Menyetir dua belas jam dari Kota ke rumah Angel membuat Leon dan Bimo menyerah. Keduanya harus suit, meski Bimo selalu menang, Leon tidak mau menyetir. Mau tidak mau Bimo yang menyetir semalaman. Bimo mengomel sepanjang perjalanan, menyumpah kasar nama Leon yang memilih tidur dari pada menemaninya menyetir. Karena itu Leon menelpon orang tuanya untuk menjemputnya menggunakan pesawat. Beruntung rengekkan dirinya didengar.
Menunggu pesawat datang, Alex, Leon, Bimo dan Luna menghabiskan waktu untuk berkeliling sejenak diperkebunan, ditemani oleh kepala desa dan beberapa pegawai yang bekerja di perkantoran desa. Mengenalkan berbagai macam keanekaragaman kampung itu.
"Makasih Pak, Udah diajak keliling, disediain makanan khasnya dan dapat oleh-olehnya juga," Leon berjabat tangan, ditemani Luna. Mereka berdua seperti suami istri.
Sedangkan Alex dan Bimo sudah masuk ke pesawat terlebih dahulu. Banyak pegawai yang menemani mereka, memberikan ucapan terima kasih penuh kebahagiaan. "Salam untuk anak Walikota, ya,"
"Pasti. Maaf, mungkin Alex lelah sehingga tidak bisa berpamitan," Itu hanya karangan Leon. "Kalau begitu, kita langsung pergi, Pak. Makasih sekali lagi,"
Jangan bayangkan pesawat milik Leon sebesar Garuda Indonesia. Pesawat itu hanya berisikan sembilan kursi. Bisa dipastikan semua fasilitas di dalam sana VVIP. Super mewah. Biasanya digunakan oleh orang tuanya yang sering keluar Negeri. Jika pesawat saja punya, tentu saja dengan bandara. Bayangkan sendiri berapa luas rumah Leon.
"Whats up, Kapten!" Leon memberi pelukan singkat pada dua pilot yang memang sudah dikenalnya. Umurnya tidak jauh berbeda dari Leon, lebih tua dua atau tiga tahun. "Mami dimana?"
"Singapura. Kalau bokap lo, gue nggak tau." Pilot tersebut sedang mengotak-atik sesuatu untuk menerbangkan pesawat. Tidak ingin mengganggu, Leon kembali ketempatnya. Leon pikir pesawat akan terbang. Sudah lima menit tidak bergerak sama sekali. "Leon?" Leon menatap lelaki dengan seragam pilot yang tiba-tiba muncul. "There is something"
"What?"
"The girl,"
Leon mengerutkan keningnya, menutup buku yang sedang ia baca dan masuk ke kokpit sebentar untuk memastikan. Tidak lama, Leon langsung kembali ke kabin.
"Angel," Bola mata Alex bergerak ke atas, mengalihkan pandangannya dari game diponselnya. "Ada Angel didepan,"
Angin kencang langsung menyambut Alex ketika pintu terbuka. Rambutnya semakin berantakkan, ia menuruni tangga dengan cepat. "Lo ngapain?" Alex menyipitkan matanya. Menghalau sinar matahari dan angin ke wajahnya. Alex kaget saat Leon mengatakan Angel berdiri di depan pesawat sambil melambaikan kedua tangannya.
"Aku ikut kamu," Alex tidak bergeming. Angel mengatur nafasnya yangnberantakan. Merasa sudah kembali normal. Angel berkata sekali lagi. "Aku ikut kamu pulang, Alex."
Alex terdiam sejenak, menatap Angel lama sebelum akhirnya senyuman tipis terlihat di bibirnya. Ia menggenggam tangan Angel. "Kita pulang,"
Angel mengangguk semangat. Ia menghampiri Kana sebentar, memberi pelukan singkat sebagai salam perpisahan. Mungkin keputusan Angel sangat egois. Angel sangat menyayangi keluarganya. Setelah Ayah mengizinkannya pergi. Angel langsung berkemas dan meminta Kana mengantarnya menggunakan motor Rifky. Harapan Angel terlalu kecil, tadinya ia pikir Alex sudah pergi, ternyata Angel belum terlambat, pesawat itu masih belum pergi.
"Welcome, Angel," Sambut Leon membuka kedua tangannya lebar. Angel tersenyum saat Luna memberikan pelukan singkat. "Nikmati perjalanannya,"
"Makasih, Kak,"
Alex menarik Angel, duduk disebelah kursinya, tepat dibelakang Leon dan Luna. Sedangkan Bimo, duduk di kursi single dan sudah pergi ke alam bawah sadar sejak pertama kali masuk ke Kabin.
Angel meneliti apa saja yang ada disana. Ini untuk pertama kalinya ia naik pesawat. Mewah, lebih mewah dari kereta yang ia naiki terakhir kali bersama Alex. Angel melihat kejendela, pesawat sudah mulai berjalan. Seluruh perabotan didominasi warna biru putih. Ada meja sebagai pemisah antara dirinya dan Alex. Berbagai macam minuman kaleng dan makanan ringan yang di sediakan. Tempat duduk yang sangat empuk dan bisa menjadi tempat tidur yang sangat nyaman.
"Ini pertama kalinya aku naik pesawat," Angel menoleh semangat. Bibirnya yang tersenyum perlahan menghilang. Sejak tadi Alex memperhatikannya. "Maaf, aku terlalu bahagia,"
Alex tersenyum tipis, "Lo bahagia karena pertama kali naik pesawat atau bahagia bisa sama gue?" Wajah Angel merona. Alex terkekeh pelan. "Emang dapat izin dari bokap lo?"
"Iya, Ayah izinin aku pulang sama kamu," Alex membenarkan posisinya, bersiap untuk tidur.
"Tidur Angel, Kita nggak akan pulang,"
"Maksud kamu?" Angel mengerutkan keningnya. "Kita mau kemana?"
"Paradise," Ujar Alex sensual. Angel menelan ludahnya. "Siapin diri lo,"
Itu adalah kalimat terakhir yang Angel dengar dari Alex. Sekarang, lelaki itu sudah tertidur dengan tangan terlipat di dada. Tubuhnya ditutup selimut sampai ke atas pinggang, ada earphone ditelinganya. Angel menghembuskan nafasnya pelan. la merebahkan tubuhnya menghadap Alex.
Apakah cinta segila ini?
Apakah cinta senekat ini?
Apakah Angel sudah bisa menyebutnya dengan cinta sekarang?
Iya. Angel mencintainya. Alex. Angel mencintai lelaki itu. Perasaan khawatir dan takut saat jauh dari Alex. Angel ingin berada disamping lelaki itu lebih lama. Angel ingin Alex membuat harinya bahagia. Hanya Alex, yang bisa menciptakan itu. Angel sudah merasakan perasaan sesak saat jauh dari Alex. Ia tidak ingin merasakan rasa itu lagi. Tiga hari di rumah, sudah cukup mengobati rasa rindunya. Mungkin tidak bisa dibilang cukup. Angel masih ingin di rumah, berkumpul bersama keluarga. Terkesan percuma jika tubuhnya ada disana tapi pikirannya entah kemana. Angel akan pulang saat liburan semester tahun depan. Ia janji dan akan lebih lama dari yang sekarang.
"Ngel? Tidur?" Angel menoleh. Melihat Luna yang menyembulkan kepalanya.
"Nggak. Kenapa, Kak?"
Kepala Luna menghilang senejak sebelum
Angel melihat tubuh langsing itu berjalan
dan berdiri di samping kursi Alex. "Gue
laper, masak, yuk,"
"Masak? Emang bisa?"
"Bisa, ikut gue," Angel terlihat pasrah saat Luna menarik tangannya. Mungkin pesawat terlihat kecil dari luar. Angel juga mengira seperti itu. Setelah Angel menelusuri, pesawat tersebut cukup luas. Angel baru saja melewati sebuah kamar mandi mewah, ada bathub untuk berendam dan lemari kaca berwarna emas. Banyak perlengkapan mandi dan handuk di sana. Di depan kamar mandi ada sebuah pintu, karena pintu tersebut terbuka, Angel bisa melihat isi dalamnya, itu adalah sebuah ruang rapat, meja panjang dan sususan kursi yang rapi. Tidak ketinggalan dengan alat proyektor yang sangat lengkap. Tidak sampai di sana, sebuah dapur mewah dengan peralatan masak lengkap. Ada kulkas dua pintu, saat Luna membukanya, semua bahan makanan ada. Mulut Angelnterbuka lebar. Belum lagi saat ia memutar tubuhnya, ada sebuah kamar pribadi. Angel tidak berhenti terkagum.
"Kak Leon kaya banget, ya, Kak? Sampai punya pesawat pribadi kayak gini. Keren banget." Luna terkekeh pelan sembari mengeluarkan bahan makanan dari dalam kulkas. "Masih muda aja, Kak Leon udah punya bisnis dimana-mana, Horison contohnya,"
"Gue nggak terlalu perduli sama pekerjaannya, sih. Gue bukan istrinya, jadingue rasa nggak perlu tau sampai ke detailnapa pekerjaan atau penghasilan diabperbulan,"
Manda manggut-manggut. "Mau masak apa, Kak?"
