Suara gemuruh dari dalam istana semakin mendekat, dan bayangan hitam mulai merayap di sepanjang dinding, seperti makhluk hidup yang tak berbentuk. Kaelan berdiri tegak, tangannya mengencangkan pegangan pada pedangnya, sementara Lyra berusaha menjaga keseimbangan, meski kelemahan di tubuhnya masih terasa. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kekuatannya.
“Apa yang mendekat?” tanya Lyra, suaranya rendah namun penuh ketegangan.
“Aku tak tahu,” jawab Kaelan cepat, matanya tajam menatap kegelapan yang mulai bergerak di sekeliling mereka. “Tapi apa pun itu, kita harus hadapi bersama.”
Kaelan melangkah maju, melindungi Lyra dengan tubuhnya. Bayang-bayang itu semakin jelas, memperlihatkan sosok-sosok besar dan mengerikan. Makhluk-makhluk dengan mata merah menyala dan cakar tajam muncul dari kegelapan, membawa serta hawa dingin yang menusuk tulang. Mereka tampak seperti bayangan hidup, bergerak tanpa suara, tetapi penuh ancaman.
“Kita harus bertahan!” Kaelan berkata tegas, suara nyaringnya menggema di ruangan luas itu.
Satu makhluk melesat ke arah mereka dengan cepat, cakar tajamnya mengarah ke Kaelan. Dengan reflek yang luar biasa, Kaelan mengayunkan pedangnya, menebas makhluk itu menjadi asap hitam yang segera menghilang. Namun makhluk-makhluk lainnya segera menyerbu, bergerak cepat dan tanpa henti.
Sementara Kaelan bertarung mati-matian melawan bayangan-bayangan itu, Lyra mencoba fokus pada kekuatannya. Matanya memancarkan cahaya keemasan, aura yang selama ini membantu dia melihat lebih dari sekadar kegelapan. Dia memusatkan kekuatannya, mencoba untuk mencari celah di balik serangan makhluk-makhluk tersebut.
“Ada sesuatu yang mengendalikan mereka,” ujar Lyra tiba-tiba. “Sumber kekuatan kegelapan ini ada di dalam istana, jauh lebih dalam dari tempat ini!”
Kaelan mengangguk tanpa menoleh, terus bertarung dengan gerakan cepat dan presisi. “Kita harus menemukannya!”
Di tengah-tengah pertempuran, Kaelan merasa semakin terhubung dengan Lyra. Meski tak ada kata yang terucap, setiap gerakan mereka seolah sinkron, seakan mereka telah berlatih bersama selama bertahun-tahun. Ada kepercayaan yang tak terbantahkan di antara mereka—sebuah ikatan yang semakin kuat setiap kali pedang Kaelan menyayat kegelapan, dan setiap kali cahaya Lyra menyelamatkan mereka dari serangan bayangan.
Setelah pertarungan sengit yang seakan tak berujung, Kaelan akhirnya berhasil menebas makhluk terakhir. Namun, rasa kemenangan itu hanya berlangsung sesaat ketika lantai di bawah mereka mulai retak, seakan ada sesuatu yang lebih besar dan berbahaya di bawah sana.
“Kita harus pergi dari sini sekarang!” Kaelan menarik tangan Lyra, membawanya menjauh dari lantai yang mulai runtuh.
Mereka berlari menyusuri lorong-lorong gelap, napas mereka terengah-engah. Namun di tengah pelarian mereka, Lyra tiba-tiba berhenti. Kaelan menoleh, melihat Lyra yang menatap dinding besar di depan mereka dengan ekspresi terkejut.
“Apa yang kau lihat?” tanya Kaelan, mendekatinya.
“Ini... sebuah pintu tersembunyi,” ujar Lyra perlahan, tangannya menyentuh dinding dingin itu. “Di balik sini... ada sesuatu yang memanggilku.”
Kaelan memperhatikan dinding itu dengan cermat. Tidak ada yang istimewa di sana pada awalnya, tetapi begitu Lyra menyentuhnya, ukiran samar-samar mulai muncul, menggambarkan kisah yang tampak kuno. Ukiran itu memperlihatkan sosok seorang pangeran dan seorang putri—sama seperti yang mereka baca di buku tua tadi—yang berdiri di depan gerbang besar.
“Ini... kisah yang sama,” bisik Kaelan.
