Ruangan yang tadinya sangat sunyi kini mulai ramai. Kursi-kursi kosong sudah banyak terisi. Berbincang seputar gosip terkini hingga materi pembelajaran. Ajang pamer kekuasaan hingga tas branded keluaran terbaru. Jurusan Managemen rata-rata anak seorang pengusaha. Dari keluarga terpandang dan sudah pasti akan menjadi penerus perusahaan. Kecuali Angel yang hanya seorang anak petani yang berpenghasilan lima ratus ribu setiap bulan.
Angel tidak minder sama sekali. Ia bangga dengan kemampuannya. Tidak sedikit yang membencinya karena merusak citra kampus yang terkenal tajir dan elegan. Mereka selalu memandang seakan ingin menelanjanginya. Awalnya tidak terbiasa dengan semua obrolan yang menyindir dirinya. Sebutan wanita malam, jalang dan tidak punya malu selalu ia dengar, dan semua itu diperparah sejak ia dekat dengan Alex. Tingkat kebencian mereka bertambah saat perempuan bernama Luna berkata akan melenyapkan siapapun yang berani mengganggu Angel.
Aluna ditakuti karena sifatnya yang tegas, berani, pintar, cantik dan baik hati. Tidak ada cela ingin menghujatnya. Bonusnya, ia adalah kekasih Leon yang terkenal mempunyai perusahaan raksasa di Indonesia dan juga ia dekat dengan Alex, anak Wali Kota. Keluarga Leon disanjung akan kebaikan hatinya. Meskipun keluarganya masuk dalam lima besar orang paling kaya di Indonesia. Kehidupan Leon selalu sederhana sejak kecil. Ia tidak bisa meminta apapun tanpa hasil kerja keras sendiri. Karena itulah Leon begitu kampungan jika melihat
sesuatu yang mewah. Alex yang mengatakannya.
Siapa yang tidak mengenal Luna dan Leon? Mereka dikenal sebagai couple goals, banyak yang mengidolakan mereka, bahkan ada yang memasang foto mereka sebagai wallpaper handphone. Sedangkan Angel hanya perempuan biasa yang masuk di kehidupan orang-orang itu.
Mata pelajaran sudah berakhir setengah jam yang lalu. Angel sengaja duduk di kelas lebih lama selagi menunggu waktu. la tidak akan pulang ke kos melainkan langsung ke kafe untuk bekerja. Alex
tidak pernah lagi menjemputnya ke kampus, kecuali menjemput Angel pulang bekerja. Angel senang akhirnya Alex kuliah lagi.
Angel menggunakan tasnya. Ia melirik seorang lelaki yang sedang tidur dengan tangan terlipat ke meja. Lelaki yang tidak ia ketahui nama dan wajahnya itu sudah seperti itu sejak Angel masuk ke kelas. la tidak berani membangunkannya, karena sepertinya lelaki itu bukan anak jurusan yang sama dengannya.
"Akh!" Tubuh Angel yang sudah berhasil berdiri terdorong ke belakang sehingga pantatnya terhempas ke kursi.
"Mau kemana lo?" Angel mendongak. Menatap lima orang perempuan menghadangnya.
"Ada apa, ya?" Angel tidak mengenal semuanya.
Perasaan, ia tidak pernah mempunyai masalah.
"Ada apa? masih berani, lo? Gue nggak peduli lo dekat dengan Alex. Tapi gue nggak suka lo deketin Bimo, jalang. Kurang asupan lo?!"
"Bimo? Aku nggak ada ap-" Satu tamparan berhasil mendarat dipipinya. Angel mengerjap tidak percaya.
"Kemarin lo dijemput sama dia kan? Masih ngeles aja lo!?"
Angel berani bersumpah ia tidak ada hubungan dengan Bimo. Kemarin ia memang pulang dengan lelaki itu. Itupun Alex yang menyuruhnya. Alex ada kuliah malam dan tidak bisa menjemputnya, tidak ingin Angel pulang sendirian, Alex meminta Bimo untuk menjemputnya. Hanya itu.
"Nggak bisa jawab kan lo!?"
Angel menggeleng kuat. Bukan tidak bisa menjawab. Tubuhnya gemetar akibat kekerasan yang ia terima. Bulir bening itu sudah menghiasi kedua matanya.
"Jalang lo!" Angel menutup kedua matanya. Ia berputar memunggunggi dengan tangan yang membuat perisai menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar hebat. Air matanya jatuh, nafasnya menjadi cepat. Beberapa detik, Angel tidak merasakan tangan itu menyentuh tubuhnya. Angel terkulai lemas bila saja tidak ada sesuatu di dekatnya untuk menahan tubuhnya, ia sudah jatuh ke lantai.
"Nando? Lo ngapain disini?"
Lelaki itu memberikan senyum kecil sebelum kembali ke wajah datar. "Pergi Beb, gue ngantuk mau tidur. Harus sunyi dan tenang." Hanya kalimat pengusiran seperti itu membuat kelima perempuan tadi langsung keluar tanpa perlawanan.
Lelaki yang dipanggil Nando tersebut menundukkan kepalanya. Menatap perempuan yang bersandar di perutnya. "Lo nggak pingsan kan?" Tanyanya dengan ekspresi malas. Ia menahan kedua bahu Angel agar bisa duduk kembali.
"Maaf." Angel melepaskan dirinya. Nande langsung mengangkat kedua tangannya seperti tahanan. Tanpa merasa iba, ia kembali melanjutkan tidurnya yang terganggu.