"Spaghetti aja," Luna menghidupkan kompor. Sudah ada panci berisi air dibatasnya. Angel mengangguk. Mungkin untuk masakkan lain Luna selalu gagal, tapi untuk menu yang satu ini. Luna jagonya.
Angel mendengarkan arahan dari Luna. Membelah tomat menjadi empat bagian. Lalu bawang Bombay dan bawang putih dicincang halus. "Kalau Kak Eon orang tuanya pengusaha, terus Alex anak dari politikus. Kalau kak Bimo?"
Luna memanaskan minyak. Menggoreng beberapa sosis dan nugget sebagai hiasannnantinya. "Lo pasti nggak nyangka dia anak siapa," Luna tertawa kecil. Angel semakin penasaran, ia harus menyeka ujung matanya yang berair karena aroma pedas dari bawang Bombay.
"Aduh nangis jadinya," Luna tertawa, menarik tissue dan mengelap air mata Angel sambil berbisik. "Anak ketua gangster?"
"Seharusnya," Luna terkekeh pelan. "Gue rada nggak percaya kalau dia anak dari Laksamana besar TNI-Angkatan Laut,"
Seketika mulut dan mata Angel membulat sempurna. Luna sudah menduga ekspresi Angel akan seperti itu. Sampai sekarang saja, identitas Bimo tidak bisa Luna percaya. "Setara sama Jendral kalau Angkatan Darat dan Marsekal Angkatan Udara."
"Serius, Kak?" Luna mengangguk. Mengambil alih pisau untuk mengiris bawang. "Masa sih, Kak?"
"Nggak percaya kan, lo? Sama, gue juga."
"Kok bisa? N-nggak, maksud aku. Orang tuanya-" Angel menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. "Terus Kak Bimo-yang-kok bisa?" Angel masih tidak percaya.
"Dunia adil. Anaknya penjahat, Bapaknya Tentara. Keren nggak?" Luna cekikikan. "Brayn dari keluarga militer. Meski dari kecil ia sudah di didik dengan benar, lingkungan masih bisa menang. Hobinya keluar masuk penjara, dirazia waktu lagi balapan mobil, Bimo tidak pernah absen. Menyebabkan kecelakaan karena nyetir saat mabuk. Ditangkap satpol PP karena tidur di trotoar. Berantem, intinya Bimo iblis. Kasus terakhir dia dituduh bunuh ceweknya sendiri," Angel terdiam. "Alex pasti nggak pernah cerita ke lo,"
"Nggak pernah,"
"Kasusnya rumit. Entah berapa kali dia udah menjalankan sidang. Kita nggak tau siapa yang benar dan salah. Keduanya sangat kuat. Meski bokapnya nggak pernah menunjukkan dirinya dihadapan orang dengan mengatakan Bimo anaknya. Tapi kebebasan Bimo udah jadi jawabannya. Ada main disana,"
"Ceweknya? Siapa yang nuntut, Kak?"
"Keluarga ceweknya," Luna kembali menghidupkan kompor, menumis bahan-bahan yang sudah ia iris ditambah dengan kornet sapi. Mengaduknya. Tidak lupa menambahkan sedikit air, garam dan gula.
"Menurut Kakak, qpa kak Bimo salah?"
Luna mengedikkan bahunya. Meniriskan Mie yang sudah matang. "Nggak tau. Bimo dalam kondisi seratus persen alkohol tinggi. Belum ada bukti yang akurat."
"Kenapa Kak Bimo bisa dituduh?"
"Karena waktu ditemukan, posisi Bimo lagi sama ceweknya. Setengah sadar dia dibawa ke kantor polisi."
"Jadi dia beneran bunuh ceweknya?"
"Maybe yes, maybe no."
"Tapi dia cinta sama ceweknya?" Luna mengangguk. "Nggak mungkin Kak Bimo yang bunuh, Kak,"
Luna menaikkan satu alisnya. "Kata siapa?"
"Aku yakin aja,"
"Lo baru lihat luarnya doang." Angel memilih diam. Memperhatikaan Luna membuat saus spaghetti. Aroma bawang begitu terasa, wangi dan sedap.
"Jangan takut. Semua orang punya sisi baik. Brayn juga punya itu, dia tipe cowok yang setia. Kenapa gue bisa bilang gitu?" Angel menggeleng. "Karena selama gue kenal dia, Bimo hanya pacaran sama satu cewek sejak SMA. Dan, perempuan itu yang sekarang buat dia duduk di kursi persidangan. Itu sepengetahuan gue, ya. Gue nggak tau mungkin dia juga main belakang kayak Leon yang sering ketahuan selingkuh."
"Kak Bimo anak tunggal juga?"
Luna menggeleng. "Nggak, hanya Alex dan Leon yang anak tunggal. Bimo punya adik, seangkatan sama adek lo, Kana. Kelakuannya sama persis seperti Bimo." Luna terkekeh pelan. "Bimo itu nggak seperti Alex dan Leon. Dia tumbuh dari keluarga yang berlimpah kasih sayang, keluarga yang harmonis, dan menurut gue keluarga yang nggak neko-neko. Eh, jatuhnya malah anaknya yang ancur." Luna tertawa kecil. "Beda sama Leon, yang keluarganya selalu sibuk. Istilahnya, pulang cuma buat ganti sandal doang, sama sekali nggak ngerasain gimana rasanya punya keluarga. Dia sendiri dari kecil. Dan Alex, Yang selalu dikekang sama bokapnya." Angel mendengarkan. "Kalau Alex dan Leon nakal, gue masih bisa wajar. Kalau Bimo? Nah, bisa lo pikirin gak?"
"Pantesan telinga gue gatal dari tadi. Ada yang ngomongin gue ternyata," Angel dan Luna memutar tubuhnya ke belakang. Bimo sudah berdiri di ambang pintu, melipat tangannya di dada. "Hidung gue kasih tau ada sesuatu yang enak dan lezat," Angel tersenyum. "Kaget gue, tiba-tiba Angel ada disini. Buka mata, eh, ada cewek cantik,"
"Bilang aja minta sepiring,"
"Yaps, lo cewek paling pengertian, paling peka dan paling sayang milik Leon." Bimo berjalan mendekat, mengadakan tangannya saat Luna menyajikan sepiring Spaghetti. "Thanks, Tau aja gue lagi laper. Sosis sama nugget ditambahin, Lun, Pelit banget elah, goreng lagi nanti,"
Luna menggerutu. "Bawel banget lo," Bimo tersenyum lebar saat Luna menumpuk sosis dan Nugget di atas saus.
"Aluna, gue doain lo masuk surga. Secepatnya-" Luna memandang horor. "Tunggu dulu. Gantung nih, maksudnya, secepatnya dibuka pintu hatinya." Luna mendorong bahu Bimo. "Btw, Ngel? Kalau gue jadi adik ipar lo, gimana?"
"Bim, pergi sebelum gue siram pake saus spaghetti,"
"Bumil cerewet banget,"
"Mulut disekolahin." Bimo hanya melengos pergi, kembali ke tempatnya. Angel terkekeh pelan.
Luna kembali menyajikan dua piring spaghetti. Satunya ia berikan pada Angel. Tampilannya cantik sekali, Angel memuji masakan Luna.
Keduanya kembali ke tempat duduk. Bimo sedang bersantai dikursinya, sepiring spaghetti yang tinggal setengah dipegang tangan kiri, kedua kakinya diluruskan. Menonton sebuah film dengan earphone di telinga. Sekali lagi Angel melihat lelaki itu, ia masih tidak percaya.
"Kok bangun?" Alex menekan sesuatu disampingnya, sehingga kursi yang tadinya seperti tempat tidur berubah. "Mau? Aku ambilin dibelakang,"
Alex menggeleng. "Nggak, gue nyicip punya lo aja." Angel mengangguk, ia menggulung Spaghetti menggunakan garpu.
"Enak ih, cobain," Alex mengambil garpu ditangan Angel. Mencicipinya.
"Kurang pedas," Komennya
.
"Pas menurut aku,"
"Kalau spaghetti enakkan pedas," Alex menusuk nugget dan melahapnya. Ia kembali menggulung mie dan menyuapi Angel. Sedangkan ia memilih menghabiskan sosis.
"Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau Kak Bimo anak seorang Tentara?" Alex mengerutkan keningnya. "Kamu ih, nggak mau cerita, seharusnya aku tau dari kamu, bukan Kak Luna."
"Emang penting?"
"Penting. Dia kan temen kamu,"
"Nggak penting, Angel,"
"Terus pentingnya apa?"
"Lo," Angel menatap sinis. Merebut garpu ditangan Alex.