Dengan ragu-ragu, Kaelan menyentuh ukiran tersebut, dan saat itu juga, pintu batu perlahan terbuka, memperlihatkan sebuah ruang rahasia yang diselimuti cahaya redup. Di dalamnya, sebuah altar besar berdiri di tengah ruangan, dan di atasnya terbaring sebuah buku lain, lebih tua dan lebih megah daripada buku sebelumnya. Cahaya aneh terpancar dari buku tersebut, seolah-olah itu adalah pusat dari segala rahasia kegelapan ini.
Lyra melangkah maju, menatap buku itu dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan rasa ingin tahu. “Ini... ini sepertinya buku yang akan menjawab semua pertanyaan kita.”
Kaelan berjalan mendekat, perasaannya bercampur aduk antara kegembiraan dan ketakutan. “Jika ini benar, mungkin kita bisa memecahkan kutukan ini... dan mungkin kita akan tahu mengapa kau tak terpengaruh oleh kutukan itu.”
Lyra mengangguk perlahan, tangannya meraih buku itu. Namun, sebelum dia bisa membukanya, suara berat dan dingin tiba-tiba terdengar di ruangan itu.
“Hati-hati dengan apa yang kau inginkan, Pangeran Kaelan. Cinta dan pengorbanan selalu berjalan seiring.”
Kaelan dan Lyra terkejut, mata mereka mencari-cari asal suara itu. Tiba-tiba, sebuah sosok bayangan besar muncul dari sudut ruangan, wujudnya begitu menakutkan, seakan ia adalah inti dari semua kegelapan yang ada di istana tersebut.
Makhluk itu tertawa rendah, suara gemuruhnya membuat udara bergetar. “Kalian berdua adalah penerus dari takdir kuno ini. Hanya cinta yang murni bisa mematahkan kutukan... tapi apa kalian siap untuk membayar harganya?”
Makhluk itu mendekat dengan langkah berat, seolah-olah tanah sendiri tunduk di bawah kakinya. Matanya, dua bara merah menyala, menembus kegelapan ruangan yang semakin pekat. Sosok bayangan itu tinggi, lebih besar dari manusia biasa, dengan bentuk tubuh yang tak sepenuhnya padat, seolah-olah diciptakan dari asap dan kegelapan.
Kaelan berdiri di depan Lyra, melindunginya secara naluriah, tetapi Lyra, tanpa terpengaruh oleh rasa takut yang jelas menguasai Kaelan, mengangkat tangannya dengan gerakan lambat namun anggun. “Tunggu, Kaelan,” bisiknya. “Dia ingin mengatakan sesuatu.”
Tatapannya tertuju pada sosok makhluk itu, meskipun dia tidak bisa melihatnya dengan mata biasa. Mata putihnya memancar dengan keemasan yang lembut, seolah-olah menyerap aura makhluk tersebut. Tangan Lyra perlahan terulur ke arah makhluk itu, dan dengan suara yang tenang, ia berkata, “Duduklah, ceritakan semuanya. Siapa kau sebenarnya, dan apa yang terjadi di sini?”
Makhluk itu berhenti. Sejenak, tampaknya ia terkejut oleh perintah lembut Lyra. Suasana mencekam itu berubah, dan makhluk yang awalnya tampak penuh ancaman kini seperti seorang pengembara tua yang lelah. Perlahan, ia melangkah mundur, dan dengan suara gemuruh yang lebih tenang, ia menuruti perintah Lyra. Bayangannya tampak semakin pudar saat ia mendekat ke sudut ruangan yang lebih gelap, lalu ia duduk di atas sebuah batu yang terlihat seperti takhta kecil.
“Aku adalah penjaga,” kata makhluk itu dengan suara yang bergema di ruangan. “Penjaga dari kisah yang telah dilupakan. Kisah kutukan dan takdir, yang terjalin jauh sebelum kalian berdua lahir ke dunia ini.”
Kaelan dan Lyra saling berpandangan, sebelum Kaelan menunduk, mendengarkan dengan saksama.
Makhluk itu melanjutkan, suaranya rendah namun memikat, seolah-olah ia sedang mengisahkan sebuah legenda kuno yang menyimpan kebenaran pahit. “Ribuan tahun yang lalu, tanah ini diperintah oleh seorang raja besar. Dia adalah Raja Kegelapan, seorang penguasa dengan kekuatan yang tiada tara. Namun, seperti banyak kisah yang kalian ketahui, dia bukan penguasa yang baik. Ambisinya menghancurkan segala sesuatu yang berada di bawah sinarnya.”
Makhluk itu berhenti sejenak, melihat ke arah Lyra seolah ingin memastikan dia mendengarkan dengan penuh perhatian. “Raja Kegelapan itu jatuh cinta pada seorang putri cahaya, seorang wanita yang datang dari negeri jauh, membawa harapan dan kehidupan ke tanah yang hampir mati. Mereka terikat oleh perasaan yang kuat, tapi takdir sudah menentukan bahwa cinta mereka tidak akan bertahan lama.”
“Apa yang terjadi?” tanya Lyra, suaranya lemah tapi penuh rasa ingin tahu.
“Raja itu dikutuk,” lanjut makhluk itu, “oleh leluhurnya sendiri. Sebuah kutukan yang mengatakan bahwa setiap keturunannya akan menghancurkan segala sesuatu yang mereka sentuh, kecuali satu—satu jiwa yang dipenuhi oleh cahaya murni. Sang raja tahu, putri cahaya yang dia cintai adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya, tapi kutukan itu tidak bisa dihindari begitu saja.”
Kaelan mulai merasakan hubungan antara kisah ini dan kutukannya sendiri. Dia mendengarkan dengan semakin intens, sementara Lyra tetap diam, menyerap setiap kata.
“Raja itu, dalam usahanya untuk melindungi sang putri, melakukan kesalahan fatal. Dia mengorbankan dirinya, berpikir bahwa dengan mati, dia bisa mematahkan kutukan itu. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—kutukan itu bertambah kuat, dan tanah ini jatuh dalam kegelapan selama berabad-abad.”
Makhluk itu menghela napas panjang, seakan-akan mengingat masa-masa itu adalah beban yang berat. “Keturunan sang raja tetap membawa kutukan itu, setiap generasi melahirkan pangeran-pangeran yang tidak bisa menyentuh dunia tanpa menghancurkannya. Dan hanya seorang wanita dengan cahaya yang sama seperti sang putri dapat mengatasi kutukan itu.”
“Jadi, akulah putri cahaya itu?” bisik Lyra, mata keemasannya berkilauan dalam kegelapan.
Makhluk itu mengangguk lambat. “Ya, kau adalah penerus dari kekuatan itu. Hanya kau yang bisa menyelamatkan Pangeran Kaelan, tapi...”
“Tapi apa?” desak Kaelan, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
“Setiap tindakan memiliki konsekuensi,” kata makhluk itu dengan nada yang semakin rendah. “Cahaya yang bisa menyelamatkannya adalah cahaya yang sama yang bisa membinasakanmu. Untuk mematahkan kutukan ini, kau harus mengorbankan sebagian dari dirimu sendiri. Kalian akan terikat, tapi harga yang harus kau bayar, Lyra... adalah kehidupanmu. Tanpa cahaya yang kau miliki, kau akan jatuh ke dalam kegelapan, sama seperti raja dulu.”
Ruangan itu tiba-tiba terasa semakin sempit, dilingkupi oleh ketegangan yang tak terucapkan. Kaelan menatap Lyra, hatinya terasa berdesir hebat. “Tidak, aku tidak bisa membiarkanmu melakukan itu.”
Lyra menunduk, matanya terpaku pada lantai, tapi tidak ada ketakutan di wajahnya. Hanya ketenangan yang aneh. “Jika itu satu-satunya cara untuk menyelamatkanmu, Kaelan... mungkin itu adalah takdirku.”
Kaelan mendekat, tangannya menggenggam tangan Lyra dengan lembut. “Kita akan menemukan jalan lain,” bisiknya, suaranya penuh emosi. “Aku tidak akan membiarkan kau mengorbankan dirimu untukku.”
Makhluk itu tertawa pelan, nadanya penuh kepahitan. “Cinta sejati selalu menuntut pengorbanan, Pangeran. Begitu pula kutukan ini. Pertanyaannya sekarang adalah: apakah kalian berdua siap untuk membayar harga itu?”
Lyra menatap makhluk itu, matanya bersinar dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. “Kita akan mencari jawaban di buku ini,” katanya, meraih buku kuno yang ada di altar. “Ada kebenaran yang lebih besar dari sekadar kutukan atau pengorbanan. Dan aku yakin... cinta kami lebih kuat dari kutukan mana pun.”
Kaelan menatapnya, perasaan hangat melingkupi hatinya, seolah-olah cinta yang mereka miliki benar-benar bisa mengatasi segalanya. Tapi di balik perasaan itu, bayang-bayang takdir terus mengintai, menunggu mereka di ujung perjalanan ini.
Share this novel