaitu rumah Roy dan juga Sheila pernah mengatakan jika dia tidak akan meninggalkan Roy dan juga mempercayai Roy.

Tapi ketika Sheila tadi mengucapkan agar Roy menceraikan dan melepaskan Sheila, Roy benar-benar merasa tidak terima jika miliknya harus meninggalkannya.
Kata-kata Sheila ingin bercerai dengan dirinya terngiang-ngiang begitu kencang dikepala Roy sampai Roy harus menutup kedua telinganya. Rasa sakit hebat menyerang kepala Roy. Roy mematikan kran Shower dan berjalan kearah wastafel dan berkaca. Bayangan ibunya seolah muncul disana. Ibunya terlihat cantik dengan rambut yang digerai seperti biasanya, tersenyum pada Roy, senyuman itu begitu cantik dan menakutkan. Bayangan itu bahkan berbicara kepada Roy.

"Apapun milikmu akan hilang dan meninggalkanmu. Kamu ditakdirkan untuk selalu sendiri.Itu adalah kutukanku untuk anak terkutuk sepertimu. Jika tidak mau kehilangan apa kau cintai , maka matilah." Kata bayangan ibu Roy kepada Roy. Roy menggelengkan kepalanya.

"Tidak.. Tidak.. Pergilah." Teriak Roy sambil memukul cermin yang ada di hadapannya dengan tangan telanjang hingga cermin itu pecah dan bayangan ibunya menghilang.

Tangan Roy terluka oleh pecahan kaca pada cermin yang hancur itu. Roy bahkan tidak bisa mengatur nafasnya sendiri. Roy berusaha untuk tetap sadar dan mengenakan handuk untuk menutupi tubuhnya. Roy berjalan dengan terhuyung , berperang dengan rasa sakit dikepalanya. Yang ada dalam pikiran Roy adalah ia ingin melihat Sheila. Sheila akan pergi dari rumahnya setelah meminta di ceraikan oleh Roy. Roy naik ke lantai 3 ke area pribadi Sheila.

Sheila tengah menarik selimutnya ketika dirinya mendengarkan Roy meneriakkan namanya lagi. Sheila berniat tidak mau meladeni Roy hari ini. PIntu kacanya juga sengaja ia kunci agar Roy tidak bisa masuk ke area pribadinya. Namun Sheila tidak tahan dengan suara pintu kacanya yang begitu kencang di pukul oleh Roy. Sheila menutup telinganya agar dirinya tidak tergoda untuk menghampiri Roy dan bertengkar mulut dengan Roy lagi. Pukulan di pintu kacanya sudah tidak terdengar lagi. Sheila menghela nafas lega. Namun juga ingin tahu, apa yang akan dilakukan oleh Roy saat dirinya tidak menemui Roy , apa Roy akan menghancurkan pintu kaca itu , atau... Terlalu banyak imajinasi Sheila. Akhirnya Sheila memutuskan untuk turun dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar tidurnya, ia menyalakan lampu ruang tamu nya. Betapa terkejutnya Sheila melihat pintu kacanya yang bernoda darah dan juga Roy yang terbaring didepan pintu kaca area pribadinya. Sheila langsung berlari dan segera membuka pintu kacanya dan menangkup wajah Roy.

"Roy? Roy?" Panggil Sheila namun tidak ada reaksi dari Roy. Sheila ingin berteriak minta tolong, namun mereka hanya berdua dirumah sebesar ini tanpa seorang pembantupun.

Sekujur tubuh Sheila terasa lemas dan jantungnya berpacu tidak menentu. Sheila berdiri berniat mengambil ponselnya untuk menghubungi Tonny, tapi Sheila kembali lagi, ia tidak tahu nomer Tonny, lalu Sheila duduk lagi disamping Roy, kemudian terpikirkan oleh Sheila untuk menelpon ambulans.

"Oh iiya, ambulans." Kata Sheila berdiri lagi, tapi kemudian duduk lagi.

"Lalu dia bagaimana?" Tanya Sheila bingung sendiri. Akhirnya Sheila mencoba untuk memapah Roy.

"Badannya besar begini, bagaimana aku bisa mengangkat tubuhnya." Pikir Sheila sambil berusaha mengangkat leher Roy dengan tangan kanannya.

