Pagi menjelma dengan kabut tipis yang melayang di sekitar perkampungan kecil, suasana begitu sunyi dan dingin. Ser Valaine telah berangkat lebih awal untuk menyelidiki asal-usul Lyra sesuai perintah Kaelan, sementara Kaelan dan Lyra masih duduk di dekat perapian yang hampir padam. Meskipun mereka tidak berbicara, ada ketegangan yang tak terbantahkan di antara mereka, suasana di mana kata-kata tidak diperlukan tetapi perasaan itu jelas terasa.
Lyra mengenakan jubah berhudie berwarna putih sutera, kainnya memancarkan kehalusan yang sempurna setiap kali bergerak. Jahitan sulam bunga emas di sepanjang tepinya memancarkan kemewahan, seakan menggambarkan kedudukan tinggi yang disembunyikannya. Bau harum semerbak bunga menguar dari jubah itu, seperti aroma alam liar yang murni, seolah-olah setiap kali angin sepoi berhembus, ia membawa keharuman yang menenangkan. Gadis itu tidak pernah sekali pun membuka jubahnya, membuat Kaelan bertanya-tanya apa yang dia sembunyikan di balik kain putih itu.
Di sisi lain, Kaelan juga mengenakan jubah berhudie berwarna hitam keemasan, simbol kekuatan dan misteri yang menghiasi dirinya. Jahitan emas di sepanjang tepinya mencerminkan status kebangsawanan yang terpancar dari dirinya sebagai seorang pangeran. Jubah itu lekat dengan tubuhnya, memberikan aura kekuasaan dan kehormatan, meski dalam hati, dia hanya seorang lelaki yang tersiksa oleh kutukan. Jika orang melihat mereka berdua berjalan bersama, tidak akan ada yang meragukan bahwa mereka tampak seperti seorang pangeran dan puteri raja—pembawa takdir yang lebih besar dari diri mereka sendiri.
Kaelan tidak bisa menyingkirkan perasaan aneh yang terus menguasai hatinya sejak malam sebelumnya. Sentuhan hangat Lyra masih terasa di telapak tangannya—sentuhan pertama yang tidak membawa kehancuran, tetapi kehidupan. Sesuatu yang dia tidak pernah alami sebelumnya, yang membuatnya semakin ingin mendekati gadis misterius itu. Setiap kali dia mencium aroma lembut bunga dari jubah Lyra, jantungnya berdebar lebih cepat, merasakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kutukan atau nasib yang mereka bawa.
“Lyra…” Kaelan memecah keheningan, suaranya rendah dan lembut.
Lyra menoleh sedikit, menatap ke arah suara Kaelan meskipun dia tidak bisa melihatnya dengan cara biasa. “Ya?”
“Aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang apa yang dikatakan oleh patung batu itu. Kau… dan peranmu dalam semua ini. Aku merasa kau lebih dari sekadar orang yang kebetulan terjebak dalam perjalanan ini denganku,” ucap Kaelan, suaranya sarat dengan kebingungan.
Lyra terdiam, tangannya yang berada di bawah jubahnya tergerak sedikit, namun wajahnya tetap tenang. “Aku tidak tahu lebih banyak dari yang kau ketahui, Kaelan. Seperti yang kukatakan, aku bisa melihat aura—melihat kekuatan di balik dunia fisik ini—tapi aku bukanlah seseorang yang memiliki semua jawaban.”
Kaelan menatapnya, matanya mengamati jubah putih sutera yang menutupi tubuh Lyra, memperhatikan jahitan emas yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi yang mulai menembus kabut. “Tapi kau berbeda, Lyra. Kau bisa menyentuhku tanpa terpengaruh oleh kutukan ini. Kenapa? Apa yang kau sembunyikan dariku?”
Lyra tersenyum tipis, matanya yang buta, dengan bola mata putih dan iris kuning keemasan yang memikat, tertuju pada api yang nyaris padam. “Aku tidak menyembunyikan apa pun. Aku hanya tahu bahwa, entah bagaimana, kita terhubung oleh sesuatu yang lebih besar. Mungkin kegelapan yang menyelimuti kita tidak saling menghancurkan, tetapi malah saling melindungi.”
Kaelan terdiam mendengar kata-kata itu, tetapi sesuatu di dalam dirinya menguat, sebuah keyakinan bahwa mungkin Lyra adalah kunci bukan hanya untuk mengakhiri kutukan ini, tetapi untuk memberikan makna baru dalam hidupnya. Pangeran itu mendekat perlahan, mendapati dirinya ingin lebih dekat dengan gadis yang begitu misterius dan menarik ini.
Dia mendekatkan tangannya, sarung tangan emas sutera yang biasa menutupi kutukannya kini telah dilepaskan. Untuk pertama kalinya, dia merasa percaya diri menyentuh seseorang tanpa rasa takut akan kehancuran.
“Kenapa kau tidak hancur?” tanya Kaelan, suaranya bergetar sedikit, seolah-olah dia masih sulit mempercayai kenyataan di hadapannya.
Lyra menunduk sedikit, senyum lembut menghiasi wajahnya. “Mungkin karena aku hidup dalam kegelapan yang berbeda darimu, Kaelan. Kegelapan yang tidak datang untuk menghancurkan, tetapi untuk memberikan kehidupan melalui cahaya aura.”
Kaelan terpesona. Setiap kata yang keluar dari mulut Lyra seolah membuka pintu baru dalam pikirannya. Dia menatap mata Lyra yang berwarna kuning keemasan, begitu indah dan memikat. Dalam hati, Kaelan tahu bahwa dia semakin ingin melindungi gadis ini, tidak hanya karena mereka terikat oleh nasib yang sama, tetapi karena ada sesuatu tentang Lyra yang membuatnya merasa hidup—merasa terhubung.
“Aku ingin kau tetap di sisiku,” kata Kaelan tiba-tiba, suara itu keluar tanpa dia sadari, sebuah pengakuan dari lubuk hatinya. “Bukan hanya karena kau mungkin bisa membantu mengakhiri kutukan ini… tapi karena kau satu-satunya yang membuatku merasa seperti manusia.”
Lyra terkejut, tetapi dia tidak menyingkir. Sebaliknya, dia mengangkat tangan dan menyentuh jemari Kaelan dengan lembut, membiarkan kehangatan mereka bersatu sekali lagi.
“Kita mungkin lebih terhubung daripada yang kita sadari, Kaelan,” bisik Lyra, senyum misterius menghiasi wajahnya. “Aku akan tetap di sisimu, sampai kita menemukan jawabannya.”
Kaelan menatap gadis itu, merasakan detak jantungnya semakin kuat. Sekali lagi, gema dari patung batu itu bergema di benaknya, "Kunci untuk membangkitkan atau menghancurkan kutukanmu."
Seketika, dia tahu bahwa perjalanannya bersama Lyra baru saja dimulai. Dan dalam hatinya, ada cahaya harapan baru yang tumbuh, memberikan kekuatan untuk menghadapi kegelapan di depan mereka.
Share this novel