Perjalanan semakin menguji daya tahan mereka. Tanah Terlarang bukan sekadar wilayah terisolasi—ia adalah labirin kekeliruan, penuh makhluk bayangan dan sihir yang menguji pikiran serta tubuh. Setiap langkah yang mereka ambil menuju Cermin Jiwa semakin berat, seolah alam sendiri enggan membiarkan mereka melanjutkan. Hutan-hutan gelap seolah hidup, bisikan-bisikan samar yang menyelinap dari setiap sudut menambah ketegangan di dalam kelompok.
Di tengah perjalanan, Lyra mendekati Kaelan yang tampak murung. Dia tahu bahwa sesuatu sedang bergejolak di dalam diri putera itu. "Apa yang kau lihat malam itu?" tanya Lyra, nadanya pelan namun tegas.
Kaelan menghela napas panjang, masih berusaha merangkai pikirannya. "Bayangan itu... seolah-olah ia tahu segalanya tentangku. Ketakutan yang tak pernah aku ucapkan. Ia menunjukkan kelemahan yang bahkan aku tidak tahu aku miliki," ujarnya, menundukkan kepala.
Lyra menatapnya dalam-dalam. "Itu adalah kegelapan yang muncul dari dalam dirimu. Setiap orang yang terkutuk memiliki sesuatu yang ingin disembunyikan dari dunia. Kau tidak sendirian dalam hal ini, Kaelan."
"Bagaimana kau tahu begitu banyak tentang ini?" Kaelan bertanya. Mata Lyra menyiratkan bahwa dia tahu lebih banyak daripada yang dia biarkan.
"Aku... pernah berhadapan dengan kutukan sepertimu sebelumnya," jawabnya lirih, seakan kenangan masa lalu menghantuinya. "Kutukan itu pernah merenggut seseorang yang aku sayangi. Sejak saat itu, aku berjanji akan mempelajari sihir kuno untuk membantu orang lain yang menderita sepertimu."
Kaelan menatap Lyra dengan rasa hormat yang baru ditemui. "Kita tidak berbeda, ya? Mungkin itulah sebabnya kau membantuku," katanya, matanya penuh rasa terima kasih.
Namun, Lyra hanya tersenyum samar. "Aku membantumu karena kutukanmu jauh lebih besar dari yang kau tahu. Ini bukan sekadar tentang kehancuran yang kau bawa saat kau menyentuh sesuatu. Ada kekuatan yang lebih gelap yang mengikat kutukan ini padamu—dan aku bertekad untuk mematahkannya."
Mereka terus melangkah, menyusuri jalan setapak yang semakin suram. Pohon-pohon di sekeliling mereka menjulang tinggi seperti makhluk-makhluk hidup yang mengawasi setiap gerakan mereka. Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah lembah yang dalam, di mana sebuah reruntuhan kuil kuno berdiri, ditutupi lumut dan debu sejarah.
Share this novel