Tahun-tahun berlalu, namun kesedihan dan ketakutan akan kutukan yang dialami Kaelan masih membayangi setiap sudut istana. Pangeran kecil itu tidak pernah boleh bersentuhan dengan siapa pun. Pada usia lima tahun, dia mulai memahami bahawa tangannya bukanlah tangan biasa. Setiap kali dia menyentuh sesuatu—bunga, perhiasan, bahkan kain lembut—semuanya hancur seketika. Dalam dirinya, Kaelan merasakan kekosongan, seolah dia dilahirkan bukan untuk mencipta, tetapi untuk memusnahkan.
"Kau adalah anak yang istimewa, Kaelan," kata Ratu Elara kepadanya suatu hari, ketika dia datang menjenguk puteranya di ruangan terpisah yang dibangun khusus untuknya. Dinding-dinding emas yang tidak dapat hancur menjadi perlindungan Kaelan dari merusak lebih banyak benda di istana. Namun, Ratu Elara tahu kata-katanya tidak cukup untuk menghapus kesepian yang anaknya rasakan.
"Apa yang istimewa dari menghancurkan segalanya, ibu?" Kaelan bertanya dengan nada pahit. "Aku bahkan tak boleh memelukmu."
Ratu Elara ingin menangis, namun dia menahan emosinya. Dia tahu bahawa sebagai ibu, dia harus kuat di hadapan anaknya, meski hatinya tercabik-cabik setiap kali melihat puteranya sendirian. "Kau adalah pewaris takhta, Kaelan. Takdirmu lebih besar dari yang kau bayangkan," jawabnya dengan suara yang lembut namun tegas.
Di luar, Raja Theron memandang dari kejauhan. Dia mencintai anaknya, tetapi setiap kali dia mendekati Kaelan, ada sesuatu yang menahan dirinya—ketakutan akan apa yang akan terjadi jika sentuhan mereka berujung pada kehancuran. Hubungan mereka penuh jarak, tetapi Raja Theron menyimpan niat untuk memperbaiki keadaan.
Share this novel