Kaelan berdiri di depan Cermin Jiwa, pantulannya tampak di permukaan yang jernih. Namun, dia tahu ini bukan sekadar cermin biasa. Ini adalah cermin yang bisa menunjukkan kebenaran terpendam, sesuatu yang bahkan dia sendiri takut untuk melihatnya. Di belakangnya, Lyra dan Ser Valaine berdiri berjaga-jaga, meskipun mereka tahu ujian yang harus dihadapi adalah milik Kaelan seorang.
Dengan tangan gemetar, Kaelan menyentuh permukaan cermin. Pada awalnya, hanya dingin yang terasa. Namun tiba-tiba, pantulan di cermin mulai berubah. Bukan lagi wajahnya yang tercermin, melainkan sosok ibunya, Ratu Elara, berdiri di dalam cermin dengan wajah penuh kesedihan.
"Kaelan..." suara ibunya terdengar sayu dari dalam cermin, membuat hatinya terhentak. "Kau selalu mencari jawaban di luar sana, tapi kau tak pernah melihat ke dalam dirimu sendiri. Kau takut dengan kekuatanmu, tetapi kau tidak pernah bertanya mengapa kau diberi kekuatan ini."
Kaelan terdiam, lidahnya terasa kelu. Dia merindukan ibunya setiap hari sejak kematiannya, tetapi melihat sosok ini—begitu nyata dan penuh rasa sakit—membuat luka lamanya kembali terbuka.
"Aku tak pernah menginginkan kekuatan ini," bisik Kaelan. "Aku hanya ingin menjadi seperti orang lain. Hidup tanpa rasa takut bahwa setiap kali aku menyentuh sesuatu, aku akan menghancurkannya."
Sosok Ratu Elara di dalam cermin tersenyum lembut, meskipun matanya penuh kesedihan. "Kekuatan itu ada dalam dirimu karena alasan tertentu, anakku. Kau tidak dikutuk untuk menghancurkan, tetapi untuk membentuk kembali apa yang telah hilang."
Kaelan bingung. "Maksudmu apa? Seumur hidupku, aku hanya tahu kekuatan ini sebagai alat penghancur. Bagaimana bisa aku membentuk sesuatu yang baik darinya?"
Sebelum Ratu Elara bisa menjawab, pantulan di cermin berubah sekali lagi. Kali ini, sosok Raja Theron muncul—sang ayah. Namun, tatapannya tidak penuh cinta seperti ibunya. Raja Theron yang muncul di cermin terlihat tegas dan dingin, dengan matanya penuh rasa kecewa.
"Kau selalu gagal, Kaelan," suara ayahnya bergema di sekitarnya. "Kau tidak cukup kuat untuk melindungi kerajaan. Setiap langkah yang kau ambil hanya membawa kehancuran."
Kaelan mengatupkan rahangnya. Dia telah mendengar suara ini dalam benaknya selama bertahun-tahun—rasa bersalah, rasa takut bahwa dirinya tidak pernah cukup baik di mata ayahnya. "Aku telah berusaha, Ayah," katanya dengan suara gemetar. "Aku melakukan yang terbaik."
Raja Theron dalam cermin mendekat, suaranya mengintimidasi. "Usahamu tidak cukup. Kau membawa kehancuran, bukan kejayaan."
Kata-kata itu menghantam Kaelan seperti belati, tetapi sesuatu di dalam dirinya mulai melawan. Ia telah melalui perjalanan panjang, bertarung melawan kegelapan dalam dirinya, dan kini dia tahu bahwa kata-kata ini hanyalah pantulan dari ketakutannya sendiri.
"Tidak," kata Kaelan, suaranya tegas. "Aku tidak akan terus hidup dalam bayangan ketakutanku. Aku tidak akan dikendalikan oleh masa lalu atau oleh kutukan ini."
Dia menatap cermin itu dengan penuh keberanian. "Aku tidak hanya pewaris kutukan ini. Aku juga pewaris kekuatan untuk mengubah takdirku."
Seketika, cermin bergetar, dan pantulan Raja Theron serta Ratu Elara memudar. Cermin itu pecah menjadi ribuan kepingan, menghilang dalam cahaya terang yang menyilaukan. Dari balik cahaya itu, Kaelan bisa merasakan sesuatu dalam dirinya berubah. Beban yang selama ini menekan jiwanya terasa mulai terangkat, meskipun belum sepenuhnya hilang.
Lyra, yang berdiri di belakangnya, maju dengan hati-hati. "Kaelan, apa yang kau lihat?" tanyanya, suaranya penuh keprihatinan.
Kaelan menghela napas panjang, matanya masih terpaku pada tempat cermin itu berdiri. "Aku melihat kebenaran yang telah lama aku tolak. Bahwa kekuatan ini bukanlah kutukan semata, melainkan ujian. Ini adalah bagian dari siapa aku sebenarnya."
Share this novel