Chapter 19

Romance Completed 3114

"Bagaimana menurutmu dengan ini?" Tanya Sheila sambil menunjukkan ketikan naskahnya kepada Roy.

Roy menggeser laptop miliknya dan mengambil lembaran naskah yang diberikan Sheila kepadanya. Roy membaca naskah yang diberikan oleh Sheila kepadanya dengan seksama.

"Mungkin dibagian ini, kau harus merubah alurnya. Tata bahasa juga perlu diperbaiki. Beberapa di bagian ini juga kau harus memperhatikan detail suasana yang ingin kau tunjukkan." Kata Roy sambil menandai dan memberi garis bawah di beberapa kalimat dengan menggunakan pena yang sudah disiapkan oleh Sheila.

"Kalau isi ceritanya?" Tanya Sheila ingin tahu apa yang Roy pikirkan tentang naskahnya sendiri.

"Dari sudut pandang sebagai profesional atau sebagai lelakimu?" Roy berbalik tanya.

"Profesional." Jawab Sheila sambil duduk tegap disamping Roy.

Roy membaca naskah Sheila sekali lagi sambil mengernyitkan keningnya.

"Cukup menarik dan segar. Hanya saja beberapa alurnya harus diperjelas dan juga beberapa bahasanya ada yang kurang benar. Mungkin itu yang harus kau perbaiki." Kata Roy lalu memberikan lembaran naskah Sheila kembali kepada Sheila.

Sheila mengangguk dan menerima lembaran naskahnya dari tangan Roy. Tapi Roy menahannya. Sheila mendongakkan kepalanya melihat Roy.

"Tapi sebagai priamu, aku tidak menyukainya. Karakter pria dalam naskahmu, kau sedang membayangkan siapa ketika menciptakannya?" Tanya Roy. Sheila menyipitkan matanya.

"Membayangkanmu." Jawab Sheila sambil mencubit pipi Roy.

"Dia penyayang." Protes Roy.

"Kau penyayang." Balas Sheila dengan cepat.

"Dia juga setia."

"Kau juga setia."

"Dia berhati hangat."

"Kau juga." Kata Sheila sambil membelai wajah Roy dan memandang Roy penuh kasih. Roy menyentuh tangan Sheila yang membelai wajahnya dan mencium tangan itu.

"Boleh aku mendapatkan terapiku?" Tanya Roy matanya mulai berkilat oleh gairahnya sendiri. Sheila tertawa dan menepuk pundak Roy.

"Selesaikan pekerjaanmu dulu. Aku juga akan merevisi naskahku." Jawab Sheila kemudian mengecup pipi Roy dan meninggalkan Roy di meja kerjanya dirumah.

Roy hanya tersenyum melihat tingkah Sheila.
Ponsel Roy bergetar. Tonny menghubunginya. Roy melihat kearah Sheila yang sedang sibuk dengan laptopnya diruang tamu kemudian menjawab panggilan dari Tonny.

"Apa kau begitu mencintainya ? Apa kau yakin kau mencintainya?" Tanya Tonny kepada Roy ketika Roy menjawab panggilan darinya.

"Waktu itu bukankah aku sudah menemuimu dan mengatakan semuanya. Sejak awal hubungan kita hanyalah karena kenyamanan. Dan kita juga tidak memiliki hubungan yang khusus. Aku sudah berbahagia dengan istriku. Jika kau masih menganggap aku sebagai temanmu. Aku masih akan menerimamu." Kata Roy sambil tetap melihat kearah Sheila, ia takut jikalau Sheila menjadi salah paham akan dirinya.

"Tapi kita berjanji tidak akan saling meninggalkan." Balas Tonny dengan emosional.

"Kita masih bisa berteman." Jawab Roy.

"Aku tidak ingin berteman . Hubungan kita lebih daripada itu."

"Aku tidak pernah menjanjikan sebuah hubungan kepadamu." Balas Roy dengan tenang.

"Jadi , seperti ini kau memperlakukanku?Baiklah, kau juga akan melihat bagaimana aku akan membalasmu." Kata Tonny lalu menutup pembicaraan mereka.