Untuk mengangkat tubuh bagian atas Roy saja, Sheila tidak mampu.

"Tunggu sebentar,Roy. Aku telepon ambulan dulu." Kata Sheila dengan panik kepada Roy yang masih tidak bergerak itu. Saat Sheila hendak berdiri, tangan Sheila ditahan oleh Roy.

"Jangan." Kata Roy sambil mengernyitkan keningnya menahan rasa sakit dikepalanya.

"Kau ... Kau buatku takut. Aku kira kau mati." Kata Sheila sambil sedikit terisak karena lega. Sheila takut Roy akan mati dihadapannya.

"Aku masih hidup, Bodoh. Bantu aku berdiri." Kata Roy yang kemudian dibantu Sheila untuk berdiri .

Walaupun Roy sudah sadar, Sheila masih sangat berusaha keras untuk memapah tubuh Roy. Saat Roy sudah bisa berdiri, handuk yang menutupi tubuh bawah Roy sempat akan jatuh. Dengan cepat Sheila menahannya.

"Kenapa handuk ini juga ikut menyusahkan?" Gerutu Sheila dengan spontan.

"Biarkan saja, papah saja aku kekamarmu. Toh kamu juga sudah pernah melihat dalamnya." Komentar Roy dengan acuh.

"Kamu jangan cari mati. Diam saja, Kondisimu juga tidak bagus." Balas Sheila yang wajahnya sudah memerah.

Sesampainya dikamar Sheila, Sheila membantu Roy untuk berbaring di tempat tidur Sheila.

"Tadi aku lihat ada darah. Bagian mana yang terluka? Apa aku perlu panggil ? Apa perlu memanggil bantuan?" Tanya Sheila mulai panik lagi ketika melihat handuk Roy bernoda darah dan juga selimut di tempat tidur Sheila.

"Tanganku saja yang terluka. Kepalaku sakit sekali. Jangan panggil ambulans,aku benci rumah sakit." Jawab Roy sambil mengangkat tangannya yang terluka. Sheila meraih tangan Roy yang terluka.

"Kenapa bisa begini?" Tanya Sheila histeris melihat darah segar yang masih mengalir dari tangan Roy. Sheila langsung berdiri dari duduknya. Namun ditahan oleh Roy.

"Kau mau kemana?" Tanya Roy sambil menggenggam erat tangan Sheila.

"Mengambil obat dan juga air es. Kamu diam dulu disini." Kata Sheila langsung melepaskan tangan Roy dari tangannya.

Sheila bergegas ke dapur kecil di area pribadinya, membuka lemari es dan mengeluarkan botol yang berisi air es , lalu Sheila meraih kain bersih yang ada dilaci dapurnya juga mangkok bersih dari rak atas laci. Sheila kembali kedalam kamarnya, meletakkan apa yang ia bawa tadi ke meja lampu disamping tempat tidurnya.
Sheila berjalan lagi mengambil tas kecil yang berada di meja riasnya kemudian Sheila duduk di tepi tempat tidur disamping Roy.

"Angkat tanganmu yang luka keatas." Perintah Sheila kepada Roy, namun tidak ada reaksi. Sheila melihat kearah Roy, Roy sedang memejamkan matanya.

"Roy? Roy?" Panggil Sheila sambil menyentuh lengan Roy.

"Kepalaku sakit."Jawab Roy sambil tetap memejamkan matanya, mendengar Roy masih menjawabnya, Sheila menghela nafas lega.

Sheila menuangkan air es kedalam mangkok kecil dan mencelupkan satu kain bersih yang iia bawa tadi. Kemudian Sheila meraih tangan kanan Roy yang terluka dan membersihkan darah yang ada ditangan Roy menggunakan kain basah dengan air es itu ketangan Roy. Setelah bersih, Sheila membalut tangan Roy dengan kain bersih yang kering.

Sheila meletakkan tangan Roy yang terluka diatas perut Roy lalu Sheila sibuk membuka tas kecil tempat ia menyimpan obat-obatan darurat.

"Kenapa bisa terluka begini?" Tanya Sheila sambil sibuk mencari obat dan juga plester untuk Roy.