"Udah, males bicara sama kamu." Angel cemberut. "Nggak bisa serius,"
"Gue serius,"
"Serius apanya? Kamu mainin aku terus," Alex tertawa kecil, mengambil alih garpu ditangan Angel. Bukan takut perempuan itu akan menusuknya, Alex lebih takut garpu itu akan melukai Manda sendiri.
"Kamu, ih,"
"Apaan?"
"Cerita,"
"Apa yang mau diceritain? Tanpa gue
cerita lo akan tau dengan sendirinya."
Angel mendengus. "Udah, nih makan,
habisin. Biar badan lo enak dipeluk,"
"Please deh, ya," Dua pasangan yang sedang romantis ria mengerutkan keningnya. Bimo menoleh dengan sebal, menatap bergantian Alex dan leon. "Nggak pake mesra-mesraan didepan gue, mata gue sakit, badan gue gatel, telinga gue panas, hidung gue mimisan dan kepala gue rasanya cenat-cenut. Ngerti kan maksud gue?"
Alex dan Leon tersenyum sinis dan kembali menatap pasangan masing-masing. Merasa terabaikan, Bimo berdiri dengan kesal. Ia berjalan dan berhenti di antara kursi Alex dan Leon. "Dari pada gue nggak ada mainan, enakan lo ber-empat yang jadi mainan gue," Bimo menaik turunkan alisnya. Alex tidak bergeming, tetap memunggungi Bimo. "Begini bro and sist, eh, gue kayak penyiar acara MLTV." Bimo geli sendiri saat nada bicaranya seperti pembawa acara yang menayangkan kejadian konyol yang tertangkap kamera.
"Gue punya permainan, pas banget kita lagi makan Spaghetti," Alex memutar kepalanya menatap Bimo. "Tau Pepero Game?" Bimo menunjuk satu persatu orang dihadapannya. "Ada? Ada? Lo pasti tau, Lex,"
"Gak."
"Gamers nggak tau, patut dipertanyaan." Ejeknya. Bimo berdeham sejenak sebelum menjelaskan permainannya. "Sebenernya Pepero dimainkan dengan bahan stick coklat, berhubung sekarang lagi nggak ada. Kita ganti sama Spaghetti aja. Permainannya gini. Dua orang harus memakan spaghetti mulai dari ujung sampai ke tengah, nah, siapa yang potongannya paling kecil, dia pemenangnya,"
"Dapet apa dulu nih," Tanya Leon.
"Gue kasih tiket ke Belanda sama surat bebas dari penjara, Gimana? Suratnya asli dari bokap gue, surat itu yang bebasin gue kemarin. Tertarik? Muka lo berdua nggak akan jauh-jauh dari sel tahanan,"
"Deal," Leon menjabat tangan Bimo. Mereka bersalaman seperti seorang pejabat tinggi.
"Siap belum, nih?" Bimo menunggu. Kedua pasangan itu sudah bersiap.
Angel menerima ujung spaghetti yang di berikan Alex menggunakan garpu. Sedangkan Alex di ujung satunya. Sebenarnya Angel masih di ambang kebingungan dengan permainan yang dibuat Bimo. Ia hanya menuruti apa yang diperintahkan.
"Mulai!"
Kalimat itu keluar. Jarak wajah Alex semakin dekat. Perlahan menelan spaghetti. Tangan kirinya menahan kepala Angel, antisipasi jika Angel dengan spontan mundur ke belakang. "Gue kok ngenes banget, Gak papa, asal temen gue bahagia, gue ikut bahagia. Gue bahagia, iya bahagia, gue bahagia," Ucap Bimo secara terus menerus sembari menyaksikan dua sejoli dihadapannya. Saat ia melihat pasangan Leon dan Luna, Bimo mendesah pelan.
"Seharusnya gue nggak minta lo berdua ikut main ginian," Gumamnya menatap nanar Leon dan Luna yang bercumbu mesra.
Angel menahan bahu Alex, jarak wajahnya semakin dekat membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Hembusan nafasnya sangat terasa, ketika hidungnya bersentuhan dengan hidung mancung milik Alex. Angel memutuskan spaghetti. "Udahan," Ujar Angel malu-malu. Pipinya memerah, membuat Alex mencium pipi itu sekilas. Angel melotot.
"Cantik," Selanjutnya Angel menutup wajahnya dengan selimut. Alex tertawa pelan.
"Yang satu malu-malu kucing, yang satu malu-maulin," Bimo menggeleng dan kembali ke kursinya.
"Mana tiketnya dan surat yang lo omongin." Leon berdiri, berjalan mendekati Bimo. "Ada gerangan apa seorang Bimo keluarin duit buat kasih gue tiket liburan? Tidur numpang, Makan ngutang, dan hidup maunya gratisan," Bimo mendecih pelan. Leon mengatakan apa adanya. Sahabatnya yang satu ini sulit sekali jika berurusan dengan uang. Banyak alasan. Jangan tanya uang siapa yang dipinjam Alex lima belas juta kemarin. Itu uang Leon, bukan Bimo.
Bimo membuka dompetnya. Memberikan dua kartu pada Leon. "Nih,"
Leon mengerutkan keningnya. "Apaan, nih?"
"Gue beliin Negara Belanda juga buat lo, dan ini kartu bebas penjaranya."
"Ini monopoli bangsat,"
"Lah emang gue bilang asli? Kartu bebas penjaranya gue jujur. Itu dikasih sama bokap gue waktu beli monopoli," Leon tidak bergeming. "Just kidding, Le." Bimo tersenyum polos.
"Turun lo dari pesawat gue," Ujarnya pelan.
"Iya, nanti gue turun kalau udah mendarat, sekarang kita lagi mengudara,bdaeng," Selanjutnya aksi bogeman cinta tidak terhindarkan.
-
Pintu pesawat baru saja dibuka. Semilir angin sejuk langsung menyambut. Derasnya ombak pantai terdengar. Kicauan burung membuat suasana terdengar nyaman. Sebelum menuju pulau. Malam ini mereka akan menginap di hotel. Kapal akan datang besok pagi. Hotel yang langsung menghadap pantai. Indah sekali. Alex merangkul bahu Angel. Kamar hotel sudah dipesan oleh Leon. Kunci sudah ditangan masing-masing. Sebelum ke kamar, mereka memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu.
"Anggap saja gue juga gandeng cewek. Btw, cewek gue emang tak kasat mata." Ucap Bimo membuat Alex tersedak. "Kenapa? Nggak perlu kasihan gitu sama gue,"
Alex tertawa kecil, menepuk pundak Bimo yang duduk di sampingnya sebanyak tiga kali. "Lo boleh nyusul dia kalau mau,"
"Lo mau gue mati?!" Alex mengedikkan bahunya.
"Tenang Bim, gue punya pasangan buat lo," Leon mengerutkan keningnya, begitu pula Alex dan Bimo. Luna tersenyum, mengangkat tangan kanannya ke atas sebelum berteriak. "Lily! In Here baby!" Kemudian ketiga lelaki itu tersedak. "Tambahan personil. Ferdy,"
Seketika kepala Alex sangat berat. Dengan langkah besar dan sedikit tergesa-gesa. Tangan kekarnya menarik pergelangan tangan mungil untuk mengikutinya. Meski berusaha melepaskan atapun memintaya berhenti. Alex tidak akan melakukannya. la terus berjalan dengan perasaan kacau, hanya ingin pergi dari sana, sejauh mungkin. Langkah kecil mengimbangi langkah kakinya begitu terasa. Angel berlari untuk menyamakan langkah kakinya. Menjadi pusat perhatian semua orang yang sedang berjalan keluar masuk hotel. Angel menarik tangan Alex, berusaha menghentikan lelaki itu, berulang kali gagal, kekuatannya tidak berarti bagi Alex. Angel meringis. Ia sesekali menoleh ke belakang meminta bantuan pada Leon dan Bimo yang mengikutinya tanpa menghentikan Alex. Mereka terlihat serba salah.
"Alex, tangan aku sakit," Ringisan Angel itu akhirnya berhasil menghentikan Alex. Lelaki itu berbalik dan melepaskan tangannya. Angel mengelus pergelangan tangannya yang memerah. "Kamu mau kemana?"
"Kita pulang Angel, kita pulang," Ujar Alex tidak sabaran.
"Kita bahkan belum mulai, Lex," Bimo bersuara. "Oke fine, gue yang ajak Ferdy, dia telpon gue dan nyariin kita. Gue bilang aja kita bertiga liburan. Apa masalahnya, dude? Ferdy sahabat kita,"
"Bukan sahabat gue!" Bantah Alex emosi. la kembali meraih tangan Angel. "Kalau lo bilang dari awal, gue nggak akan ikut,"
"Lo udah baikkan sama dia"
Alex menatap Leon tajam. "Gue nggak
akan baikkan sama dia." Ucapnya tajam.
