Sheila membuka matanya , melihat sekelilingnya. Untuk sejenak ia mengerjapkan matanya dan baru tersadar jika ini bukan kamarnya.
Tangannya terasa ngilu ketika ia menggerakkan tangannya untuk menyentuh mata dan wajahnya. Sheila mengangkat tangannya dan melihat selang infus yang berada di tangannya.
"Apa anda sudah sadar?" Tanya sekertaris Roy kepada Sheila.
"Mana Roy?" Tanya Sheila yang tidak melihat kehadiran Roy di kamar inapnya.
"Pak Roy sedang bekerja saat ini. Dan saya ditugaskan untuk menjaga anda selama berada dirumah sakit."Jawab sekertaris Roy dengan datar.
"Apa yang terjadi sampai aku berada disini?" Tanya Sheila sambil berusaha mengingat apa yang sudah terjadi.
Dia hanya ingat jika dia berada di gedung pemutaran perdana film bersama Roy. Kemudian ia mengingat kejadian yang terjadi ketika Roy hendak berkelahi dengan Teddy. Kemudian ia ingin melerai keduanyanya namun Roy mendorongnya menjauh.
"Roy dan Teddy. Apa yang terjadi dengan mereka?" Tanya Sheila setelah ia mengingat apa yang terjadi lalu ia segera bangkit untuk duduk dari tidurnya dan merasakan nyeri di bagian perutnya.
"Anda tenang dulu. Tidak terjadi apa-apa malam itu. Anda hanya pingsan setelah terjatuh." Kata sekertaris Roy dengan tenang sambil membantu Sheila untuk merebahkan punggungnya di bantal rumahsakit yang sudah ia tata agar Sheila bisa duduk dengan tenang.
"Kenapa perutku rasanya sakit sekali?" Tanya Sheila sambil memeluk perutnya.
"Ketika Pak Roy mendorong anda , tidak sengaja perut anda mengenai pipa besi pagar disana. Anda juga menderita maag akut. Mungkin terjadi karena anda mengalami stress akhir-akhir ini." Sekertaris Roy menjelaskan kejadian sebelum Sheila tidak sadarkan diri.
"Setelah ini, saya akan mengantarkan anda kembali kerumah. Saya juga sudah mengurus masalah administrasi rumah sakit." Lanjut sekertaris Roy masih dengan wajah datar.
Sheila hanya mengangguk menyetujui apa yang dikatakan oleh sekertaris Roy. Mungkin ada baiknya ia tidak sadarkan diri , Roy dan Teddy tidak melanjutkann pertengkaran mereka.
-------------------------------------------------
Roy meminta kepada pihak dokter dan juga rumah sakit untuk tidak memberitahukan kondisi Sheila yang sebenarnya tentang keguguran yang ia alami. Lebih baik bagi Sheila untuk tidak mengetahui hal itu. Jika sampai Sheila mengetahuinya mungkin Sheila akan terluka dan mungkin juga akan meninggalkannya.
Roy juga meminta sekertarisnya untuk menjaga Sheila disana dan segera membawa Sheila pulang setelah ia sadar.
Roy akan mendatangkan dokter pribadi untuk merawat Sheila selama masa pemulihannya nanti.
Roy menerima pesan dari sekertarisnya jika Sheila sudah sadarkan diri dan saat ini sedang dalam perjalanan untuk pulang ke kediaman Roy.
Suara gaduh terdengar diluar ruang kerjanya. Roy mendongakkan kepalanya.Dan melihat sosok ayahnya yang datang dengan penuh amarah dan memasuki ruang kerja Roy. Roy berdiri dari duduknya dan berjalan kearah pintu ruang kerjanya untuk menutup pintu itu sebelum ayahnya berkata-kata.
"Kau. Bagaimana kau bisa kehilangan anakmu sendiri? Apa yang kau tidak bisa melakukan segala sesuatunya dengan benar?" Tanya ayah Roy dengan rahang yang terkatup.
"Sungguh menakjubkan kau bisa mengetahui hal ini." Kata Roy sambil tersenyum sinis.
"Jika bukan karena emosimu, kandungan istrimu pasti akan baik-baik saja." Balas ayah Roy dengan geram.
"Semua terjadi begitu saja." Jawab Roy sambil membuang wajahnya melihat kearah lain selain ayahnya.
"Aku akan menemuinya." Kata ayah Roy yang bermaksud untuk menemui Sheila.
"Jangan menemui istriku." Roy seketika memandang ayahnya dengan mata yang tajam dan dingin.
"Dia bahkan tidak mengetahui jika ia kehilangan bayi kami. Jangan pernah menemuinya." Roy memperingatkan ayahnya.
Nada suara Roy datar namun begitu tajam .
Bahkan ayahnya pun merasakan hawa mengerikan ketika Roy memperingatkan dirinya. Mata Roy bahkan lebih menakutkan daripada ketika ia datang pertama kali dihadapan ayahnya dulu.