"Terkena kaca." Jawab Roy singkat sambil tetap memejamkan matanya. Sheila berpikir mungkin Roy memecahkan sesuatu karena emosinya yang tidak stabil hari ini. Sheila mengeluarkan obat untuk Roy.

"Minumlah ini dulu. Untuk sementara , aku juga akan memberi plester pada lukamu. Besok temuilah dokter jika tidak mau semakin parah nantinya." Kata Sheila sambil memberikan obat untuk Roy minum.

Roy mencoba untuk duduk dari posisi tidurnya dibantu oleh Sheila . Setelah Roy meminum obat penghilang nyeri dari Sheila,ia kembali tidur. Dengan kasar Sheila menutup tubuh Roy menggunakan selimut miliknya. Sheila meraih tangan Roy yang terluka dan membuka kain yang ia gunakan untuk membalut tangan Roy, setelah darahnya tidak menutupi tangan Roy, Sheila bisa melihat luka sayatan yang ada ditangan Roy dan langsung memasangkan plester di setiap luka Roy.

"Kau sedang terluka begini, kenapa malah kemari dengan hanya mengenakan handuk saja. Mungkin lebih baik jika kamu memiliki beberapa pembantu dengan temperamen mu yang suka menghancurkan barang seperti ini." Komentar Sheila sembari memasangkan plester di tangan Roy.

"Aku tidak suka ada yang seatap denganku." Jawab Roy dengan singkat. Sheila menengadah mendengarkan jawaban Roy.

"Ah.. Aku lupa. Kamu bukan jenis manusia normal." Komentar Sheila dengan spontan.

"Apa kau mengkhawatirkan ku? Wajahmu malah lebih pucat dari wajahku."

"Bukan khawatir , aku hanya takut. Kalau kamu mati didepanku,jelas aku yang akan jadi tersangka utamanya. Aku juga tidak mau menjadi janda karena ditinggal mati." Balas Sheila dengan kesal.

"Kamu tidak mau aku mati?" Tanya Roy tanpa ekspresi kepada Sheila.

"Tidurlah. Otakmu sepertinya agak terganggu karena cideramu." Jawab Sheila setelah selesai memasangkan plester di luka tangan Roy.

"Apa kamu tidak ingin aku mati?" Tanya Roy lagi , nada suaranya masih tetap sama. Seperti robot yang mengulangi pertanyaannya. Sheila melihat mata Roy yang lebih memancarkan rasa ingin dilindungi bukan ingin tahu.

"Aku manusia, Roy. Aku tidak menginginkan siapapun mati ... didepanku. Walaupun setiap manusia pasti mati. Setidaknya bukan orang yang aku kenal." Jawab Sheila dengan jujur.

"Matikan lampunya. Aku ingin tidur." Kata Roy lalu memejamkan matanya.

Sheila menghela nafas panjang karena kesal akan reaksi Roy. Dengan kesal Sheila mematikan lampu kamar tidurnya dan mengambil selimut cadangannya untuk dirinya sendiri yang akan tidur di ruang tamu malam ini.

"Kau tidur disampingku." Kata Roy kepada Sheila sebelum Sheila meninggalkan kamar tidurnya.

"Kau gila? Untuk apa aku tidur denganmu? Otakmu benar-benar sedang dalam masa perbaikan."Balas Sheila dengan sinis.

"Apa kau takut aku akan menerkammu?" Tanya Roy dalam kegelapan kamar tidur Sheila.

"Apa kau lupa,mungkin saja tua bangka itu sedang memantau kita saat ini." Kata Roy mencoba mengingatkan Sheila akan ayah Roy yang selalu waspada akan tiap gerak gerik mereka berdua.

Sheila menendang daun pintu kamarnya dengan kesal, lalu berjalan ke tempat tidurnya dan berbaring di samping Roy sambil meletakkan guling dan juga boneka diantara dirinya dan Roy. Lalu Sheila menarik selimut untuk dirinya sendiri, menutupi tubuhnya dengan selimut dan tidur sambil membelakangi Roy.

"Ayah dan anak sama saja. Bahkan didalam kamarku sendiri aku harus seperti mahkluk terisolasi." Gerutu Sheila sambil berusaha memejamkan matanya dan tidak memperdulikan Roy.

"Apa kau merasa terganggu setelah melihat tubuhku?" Tanya Roy lagi.