"Gue nggak peduli lo berdua mau liburan
sama dia. Yang penting gue pulang,"
"Tapi aku nggak mau," Angel melepaskan
tangan Alex dengan mudah karena Alex
tidak menggenggamnya erat. "Kamu
jangan egois, hanya karena kamu, liburan
orang lain jadi kacau,"
Alex menutup kedua matanya menahan
amarah. la ingin menarik tangan Angel,
gagal saat Angel bersembunyi dibalik
punggung Bimo. "Kita pulang, Angel,"
Geramnya.
"Aku nggak mau," Angel menggeleng
cepat. Ia segera menunduk saat tatapan
Alex berubah menjadi sangat tajam.
Seketika tubuh Angel mati rasa. Saat ia
kembali mengangkat wajahnya Alex
masih menatapnya. Angel menelan
ludahnya sendiri.
"Ayolah, Lex. Siapa tau dengan liburan ini bisa memperbaiki hubungan lo sama Ferdy," Alex mengalihkan tatapan matanya pada Bimo, membuat Angel menghembuskan nafasnya pelan. Alex menatap Bimo lama sebelum akhirnya berkata.
"Fine, gue pulang sendiri," Angel mengerjap. Bukan itu maksudnya. Ia hanya mengancam Alex, tidak dengan menyuruhnya pergi sungguhan. Saat Ferdy muncul dan duduk bergabung dimeja makan, Alex langsung menarik tangannya pergi. Kenapa Alex sangat membenci Ferdy. Tidak bisakah Alex menghargai perasaan Ferdy yang kecewa saat Alex pergi begitu saja?
Dengan reflek, Angel berlari dan
melingkarkan tangannya ditubuh Alex
untuk menghentikan langkah lelaki itu.
Meski jemarinya tidak bisa saling
bertemu, Angel meremas kaos bagian
depan yang Alex gunakan dengan erat. Ia
meletakkan pipinya di punggung Alex.
"Jangan pergi," Ujarnya pelan. Alex memejamkan matanya sejenak, melepaskan tangan Angel. Ia berbalik. Angel menatap memohon. "Jangan kecewain mereka. Aku tau kamu nggak nyaman, aku tau kamu nggak suka. Tapi dunia nggak akan berjalan sesuai dengan apa yang kamu inginkan." Angel meraih tangan Alex, menggenggamnya. "Aku nggak maksa kamu baikkan, tapi hargai usaha mereka, kalau kamu mau dihargai, maka hargai dulu orang di sekeliling kamu,"
"Kita pulang, Angel," Angel menggeleng. "Ngel, Please. Kita pulang"
Angel mempertipis jaraknya, berdiri di antara kedua kaki Alex yang terbuka. Ia mendongak menatap Alex. "Aku mohon jangan pergi. Tetap disini sama aku." Alex membuang wajahnya, menghembuskan nafasnya kasar. "Alex?"
"Nggak bisa, Ngel," Alex kalut, menarik rambutnya frustasi.
Alex tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi saat bersama Ferdy nantinya. la tidak ingin ingatan itu kembali disituasi yang tidak tepat. Mungkin dengan keberadaan Lily akan membantunya. Tapi Alex tidak ingin Lily terluka lagi. Kenapa harus kembali? Kenapa Ferdy menghancurkan semuanya?
Alex mengunci bola mata Angel. Kedua sudut bibir perempuan itu terangkat ke atas membentuk bulat sabit. Alex membasahi bibirnya. "Kamu bisa," Ujar Angel mantap.
Jika berharap Alex akan luluh dengan senyuman itu, maka harapan itu akan terwujud. Bagaimana bisa hanya dengan sebuah senyuman hantinya meleleh, seakan terhipnotis dan bibirnya terkunci untuk berkata, tidak. Seberapa besar Angel menguasai dirinya? Kenapa Alex sangat lemah dengan perempuan itu? Kenapa Alex takut sekali jika melukai hati Angel? Bagaimana cara Angel membujuknya. Menarik tangannya lembutbdan tutur katanya yang menghangatkan? Tidak baik jika orang mengetahui Angel adalah kelemahannya.
Leon dan Bimo tersenyum kecil saat melihat dari kejauhan Angel berhasil menarik Alex kembali.
"Alex emang lemah kalau soal Angel," Gumam Leon berjalan terlebih dahulu, disusul Bimo yang merangkul bahu sahabatnya.
Leon yakin, Alex hanya butuh waktu untuk mengaku pada dirinya sendiri bahwa ia mencintai perempuan yang bernama Angelista, namun nafsu lebih gila dari cinta. Alex tidak akan pernah lepas dari Lily, dan juga. Dirinya.
"Gue satu kamar sama Angel," Alex mengambil satu kunci ditangan Luna, Saat Leon ingin mencegahnya, Luna menahan tangan Leon. Alex pergi dengan menarik tangan Angel.
Perempuan itu menundukkan kepalanya berkali-kali pada Luna, meminta maaf karena sifat Alex yang tidak sopan. Luna memberikan anggukkan pelan. Seakan memberitahu pada Angel bahwa itu bukan masalah.
"Eh, Anjirr. Di bilang sewa kamar murah," Gerutu Leon, Luna mengelus bahu kekasihnya itu. "Bangkrut gue kalau temenan sama lo berdua,"
"Kenapa gue yang disalahin?" Bimo tidak terima saat menjadi pelampiasan Leon. "Kalau gue, tidur di sofa aja nggak masalah,"
"Tai kucing," Maki Leon.
"Gue aja yang pesan satu kamar lagi," Ferdy berdiri. Luna menahannya. "Nggak papa Lun, gue yang mau ikut. Salah gue karena buat kacau rencana kalian,"
"Nggak, Fer. Biarin, gue aja yang tanggung" Luna menepuk pundak Ferdy dua kali, meninggalkan temannya untuk memesan satu kamar lagi.
"Yang," Leon menyusul.
Bimo meneguk minumannya sebelum bertanya. "Sewa kamar semalam berapa?"
"Dua puluh juta," Bimo tersedak, memukul dadanya dengan mata berair. Lily menarik dua lembar tissue lalu ia berikan pada Bimo. "Gilak! enak banget gesek duit,"
Semua fasilitas. Dari makan, transportasi dan tempat tinggal semua ditanggung Leon. Semua itu memang ide dari kekasihnya Luna. "Btw, lo belum baikkan juga sama Alex?"
Ferdy mengangkat wajahnya, terlihat kikuk. Mengulas sebuah senyuman. Lily memperhatikan gerak-gerik lelaki dihadapannya. Livesey tidak tahu juga jikanFerdy ikut bergabung. Lily baru mengetahui saat Luna memanggil nama Ferdy yang sudah berdiri disebelahnya. Jujur saja, Lily kaget, terlebih kejadian itu pasti sangat terasa bagi Alex.
Lily tidak habis fikir dengan sifat Ferdy. Ini pertama kalinya ia bertatap muka dengan Ferdy. Dulu, ia hanya mendengar dari Alex. Lelaki itu sepertinseorang psycho, serigala berbulu domba. Mungkin orang lain seperti Bimo yang tidak tahu sama sekali tentang permasalahan yang terjadi antara Alex dan Ferdy tidak akan pernah sadar dengan wajah dibalik topeng yang digunakan seorang Ferdy. Namun Lily bisa melihatnya. Ia bisa melihat kejamnya seorang Ferdy, senyuman tipis yang kadang tertangkap oleh dirinya. Jujur, Lily lebih takut pada Ferdy dari pada seorang Nando. Karena Ferdy melakukan semuanya dengan sangat tenang. Hanya dengan lirikan ataupun bersebelahan dengan lelaki itu saja. Lily dibuat lemas. Seakan Ferdy menancapkan pisau tepat dijantungnya. Ferdy sosok yang menyeramkan. Dia orang yang akan melakukan apapun untuk menjadi miliknya, termasuk Alex. Lily bisa melihatnya.
"Well, dia marah lagi sama gue," Ujar Ferdy tersenyum tipis. Bimo menganggukkan kepalanya pelan. "Kita belum kenalan," Merasa kalimat itu dintunjukan untuknya, Lily mengangkat wajahnya, manik matanya bertemu dengan Ferdy. "Hai, gue Ferdy,"
"Lily," Lily membalas jabatan tangan Ferdy. Hanya sentuhan, rasanya Ferdy sedang memberikan peringatan.
"Kenapa lo berantem sama dia? Ayolah Fer, masa lo nggak mau cerita juga, udah lima tahun lebih,"
"Lo tanya aja sama dia," Bimo mendesah frustasi. "Bukan masalah besar," Lily mengulum bibirnya. Bukan masalah besar. Itu untuk Ferdy, tidak untuk Alex.
"Ly, kita istirahat," Luna kembali, Lily mengangguk dan berdiri. Berjalan mendekati Luna.
Seharusnya Leon hanya memesan dua kamar. Satu untuk lelaki dan satu untuk perempuan, karena Alex, Leon harus memesan tiga kamar.
"Besok kapalnya jam tujuh, jangan telat," Leon memberi kecupan singkat dikepala Luna sebelah kiri. Luna mengangguk dan menarik tangan Lily.
Pintu lift terbuka. Alex sudah keluar terlebih dahulu sementara Angel masih berdiri mematung didalam sana dengan mulut membulat membentuk huruf O. Kesadaran seakan hilang terbawa arus membuatnya berdiri lama. Jika saja Alex tidak cepat menahan pintu, lift akan tertutup dan Angel masih berdiri seperti orang bodoh. Alex menarik lembut tangan Angel. Menuntun perempuan itu menuruni tangga, Angel sama sekali tidak memperhatikan jalan, matanya sibuk berputar mengelilingi kamar hotel.
"Angel kalau jalan pake mata," Geram Alex. Angel mengerjap lalu kesadarannya perlahan menghampiri. "Jalan yang bener,"
Angel mendengus. Membiarkan Alex pergi entah kemana. Angel melompat kecil dan berlari menuju dinding kaca dengan pemandangan bawah laut yang sangat indah. Banyak berbagai macam ikan yang lewat, batu karang yang cantik dan air berwarna biru terang. Sukses membuat Angel tidak berkedip. Berdiri dengan kedua tangan yang diletakkan pada kaca seperti orang bodoh.
"Mau sampai kapan berdiri di situ?" Angel menoleh. Alex sudah mengganti bajunya, lelaki itu seperti habis mandi dan sekarang duduk di atas ranjang yang menghadap bawah laut. Manda berjalan mendekat. "Mau mandi?"
"Nggak, dingin. Ganti baju aja nanti,"
"Ya udah ganti dulu, atau mau gue gantiin?" Angel melotot dan menyilangkan tangannya didepan dada. Alex terkekeh pelan. "Ya udah ganti sana,"
Angel mendengus kesal dan membuka tasnya. Mencari baju paling aman untuk dipakainya malam ini. Ternyata kamar itu sama luasnya seperti apartemen Alex. Semuanya lengkap tersedia. Kamar mandi yang mewah. Ada bunga-bunga yang mengapung di bak mandi. Angel membasuh wajahnya, menggosok gigi dan menguncir rambutnya asal. Ia menggunakan jaket dan celana panjang biasa.
"Kamu tidur dimana?"
Migel mengerutkan keningnya. "Disini, kenapa?"
"Kalau gitu aku disofa aja,"
"Lo juga disini," Alex menggeser tubuhnya dan menepuk kasur disebelahnya. "Sini,"
"Ih, gak mau. Nanti terjadi hal-hal yang tidak di inginkan," Angel mengambil bantal dan menghempaskan tubuhnya disofa. "Kamu mau ngapain?!" Tanya Angel kaget saat ia baru saja berbaring, Alex sudah berdiri dihadapannya. Ia mengalihkan pandangannya sejenak ke arah ranjang, memastikan yang berdiri disamping sofa adalah Alex.
"Bandel kalau dibilangin," Tanpa persetujuan, Alex langsung menggendong Angel ala bridal style. Angel memberontak meminta dilepaskan, bukannya menurunkan perempuan itu Alex malah membawa Angel mengelilingi ruangan.
"Alex, ih turunin!?"
"Lo mau tidur diranjang sama gue, atau digendongan gue?"
"Nggak mau, ih. Aku mau tidur di sofa, Alex turunin!?" Rengeknya.
"Lo pake baju berapa lapis?" Alex mengerutkan keningnya saat merasakan tubuh Angel sedikit besar. Angel menggeleng kuat. "Gue nggak sebrengsek itu buat merkosa lo, Angel,"
"Antisipasi, aku nggak mau main-main sama nafsu," Ujarnya polos. "Turunin aku, Alex."
Alex menghembuskan nafasnya pelan, berjalan mendekati ranjang dan menurunkan Angel disana. "Tidur disini, gue yang tidur di sofa,"
Angel dibuat terdiam saat Alex sungguh meninggalkannya diranjang seorang diri. Lelaki itu menempati sofa yang seharusnya menjadi tempatnya. Angel masih dalam posisi duduk dengan kaki menekuk. Ia memeluk kakinya dan meletakkan kepalanya di atas dengkul. Alex sudah tertidur dengan tangan dijadikan bantal, padahal sudah ada bantal disana. Membuat otot tangannya tercetak sempurna.
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Angel masih nyaman dengan posisinya. la tersenyum tipis melihat Alex. Sunyi, membuat Angel merasakan pintu lift terbuka. Saat ia menoleh, tidak ada siapa-siapa. Angel mengerutkan keningnya. Itu terjadi bukan hanya satu kali. Angel mulai diselimuti rasa takut. Ia merasa ada orang yang menerobos masuk ke kamar. Dengan jantung yang berdetak kencang, Angel turun dari ranjang. Memastikan bahwa tidak ada orang yang masuk, meskipun ada, ia harus tahu siapa. Pelan namun pasti. Angel melangkah mendekati pintu, perasaannya memang ada orang. Merasakan langkah kaki yang menghampiri, keringat sudah keluar di sekitar wajahnya. Seperti adegan film hantu, Aura itu semakin mendekat sampai Angel merasakan sebuah tangan dibahunya. Angel berteriak menutup kedua telinga dengan berjongkok. Tubuhnya bergetar hebat.
"Ngel? Ini gue," Mendengar itu, Angel mendongak. Ia terduduk lemas saat tahu orang yang menyentuh pundaknya adalah Alex. "Lo ngapain?" Alex berjongkok, membantu Angel berdiri.
Angel menggeleng, menghapus air matanya yang tiba-tiba keluar. Ia mendekatkan tubuhnya pada Alex. Lelaki itu melingkarkan tangan kirinya dibahu Angel, memberi perlindungan dengan menatap pintu lift yang menjadi sumber Angel berteriak histeris.
"Nggak papa, gue disini,"
Angel mengangguk. Ia memeluk Alex dengan menyembunyikan wajahnya di dada bidang lelaki itu. Menormalkan detak jantung dan nafasnya yang memburu cepat.
"Tunggu di sini, gue lupa kunci liftnya," Angel melepaskan pelukannya. Melihat Alex mengeluarkan sebuah kartu yang berguna untuk mengunci pintu lift. "Udah, sekarang tidur," Alex menarik tangan Angel, Angel terus menatap pintu lift. Ia yakin ada orang didalam sana.
"Ada orang didalam sana,"
Alex duduk dipinggir ranjang, Menarik selimut hingga menutupi tubuh Angel sampai di atas dada. "Orang?" Angel mengangguk. "Lo lihat?"
"Nggak. Tapi aku ngerasanya gitu,"
"Nggak ada yang bisa nerobos masuk, Lo aman." Alex mengelus pipi Angel. "Tidur, udah malem,"
Kedua mata Angel terpejam saat Alex mendaratkan sebuah kecupan hangat dikeningnya. Saat Angel membuka matanya kembali, Alex sudah merebahkan dirinya disofa. Angel mengulas sebuah senyuman. Niatnya untuk tidur gagal. Saat Angel ingin menutup matanya, tidak sengaja ia menangkap sebuah bayangan dari kaca. Angel meremas selimutnya. Tubuhnya kembali bergetar. Jantungnya berdetak tidak karuan dengan perasaan campur aduk. Dengan tenang, ia membuka selimut. Turun dari ranjang seolah semuanya baik-baik saja. Ia tidak ingin menimbulkan kecurigaan. Kenapa sofa yang ditempati Alex sangat jauh saat ini. Angel merasa sudah berjalan cukup jauh, nyatanya ia baru beberapa langkah dari ranjang. Menarik nafasnya sejenak. Angel melangkahkan kakinya jauh lebih lebar dari sebelumnya. Ia merasa bajunya sudah basah karna keringat.
"Ngel?" Alex membuka matanya. Ia merubah posisinya menjadi duduk. "Lo kenapa?"
"Aku mau tidur sama kamu," Suara Angel bergetar. Alex mengerutkan keningnya. Tanpa persetujuan, Angel langsung berbaring disofa yang sebenarnya tidak terlalu besar.
"Kita tidur diranjang," Angel menahan tangan Alex yang ingin berdiri. Lelaki itu menatap Angel dengan bingung. Terlebih saat tangan perempuan itu bergetar.
Angel hendak membuka bibirnya, semua rangkaian kata itu tidak bisa terucap. Menjadi sebuah tangisan dalam diam. Alex mengalihkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan. Ia melepaskan tangan Angel, melangkahkan kakinya karena ada tubuh Angel yang menghalangi, Alex berdiri. Angel meringkuk seperti bayi saat Alex meninggalkannya untuk memastikan keadaan. Menutup kedua telinganya dengan terus menangis.
Kenapa pagi lama sekali datangnya. Angel ingin pulang, Seharusnya ia setuju saat Alex mengajaknya pulang
"Nggak ada siapa-siapa, Ngel," Alex meraih bahu itu. Angel menatap Alex dengan sendu. "Jangan nangis, ok. Gue disini,"
Angel meremas baju Alex. Ia berusaha membuka bibirnya untuk berbicara. Seakan ada lem membuatnya sangat sulit untuk berbicara. Alex mendekatkan telinganya, Mendengarkan bisikan kata 'Pulang' keluar dari bibir Angel.