Roy merasa tidak tenang akan apa yang diucapkan oleh Tonny kepadanya. Tapi selama Sheila selalu berada disisinya, Roy yakin tidak akan pernah ada masalah yang bisa menyentuh Sheila.

Malam ini adalah malam peluncuran film layar lebar yang dibintangi oleh Teddy. Roy juga harus mendatangi acara itu selaku pemilik rumah produksi film. Sebenarnya Roy enggan mengajak Sheila untuk ikut menemaninya hadir disana karena Sheila pasti akan bertemu dengan Teddy. Namun Roy juga tidak mungkin tidak mengajak istrinya untuk menghadiri acara ini. Orang-orang pasti akan membicarakan tentang hubungan mereka dengan berita yang tidak menyenangkan pastinya.

Sheila berdiri didepan cermin, ia mengenakan gaun midi yang berwarna putih dan berlengan 3/4 . Rambut Sheila digulung dengan rapi dan disematkan beberapa hiasan pada rambutnya. Roy memandangi Sheila yang sedang bercermin dari pintu kamar mereka.

"Mungkin kau tidak perlu ikut malam ini." Kata Roy tiba-tiba setelah lama memandang Sheila dari pintu kamar. Sheila berbalik melihat kearah Roy.

"Ada apa? Apa aku tidak..."

"Bukan.. Bukan itu." Sahut Roy dengan cepat memotong pemikiran Sheila.

"Hanya saja aku merasa tidak tenang." Lanjut Roy sambil berjalan kearah Sheila.

"Apa karena Teddy?" Tanya Sheila dengan berhati-hati.

"Aku akan berada dirumah jika kamu mengkhawatirkan hal itu" Lanjut Sheila sambil membelai tangan Roy dengan lembut.

Mendengarkan nama lelaki lain dari Sheila langsung membuat Roy menghindari belaian Sheila.
"Jangan pernah menyebutkan namanya." Kata Roy dengan dingin.

"Maaf. Aku tidak akan menyebutkan namanya lagi." Balas Sheila dengan sabar menghadapi emosi Roy yang tiba-tiba tidak terkendali.

"Kita akan berangkat sebentar lagi. Aku akan menunggu dibawah." Kata Roy masih menghindari sentuhan Sheila.

Roy berjalan meninggalkan kamar mereka dan menuruni tangga. Sheila menghela nafas panjang menghadapi sikap Roy yang semakin hari semakin tidak masuk akal. Berulang kali Sheila meyakinkan dirinya sendiri jika Roy pasti akan bisa sembuh dari penyakitnya suatu hari nanti. Ia hanya perlu bersabar saja. Roy sebenarnya memiliki jiwa yang bersih hanya saja ia terlalu banyak menyimpan luka.

Selama perjalanan menuju tempat acara peluncuran film layar lebar yang dibintangi oleh Teddy , Roy sama sekali tidak bicara sepatah katapun.

"Roy, apa kau marah? Aku akan pulang setelah kau sampai disana. Aku tidak akan ikut dalam acara itu kalau kau merasa tidak nyaman." Kata Sheila berusaha menenangkan Roy. Roy menghela nafas dan meraih tangan Sheila.

"Tidak. Kau harus datang. Aku tidak ingin orang menilai buruk tentang hubungan kita." Jawab Roy masih dengan wajah yang tidak tenang.

"Aku tidak peduli bagaimana orang lain menilai kita. Aku hanya memperdulikanmu. Aku tidak akan hadir disana jika memang kau tidak merasa nyaman." Balas Sheila sungguh-sungguh. Roy menatap Sheila cukup lama lalu menundukkan kepalanya.

"Maafkan aku jika aku mulai hilang kendali,Ella." Kata Roy lalu mencium tangan Sheila.

"Beradalah tetap disisiku. Maka aku akan merasa aman." Pinta Roy kepada Sheila dan Sheila mengangguk menyetujui hal itu sambil tersenyum menenangkan Roy.