"Tutup saja mulutmu dan tidurlah dengan tenang. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu. Besok pergilah ke dokter, sebelum tanganmu meradang nantinya." Balas Sheila sambil menutup kepalanya dengan selimutnya.

Sheila menutupi dirinya sendiri untuk berlindung dari perasaannya sendiri. Bagaimanapun Roy adalah seorang laki-laki dan dirinya tidak ingin hatinya goyah.

"Sabar,Ciya. Ingat, dia itu gay. Tenang saja. Pejamkan saja matamu dan beristirahatlah. Besok masih banyak yang harus kamu kerjakan dan pikirkan." Kata Sheila dalam hati, namun matanya tak kunjung terpejam.

Sheila gelisah dengan dirinya sendiri yang tidak tenang ketika Roy sedang berada disampingnya, tidur satu ranjang dengannya. Sheila tidak pernah satu ranjang dengan siapapun selain neneknya. Suasana kamarnya yang terlalu tenang membuat Sheila malah tidak tenang. Suara jarum jam dikamar Sheila saja yang berbunyi namun bisa mengalahkan detak jantung Sheila sendiri. Sheila mendengarkan suara Roy yang merintih, bukan kesakitan, tapi seperti ketakutan. Sheila memberanikan diri untuk membuka selimutnya dan melihat kondisi Roy. Sheila menyalakan lampu meja disamping Roy agar dirinya bisa melihat kondisi Roy. Roy masih terpejam namun keringat begitu banyak di wajah Roy.

"Roy? Kau tidak apa-apa? Apa ada yang sakit?" Tanya Sheila dengan cemas sambil mengusap keringat diwajah Roy dengan kain lengan bajunya.

"Apa karena efek obatnya? Apa karena lukanya?" Tanya Sheila pada dirinya sendiri. Sheila memeriksa tangan Roy yang terluka dan plestes itu masih terlihat sama seperti ia pasang tadi. Tangan Roy juga bengkak.

"Roy? Apa ada yang sakit?" Tanya Sheila lagi sambil sedikit membangunkan Roy. Roy membuka matanya sambil mengambil nafas panjang dan berat, seperti seseorang yang baru saja keluar dari dalam air. Roy melihat kearah Sheila dengan mata yang terbelalak lebar.

"Kau tidak apa-apa?" Tanya Sheila lagi kali ini Sheila terlihat benar-benar khawatir. Roy terdiam lalu mulai mengatur nafasnya agar stabil.

"Tidak apa-apa. Jam berapa sekarang?" Tanya Roy sambil menutup matanya dengan tangan kirinya. Sheila melirik kearah jam beker kecilnya yang ada disamping Roy.

"Jam 3pagi. Apa kau ingin minum ?Aku akan ambilkan minum untukmu." Kata Sheila sambil hendak bergegas turun dari tempat tidurnya, namun Roy menahan Sheila dengan menarik tangan Sheila.

"Tidak perlu. Tidur saja disampingku." Kata Roy sambil menarik Sheila untuk tidur disamping Roy.

Roy hanya menggenggam tangan Sheila agar Sheila tetap berada disampingnya.

"Kepalaku sakit. Tidurlah, jangan mengucapkan apapun." Kata Roy sebelum Sheila mengeluarkan protesnya.

Kemudian Roy memejamkan matanya. Sheila yang ingin protes, tidak tega melihat wajah Roy yang seperti menahan sakit itu. Sheila menuruti kata Roy untuk tidur disamping Roy. Anehnya Sheila bisa tertidur setelah beberapa menit kemudian.

Roy melihat kearah Sheila, wajah Sheila yang sudah tertidur pulas disampingnya. Wajah Sheila disinari cahaya temaram lampu tidur yang tadi dinyalakan oleh Sheila.
Kemudian Roy tertidur pulas juga disamping Sheila.
--------------------------------------------------------------------------------

Sepulang dari lokasi syuting, Billy mengantarkan Teddy untuk kembali kerumahnya. Semenjak kejadian di hotel di malam resepsi pernikahan Sheila, temperamen Teddy benar-benar berubah , dia mudah sekali marah akan hal-hal kecil sekalipun. Seperti acara syuting hari ini, Teddy sudah membentak beberapa kru karena hal sepele. Billy benar-benar kewalahan akan sikap Teddy akhir-akhir ini.