"Ngel?" Angel menggeleng tidak beraturan. Alex mengusap kening perempuan itu. "Iya, kita pulang, kita pulang sekarang,"
Alex langsung menggendong Angel pergi dari sana. Melihat Angel yang terus menangis dan tubuhnya yang bergetar hebat. Alex memutuskan untuk keluar dari kamar hotel.
"Minum dulu," Alex memberikan segelas air mineral saat keduanya sudah berada di lobby. Angel menerimanya dan meneguknya hingga setengah. "Udah? Enakkan?"
Angel mengangguk. "Aku nggak mau tidur di sana,"
"Gue antar lo ke kamar Luna," Angel menggeleng cepat. "Terus mau tidur dimana?"
"Aku mau sama kamu,"
"Lo liat apa?" Tanya Alex. Angel menggeleng. "Kita balik ke kamar, ok?"
"Nggak mau," Ia menggenggam tangan Alex. "Kita tidur disini aja,"
"Ini lobby, Angel,"
"Kalau gitu nggak usah tidur."
"Lo kenapa?" Tanya Alex pelan. "Nggak ada apa-apa," Alex mengusap rambut Angel. "Balik, ya," Angel menggeleng. "Dua puluh juta hangus, Ngel. Leon pasti marah kalau tau kita nggak pake kamarnya."
"S-semahal itu?"
"Iya,"
Angel tidak bergeming. Ia mengingat sekali lagi bayangan yang dilihatnya. Angel yakin ada orang disana, Angel tidak akan setakut ini jika bayangan itu hanya berdiri, yang dilihatnya tidak seperti itu. Bayangan itu memperlihatkan tangan yang terangkat ke atas dengan menggenggam sebuah benda tajam tepat diarahkan kepadanya. Angel menggeleng cepat.
"Ngel?" Air mata Angel keluar lagi tanpa izin. Ia merasa tidak punya musuh. Jika itu hanya halusinasi dirinya, kenapa semua sangat terasa nyata? Angel mendengar hembusan nafasnya, Angel mendengar langkah kakinya dan Angel merasakan aura yang mencengkam dikamar itu. "Gue disini, Jangan nangis,"
Alex duduk dipinggiran sofa tempat dimana Angel duduk. Ia meraih tubuh kecil itu dan memeluknya. "Lo lihat apa?"
"Ada orang, Alex. Ada orang di sana," Angel sesenggukan. "Aku lihat bayangan dia,"
Alex mengelus rambut Angel. "Lo yakin?" Angel mengangguk cepat. Alex kembali menarik Angel kepelukkannya. Tangan kanannya melingkar dibahu Angel. Alex memang mendengar saat pintu lift terbuka. Namun ia sudah memastikan tidak ada orang lain dikamar itu, ia sudah berkeliling.
Alex mengeluarkan ponsel, menghubungi Leon. Tidak masuk akal mungkin. Hotel semewah itu bisa dimasuki oleh orang asing. Untuk memastikan semuanya baik-baik saja, akhirnya Leon memberi laporan pada petugas hotel. Kericuhan terjadi, banyak penghuni hotel yang keluar dan berkumpul di lobby.
"Lo nggak papa?" Luna mengelus rambut Angel. "Its oke, you save," Angel mengangguk pelan, membalas senyuman Luna.
"Emang lo lihat apaan, Ngel? Lo salah lihat mungkin," Ujar Bimo yang baru saja bergabung, ia ikut memastikan bahwa tidak ada siapapun didalam kamar. "Nggak ada orang di kamar lo."
Angel merasa bersalah karena sudah membuat keributan malam-malam. Membuat penjagaan diperketat. Setelah Alex menerima laporan bahwa kamar aman, ia langsung menghampiri Angel.
"Ayo," Alex mengulurkan tangannya. "Nggak akan terjadi apapun,"
Angel menerima uluran tangan Alex. Lelaki itu langsung melepaskan tangannya begitu Angel sudah berdiri, menjadi melingkar dipinggang Angel. Keduanya berjalan kembali ke kamar sedangkan semua orang sudah terlebih dahulu menghilang dari lobby.
" Lex," Bimo menyerahkan sebuah tas kecil. "Antisipasi," Ujarnya lalu pergi. Alex mengangguk dan meletakkan tas dibahu kirinya.
Begitu sampai. Angel langsung memastikan. Ia berharap bayangan itu memang ada, entah sebuah bunga yang tinggi dan membentuk tubuh manusia atau apapun agar membuat semua praduga dirinya salah. Saat Angel melihat lagi. Tidak ada bayangan sama sekali. Dan juga tidak ada bunga. Angel melingkarkan tangannya dipinggang Alex.
"Mau tidur di mana?"
"Sama kamu," Jawab Angel cepat.
"Jangan di ranjang. Di sofa aja," Alex mengangguk. Ia mengambil selimut diranjang dan menarik tangan Angel mendekati sofa.
Sofa putih yang berukuran sedang. Alex menyelimuti tubuhnya dan Angel. Tangan kirinya ia letakkan dibawah leher perempuan itu. Angel mengerjapkan matanya, jantungnya kembali berkecamuk, bukan seperti beberapa menit yang lalu. Ini berbeda. "Atau ini hanya modus lo doang?"
"Ih nggak, aku seriusan,"
"Nggak masuk akal ada orang yang bisa masuk." Goda Alex. Angel terlihat gelisah karena dituduh seperti itu. "Biar lo bisa tidur sama gue, iya?"
"Ya udah," Angel merubah posisinya menjadi duduk, berniat berdiri. " Aku bisa tid- Alex!" Pekiknya tertahan saat merasakan tubuhnya ditarik kebelakang dan mendarat dipelukkan Alex. "Aku nggak bisa napas, Alex,"
Alex terkekeh pelan. Ia mengendurkan pelukkannya, tidak merubah posisi. Alex meletakkan dagunya di atas kepala Angel. Tangan kirinya melingkar dibahu Angel dan tangan kanannya melingkar dipinggang perempuan itu.
Angel menelan ludahnya. Melihat gerakkan jakun Alex yang naik turun. Senyuman tipis terukir dibibirnya. Tanpa sadar, Angel menyentuh jakun itu dengan telunjuknya. "Jangan sentuh, Angel," Angel langsung menggenggam tangannya, ia mendongak dengan kedua tangan menekuk didepan dada. Menjadi pemisah antara tubuhnya dan Alex, agar Alex tidak mengomentari apapun ditubuhnya seperti waktu itu. Saat kaki Angel keseleo dan Alex menggendongnya dari sawah sampai ke rumah.
"Kamu punya brewok," Angel membuka telapak tangannya dan menyentuh pipi bagian bawah milik Alex. Tipis, sehingga Angel bisa melihatnya dengan jarak dekat.
Alex membuka matanya, menurunkan tangan Angel diwajahnya. "Sentuhan lo bahaya,"
"Emang tangan aku pisau," Ujar Angel sedikit kesal. Ia kembali meluruskan pandangannya, lelah untuk mendongak.
"Alex?"
"Em?"
"Kamu bisa tidur?"
"Bisa,"
"Aku nggak bisa,"
"Seharusnya gue yang nggak bisa tidur," Gumam Alex pelan. Angel mengerutkan keningnya. "Masa iya mau gue nyanyiin,"
"Emang kamu bisa nyanyi?"
"Bisanya berantem," Alex tertawa kecil saat menerima tinjuan di dadanya. "Mau gue tidurin?"
"Gimana?" Angel semangat.
"Kita olahraga malam dulu, Nanti lo capek dan kita tidur,"
"Ngapain? Push up?"
"Em, tapi gue aja yang push up. Lo diam di tempat,"
"Kok gitu?"
Alex tertawa kecil, menyentil kening Angel. "Olahraga ranjang, Angel. Masaiya nggak ngerti," Angel mendengus pelan. Sepertinya ia sudah terbiasa dengan kalimat vulgar yang diucapkan Alex. "Ngel?"
"Apa?" Angel mendongak, tepat saat ia seperti itu, Alex langsung membungkam bibir Angel dengan bibirnya. Kedua mata Angel membulat sempurna. la mengepalkan tangannya di dada, jantungnya kembali berpacu cepat.
Apa yang membuat orang lain suka berciuman? Menurut Angel itu sangat menjijikan. Saling bertemu bibir dan merasakan air liur orang lain di mulutnya. Angel tidak mengerti apa yang bisa orang nikmati dari bersentuhan bibir. Mungkin jika Angel tidak pernah melakukannya, ia tidak akan mengerti. la tidak akan tahu jika berciuman akan membuatnya merasa relex. Angel mengerjapkan matanya. Kesadarannya masih terkumpul saat Alex melepaskan tautan bibir mereka. Membuat Angel merasakan disekitar bibirnya menjadi basah. Alex tersenyum kecil, tatapannya bertemu dengan manik mata Angel.
Angel menelan salivanya. Menutup bibirnya yang sedikit terbuka. Jarak yang sedekat ini, Angel bisa melihat jelas lekuk wajah dari seorang Alex. Ada beberapa bekas noda jerawat di sana. Angel terkekeh pelan, ia pikir wajah Alex mulus seperti kertas. Tidak terlihat jika dilihat dari jarak jauh.
"Tidur, Nanti dedek gue bangun. Kondisi kita berubah menjadi emergeney kalau itu terjadi." Alex memeluk Angel, seakan perempuan itu guling.
Angel tersenyum tipis. Menyentuh bibirnya dan merasa geli sendiri. la mencari posisi nyaman di dada Alex, mengusel di dada lelaki itu. "Stop Angel," Geram Alex. Angel tertawa pelan.
"Bercanda, hehe," Alex mengecup kepala Angel.
"Tidur, oke," Angel mengangguk. "Kecil banget, sih, lo." Ujarnya gemas yang mendapat hadiah tinjuan dari Angel.
Yacht atau Small Cruise Ship adalah jenis kapal pesiar berukuran sedang. Biasanya yacth disewa atau dibeli oleh miliarder dunia sebagai simbolisme kekayaan yang mereka punya. Mahal? Pasti, harga tergantung fasilitas dan model dari yacht tersendiri. Salah satu pemilik kapal pesiar mini tersebut adalah Leon. Lelaki itu baru membelinya beberapa bulan yang lalu. Ia sengaja memboyong kapal pesiar miliknya untuk menemaninya berlibur. Sekarang, kapal berwarna putih tersebut sudah menunggu di perairan.
Cuaca sangat bagus. Seakan menyetujui ide Leon untuk menyinggahi pulau miliknya. Angin yang tidak terlalu kencang membuat pohon kelapa yang berjejer rapi dipinggir pantai bergoyang dengan seirama. Matahari masih terlihat malu-malu. Warna biru membentang dan sangat mengkilap karna pantulan cahaya.
Rambut panjang berwarna hitam itu tertiup angin menjadi berantakan, padahal pemiliknya sudah menyisir dengan rapi. Mata cantiknya menatap lautan dengan pandangan kosong. Berdiri tegak di ujung jembatan kayu yang sangat panjang. Sekali lagi, Angel menyelipkan rambutnya kebelakang telinga. Menghembuskan nafasnya pelan karena menyadari seorang lelaki berdiri di sebelahnya. Angel memberi seulas senyuman pada Ferdy yang dibalas senyuman tidak kalah manis oleh lelaki itu.
Angel menyipitkan matanya, menghalau sinar matahari. Ia sedikit mendongak untuk menatap Ferdy, tinggi lelaki itu hampir sama seperti Alex, menurut Angel, Ferdy adalah orang yang perfectionist. Di Antara Alex, Leon dan Bimo. Ferdy lebih terlihat paling normal dan mendekati kata manusia. Ferdy orang yang hangat. Entahlah, tapi menurut Angel, Ferdy berbeda. Dia tidak terlihat lelaki nakal ataupun brengsek seperti ketiga temannya.
"Thanks," Ujarnya membuka suara. Dari suaranya saja, Angel tahu jika Ferdy adalah orang yang dewasa dan sangat teliti dalam mengambil keputusan. "Karena tetap di sini,"
Angel menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia mengangguk pelan. "Aku nggak mau ngecewain orang,"
Pagi tadi, Alex kembali mengajaknya pulang. Karena semalam Angel meminta pulang. Saat ia menyampaikan keinginannya, Luna kembali menahannya. Luna memohon agar ia tetap ikut berlibur. Meski Alex tidak menyetujuinya, jikabl Angel yang meminta, lelaki itu akan setuju.
"Aku boleh tanya?"
Gleen menoleh. Ia menatap Angel lama sebelum berkata. "Kenapa gue berantem sama Alex. Lo mau tanya itu?" Angel mengulum bibirnya dan mengangguk pelan. Ferdy tersenyum kecil. "Kenapa nggak tanya sendiri sama Alex?"
"Karena Alex nggak akan pernah jawab pertanyaan itu,"
Ferdy membuang wajahnya. Menghembuskan nafasnya pelan. Angin yang bertiup tenang tiba-tiba menjadi sangat kencang. Membuat kaos yang Angel kenakan melayang tidak beraturan, begitupun Ferdy. Lelaki itu tersenyum, ia memutar tubuhnya menatap Angel. Jika tadi keduanya saling bersisihan, sekarang sudah saling berhadapan. Ferdy menenggelamkan dirinya dimata cantik yang menunggu jawabannya. Ia mempertipis jaraknya, membuat Angel mengepalkan kedua tangannya.
Tanpa Angel sadari kakinya perlahan mundur dengan sendirinya. Ada aura aneh yang menyelimuti tubuhnya saat Ferdy tersenyum dan menatapnya begitu intens. Awalnya Angel begitu menyukai saat Ferdy tersenyum. Sangat bersahabat dan ramah. Senyuman yang Angel lihat saat ini sangat berbeda. Ada yang tidak bisa Angel katakan melalui senyuman itu. Reaksi tubuhnya juga sangat aneh. Angel akui, selama ia mengenal Leon dan Bimo, Angel tidak pernah merasakan aura seperti ini saat didekat keduanya. Leon dan Bimo bukan lelaki yang bisa Angel percaya, awalnya. Sekarang berubah. Meskipun ia ditatap seperti itu oleh keduanya, aura itu tidak pernah muncul. Berbeda saat Ferdy menatapnya. Angel menghembuskan napasnya pelan. Mungkin Angel belum terlalu mengenal Ferdy. Pasti seperti itu.
"Ngapain lo berdua?" Suara itu membuat Angel dan Ferdy menoleh secara bersamaan. Bimo, Leon dan Luna berjalan mendekati keduanya.
"Ayo, kapal udah nunggu," Leon merangkul Ferdy untuk mengikutinya. Disusul Bimo, mereka bertiga berjalan dijembatan kayu yang panjang ke laut.
Keduanya sangat suka menggoda seorang Ferdy, terlihat Ferdy yang risih dengan kedua sahabatnya. Angel terkekeh pelan melihatnya.
"Alex ke toilet, Ayo,"
"Kak Luna duluan aja. Aku tunggu Alex," Luna berpikir sebentar sebelum akhirnya mengangguk dan berjalan sendirian meninggalkannya.
Angel menghembuskan nafasnya. Ia melemparkan pandangan kesekitar. Mencari keberadaan Alex. Sudah lima menit dan Alex belum kunjung terlihat. Angel memutar tubuhnya, ia berjalan kembali ke hotel. Seharusnya Alex bersama Bimo dan Leon. Berjalan bersama sambil menggoda Ferdy. Mungkin terlihat mustahil, mengingat Alex yang terlihat begitu membenci Ferdy. Angel ingin mewujudkannya. Ia ingin Alex berdamai.
Senyuman Angel merekah. Mengingat ke empat sahabat itu bisa akur membuatnya sangat senang. Walaupun hanya imajinasi dirinya saja. Langkahnya begitu semangat dengan senandung kecil dibibirnya.
Angel mencari keberadaan lelaki itu disekitar hotel. Sampai langkah itu menjadi sangat pelan dan berat. Senyuman Angel yang tercetak sempurna perlahan menghilang. Tubuhnya mati rasa. Dunia terasa hampa. Kosong dan begitu sunyi. Angel seakan dilempar kedalam sebuah ruangan besar tak bercela. Tenang, begitu putih. Tidak ada yang mengganggu pandangannya untuk melihat apa yang sedang terjadi dihadapan matanya saat ini.
Perlahan. Kakinya mundur dan tubuhnya bersembunyi dibalik tembok. Angel mengepalkan kedua tangannya. Menatap kosong orang-orang yang silih berganti berjalan dihadapannya. Ada yang memasukkan obat ditubuhnya. Sehingga Angel merasakan sakit di seluruh organ miliknya. Terasa begitu nyata dan entahlah. Kenapa begitu sakit? Kenapa sakit sampai Angel sulit sekali bernapas?
Angel menutup matanya sejenak. Menghembuskan napasnya pelan. Kepalan dikedua tangannya perlahan melonggar. Menarik kedua sudut bibirnya ke atas dan kembali tersenyum. Angel berjalan meninggalkan kedua orang yang sedang berciuman mesra. Terus berjalan tanpa menoleh kebelakang. Seolah ia tidak melihat apapun yang terjadi disana.
Sudah lima menit Angel duduk di sisi kanan kapal. Setengah tubuhnya masuk dipagar kecil yang mengelilingi body kapal. Kakinya berayun disana. Dengan kedua siku yang ia letakkan di atas pagar besi.
"Kak," Bimo menoleh. "Kalau mau nge-zoom caranya gimana?" Bimo bangkit dari tempat duduknya mendekati Angel. Lelaki itu berjongkok.
"Lo putar ini," Bimo mengambil alih kamera. la memberitahu bagaimana cara memegang kamera yang benar. "Caranya gini. Btw, lo bukan kidal kan?"
"Bukan," Angel tertawa pelan.
"Bagus kalau gitu,"
"Kak Brayn kidal?" Bimo mengangguk.
"Masa sih? Tapi aku pernah lihat Kakak makan pake tangan kanan,
"Kalau makan gue pake tangan kanan, tapi selebihnya pake tangan kiri. Sekarang gue udah bisa nulis pake tangan kanan, yah, nggak sebagus tangan kiri. Yang menurut gue tulisan tangan kiri gue sangat bagus, biasa.. tulisan dokter," Bimo terkekeh pelan.
Angel tertawa. "Oh ya? aku baru tau," Bimo mendengus pelan. "Jadi kidal enak nggak sih, Kak?"
"Em," Bimo berpikir sejenak. Menurunkan kamera ditangannya dan berpangku di kedua paha. "Ada enaknya, ada nggak enaknya,"
"Enaknya kenapa?"
Sadar pembicaraannya akan panjang. Bimo memutuskan duduk disebelah Angel. Kakinya juga dibiarkan menggantung. "Lo tau nggak, dua puluh persen orang yang bergabung dalam kelompok MENSA adalah kidal. Tau apa artinya?" Angel menggeleng. "Kidal lebih pintar," Ujar Bimo bangga.
"Emang Kak Bimo pintar," Ledeknya.
Bimo menjentikkan jarinya dihadapan wajah Angel. "Tapi gue nggak masuk dalam dua puluh persen itu, " Angel tertawa. "Nggak bego juga," Ujarnya merasa tersinggung melihat Angel tertawa. "Gue nggak suka belajar, lebih suka prakteknya. Lebih ke kinerja. Menurut gue, praktek itu lebih penting,"
"Teori juga penting Kak,"
"Emang. Karena itu gue males kuliah. Teori terus yang dibahas,"
Angel manggut-manggut. "Terus apa lagi?"
"Banyak Ngel, mau gue sebutin?" Angel mengangguk. Bimo menyerongkan tubuhnya menghadap Angel agar lebih mudah untuk menyampaikan apa yang ia bicarakan. "Empat dari tujuh presiden Amerika terakhir semuanya kidal. Siapa aja? pertama, Barack Obama, Bill Clinton, George H.W Bush, terakhir Gerald Ford." Ujar Bimo bangga. "Kebanyakan bangsawan itu kidal. Otaknya lebih cepat buat berpikir, kidal itu jago nyetir. Dan itu gue banget."
"Iya sih, aku juga pernah baca itu di buku. Kidal itu bagus banget dalam hal mengingat. Mereka sangat aktif dan rata-rata cerdas semua." Bimo mengangguk menyetujui. "Nggak enaknya apa?"
"Nggak enaknya ini," Bimo mengangkat kamera ditangannya. "Salah satunya. Semua barang selalu didedikasikan bukan untuk seorang kidal. Kamera, gitar, desain kursi kuliah yang nggak sesuai dengan gue, mouse, buka pintu dan hal sepele aja,"
"Apa?"
Bimo tersenyum, lalu menjawab. "Berjabat tangan," Angel mengerjap. "Hal sepele, tapi bagi gue itu sulit," Angel mengangguk pelan. Hari ini ia mendapat pelajaran tidak terduga dari seorang kidal. Pengetahuan yang kadang sering diabaikan. Angel tidak tahu sesulit itu menjadi seorang kidal. Namun semuanya ada sisi positif dan negatif itu sendiri.
"Lo nggak tau kalau Alex juga kidal?" Angel mengerutkan keningnya. "Alex juga seorang kidal, gue tau dari Ferdy. Dia yang cerita sama gue."
"Tapi-Alex-?"
"Mama Alex nggak suka Alex kidal. Setelah Mamanya meninggal. Alex berusaha keras merubah semua kebiasaannya. Termasuk makan dan nulis menggunakan tangan kiri awalnya, menjadi tangan kanan. Alex berhasil, itu salah satu alasan kenapa Alex jago berantem, kedua tangannya sama-sama kuat," Angel terdiam.
"Ngomong-ngomong, lo banyak nggak tau soal Alex. Gue penasaran apa yang kalian berdua omongin waktu lagi sama-sama. Hal sekecil itu aja lo nggak tau,"
"Karena Alex nggak mau terbuka sama aku," Ucapnya pelan. Angel membiarkan rambutnya yang tertiup angin hingga menutupi sebagian wajahnya. Suasana mendadak sunyi. Suara ombak dilaut tiba-tiba hilang dalam pendengarannya.
Bimo menelan ludahnya. Perasaan bersalah menghampirinya. Ia merasa tidak enak saat melihat wajah sedih Angel. "Sory, seharusnya gue nggak ngomongin orang." Angel menggeleng. "Okey, kita lupain."
Tertawa kecil. Lebih mengejek kedirinya sendiri. Jangankan untuk mengetahuinya, saat Angel ingin menanyakan hal yang menyangkut kehidupan Alex, lelaki itu selalu punya cara untuk mengalihkannya. Entahlah, siapa dia di sini? Siapa dia bagi Alex dan kenapa ia berdiri bersama lelaki itu. Hanya untuk menjadi patungnya? Atau hanya sekedar penasaran?
"Ngel?" Angel mengerjap. "Mau di ajarin nggak?"
"Em? Iya, kak," Angel menerima kamera yang diberikan Bimo.
Bimo menghembuskan nafasnya. Ia merubah posisinya hingga kini dibelakang tubuh Angel. Kedua tangannya berada di sisi tubuh perempuan itu, terlihat berpelukkan jika di lihat dari belakang,npadahal tidak. Bimo mengajarkan bagaimana menggunakan kamera yang benar. Dadanya bersentuhan dengan kepala Angel. "Lo mainin yang ini," Bimo meletakkan tangan kiri Angel dibawah lensa lalu Mengangkatnya hingga kamera itu sudah berada didepan wajah Angel.
"Pastiin objeknya,"
"Kak,"
"Em?" Bimo melepaskan tangannya yang tanpa sadar menggenggam tangan Angel yang memegang kamera. Sedangkan posisi Angel tidak berubah, mengarahkan lensa kameranya pada satu objek yang kini menarik perhatiannya. Sepertinya Angel sama sekali tidak terusik dengan sentuhan Bimo. Perempuan itu terlihat fokus.
"Kenapa?"
Angel mengarahkan kamera ditangannya pada sesuatu yang baru saja menarik perhatiannya. Alex dan Lily berjalan bersamaan dijembatan kayu menuju kapal. Angel men-zoom kameranya, tepat saat Alex berhenti berjalan dan menatap lurus ke arah kamera. Lelaki itu menatap tajam seolah sadar jika Angel ingin memfotonya.
Bimo mengumpulkan rambut Angel menjadi satu lalu menguncirnya secara asal. "Seharusnya gue punya adek perempuan, enak kali ya," Bimo terkekeh geli.
"Kak? Waktu Kak Bimo perintahin aku pergi dari hidup Alex. Apa aku jadi orang ketiga di antara mereka?" Angel berhasil mengabadikan foto Alex, menurunkan kamera dan membalas tatapan yang sangat jauh itu.
Bimk tidak bergeming. Ia melihat kemana arah mata Angel. Bimo melihat Alex berdiri diam dijembatan kayu, sedangkan Lily sudah hampir mendekati kapal.
"Kak, yang jadi orang ketiga itu aku, kan?" Bimo diam tidak menjawab. "Kalau aku tau alasannya. Aku akan pergi," Angel memutar kepalanya kebelakang. Menatap Bimo. "Maaf karna aku memilih bertahan,"
Bimo terdiam, mengalihan pandangannya menatap Alex yang sama sekali tidak bergeming ditempatnya. Keduanya saling menatap tajam dari kejauhan. Tanpa sadar, Bimo mengangkat tangan kanannya, ia letakkan dibelakang kepala Angel, menarik perempuan itu dalam dekapannya.
Angel memejamkan kedua matanya. la lelah. Untuk pertama kali dan ia menyesali keputusannya. Angel semakin menenggelamkan kepalanya di dada Bimo. Seharusnya ia mendengarkan Bimo untuk pergi. Agar tidak ada rasa sakit dan tidak ada perasaan ingin memiliki terlalu besar. Sebulir air mata membasahi kaos yang Bimo kenakan.
Bimo menggerakkan bola matanya saat Alex mempercepat langkahnya. Ia mengelus kepala Angel.
"Rasa sakit yang terbalas," Ujar Bimo dalam hati.
Selamat membaca. Jangan lupa untuk terus dukung kami agar lebih bersemangat dalam membuat cerita. Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi penulis kedepannya. Thank you!!
Share this novel