Acara pemutaran film perdana didatangi oleh banyak orang. Roy datang bersama dengan Sheila juga langsung disambut oleh mereka yang sudah hadir disana. Banyak yang mengajak Roy berbincang dan juga bersalaman. Namun Roy tak sekalipun melepaskan Sheila dari tangannya. Setiap orang yang melihatnya juga tidak berani memandang Sheila lebih lama karena pasti Roy akan memberikan pandangan dinginnya kepada orang-orang itu.

"Kalau kau begini terus. Mereka yang akan merasa tidak nyaman." Bisik Sheila ketika dirinya dan Roy sudah duduk di kursi penonton plaing depan untuk menyaksikan pemutaran film.

"Apa yang sudah aku lakukan?" Tanya Roy dengan acuh.

"Kau memelototi setiap orang yang melihatku dan juga ingin bersalaman denganku." Jawab Sheila mengingatkan Roy akan apa yang sudah ia lakukan sedari tadi.

"Biarkan saja. Aku tidak mau istriku disentuh oranglain." Jawab Roy dengan dingin. Roy menggenggam tangan Sheila yang terasa dingin seperti es.

"Apa kau merasa kedinginan? Apa kau sakit?" Tanya Roy sambil melepaskan jasnya dan mengenakannya kepada Sheila. Sheila menggeleng perlahan.

"Aku tidak apa-apa,Roy. Mungkin aku hanya merasa gugup saja. Aku tidak terbiasa dengan banyak orang seperti ini." Jawab Sheila sambil tersenyum kepada Roy.

"Setelah ini usai, kita akan pulang. Wajahmu terlihat tidak sehat." Kometar Roy lagi. Sheila mengangguk dan menepuk tangan Roy yang menggenggamnya.
-----------------------------------------------------

Awalnya Teddy ragu untuk berangkat ke pemutaran film layar lebar perdananya. Ia bukan takut untuk bertemu Roy, tapi Teddy lebih takut menghadapi Sheila. Namun ia juga ingin bertemu dengan Sheila dan mendengarkan sendiri penjelasan dari Sheila. Setidaknya Teddy akan melepaskan Sheila dengan sukarela jika memang Sheila sekarang sudah bahagia dan ia ingin meminta maaf atas apa yang menimpa Sheila selama ini.

Teddy hadir bersama dengan Katarina. Bagaimanapun mereka adalah pasangan dimata masyarakat meskipun pada kenyataannya Teddy tidak pernah menerima Katarina dihatinya.

Teddy bisa melihat Roy datang bersama dengan Sheila. Sheila bahkan tidak menyadari kehadirannya saat ini. Mungkin memang Sheila sudah melupakannya, merupakan tentang apa yang pernah mereka miliki. Namun Teddy masih ingin berbicara dengan Sheila.

"Si bos iblis itu benar-benar tidak melepaskan tangannya dan juga pandangannya dari Sheila. Bagaimana aku bisa membuat kesempatan agar kalian bisa berbicara berdua saja?" Bisik Billy yang juga ikut hadir itu kepada Teddy.

"Kau atur saja." Balas Teddy sambil berjalan kearah ruang pemutaran film. Katarina yang ikut mendengarkan pembicaraan Teddy dan Billy akhirnya angkat suara.

"Apa kau masih belum menyerah?" Tanya Katarina sambil berbisik kepada Teddy.

"Aku hanya ingin berbicara dengan Ciya sebentar." Jawab Teddy dengan singkat.

"Hati-hati. Mungkin yang kau lakukan malah akan melukai mantan kekasihmu." Tambah Katarina sambil melihat kearah Roy dan Sheila sedang duduk bersama.

"Aku hanya ingin berbicara sebentar dengannya. Roy juga tidak akan mengetahuinya." Teddy membela dirinya sendiri dengan opini yang ia miliki.

"Aku sudah memperingatkanmu. Sebagai partnermu saat ini, aku yang paling memahami Roy daripada dirimu." Kata Katarina dengan santai.
------------------------------------------

Roy melihat kearah Sheila yan merasa kurang nyaman didalam ruang pemutaran film. Sheila bahkan berkeringat di dalam ruangan yang ber AC.

"Kita pulang sekarang." Kata Roy sambil mengajak Sheila untuk berdiri. Sheila mengangguk kepada Roy.

Sheila merasa tidak nyaman sedari tadi. Mungkin Roy benar jika dirinya terlihat tidak sehat. Rasanya seperti akan mengikuti ujian nasional. Gugup dan juga stress yang ia rasakan beberapa hari ini mungkin juga mempengaruhi kondisi tubuhnya saat ini. Kepala Sheila terasa nyeri dan juga ia merasakan kram diperutnya seperti saat ia menghadiri wawancara kerja.

Roy menggandeng tangan Sheila untuk keluar dari tempat itu.

"Apa kau baik-baik saja? Wajahmu bahkan terlihat pucat sekarang. Jika kau tidak sehat, kau bisa katakan padaku sedari tadi." Komentar Roy sambil melihat kondisi Sheila yang nampak tidak sehat itu.

"Aku hanya merasa pusing saja,Roy. Beberapa hari ini aku sering tidur terlambat karena mengetik naskah. Aku mungkin juga merasa gugup selama bertemu dengan banyak orang tadi." Jawab Sheila sambil berpegangan pada tangan Roy.

"Apa kau ingin kita kerumah sakit?" Tanya Roy dengan khawatir. Sheila tertawa ringan dan menggeleng.

"Tidak perlu. Aku ingin kekamar mandi sebentar." Kata Sheila sambil mencari letak kamar kecil di gedung itu.

"Aku akan mengantarmu." Kata Roy sambil menggandeng Sheila dengan hangat. Sheila mengangguk sambil tersenyum kepada Roy dan mengikuti langkah Roy.

Roy sedang menunggu didepan kamar kecil wanita ketika Billy tiba-tiba menghampirinya.

"Pak Roy, maaf ada masalah darurat. Sepertinya Sutradara dan Produser memiliki beda pendapat saat ini. Mereka sedang bertengkar di ruang pemutaran film." Kata Billy dengan tergopoh-gopoh.

"Bagaimana bisa?" Tanya Roy dengan emosi.

"Kemana pihak keamanan? Dan juga kemana semua orang yang ada didalam ruangan? Kenapa mereka tidak melerai dua orang itu?"

"Mereka membahas nama Bapak disana. Mungkin jika Pak Roy kesana. Mereka bisa menyelesaikan permasalahan dengan lebih tenang dan bijaksana." Jawab Billy dengan cepat.

Roy melihat kearah kamar kecil tempat Sheila baru saja masuk tadi. Roy mengetuk pintu kamar kecil itu.

"Ella,aku akan kembali ke ruang pemutaran film. Ada masalah kecil disana. Kau tunggu aku sebentar disini." Kata Roy lalu bergegas mengikuti Billy untuk kembali kedalam ruang pemutaran film lagi.

Sheila bisa mendengarkan suara Roy tapi tidak sempat membalasnya. Tubuhnya terasa lemas, bahkan untuk berdiri saja ia membutuhkan tenaga ekstra hingga membuat dirinya semakin berkeringat. Sheila berdiri didepan kaca wastafel ketika Teddy masuk kedalam kamar kecil itu .

"Kau.." Kata Sheila ketika melihat wajah Teddy dicermin wastafel.

"Apa kau sakit,Ciya? Kau nampak tidak sehat." Ucap Teddy sambil berusaha berjalan mendekati Sheila.

Namun Sheila menolak Teddy untuk mendekatinya lebih dekat lagi dengan mengangkat telapak tangannya kearah Teddy dengan tegas.

"Berhentilah disana. Ada apa sampai kau masuk kekamar kecil wanita? Apa ada yang perlu kau katakan padaku?" Tanya Sheila berusaha memfokuskan pandangannya.

"Ada yang ingin aku tanyakan. Jawablah dengan sejujurnya." Kata Teddy sambil tetap berada di tempatnya.
"Apa benar ibuku menghubungimu untuk tidak memberikan restunya kepadamu sebelum kita bertengkar?"

Sheila tidak menjawab pertanyaan Teddy, ia hanya diam dan merasakan nyeri di kepalanya dan juga perutnya.

"Jika memang benar, mengapa kau tidak mengatakannya kepadaku. Dan Tonny sudah menceritakannya kepadaku, apa yang terjadi sesungguhnya kepadaku. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa kau juga sudah mengetahuinya? Tentang Roy dan juga Tonny? Tonny akan segera membeberkan semuanya kepada publik. Aku hanya tidak ingin kau terluka. Jika ada yang bisa aku lakukan untukmu. Kau katakan saja kepadaku."Kata Teddy.

Sheila terkejut mengetahui Tonny yang begitu berani mengatakan semuanya kepada Teddy dan juga akan membocorkan rahasia Roy dan dirinya kepada publik. Sheila menarik nafasnya , ia tidak ingin gegabah dalam mengucapkan apapun. Roy akan mendapatkan lebih banyak kesulitan jika ia salah mengucapkan kata-kata.

"Yang bisa kau lakukan untukku adalah ... Menjauhlah dariku. Masalah suamiku, biar aku sendiri yang menanggungnya." Kata Sheila bersungguh-sungguh.
"Terimakasih sudah memberitahuku tentang hal ini."

Tangan Sheila memutih ketika ia dengan erat mencengkeram pinggiran wastafel untuk membuatnya tetap berdiri.
Roy dengan kasar membuka pintu kamar kecil itu dan matanya seakan menyala oleh emosi yang tak terkira ketika ia melihat Teddy disana.

"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Roy dengan rahang terkatup kepada Teddy. Teddy menegakkan tubuhnya seakan siap menerima hawa menantang dari Roy. Sheila langsung menengahi Roy dan Teddy.

"Roy, kita pulang sekarang." Kata Sheila sambil berjalan kearah Roy. Namun Teddy menarik tangan Sheila untuk tetap di tempatnya.

"Aku belum selesai bicara." Ucap Teddy sambil menggenggam erat tangan Sheila.

Dengan cepat Roy melangkah maju dan menarik Sheila dengan kasar dari Teddy sampai membuat Sheila sempat limbung kehilangan keseimbangannya.

"Aku tidak tahu apa yang ingin kau sampaikan. Dan aku tidak peduli. Namun dia adalah istriku. Gunakanlah sopan santunmu." Kata Roy dengan senyuman sinis yang tercipta di wajahnya.

"Kita pulang,Roy. Jangan perdulikan dia." Sheila memohon kepada Roy sambil memegang lengan Roy.

"Seperti itukah kau memperlakukan istrimu? Aku bahkan bisa lebih baik darimu." Kata Teddy dengan sarkastik kepada Roy.

"Sayang,kita kembali. Jangan buat keributan disini." Bisik Sheila sangat putus asa sambil menarik tangan Roy untuk pergi dari kamar kecil itu dengan sisa kekuatan yang ia miliki.

Roy menuruti Sheila karena melihat wajah Sheila yang sepucat kapas dan keringat yang ada di wajah Sheila.

"Kita kerumah sakit. Kau tidak sehat." Kata Roy lalu menyelipkan tangannya di pinggang Sheila untuk membantu Sheila berjalan lebih tegap.

Sheila hanya mengangguk tanpa mengucapkan apapun kepada Roy.
Ketika Roy dan Sheila meninggalkan kamar kecil, Teddy ikut menyusul keduanya.

"Apa kau masih akan menganggapnya suami ketika dia adalah seorang laki-laki yang gagal ? Dia menikahimu hanya untuk menutupi kebusukannya saja. Dia hanya memanfaatkanmu,Ciya. Bahkan ia merekayasa tentang kehamilanmu. Kau bahkan tidak sedang mengandung anaknya." Kata Teddy ketika sudah berada diluar kamar kecil tempatnya tadi menemui Sheila.

Seketika Roy menghentikan langkahnya dan berbalik sambil melepaskan tangan Sheila yang memegangi lengannya dengan cepat dan kasar.