"Billy." Panggil ibu Teddy ketika Billy hendak meninggalkan ruang tamu di rumah Teddy.

"Iya, Tante."

"Bisa bicara sebentar?" Tanya ibu Teddy kepada Billy sambil menengok kearah tangga tempat kamar Teddy, berjaga-jaga jika saja Teddy tiba-tiba keluar dari kamar tidurnya.

"Bisa, Tante."Jawab Billy dengan suara merendah sambil ikut melihat kearah pintu kamar Teddy di lantai dua.

"Kita bicara didepan saja." Kata ibu Teddy sambil mengajak Billy untuk pergi keteras rumahnya.

"Apa Teddy sedang ada masalah belakangan ini?" Tanya ibu Teddy kepada Billy sesampainya mereka di teras rumah.

"Teddy ... Sepertinya sedang patah hati. Mungkin nantinya akan segera membaik." Jawab Billy berusaha memilih kata yang sekiranya nanti tidak akan menyinggung ibu Teddy.

"Dia dan Sheila sudah putus?" Tanya ibu Teddy dengan girang. Billy sempat heran dengan sikap ibu Teddy itu.

"Iya, Tante. Sheila juga sudah menikah dengan oranglain." Jawab Billy

"Baguslah kalau begitu." Balas ibu Teddy sambil menepuk tangannya dengan perasaan yang luar biasa senang.

"Kalau Teddy patah hati , itu sudah biasa. Nanti juga akan membaik sendiri." Lanjut ibu Teddy masih tidak bisa menghapus senyuman di wajahnya.

"Kedepannya tolong bantu Tante untuk menjaga Teddy selama dia bekerja ya? Dia anak tante satu-satunya. Kalau dia dekat dengan wanita siapapun itu, kamu harus bilang sama tante." Kata Ibu Teddy lagi sambil menepuk pundak Billy.

"Iya,Tante." Jawab Billy . Kemudian ibu Teddy berbalik meninggalkan Billy , tapi kembali lagi menghampiri Billy.

"Oh iya, bagaimana menurutmu jika tante menjodohkan Teddy dengan anak dari sahabat tante? Kalau tidak salah dia juga artis, tapi tante lupa siapa namanya. Apa tidak apa-apa untuk karir Teddy nantinya?" Tanya ibu Teddy kepada Billy.

"Kalau artis itu memiliki popularitas yang bagus, ya tentunya akan sangat bagus juga untuk karir Teddy." Jawab Billy akan pertanyaan ibu Teddy yang tiba-tiba itu.

"Baguslah kalau begitu. Terimakasih Billy. Hati-hati dijalan yah." Balas ibu Teddy lalu masuk kedalam rumah .
-------------------------------------------------------------------

Sheila terbangun tepat ketika alarmnya berbunyi. Selama beberapa detik Sheila mencoba untuk tersadarkan sepenuhnya setelah meregangkan tubuhnya. Sheila melihat kearah jam beker dan melihat mangkuk kecil beserta peralatan lainnya yang ia siapkan untuk Roy semalam. Seketika Sheila bangun dari tidurnya mengingat apa yang terjadi semalam. Sheila tidak melihat Roy disampingnya. Yang ada hanyalah selimut milik Sheila yang dikenakan Roy semalam yang memiliki noda darah dari tangan Roy semalam.

"Mungkin dia sudah berangkat bekerja, atau mungkin dia pergi ke dokter." Pikir Sheila sambil melihat pintu kamarnya yang tertutup.

Semalam ia biarkan pintu kamarnya terbuka karena Roy juga berada dalam kamar tidurnya.
Sheila kembali keposisi tidurnya lagi.Tapi kemudian Sheila bangun lagi.
Sheila tidak bisa mengabaikan keadaan Roy, setidaknya Sheila harus melihat kondisi Roy saat ini. Sheila turun ke lantai dua dan menengok kearah area pribadi Roy yang saat ini sedang dibersihkan oleh petugas kebersihan yang biasa membersihkan di kediaman pribadi Roy.

"Apa Roy sudah berangkat kekantor? Semestinya sudah, Roy tidak suka jika ada oranglain yang bersamanya dalam satu ruangan." Kata Sheila dalam hati kemudian Sheila kembali ke areanya sendiri. Sheila mengambil ponselnya yang berada di atas meja rias. Lalu dengan ragu ia menghubungi Roy.

"Apa lukamu sudah tidak apa-apa? Apa kepalamu masih sakit?" Tanya Sheila ketika Roy menjawab panggilan darinya.

"Sudah. Tidak usah khawatir. Aku sedang ada rapat, nanti aku hubungi lagi." Jawab Roy dengan singkat kemudian memutuskan pembicaraan mereka.

"Sia-sia aku mengkhawatirkan dia. Sepertinya juga sudah sehat kalau mendengar dia seperti ini bicaranya." Kata Sheila sambil memandangi ponselnya.

Sebelum mandi Sheila mencoba mengintip kolom komentar di media sosialnya tentang kgambar yang Roy posting waktu itu.
Sheila cukup terkejut melihat kolom komentar di akun sosial medianya, tidak pernah ada yang memberinya komentar sebegitu banyak ketika ia belum menjadi istri Roy. Begitu banyak komentar positif tapi ada juga komentar negatif. Sheila enggan membacanya , ia takut akan sakit hati jika membaca komentar dari orang-orang yang bahkan Sheila tidak kenal.

Sheila juga memikirkan bagaimana Teddy yang melihat postingan dimedia sosialnya ini. Apa yang Teddy pikirkan tentang dirinya.
Sheila keluar dari media sosialnya dan membuka kontak yang ia miliki diponselnya itu. Hanya kontak Roy dan juga kontak ayah Roy saja yang ia miliki. Sheila ingin setidaknya kali ini ia bisa berjalan-jalan keluar dari rumah Roy.

Sheila merindukan kebebasan yang ia miliki dulu. Sheila tidak memiliki siapapun untuk membantunya, temanpun ia tidak punya. Selama ini yang ia miliki hanyalah Teddy. Mungkin jika ia berjalan-jalan mengelilingi rumah Roy akan membantunya sedikit lebih baik setelah ia mandi nanti. Sheila belum pernah berkeliling didalam rumah Roy selama ini.

Setelah mandi, Sheila menuruni tangga dan menyusuri kediaman Roy yang berada dilantai satu itu. Ruang tamu Roy begitu besar dan memiliki 2 area. Mungkin Roy gunakan jika ada pertemuan penting atau mungkin jika ia menemui Tonny. Kini di ruang tamu itu terpajang dengan jelas beberapa foto pernikahannya dengan Roy. Sheila berjalan lagi keruangan setelah ruang tamu , disana ada ruang makan yang juga besar cukup untuk orang enam sesuai dengan kursi yang tersedia disana, disamping ruang makan ada dapur yang besar dan sunyi.

Entah itu karena tidak pernah di gunakan atau memang dapur itu terlalu bersih untuk disebut dengan dapur. Sheila berjalan lagi kearah teras belakang rumah Roy. Disana ada kolam renang yang berubin menyerupai kayu dengan warna coklat gelap. Kolam renang itu tidak besar namun juga tidak kecil bagi Sheila. Disamping kolam renang ada kursi kayu lengkap dengan meja bundarnya. Di teras belakang rumah Roy, setidak nya Sheila mencium sedikit kebebasannya disana. Hanya di bagian itu yang tidak beratap dan terbuka. Sheila bisa melihat teriknya sinar matahari yang ia rindukan dan juga angin hangat yang menyapu wajahnya. Sheila memandang kearah permukaan air kolam renang yang memancarkan sinar biasnya kewajah Sheila.

"Sampai kapan aku harus berada disini? Tempat ini bahkan tidak bisa kurasakan sebagai rumah. Aku seperti orang asing yang tidak berada pada tempatnya." Kata Sheila dalam hati.

Kemudian terbesit dalam hatinya untuk lari dari rumah Roy ini dan mencari neneknya, kemudian mereka hidup berdua saja bersama. Teddy juga mungkin sudah terlanjur membencinya saat ini. Sheila hanya memiliki neneknya untuk kembali pulang. Tapi Sheila juga harus mempersiapkan banyak hal untuk melakukan hal itu. Akan ada saatnya dia harus pergi dari sini meskipun Roy tidak menceraikannya.
------------------------------------------------------------

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience