Kaelan dan Lyra melanjutkan perjalanan mereka setelah kepergian Ser Valaine. Mereka menuju ke arah utara, menyusuri jalan setapak yang jarang dilewati orang. Sepanjang perjalanan, Kaelan tidak bisa mengalihkan pikirannya dari kejadian malam sebelumnya. Fakta bahwa Lyra tidak terpengaruh oleh kutukannya terus menghantui pikirannya, seolah ada sesuatu yang lebih besar menunggu untuk diungkap.
Mereka berjalan dalam keheningan yang aneh, hanya disertai oleh bunyi gemerisik dedaunan dan kicauan burung di atas. Kaelan ingin berbicara, ingin bertanya lebih banyak tentang Lyra, tetapi dia merasa sekarang bukan waktu yang tepat. Dia bisa merasakan bahwa ada beban dalam hati gadis itu, sesuatu yang mungkin lebih berat daripada apa yang dia tunjukkan.
Setelah beberapa jam perjalanan, mereka tiba di sebuah lembah yang tampak sunyi. Sebuah sungai kecil mengalir di tengahnya, dan di kejauhan, terlihat reruntuhan bangunan tua yang tertutup lumut dan tanaman liar.
“Kita istirahat di sini,” kata Kaelan, menghentikan langkah mereka. Lyra hanya mengangguk, mengikuti arahan Kaelan dengan tenang. Mereka duduk di tepi sungai, membiarkan sejuknya air dan udara segar memberikan sedikit rasa lega setelah perjalanan panjang.
Kaelan memperhatikan Lyra dari sudut matanya. Gadis itu masih tampak tenang, bahkan mungkin terlalu tenang. Sejak pagi, Lyra hampir tidak banyak bicara, dan itu semakin membuat Kaelan penasaran. Dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh Lyra, tetapi dia tidak ingin memaksanya.
“Kau pernah ke sini sebelumnya?” tanya Kaelan tiba-tiba, memecah keheningan.
Lyra tersenyum samar, menggelengkan kepalanya. "Tidak, tapi tempat ini terasa akrab... seperti ada sesuatu yang menunggu di sini."
Kaelan memandang reruntuhan di kejauhan. “Reruntuhan itu… sepertinya pernah menjadi bagian dari kerajaan yang besar.”
Lyra menunduk sedikit, seolah-olah dia bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh Kaelan. "Ya, mungkin. Banyak tempat di dunia ini yang pernah besar, tapi waktu dan perang menghapus jejak mereka."
Keheningan kembali menguasai mereka, hanya terpecah oleh suara gemericik air. Kaelan merasa bahwa ada sesuatu di tempat ini yang memanggil mereka. Reruntuhan itu tampak seperti sisa-sisa masa lalu yang menyimpan rahasia yang tersembunyi, dan dia merasa tertarik untuk menjelajahinya.
“Ayo kita lihat reruntuhan itu,” ajak Kaelan, berdiri dan mengulurkan tangan pada Lyra.
Lyra menerima uluran tangan Kaelan, meskipun dia tak memerlukan bantuan untuk berjalan. “Kau yakin kita perlu ke sana?” tanya Lyra pelan, nadanya penuh pertanyaan.
“Entah mengapa, aku merasa kita harus melakukannya,” jawab Kaelan dengan tekad. “Mungkin ada jawaban di sana, atau setidaknya petunjuk.”
Mereka berdua berjalan mendekati reruntuhan, semakin dekat, semakin jelas bentuk bangunan tua itu. Kaelan bisa melihat bahwa ini dulu mungkin sebuah kuil besar, dengan tiang-tiang yang menjulang tinggi meski kini roboh dan dililit tanaman liar.
Setelah sampai di dalam reruntuhan, sesuatu yang aneh terjadi. Sebuah suara lirih mulai terdengar, seolah-olah bisikan angin membawa kata-kata yang tidak jelas. Kaelan menoleh ke Lyra, tetapi gadis itu tampak tenang, meskipun dia juga terlihat sedikit tegang.
“Kaelan,” bisik Lyra tiba-tiba, suaranya rendah dan penuh kewaspadaan.
“Ada apa?” Kaelan bertanya, meskipun dia sudah bisa merasakan sesuatu yang tidak beres.
“Aura di tempat ini… berbeda,” jawab Lyra pelan. "Ada sesuatu yang kuat di sini. Sesuatu yang tua... dan berbahaya."
Kaelan menegang. Dia merasakan hawa dingin yang aneh menyelinap di sekitarnya. Mata Lyra mulai berkilauan dengan intensitas yang berbeda dari sebelumnya, dan Kaelan tahu bahwa gadis ini melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh matanya sendiri.
Tiba-tiba, di tengah reruntuhan, sebuah patung besar yang sebelumnya tampak hanya seperti puing-puing mati mulai bersinar dengan cahaya redup. Mata patung itu menyala dengan warna hijau terang, dan sebuah suara menggema di sekitar mereka, terdengar seperti suara kuno yang datang dari kedalaman waktu.
“Kau telah datang… yang terkutuk,” suara itu bergema, suaranya dalam dan penuh kekuatan.
Kaelan mundur satu langkah, tangannya meraih pedang di pinggangnya secara refleks. “Apa ini?” gumamnya, matanya menatap patung dengan waspada.
Lyra menggelengkan kepalanya, meskipun matanya tetap tertuju pada cahaya yang hanya bisa dia lihat. "Kekuatan ini bukan dari dunia kita. Itu… penunggu dari masa lalu. Kita harus berhati-hati, Kaelan."
Kaelan merasakan jantungnya berdegup kencang. Reruntuhan ini bukan hanya sekadar sisa-sisa bangunan lama, tetapi tempat yang menyimpan kekuatan yang sudah lama terkubur. Dan kini, kekuatan itu bangkit kembali, mungkin menunggu mereka untuk mengungkap rahasia yang selama ini tersembunyi.
Namun, Kaelan tahu satu hal pasti: dia dan Lyra berada di ambang sesuatu yang besar. Sesuatu yang bisa membawa mereka lebih dekat pada jawaban tentang kutukannya, atau membawa mereka pada bahaya yang lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan.
Share this novel