"Apa katamu?" Tanya Roy dengan wajahnya yang sekeras baja. Sheila melihat sekitarnya dan tmelihat hanya ada petugas kebersihan yang sedang melintas.
Ketika Roy melangkah kearah Teddy, Sheila langsung menarik Roy.

"Roy, hentikan. Kita akan bicarakan ini nanti. Jangan buat keributan disini." Kata Sheila berusaha menenangkan Roy. Roy menepis tangan Sheila hingga Sheila terhuyung kebelakang.

"Apa kau membelanya? Apa kalian sengaja bertemu disana sejak awal?" Mata Roy berkilat penuh amarah kepada Sheila sambil menunjuk kearah kamar kecil tempatnya bertemu dengan Teddy. Sheila menggeleng.

"Apa kau gila? Ciya sudah seperti ini, kau masih memperlakukannya dengan tidak manusiawi. Aku yang berusaha menemuinya." Jawab Teddy sambil berjalan kearah Sheila yang sepertinya sudah tidak kuat untuk berdiri sehingga ia menahan tangannya di pagar besi puncak tangga yang ada disampingnya.

"Kau jangan coba mendekat." Roy memberikan peringatannya kepada Teddy untuk tidak mendekati Sheila sambil menunjuk kearah Teddy.

"Kau bukan manusia." Ucap Teddy sambil memicingkan matanya.
"Seharusnya aku menyadarinya sejak awal. Dan tidak menyerah pada Ciya secepat itu."

"Diam. Tutup mulutmu." Teriak Roy sambil melangkah dengan cepat dan mengepalkan tangannya.

Sheila berlari kearah Roy dan menghentikan Roy namun Roy dengan cepat menyingkirkan tangan Sheila. Tubuh Sheila dengan mudahnya terhempas langsung ke pipa besi tangga, seketika itu pula rasa sakit Sheila tak tertahankan dan ia tak sadarkan diri hingga tubuhnya langsung jatuh melewati lima anak tangga kecil dan berhenti di anak tangga yang lebih lebar.

"Ciya." Teriak Teddy yang langsung berlari kearah terjatuhnya Sheila.

Roy membelalakkan matanya dan melihat Sheila yang terkulai di lantai anak tangga dan tidak sadarkan diri. Jantung Roy berdegup bahkan lebih cepat dari peserta lari. Kakinya terasa tidak berdaya namun ia tetap berlari kearah Sheila dan menyingkirkan tubuh Teddy didekat Sheila.

"Ella? Ella?" Panggil Roy berulang kali namun tidak mendapatkan respon apapun dari Sheila.

Roy langsung menggendong Sheila dan berlari kearah pintu utama .
"Bawa mobilku kemari." Teriak Roy sambil menggendong Sheila.

Supir Roy tiba setelah beberapa saat dengan mobil Roy. Roy menimang Sheila dalam pangkuannya selama perjalanan menuju rumah sakit terdekat.

"Ella. Jangan menakutiku. Maafkan aku. Maafkan aku. Bangunlah. Bangunlah." Ucap Roy sambil mencium puncak Sheila berulang-ulang sambil terus menimang Sheila dalam pangkuannya.

Namun mata Sheila masih terpejam. Wajah Sheila juga semakin terlihat pucat.

"Kau sudah berjanji tidak akan meninggalkanku. Maafkan aku tidak mendengarkanmu. Kita pulang sekarang. Kita pulang. Bangunlah." Roy tidak bisa menahan air matanya yang jatuh karena rasa takutnya.

Sesampainya dirumah sakit. Roy berteriak memanggil tim medis seperti orang gila sambil menggendong Sheila. Selama Sheila di tangani, Roy tidak diijinkan untuk menemani Sheila. Namun Roy tidak mengindahkan peraturan rumah sakit dan meminta untuk tetap bersama Sheila sampai Sheila sadarkan diri. Hingga petugas keamanan yang turun tangan untuk membawa Roy keluar dari ruangan penanganan Sheila.

Roy sudah mulai bisa tenang walaupun hatinya tidak. Ia menunggu mengetahui keadaan Sheila sambil duduk di ruang tunggu. Roy melihat lengan kemejanya bernoda darah. Apa itu darah Sheila? Roy tidak melihat darah di kepala Sheila selama menggendong Sheila di gedung peluncuran film maupun selama perjalanan kemari. Kalaupun itu darah dari kepala Sheila, Roy merasa ia telah melakukan hal yang fatal kepada Sheila.

Setiap detik ia menanti kabar tentang kondisi Sheila , rasanya seperti bertahun-tahun. Jantungnya semakin berdetak dengan cepat ,tingkat kegelisahan Roy juga sudah di luar batas.
Dokter keluar dari ruang penanganan dan Roy mendekati dokter itu sebelum dokter itu menyebutkan nama pasiennya.

"Bagaimana istriku?" Tanya Roy dengan cepat. Wajah Roy bahkan lebih pucat daripada wajah Sheila terakhir kali.

"Apa anda suami pasien wanita yang baru saja datang karena terjatuh dari tangga?" Tanya dokter itu dengan tenang.

"Apa istriku sudah sadar?" Tanya Roy dengan putus asa.

"Istri anda baik-baik saja. Dia sedang tertidur karena efek obat bius yang diberikan.Mungkin juga mengalami gegar otak ringan, tapi kita akan melakukan test untuk itu. tapi..." Kata dokter itu dengan ragu melihat emosi Roy yang meledak-ledak sejak ia tiba di rumah sakit.

"Tapi apa? Kenapa dia harus dibius jika dia tidak apa-apa dan mengalami gegar otak ringan?" Tanya Roy dengan ketakutannya sendiri.

"Harap anda bersabar. Kami tidak bisa menyelamatkan kandungannya. Usia kandungan masih sangat muda. Mungkin karena guncangan atau benturan yang hebat, janin tidak bisa bertahan. Kami terpaksa mengaborsinya." Lanjut dokter itu dengan penuh penyesalan kepada Roy.

Mendengar apa yang diucapkan oleh dokter itu kepadanya malah memberikan pukulan yang begitu keras kepada Roy. Roy mencengkeram lengan dokter itu. Matanya merah karena amarah.

"Apa kau bilang? Istriku sedang hamil? " Tanya Roy dengan rasa tidak percaya.

"Istri anda mengandung , namun usia janin masih sangat muda. Mungkin anda dan juga istri anda tidak mengetahuinya karena memang masih berusia sekitar empat minggu." Jawab sang dokter kepada Roy.

"Dan kau mengaborsi anakku?" Tanya Roy lagi sambil meneteskan air matanya disatu sisi matanya.

"Kami terpaksa melakukannya. Karena janin sudah tidak bisa bertahan. Jika tidak melakukan abortus, maka nyawa istri anda yang akan terancam. Kami hanya mengupayakan peluang terbesar bagi pasien untuk selamat." Jawab dokter itu mencoba menjelaskan kepada Roy dan memahami emosi yang Roy rasakan.

"Sebentar lagi kami akan memindahkan istri anda ke kamar inap jika kondisinya sudah stabil. Anda harus menemaninya untuk melewati semua ini." Sang dokter menepuk pundak Roy dan kembali ke ruang penanganan kembali.

Pandangan Roy seakan hampa dan jauh. Dengan terhuyung Roy duduk di kursi tunggunya lagi. Roy memandang kearah kemejanya yang bernoda darah itu lagi.

Roy melepaskan kemejanya dan hanya mengenakan kaos berlengan pendeknya saja. Roy memeluk kemejanya yang bernoda darah itu. Dan darah itu adalah anaknya yang sudah tiada bahkan ketika ia tidak mengetahui keberadaannya.

Mata Roy benar-benar mengembara jauh dan kosong. Ia hanya terduduk disana sambil memeluk kemejanya.
Teddy yang mengikuti kemana Roy membawa Sheila pergi kerumah sakit itu juga mendengar apa yang dikatakan oleh dokter yang menangani Sheila.

Ingin rasanya Teddy memberi pelajaran untuk Roy, tapi bahkan Roy saat ini lebih mengenaskan daripada seekor anak kucing yang kehilangan induknya.
-----------------------------------------

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience