Hari itu matahari hampir tidak tampak, diselimuti kabut tebal yang mengambang di atas pegunungan. Kaelan dan Lyra melanjutkan perjalanan mereka dengan hati-hati, langkah mereka teratur menyusuri jalan berbatu yang terjal. Jubah berhudie putih sutera milik Lyra berayun lembut, wangi harum bunga yang selalu menyertai kehadirannya terasa menenangkan. Jahitan emas di jubahnya memantulkan kilauan samar di bawah cahaya matahari yang tertutup kabut. Kaelan berjalan di sebelahnya, mengenakan jubah hitam keemasan yang memberi kesan kuat dan misterius, seperti seorang pangeran yang berjalan menuju takdirnya.
Dalam keheningan, Kaelan tidak bisa berhenti memikirkan kejadian malam sebelumnya—tentang sentuhan Lyra yang tidak membawa kehancuran, tentang cahaya aura yang dia lihat, dan tentang pertanyaan yang belum terjawab. Ada sesuatu yang lebih besar di balik hubungan mereka, sesuatu yang terus memanggilnya untuk lebih dekat dengan gadis ini.
“Ke mana kita sekarang?” tanya Lyra, suaranya tenang namun berisi, meskipun matanya tidak bisa melihat dunia seperti orang lain.
Kaelan menoleh ke arahnya sejenak, memperhatikan wajah tenang Lyra di balik tudung jubahnya. “Ke arah selatan. Aku rasa kita harus mendekati Istana Gelap,” jawab Kaelan, ragu-ragu.
“Istana Gelap? Kenapa ke sana?” tanya Lyra dengan dahi sedikit berkerut, suaranya penuh rasa penasaran.
“Ada sesuatu di sana yang mungkin bisa menjawab semua pertanyaan kita,” jawab Kaelan pelan. “Patung batu di kuil itu… ia menyebutkan kunci, dan aku percaya kunci itu ada di sana, di tempat di mana kegelapan berasal.”
Mata Lyra, meskipun buta, tetap menatap ke depan dengan penuh perhatian. “Jika itu jalannya, maka kita harus siap menghadapi apa pun yang ada di sana.”
Keheningan kembali menguasai mereka. Kabut semakin pekat, dan suasana sekitar berubah menjadi sunyi dan menegangkan. Langkah kaki mereka bergema di antara tebing-tebing yang menjulang tinggi, seolah-olah mereka berjalan di dalam mulut raksasa yang siap menelan mereka kapan saja.
Namun, di tengah ketegangan itu, Kaelan tidak bisa menghilangkan rasa ingin tahunya terhadap Lyra. Dia ingin tahu lebih banyak—tentang bagaimana gadis ini bisa melihat aura, tentang kekuatan aneh yang dia miliki, dan tentang kenapa dia bisa menyentuh Kaelan tanpa terpengaruh oleh kutukan.
Mereka berhenti di tepi sungai kecil untuk beristirahat. Air mengalir jernih, memantulkan bayangan kabut yang mengelilingi mereka. Kaelan duduk di samping Lyra, matanya tertuju pada wajah gadis itu yang terlihat begitu tenang, meskipun ada badai perasaan yang dia yakin sedang berkecamuk di dalam diri mereka.
“Lyra, ada sesuatu yang ingin kutanyakan,” Kaelan akhirnya memecah kesunyian.
Lyra menoleh sedikit, menatap ke arah suara Kaelan. “Apa itu, Kaelan?”
“Apa yang membuatmu bisa melihat aura? Bagaimana kau mendapatkan kekuatan itu?” Kaelan bertanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Lyra menghela napas pelan, seolah-olah dia sudah menduga pertanyaan itu akan datang. “Aku tidak sepenuhnya tahu, Kaelan. Sejak kecil, aku selalu tahu ada yang berbeda dengan penglihatanku. Aku tidak bisa melihat dunia ini seperti orang lain, tapi aku bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa—cahaya, aura, energi yang mengelilingi setiap makhluk hidup. Seiring berjalannya waktu, aku belajar bahwa ini bukan hanya sekadar kemampuan biasa. Ini adalah bagian dari takdirku.”
Kaelan mendengar dengan penuh perhatian, tetapi pertanyaannya tidak berhenti di sana. “Dan bagaimana kau bisa menyentuhku tanpa terkena kutukanku?”
Lyra terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku tidak tahu. Mungkin… karena kita sama-sama terhubung dengan kegelapan yang sama. Aku melihat bahwa kutukanmu bukanlah tentang kehancuran fisik, melainkan kehancuran dari sesuatu yang lebih dalam. Namun aku… aku hidup dalam kegelapan dengan cara yang berbeda. Kegelapan itu adalah bagian dari diriku, tapi bukan untuk menghancurkan.”
Kaelan merasa dadanya bergetar mendengar penjelasan itu. “Jadi kau percaya kita terhubung oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar kutukan?”
Lyra mengangguk pelan. “Mungkin. Tapi hanya waktu yang bisa memberikan jawaban yang sebenarnya.”
Mendengar kata-kata itu, Kaelan merasa hatinya semakin terikat dengan Lyra. Ada sesuatu tentang gadis ini yang menariknya, yang membuatnya merasa bahwa perjalanan mereka bukan hanya tentang menemukan jawaban, tetapi juga tentang menemukan makna hidup yang lebih dalam.
Namun, tiba-tiba, Kaelan merasakan sesuatu yang aneh di sekitarnya. Angin yang tadinya tenang kini berhembus lebih kencang, membawa suara gemerisik dari pepohonan yang tidak jauh dari tempat mereka duduk.
“Kau merasakannya?” tanya Kaelan, mengerutkan kening.
Lyra mengangguk pelan. “Ya… ada sesuatu yang mendekat.”
Kaelan berdiri cepat, tangannya meraih gagang pedang yang selalu dia bawa. Meskipun memakai sarung tangan khas yang terbuat dari sutera emas, dia tetap waspada. Sementara itu, Lyra berdiri di sampingnya, tetap tenang, tetapi tangannya sudah bersiap di balik jubah putih sutera yang menutupi dirinya.
Dari balik kabut, muncul bayangan gelap. Makhluk yang datang dari arah hutan, wujud mereka samar-samar, tetapi aura gelap yang menyelimutinya tidak bisa disangkal. Makhluk-makhluk itu mendekat dengan cepat, suara langkah mereka menggema di atas tanah yang beku.
Kaelan menarik pedangnya keluar, kilauan cahaya dari besi tajam itu bersinar samar di bawah sinar matahari yang tertutup kabut. “Bersiaplah, Lyra,” ucapnya tegas.
Lyra menunduk sedikit, jubah putihnya berayun pelan saat dia merentangkan tangannya, seolah bersiap untuk menghadapi apa pun yang datang. Meskipun dia buta, Kaelan tahu bahwa gadis ini bisa melihat lebih dari apa yang terlihat oleh mata manusia biasa.
Dan dengan itu, pertempuran baru di bawah bayang-bayang kutukan pun dimulai.
Share this novel