"Aku hanya mengusahakan yang terbaik untukmu selama ini. Dan kau akan menanggung sendiri akibat dari apa yang sudah kau lakukan untuk dirimu sendiri dan juga keluargamu." Kata ayah Roy kemudian meninggalkan ruangan Roy.
Roy akan melindungi Sheila dari apapun yang akan menyakitinya termasuk rasa sakit akan kehilangan anak mereka. Roy akan menanggungnya sendiri.
Yang saat ini ingin Roy lakukan adalah pulang dan menemui istrinya dirumah. Hanya dengan begitu dirinya akan tenang.
---------------------------------
Mau tidak mau Teddy mengakui jika Roy memang mencintai Sheila. Roy bahkan rela menutup kebenaran tentang kejadian mengerikan yang menimpa Sheila. Dan juga membungkam seluruh orang untuk tidak memberitahu Sheila tentang keguguran yang dialami oleh Sheila.
Setidaknya Roy masih memperdulikan perasaan Sheila, meskipun cara yang ia lakukan salah. Tapi Roy masih mendampingi Sheila.
"Apa kau tidak ingin mengunjungi Sheila? Saat ini Roy sedang tidak bersama Sheila di rumah sakit." Kata Billy kepada Teddy. Teddy melihat kearah Billy dengan lelah.
"Tidak. Aku akan mengawasinya dari jauh saja. Apa kau tahu apa yang dilakukan Katarina belakangan ini?" Teddy mulai waspada dengan apa yang akan Katarina lakukan.
Teddy bahkan tidak bisa memastikan Katarina adalah rekannya atau musuhnya saat ini.
"Dia.. Seperti biasa. Saat ini ia juga sedang sibuk syuting. Apa ada yang perlu aku selidiki tentang dia?" Billy merasa ada hal yang disembunyikan oleh Teddy.
"Dia sudah mengawasi gerak gerik Ciya dan Roy selama ini. Aku hanya takut jika dia melakukan sesuatu yang akan merugikan Ciya." Jawab Teddy tanpa menceritakan detailnya kepada Billy.
"Aku akan mencoba mencari tahu." Jawab Billy dengan cepat.
"Aku tidak melihat Tonny akhir-akhir ini. Apa dia sakit?"
"Tidak. Dia sudah berhenti." Jawab Teddy dengan wajah dingin.
"Apa? Bagaimana bisa dia berhenti bekerja? Bukannya dia yang paling setia kepadamu selama ini?" Billy tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Hati manusia kita tidak akan pernah tahu." Jawab Teddy dengan singkat.
"Tolong carikan asisten yang baru untukku. Dan periksa latar bellakangnya dengan benar." Pinta Teddy kepada Billy.
Setelah Tonny membeberkan segala rahasianya bersama Roy. Teddy memang tidak bisa mempercayainya. Hal yang begitu diluar akal manusia normal. Teddy mengira jika dirinya mengatakan hal ini kepada Sheila, Sheila akan menjauhi Roy, namun pada kenyataannya Sheila sudah mengetahui hal ini dan tetap memilih bersama Roy. Roy juga tidak menyandera nenek Sheila seperti dugaannya ataupun hal lainnya. Ia bahkan benar-benar mengandung anak Roy.
Teddy memutuskan untuk tidak memperkerjakan Tonny lagi. Dia hanya mencoba menghargai keinginan Sheila saat ini.
------------------------------------------
Roy membuka pintu kamar mereka dan melihat Sheila sedang tertidur karena efek dari obat yang ia konsumsi. Sheila tertidur menyamping . Roy berbaring disamping Sheila dan memeluk tubuh Sheila dari belakang.
"Kau sudah pulang?" Tanya Sheila dengan mengantuk .
"Hmm." Jawab Roy sambil mengecup punggung Sheila.
"Kau tidurlah lagi. Aku akan menemanimu." Kata Roy berbisik di telinga Sheila dan mencium pundak Sheila.
Sheila mengangguk dan kalah dengan rasa kantuknya.
Roy menempelkan kepalanya dengan manja di belakang leher Sheila.
Roy benar-benar merasa tenang dan nyaman disamping Sheila. Dia bahkan bisa langsung terlelap walaupun belum sempat membersihkan dirinya selepas pulang bekerja.
Mimpi itu datang lagi ,Roy bisa melihat ibunya dan juga tatapan benci dari ibunya.
"Aku sudah bilang. Kamu akan kehilangan apapun itu milikmu. Segala yang kau miliki dan kau sayangi akan hancur dan meninggalkanmu. Kamu terlahir dengan jiwa terkutuk. Seharusnya aku tidak melahirkanmu. Kau bahkan tidak bisa melindungi anakmu sendiri? Apa kau yakin wanita yang kau cintai itu akan tetap disampingmu ketika ia tahu kau yang telah membuatnya kehilangan anak yang bahkan ia tidak ketahui." Suara ibu Roy bahkan terlihat begitu nyata bagi Roy.
Roy berlari menjauhi ibunya dan berharap menemukan tempat yang lebih nyaman untuk dirinya , jauh dari jeratan bayangan ibunya.
Roy seperti berjalan disebuah jalan yang gelap dan luas, tanpa arah.
Dan suara Sheila yang membangunkannya.
"Roy, apa kau mimpi buruk lagi?" Bisik Sheila ketika membangunkan Roy. Roy mengatur nafasnya dengan perlahan dan memandang di sekeliling kamarnya. Seperti mencari seseorang di kamar itu.
"Kau mencari apa?" Tanya Sheila sambil ikut melihat sekeliling kamar mereka . Namun Sheila tidak menemukan apapun yang aneh dikamar mereka.
"Dia datang lagi. Dia datang lagi." Jawab Roy sambil mencengkeram lengan Sheila. Wajah Roy seperti orang yang kebingungan dan ketakutan. Matanya bahkan tidak bisa fokus.
"Roy, tenangkan dirimu dulu."Kata Sheila sambil membelai tangan Roy dengan lembut .
"Tarik nafasmu dengan perlahan." Sheila berusaha untuk menenangkan Roy.
Roy menarik nafasnya dengan perlahan dan menghembuskannya sesuai apa yang Sheila inginkan. Cengkeraman tangan Roy juga sudah merenggang. Sheila memeluk Roy dan membelai punggung Roy dengan lembut.
"Tenanglah. Ibumu tidak berada disini. Dia tidak ada disini. Hanya ada aku. Aku tidak akan membiarkannya menyakitimu lagi." Bisik Sheila kepada Roy. Roy membalas pelukan Sheila, seperti seseorang yang bergantung pada pelampung ditengah lautan lepas.
"Dia masih disini. Dia tidak meninggalkanku. Dia disini. Dia tidak boleh meninggalkanku juga." Kata Roy dalam hati ketika dirinya berada dalam pelukan Sheila dengan perasaan lega dan takut yang menjadi satu.
Setelah satu jam barulah Roy bisa tenang sepenuhnya. Bahkan dalam tidurpun Roy memeluk Sheila dengan erat. Sheila masih membelai punggung Roy .
"Jika dia tidur tenang seperti ini benar-benar seperti anak kecil." Batin Sheila dalam hati sambil tersenyum melihat wajah Roy yang terlelap.
"Bagaimana aku bisa meninggalkanmu jika kamu seperti ini?"
Sheila sudah dirawat dirumah selama dua minggu ini, namun Sheila tidak pernah mengetahui mengapa ia membutuhkan perawatan yang terkesan berlebihan untuk penyakit lambung. Sheila bahkan tidak pernah tahu obat apa yang ia konsumsi setiap hari.
"Apa anda masih merasa pusing akhir-akhir ini? Atau merasa tidak nyaman?" Tanya dokter yang memeriksa Sheila setiap dua hari sekali itu.
"Sudah tidak seperti kemarin lusa. Apa karena aku mengalami menstruasi secara berlebihan setelah keluar dari rumah sakit waktu itu?" Sheila masih belum mendapatkan jawaban atas kondisinya selama ini dengan jelas dari dokter yang memeriksanya dengan rutin itu.
"Apa kau mengalami menstruasi lagi?"
"Tidak. Terakhir kali minggu lalu, ketika anda datang untuk memeriksaku. Ada apa?"
Dokter itu mengangguk dan sepertinya sudah memahami kondisi tubuh Sheila yang sudah membaik.
"Aku akan memberikan beberapa vitamin saja untukmu. Jaga pola makan dan juga jangan stress. Hal itu akan berpengaruh bagi penyembuhanmu.Untuk seseorang yang mengalami pendarahan seperti yang kau alami, proses penyembuhanmu termasuk lambat." Kata Dokter itu, kemudian secara spontan dokter wanita itu menutup mulutnya dengan erat berharap Sheila tidak
mendengarkan apa yang baru saja ia katakan.
"Pendarahan? Pendarahan apa? Bukannya aku hanya mengalami peningkatan asam lambung akut?" Tanya Sheila yang sudah mulai curiga jika yang ia derita bukan hanya penyakit maag dan stress saja.
"Aku hanya asal bicara saja. Kau istirahat yang cukup dan makanlah makanan yang menunjang nutrisi tubuhmu." Jawab dokter itu sambil memberikan beberapa obat kepada Sheila kemudian ia bersiap untuk berdiri.
"Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku sewaktu aku dilarikan ke rumah sakit?" Tanya Sheila lagi sambil menahan tangan sang dokter.
"Kau tanyakan sendiri saja kepada Roy. Tolong jangan mempersulit keadaanku. Roy akan membunuhku jika kau mengetahui hal ini dariku." Kata sang dokter wanita itu sambil melepaskan tangan Sheila dari tangannya.
"Aku tidak akan bilang jika kau yang memberitahuku. Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" Sheila memohon sambil kembali meraih tangan sang dokter wanita itu.
"Kau cari tahu saja sendiri. Hal ini juga dibicarakan ramai di internet. Mungkin sebagian besar juga sudah dihapus dari tajuk utama." Jawab sang dokter sambil melepaskan tangan Sheila lagi dan meraih tas yang ia bawa tadi.
"Kusarankan mungkin lebih baik jika kau bertanya pada Roy secara langsung saja. Dan aku harap kau juga menyiapkan mental dan hatimu. Stress sangat mempengaruhi kesehatan dan proses penyembuhanmu." Sang dokter itupun pergi meninggalkan Sheila yang masih bertanya-tanya akan kondisinya yang sebenarnya.
Apa yang sebenarnya Roy sembunyikan dari dirinya? Mengapa sampai dirinya tidak boleh mengetahui hal ini? Setelah pulang dari rumah sakit. Sheila benar-benar terisolasi dengan dunia luar. Tidak hanya tinggal didalam rumah. Bahkan jaringan internetpun ia tidak bisa mengaksesnya.
Apakah dirinya sedang menderita penyakit yang serius sampai Roy harus benar-benar mengurung Sheila dari dunia luar?
Ketika Roy pulang dari bekerja, Sheila mencoba untuk merayu Roy agar dirinya bisa mengakses internet. Sheila jelas tidak akan mendapatkan jawaban dari Roy jika ia bertanya langsung kepada Roy.
"Roy, apa aku bisa mengakses internet sekarang?" Tanya Sheila dengan ragu kepada Roy.
"Ada apa?" Balas Roy dengan curiga sambil melepaskan pakaian yang ia kenakan dan bergegas untuk membersihkan dirinya kekamar mandi.
"Aku .. Bosan beberapa hari ini. Aku tidak bisa melihat acara tv, aku juga tidak bisa mengakses internet untuk mengupload tulisanku." Jawab Sheila walaupun tidak sepenuhnya itu kebohongan.Lagipula Sheila tidak bisa berbohong.
"Tidak." Kata Roy dengan tegas dan cepat dan tanpa memandang kearah Sheila.
Roy langsung masuk kedalam kamar mandi tanpa memperdulikan permintaan Sheila.
Sheila menghela nafas panjang. Memang tidak mudah untuk meinta hal yang sudah menjadi keputusan Roy.
Ketika membereskan pakaian kotor Roy, ponsel Roy terjatuh dari saku dalam jas Roy. Dan Sheila melihat pesan yang baru saja masuk diponsel Roy secara tidak sengaja.
Roy keluar dari kamar mandi dan mendapati Sheila sedang menggenggam ponsel miliknya. Dengan cepat Roy mengambil ponselnya dari tangan Sheila.
"Kenapa.. Ini...Kau tidak pernah menyentuh ponselku sebelumnya." Kata Roy dengan gugup.
"Aku kehilangan bayiku?" Kata Sheila menatap Roy dengan pandangan tidak percaya.
Berharap apa yang ia baca dipesan Roy adalah sebuah kesalahan.
Namun melihat Roy yang tidak bisa menjawab pertanyaannya, membuat Sheila yakin jika memang itulah yang terjadi.
"Karena itukah kau membuatku terus berada di rumah dan juga harus diawasi oleh anak buahmu selama 24jam selama dua minggu ini? Kenapa kau menutupinya dariku?" Tanya Sheila kepada Roy. Roy langsung berlutut didepan Sheila dan menggenggam tangan Sheila.
"Aku hanya melakukan yang terbaik untukmu. Aku hanya tidak ingin kau bersedih karena kehilangan bayi yang bahkan belum kau ketahui keberadaannya." Kata Roy dengan cemas sambil tetap menggenggam tangan Sheila dengan erat, seakan-akan tangan itu akan menghilang darinya.
"Kau hanya takut aku akan meninggalkanmu. Kau tidak pernah memperdulikan perasaanku." Balas Sheila dengan mata yang mulai tergenang airmata. Mata Sheila lebih menyiratkan kekecewaannya kepada Roy bukan tentang kehilangannya.
"Bukan. Bukan begitu. Dengarkan aku." Roy masih berusaha untuk menenangkan Sheila.
Sheila tidak memberontak maupun marah kepada Roy saat ini. Ia lebih terlihat begitu kecewa akan Roy.
Lebih baik bagi Roy jika Sheila marah , berteriak kepadanya , atau memukulnya. Mungkin itu akan lebih mudah bagi Roy. Namun Sheila hanya duduk dengan mata yang begitu kecewa akan dirinya.
"Aku selalu mendengarkanmu. Aku selalu mengikuti apapun yang kau inginkan. Tapi pernahkah kau mendengarkanku? Pernahkah kau memikirkan perasaanku?" Kata Sheila begitu putus asa hingga airmatanya menetes dan membasahi pipinya.
Sheila tidak menaikkan nada bicaranya, ia juga tidak menunjukkan ekspresi marah kepada Roy, namun perkataannya menusuk tajam di hati Roy.
"Aku minta maaf, aku hanya memikirkan dari sudut pandangku saja. Maafkan aku. Jangan menangis." Kata Roy dengan lembut sambil mengusap airmata Sheila.
"Aku ingin beristirahat." Kata Sheila tanpa memandang kearah Roy.
Roy menganggukkan kepalanya seperti anak kecil yang begitu patuh akan perkataan ibunya.
"Aku tidak ingin melihatmu. Aku ingin menenangkan diriku sendiri." Lanjut Sheila sambil menarik tangannya dari genggaman Roy dan berdiri dari duduknya. Dengan cepat Roy menarik tangan Sheila dan membuat Sheila duduk kembali ditepi tempat tidur mereka.
"Kau beristirahatlah disini. Aku akan tidur diluar. Aku tidak akan menemuimu sampai kau merasa tenang,ya?" Kata Roy sambil menaikkan kedua alis matanya berharap Sheila mau mendengarkannya kali ini. Sheila tidak mengatakan apapun dan hanya berjalan memutari Roy untuk naik ketempat tidurnya.
Roy dengan segera berdiri dan melihat Sheila yang tidur menyamping memandang kearah luar jendela kamar mereka sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
Roy berjalan keluar kamar tidur mereka dan memutuskan untuk duduk di sofa ruang tamunya. Roy memeriksa pesan yang masuk diponselnya dan itu dari dokter yang memeriksa Sheila selama ini. Dengan kesal Roy melemparkan ponselnya kelantai ruangtamunya.
Sheila sudah mengetahui jika ia kehilangan bayi mereka.
Dan Roy tidak bisa menenangkan Sheila saat ini. Setidaknya Sheila tidak pergi darinya saat ini.
Dengan cemas Roy menjalin jemarinya dan kakinya tidak berhenti bergerak di tempatnya. Hanya saat ini saja Sheila masih berada disini, untuk esok, Roy tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh Sheila.
Sheila bahkan lebih seperti orang mati tadi. Dan Sheila tidak ingin melihatnya. Hal itu malah lebih menyakitkan bagi Roy.
Keesokan harinya , Sheila masih tidak keluar dari kamarnya. Roy bahkan tidak bisa memejamkan matanya. Hatinya benar-benar tidak tenang. Bayangan jika Sheila pergi darinya selalu menghalangi matanya untuk terpejam.
Dengan perlahan Roy membuka pintu kamar dan melihat Sheila yang masih dalam posisi sama seperti ketika ia meninggalkan kamar itu.
Perlahan Roy berjalan untuk melihat keadaan Sheila. Mata Sheila sembab dan terpejam, wajahnya bahkan terlihat pucat.
"Aku tidak mau melihatmu. Apa kau lupa?" Kata Sheila sambil memejamkan matanya.
"Aku hanya.. Ingin melihat keadaanmu." Jawab Roy dengan terbata-bata.
"Kau belum makan dari semalam. Kau juga terlihat pucat saat ini."
"Aku tidak membutuhkan perhatianmu. Biarkan aku sendiri." Kata Sheila sambil membuka matanya namun masih tidak ingin melihat ke arah Roy. Roy duduk ditepi tempat tidur dekat dengan Sheila.
"Ella,aku tahu aku salah. Tapi kau juga harus menjaga kesehatanmu. Kau ingin aku bagaimana agar kau mau memaafkanku?" Tanya Roy dengan menghadapkan tubuhnya pada Sheila.
"Marah saja padaku, pukul saja aku. Kau seperti ini malah membuatku takut."
Sheila bangun dari tidurnya dan melihat Roy secara langsung kali ini.
"Apa kau akan mengabulkan apapun permintaanku?" Tanya Sheila dengan datar.
"Tentu saja." Jawab Roy yang mulai merasa lega Sheila mau melihat dirinya.
"Apa kau bisa melepaskan aku?" Tanya Sheila dengan mata yang tajam kearah Roy. Roy terdiam dengan permintaan Sheila. Sheila tersenyum sinis.
"Kau tidak bisa mengabulkannya meskipun aku ingin. Pergilah, biarkan aku sendiri." Kata Sheila lalu kembali keposisi tidurnya.
"Aku akan mengabulkan apapun permintaanmu tapi tidak untuk yang satu itu." Kata Roy sambil memandang tajam kearah Sheila.
"Aku akan pergi bekerja. Hari ini biar sekertarisku yang menemanimu selama aku tidak disini. Kau juga tidak akan melihatku seperti yang kau inginkan." Lanjut Roy sambil berdiri dari duduknya dan mulai bersiap-siap untuk berangkat bekerja.
Sheila masih diam tanpa berkata dan juga tidak bergerak dari posisinya di tempat tidur sampai Roy meninggalkan rumah.
Sesuai yang dikatakan Roy , hari ini sekertaris Roy yang menemani Sheila. Sheila semakin merasa jika Roy memang tidak pernah memikirkan perasaannya selama ini. Yang Roy pentingkan adalah perasaan Roy sendiri.
Sheila menolak untuk makan dan juga minum obat yang ditawarkan oleh sekertaris Roy.
Sekertaris Roy selalu melaporkan setiap apa yang dilakukan Sheila kepada Roy. Mengetahui Sheila yang tidak menyentuh makanan dan juga obatnya hingga hampir petang tentu saja membuat Roy langsung bergegas untuk kembali kerumahnya. Ketika Roy sudah sampai dirumah, ia langsung meminta sekertarisnya untuk meninggalkan mereka berdua.
"Apa kau sengaja melakukan ini kepadaku?" Tanya Roy yang menahan emosinya untuk menghadapi Sheila. Sheila yang saat ini sedang duduk di ruang tamu tidak menjawab pertanyaan dari Roy.
"Baiklah. Kau marah kepadaku karena aku tidak memahami perasaanmu. Aku sudah minta maaf. Jika kamu tidak makan sama sekali, apa kau tidak mengkhawatirkan dirimu sendiri?"
"Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu." Jawab Sheila lalu berdiri dari duduknya dan berjalan kearah kamar tidur.
"Apa yang kau inginkan sebenarnya?" Tanya Roy dengan nada yang meninggi karena frustasi. Sheila menatap mata Roy dengan lelah.
"Aku hanya ingin menenangkan diriku sendiri. Aku hanya ingin bernafas,Roy. Aku sudah merasa begitu lelah dengan semua ini." Balas Sheila dengan nada yang ikut meninggi. Dan airmata yang tiba-tiba jatuh begitu saja dari matanya.
Roy merasa tidak berdaya melihat airmata Sheila dan juga wajah Sheila yang nampak sangat lelah dan putus asa.
"Apa kau begitu ingin aku melepaskanmu? Lalu mengapa selama ini kau bertahan?" Tanya Roy sambil bersandar di tepian meja bar yang berada didapur kecilnya.
"Karena aku memiliki harapan kau akan bisa berubah suatu hari nanti. Kau akan bisa mengerti ketulusan dan perasaanku. Tapi ternyata aku salah. Yang kau perdulikan hanyalah perasaanmu sendiri." Jawab Sheila sambil menghela nafas panjang.
"Kau bahkan tidak pernah menyadari apa kau melindungiku atau malah menyakitiku. Jika seperti ini terus, apa bedanya aku hidup atau mati."
"Jadi itukah yang kau rasakan?" Kata Roy sambil memandang kearah Sheila.
"Kau ingin mati di hadapanku sebagai bentuk perasaanmu atas apa yang aku lakukan kepadamu."
Roy mengangguk satu kali lalu berdiri dengan tegap namun masih berada di tempatnya.
"Pilihlah. Kau tetap tinggal disini dan mati kapanpun kau mau dihadapanku. Atau kau pergi dari sisiku dan aku yang mati dihadapanmu."
Roy tidak memberikan tawaran kepada Sheila, dia memberikan ancamannya kepada Sheila. Sheila tertawa sinis mendengarkan hal itu dari Roy.
"Kau memberikan pilihan ? Kau hanya berusaha menekanku disini." Jawab Sheila dengan pesimis.
"Kau yang memilih. Aku akan menghargai apapun pilihanmu." Kata Roy dengan mata yang dingin sedingin nada bicaranya kali ini.
Sheila terdiam memikirkan apa yang harus ia jawab. Sheila tidak mungkin jika harus bersama dengan Roy tanpa adanya perubahan dari Roy. Namun Sheila juga tidak mungkin meninggalkan Roy jika Roy harus mati dihadapannya.
Namun Roy mungkin hanya menggertak saja. Jika Sheila pergi dari sini saat ini, Roy hanya akan menggertak tentang dirinya yang akan mati dihadapannya. Roy memiliki ego yang begitu tinggi.
"Aku akan pergi." Kata Sheila setelah memikirkan apa yang akan ia pilih dari tawaran yang ditawarkan Roy kepadanya.
Wajah Roy terllihat kaku namun matanya menyiratkan kesedihan. Sheila tidak ingin terpengaruh oleh hal itu. Dia hanya ingin bernafas bebas setidaknya kali ini . Roy memberinya kesempatan, seharusnya Sheila merasa bahagia.
Roy menekan tombol di telepon yang menempel didinding dapur kecilnya.
"Biarkan istriku pergi jika dia ingin pergi." Kata Roy kepada penjaga gerbang rumahnya kemudian ia memandang kearah Sheila.
Sheila membuang pandangannya dari Roy , entah mengapa hatinya juga merasa sakit melihat sinar mata Roy yang sepertinya sedih akan keputusan Sheila.
Sheila membalikkan badannya dan berjalan kearah pintu kaca dan membukanya tanpa mengucapkan apapun kepada Roy.
Saat Sheila menuruni tangga , Sheila bisa mendengar suara pecahan kaca yang membuat jantung Sheila berhenti berdetak . Dengan cepat Sheila berbalik dan berlari kearah area Roy lagi. Lewat dinding kaca Sheila bisa melihat Roy yang sudah bersimbah darah. Ia melukai lehernya dengan pecahan botol yang ada disana. Dengan panik Sheila berteriak dan berlari ke sisi Roy.
"Roy, kau gila. Apa yang kau lakukan?" Tanya Sheila dengan panik dan menangis sambil menyentuh leher Roy yang terluka. Berusaha menekan luka yang Roy ciptakan sendiri untuk melukai dirinya. Sheila berusaha berpikir dengan cepat. Luka itu berada di titik vital dan tidak bisa jika hanya dia yang mengobati. Sheila menekan tombol yang tadi Roy tekan.
"Panggilkan ambulans,Cepat!" Teriak Sheila pada penjaga gerbang rumah Roy. Kemudian Sheila kembali kesamping Roy, Sheila merebahkan kepala Roy di pangkuannya dan menekan luka dileher Roy dengan tangan yang gemetar ketakutan.
"Kau gila,Roy. Kau bisa mati." Kata Sheila disela isak tangisnya. Roy yang masih memiliki sedikit kesadaran tersenyum melihat Sheila berada disisinya.
"Kau yang memilih. Aku hanya menuruti keinginanmu. Matipun aku tidak menyesal, setidaknya kamu kembali kesisiku sebelum aku mati." Kata Roy sambil tersenyum dan Roy memejamkan matanya.
"Tidak, kamu tidak boleh mati. Kau juga tidak boleh mati tanpa ijinku. Kau dengar? Kau tidak boleh mati. Siapa yang mengijinkanmu mati seperti ini?" Teriak Sheila dengan putus asa. Namun Roy tidak membuka matanya meskipun Sheila memanggilnya berulang kali.
-------------------------------------------
"Bagaimana ini bisa terjadi?" Tanya ayah Roy yang sudah tiba dirumah sakit kepada Sheila.
"Dokter bilang ,Roy sudah melewati masa kritis. Lukanya juga tidak terlalu dalam, tidak sampai memutuskan urat nadinya. Sekarang dia sedang ditangani secara intensif oleh para dokter." Jawab Sheila dengan pandangan kosong.
"Semuanya salahku. Aku yang sudah membuatnya begini. " Kata Sheila sambil menutup wajahnya dengan telapak tangannya.
Belum ayah Roy mengatakan sesuatu , pintu ruang operasi sudah terbuka dan Roy yang terbaring tak sadarkan diri itu didorong oleh beberapa perawat menggunakan tempat tidur rumah sakit.
Sheila mengikuti kemana Roy dibawa oleh para perawat, sementara ayah Roy berbicara dengan dokter yang menangani Roy.
"Bagaimana kondisi putraku?"
"Kondisi putra anda sudah melewati masa kritis saat ini. Kondisi selanjutnya kita akan pantau kembali. Untungnya luka dilehernya tidak mengenai bagian yang paling vital. Beruntung istrinya segera menghubungi ambulans dan putra anda segera mendapatkan penanganan."Jawab sang dokter sambil melepaskan masker yang masih menempel di wajahnya.
"Secara fisik mungkin putra anda baik-baik saja. Namun secara psikis saya meragukan hal itu. Istrinya berkata jika putra anda melakukan tindakan itu pada dirinya sendiri. Kita akan pantau kembali setelah putra anda siuman."
"Terimakasih ,Dokter." Kata ayah Roy dengan perasaan yang lega.
Setelah dokter itu pergi, ayah Roy memasuki ruang inap Roy dan melihat Sheila sedang berada disamping Roy, menggenggam tangan Roy.
"Aku mendengar dari dokter. Roy melakukan bunuh diri. Apa itu benar?" Tanya ayah Roy dengan suara yang sedikit merendah meskipun ia merasa begitu emosi. Sheila memandang ayah Roy dan mengangguk.
"Aku tidak tahu jika dia benar-benar akan melakukan hal itu." Jawab Sheila penuh rasa bersalah.
Kemudian Sheila melihat kearah Roy yang sedang terbaring dihadapannya.
"Jika aku tahu dia akan benar-benar melakukannya, aku tidak akan meninggalkannya. Aku tidak akan mengatakan hal yang membuatnya begitu putus asa dan menyakiti hatinya."Lanjut Sheila sambil mengecup tangan Roy yang ia genggam.
"Kau sudah berjanji untuk selalu menemaninya dan menyembuhkannya, tapi sekarang malah dia ingin mati karena kau meninggalkannya. Mengapa kau ingin meninggalkannya? Aku kira kau serius dengan ucapanmu padaku sewaktu kita berada di villa untuk menjemput nenekmu." Kata ayah Roy sambil mengatupkan rahangnya.
"Aku hanya merasa kecewa akan apa yang ia lakukan kepadaku. Roy tidak mengatakan kepadaku jika ..." Kata-kata Sheila terputus karena Sheila terlalu takut dan ragu untuk mengatakan keadaannya kepada ayah Roy.
"Karena kau mengalami keguguran?" Tanya ayah Roy yang langsung mendapatkan respon oleh Sheila.
"Anda tahu tentang hal itu?"
"Roy sengaja menyembunyikannya darimu. Dia hanya tidak ingin kau terluka, dia ingin menanggung kehilangan bayi kalian sendirian. Dia tidak ingin kau merasa bersalah dan juga merasa sedih.Roy juga membungkam banyak media yang mengabarkan tentang keguguranmu. Jika kau berpikir dia tidak memikirkan perasaanmu , coba pikirkan bagaimana perasaannya. Roy memang bukan seorang yang pandai untuk berkata-kata ataupun mengekspresikan perasaannya secara langsung, tapi sejauh ini dia melakukan banyak hal untukmu. Dia tidak seperti manusia pada umumnya karena luka psikis yang ia miliki , tapi dia sangat manusiawi jika bersamamu.Apa kau tidak pernah memikirkan hal itu?" Kata ayah Roy sambil mencengkeram besi di ujung tempat tidur tempat Roy berbaring.
Perkataan ayah Roy benar-benar menampar Sheila secara mental.
Jika saja ia bisa menyingkirkan egonya saat itu, Roy mungkin tidak akan seperti saat ini.
"Aku tidak akan memaksamu untuk tinggal dan merawat Roy. Aku bahkan ingin kau pergi dari sisi Roy saat ini. Tapi aku masih menahannya. Kita akan menunggu sampai Roy sadar nanti." Lanjut ayah Roy kemudian meninggalkan Sheila yang terisak disamping Roy yang masih belum sadarkan diri itu.
Sudah dua hari semenjak Roy tidak sadarkan diri, Sheila selalu menemani dan merawat Roy. Dokter yang menangani Roy kemungkinan Roy tidak segera sadarkan diri adalah karena faktor psikis. Kondisi tubuh Roy sudah boleh dikatakan pulih sepenuhnya. Tabung oksigen juga sudah dilepaskan dari tubuh Roy.
"Roy, apa kau sedang menghukumku? Bangunlah. Kali ini kau yang menakutiku. Maafkan aku . Aku tidak akan mengatakan akan meninggalkanmu lagi, aku akan selalu disisimu bahkan jika aku merasa lelah disisimu." Kata Sheila dengan lirih sambil membelai tangan Roy yang tiba-tiba bergerak secara spontan.
Sheila bisa melihat mata Roy mulai terbuka dengan perlahan.
"Roy, kau sudah bangun?" Tanya Sheila dengan gembira.
"Aku akan memanggil dokter." Kata Sheila sambil menekan tombol untuk memanggil perawat yang sedang berjaga di koridor itu.
"Aku di rumahsakit?" Tanya Roy sambil melihat kesekitarnya. Kemudian matanya tertuju pada Sheila.
"Apa yang terjadi?" Tanya Roy lagi.
"Kau tidak ingat? Kita sedang bertengkar waktu itu." Jawab Sheila yang langsung mendapatkan respon aneh dari Roy. Roy mengernyitkan keningnya dan menarik tangannya dari Sheila.
"Kau dan aku bertengkar?" Tanya Roy lagi dengan pandangan dingin kepada Sheila.
"Kau siapa?" Kata Roy seolah tidak mengenali Sheila lagi. Sheila menggenggam tangan Roy lagi.
"Roy aku tahu aku bersalah, jangan menakutiku." Kata Sheila dengan cemas. Roy menarik tangannya dengan kasar dari Sheila.
"Aku tidak mengenalmu. Dimana Nadia?" Roy menanyakan keberadaan sekertarisnya yang seharusnya selalu ada disaat ia mengalami kesulitan , terutama saat ini dirinya sedang berada di rumah sakit.
"Kau tidak mengenaliku,Roy?" Tanya Sheila lagi, kali ini kecemasannya berubah menjadi ketakutan yang belum pernah ia rasakan.
"Apa kau tuli? Memangnya kau siapa aku harus mengenalmu?" Bentak Roy dengan kasar kepada Sheila.
"Panggilkan sekertarisku kemari."
------------------------------------------------
Share this novel