Mereka tiba di depan Istana Gelap. Bangunan megah itu menjulang tinggi di hadapan mereka, dikelilingi oleh pepohonan mati dan tanah yang tampak retak seperti habis dilanda gempa. Kabut hitam pekat berkumpul di sekitar dinding istana, seakan-akan seluruh tempat itu diciptakan dari kegelapan yang dalam.
Kaelan berjalan lebih cepat, berfokus pada apa yang ada di depan mereka, tetapi tiba-tiba dia menyadari langkah Lyra semakin pelan. Dia berhenti dan menoleh ke belakang, melihat Lyra tertinggal. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat pucat, dan langkahnya seperti melemah. Jubah putih sutera yang selalu dia kenakan tidak lagi berkibar dengan ringan; seolah-olah bebannya bertambah berat setiap langkah yang diambilnya.
“Lyra, kau kenapa?” Kaelan bertanya, suaranya terdengar cemas.
Lyra mengangkat wajahnya, matanya yang biasanya memancarkan keyakinan kini tampak redup. Dia berusaha tersenyum, meski jelas ada rasa sakit yang tersembunyi di balik ekspresinya. “Aku... aku tidak tahu apa yang terjadi. Kegelapan ini... sepertinya semakin mendekatiku. Setiap langkah ke arah istana ini, kekuatan di dalamku seolah-olah ditarik keluar.”
Kaelan segera kembali ke sisinya, mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri tegak. “Kita bisa beristirahat sebentar. Kau tidak perlu memaksakan diri.”
Lyra menggeleng lemah. “Tidak, kita sudah terlalu dekat. Istana ini... sepertinya memiliki sesuatu yang berhubungan denganku. Aku bisa merasakannya. Tapi... kegelapan ini juga membuatku melemah. Seolah-olah tempat ini tidak ingin aku mendekat.”
Kaelan menatapnya dengan penuh kebingungan, merasa terombang-ambing antara keinginan untuk melindungi Lyra dan keinginan untuk maju menemukan jawaban. “Jika istana ini memiliki hubungan denganmu, mungkin inilah yang selama ini kita cari. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu terus seperti ini.”
Lyra menunduk, napasnya sedikit terengah. “Aku akan baik-baik saja, Kaelan. Jangan khawatirkan aku... hanya saja, kegelapan di sini terlalu kuat. Jika aku melemah lebih jauh, mungkin aku tak bisa membantu lagi.”
Kaelan menggenggam bahu Lyra dengan lembut, menatap matanya yang putih dan berkilau keemasan. "Kau sudah banyak membantuku. Jika kau merasa terlalu lemah, kita akan menemukan cara lain untuk menghadapi ini bersama."
Namun, sebelum Kaelan sempat berkata lebih jauh, Lyra mendesah lelah dan tubuhnya hampir jatuh. "Kaelan, kau harus tahu... ada sesuatu yang tersembunyi di dalam kegelapan ini. Sesuatu yang ingin menghentikan kita... atau mungkin menghentikanku."
Kaelan mengangguk, hatinya bergolak antara keraguan dan keteguhan. "Kita hadapi ini bersama, Lyra. Jangan takut, aku tak akan membiarkan apapun melukaimu."
Namun, di dalam hatinya, Kaelan tahu bahwa sesuatu yang besar sedang menanti mereka di dalam Istana Gelap—sesuatu yang bukan hanya sekadar rahasia kutukannya, tetapi juga rahasia terbesar yang dimiliki oleh Lyra.
Kaelan memegang erat bahu Lyra, mendekatkannya pada tubuhnya. Dia merasa semakin terlindungi di sisi Kaelan, namun kelemahan yang melanda tubuhnya tak bisa diabaikan. Meski begitu, ada sesuatu yang lain, sesuatu yang berbeda tumbuh di antara mereka. Bukan hanya perasaan perlindungan, tetapi juga kedekatan yang semakin tak terhindarkan.
Kaelan menatap wajah Lyra, yang kini pucat dan tampak rapuh, tetapi tetap menawan dalam balutan jubah putih sutera dengan sulaman emas di tepinya. Harum bunga yang biasa memancar dari tubuhnya masih terasa meskipun kini terselip di balik kelemahan yang dideritanya. Dia mengangkat tangan dan, dengan lembut, menyentuh pipi Lyra. Sentuhannya hangat, berbeda dari ketakutannya selama ini bahwa kutukannya akan melukai siapa pun yang dia sentuh.
“Lyra,” bisik Kaelan, suara seraknya dipenuhi kekhawatiran dan perasaan yang tidak mampu lagi dia bendung, “Aku tidak akan biarkan kau terluka lebih jauh. Jika kau harus berhenti, kita bisa mencari jalan lain.”
Mata Lyra sedikit mengerjap, menatap Kaelan dengan pandangan lembut yang membingungkan sang pangeran. Cahaya dari api unggun yang baru saja mereka tinggalkan terpantul lembut di iris keemasannya. “Kau selalu melindungiku, Kaelan. Tapi aku tidak bisa lari dari ini. Tempat ini... sepertinya berkaitan denganku dan mungkin juga denganmu.”
Kaelan tak tahan lagi, dia menarik Lyra lebih dekat. Jantungnya berdetak kencang ketika wajah mereka hanya beberapa inci terpisah. “Aku tak peduli apa yang ada di balik semua ini, Lyra. Yang penting bagiku sekarang adalah kau. Aku tak ingin melihatmu terluka.”
Lyra menatapnya, wajahnya mulai memerah di bawah tudung jubahnya. “Kaelan, kau harus tahu sesuatu,” ujarnya perlahan. “Aku... Aku tidak hanya di sini untuk membantu mengatasi kutukanmu. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar itu.”
Sebelum Lyra dapat melanjutkan, mata mereka terkunci dalam keheningan yang hanya dipenuhi oleh hembusan angin dari kegelapan yang mengelilingi Istana Gelap. Wajah Kaelan semakin mendekat, namun sebelum sesuatu terjadi, Lyra menarik napas panjang dan memalingkan wajahnya.
“Kita harus masuk ke istana, Kaelan,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Jawaban untuk semua ini ada di dalam.”
Mereka akhirnya melanjutkan langkah, meski hati mereka masih diliputi perasaan yang terpendam. Setiap kali Kaelan melirik ke arah Lyra, hatinya semakin yakin bahwa gadis ini adalah kunci, bukan hanya untuk memecahkan kutukannya, tetapi juga untuk sesuatu yang lebih mendalam—perasaan yang kini tak dapat lagi dia tolak.
Setelah melewati gerbang besar dan lorong-lorong gelap yang dipenuhi bayangan, mereka tiba di ruangan luas di dalam istana, yang dihiasi dengan rak-rak buku yang penuh debu. Salah satu rak di sudut ruangan tampak lebih terang, seolah memancarkan cahaya tipis. Di sana, sebuah buku tua berkulit tebal tampak berbeda dari yang lain—dikelilingi oleh aura aneh yang seakan-akan memanggil mereka.
Kaelan dan Lyra mendekat, saling pandang sebelum Kaelan mengambil buku itu dari rak. Kulit buku itu retak, usang, dan ketika Kaelan membukanya, halaman-halaman kuning kecoklatan mulai menceritakan kisah yang sepertinya berasal dari zaman dahulu.
“Mungkin ini yang kita cari,” bisik Lyra dengan suara lemah.
Kaelan mengangguk, memulai membaca dengan suara pelan.
“Kisah Sang Raja Kegelapan dan Putri Cahaya.”
Kisah itu menceritakan seorang raja yang dulu menguasai tanah-tanah ini. Dia jatuh cinta pada seorang putri yang memiliki kekuatan cahaya, sanggup membawa kehidupan ke dunia yang dipenuhi oleh kegelapan. Namun, cinta mereka terlarang karena kutukan kuno yang melingkupi keluarga sang raja. Setiap keturunannya akan membawa kehancuran dengan sentuhan mereka. Hanya sang putri cahaya yang mampu melawan kutukan itu—namun dengan harga yang sangat besar.
Kaelan terdiam sejenak, menyadari kesamaan kisah itu dengan situasi mereka.
Lyra, yang duduk di sampingnya, mulai memahami hubungan antara kisah itu dan mereka. “Ini... hampir seperti kita,” katanya pelan, nadanya penuh perasaan. “Aku bisa menyentuhmu tanpa terluka, Kaelan. Mungkinkah ini yang sedang terjadi pada kita?”
Kaelan mengangguk, matanya menatap dalam ke arah Lyra. “Mungkin kau adalah putri cahaya dalam hidupku,” katanya lirih, suaranya dipenuhi emosi yang selama ini dia pendam. “Mungkin kaulah satu-satunya yang bisa menyelamatkanku dari kutukan ini.”
Lyra menundukkan wajahnya, air mata berkilauan di matanya. “Tapi jika kisah ini benar, Kaelan... harga yang harus dibayar mungkin terlalu besar. Aku tidak ingin kau kehilangan segalanya.”
Kaelan mendekat, menggenggam tangan Lyra dengan lembut. Sentuhan mereka tak lagi dipenuhi oleh rasa takut atau keraguan. Dia mengangkat tangan gadis itu ke bibirnya, mencium jemarinya dengan lembut. “Aku tidak peduli berapa harga yang harus dibayar, Lyra. Selama aku memiliki kau di sisiku, aku siap menghadapi apa pun.”
Air mata jatuh di pipi Lyra, tetapi senyum tipis muncul di wajahnya. Dia tahu, di dalam hatinya, perasaan ini tak lagi bisa disembunyikan. Mereka berdua telah terikat oleh sesuatu yang lebih dari sekadar takdir atau kutukan—cinta yang perlahan tumbuh di tengah kegelapan.
Namun sebelum mereka bisa lebih jauh merenungkan apa yang mereka temukan, suara gemuruh dari dalam istana mulai terdengar. Suara itu semakin keras, menggema di seluruh ruangan, membuat lantai di bawah mereka bergetar.
“Kita tidak sendiri di sini,” kata Kaelan cepat, berdiri dan bersiap.
Lyra bangkit, meski tubuhnya masih terasa lemah. Namun kali ini, dia tak lagi takut. Bersama Kaelan, mereka siap menghadapi apa pun yang menanti di balik kegelapan Istana Gelap.
Share this novel