Angel menarik nafasnya dan membuangnya perlahan. Melakukannya berulang kali. Rasa perih akibat tamparan masih terasa. Setelah merasa penglihatannya membaik. Angel berdiri, berjalan keluar dengan bantuan sisi meja yang berbaris. Angel sudah dua kali terjatuh lalu bisa berdiri lagi.
Rasanya sesak. Ayahnya bahkan tidak pernah
melakukan kekerasan seperti Itu. Seharusnya hanya Ayahnya yang boleh menamparnya jika Angel bersalah. Suara tawa dan jatuhnya ember dari atas
saat Angel membuka pintu membuat tubuhnya membeku. Air dingin itubmengguyur seluruh tubuhnya. Merasa pertunjukkan kurang menarik, lemparan telur dan tepung seperti ingin membuat adonan kue menjadikan tubuhnya sebagai tempat. Manda mengangkat kedua tangannya. Membiarkan lengannya menjadi perisai. Tubuhnya amis dan lengket.
Angel membuka matanya perlahan saat suara tawa itu tiba-tiba hilang. Tidak ada benda yang mendarat di tubuhnya lagi. Matanya melihat sepasang sepatu sneakers berwarna putih, Angel mengangkat kepalanya perlahan menatap sosok tubuh yang sedang bersandar di pintu.
"Korban bullying?" Angel mengedarkan pandangannya. Tidak menemukan satupun orang yang tadi mengelilinginya, pertanda pertanyaan itu ditunjukkan untuknya. "Mereka ganggu tidur gue. Jadi gue usir." Manda tersenyum kecil.
"Terima kasih." Ujarnya sebelum pergi.
"Tunggu," Manda menoleh, melihat Nande melepaskan jaketnya dan melemparkan pada Manda. "Daleman lo keliatan." Kedua mata Manda membulat. la memeluk jaket yang berhasil ia tangkap. Nande tersenyum. "Warna hitam kan?"
Ucapnya mengedipkan sebelah mata sebagai ucapan perpisahan.
-
Tuntutan nafsu saling memuaskan dengan
desahan nikmat terdengar. Dibanjiri keringat dan helaan nafas saat mencapai titik kepuasan. Apa yang membuat Alex kembali ke dunianya. Alex sudah berhasil menahan nafsunya selama beberapa bulan. Berharap dengan kehadiran sosok baru di hidupnya akan mengubahnya untuk tidak
mengunjungi sebuah kamar yang dua tahun ini selalu menjadi rumahnya.
Migel menyerah. Ia tidak bisa menahan, terlebih sesuatu dalam dirinya bergejolak meminta dipuaskan, ingatan menjjikan yang harus segera ia hilangkan. Aroma lemon yang sudah lama menghilang kini memenuhi indra penciumannya. Segar dan sejuk. Bermain gila-gilaan. Migel menatap punggung polos di sampingnya sebelum
menatap langit kamar Lily. Memejamkan kedua matanya.
"Hubungan kita nggak lebih dari ini. Jangan berharap apapun. Dan juga, gue baru tau lo temenan sama Luna. Lo tau kalau dia pacar Leon. Gue nggak mau Luna terluka waktu tahu lo main sama cowoknya." Alex membuka matanya saat
merasakan kasurnya bergerak.
"Gue lupa ada kuliah pagi ini." Livesey berjalan ke kamar mandi dan memakai bajunya di sana. Alex tahu itu pengusiran secara halus. Memakai bajunya kembali, Alex menunggu Lily keluar dari kamar mandi.
"Uangnya gue kirim." Alex mengambil kunci motornya.
"Berapa?" Suara Lily terdengar sumbang, Alex yakin Lily menahan tangisnya. "Salah ya, Lex? Kalau gue
berharap lebih? Iya, gue sadar diri. Gue nggak berhak bilang kalau gue sebenarnya terluka lo perlakukan seperti ini." Pertahanan Lily runtuh. Tas yang ia sampirkan ke bahu tergeletak di lantai.
"Tiga bulan lo menghindar. Lo bilang mau berhenti. Oke, gue terima. Gue usahain buat menghilang, gue takut nantinya dia tahu hubungan ranjang kita. Lex, Lo udah buang gue dan-" Livesey menggigit bibir bawahnya melampiaskan sakit yang tidak berdarah. "Lo datang lagi setelah gue udah bisa lepas dari lo. Gue tau, gue hanya pemuas nafsu lo. Gue tahu diri, Lex." Alex mengepalkan kedua tangannya
dengan mata terpejam. "Gue punya hati dan perasaan. Bisa nggak lo pikirin perasaan gue selain Luna? Lo takut dia terluka? Gue lebih dari itu saat lo buang gue! Selama dua tahun ini gue selalu ada buat lo. Lo minta gue kasih. Gue kabulin apapun yang lo mau. Kenapa lo hadir lagi dan buat pengorbanan gue sia-sia?! Gue bahagia kalau lo udah temuin perempuan yang baik. karena gue nggak akan pernah pantas bu-" Sebelum menyelesaikan kalimatnya, Lily terdorong kasar membentur tembok. Alex menciumnya. Lily membeku, tidak membalas ciuman Alex.
la rasa cukup untuk semuanya. Alex membingkai wajah Lily. Menghapus sisa air mata tanpa
melepaskan tautan bibirnya. Perasaan yang tidak bisa Alex jelaskan. Lily sama sekali tidak membalas ciumannya, Alex membuka matanya perlahan. Ia
menatap lama, mengelus pipi itu dengan lembut.
"Jangan terima tawaran Leon. Bukan untuk menjaga perasaan Luna. Tapi gue nggak suka, Ly." Lily terdiam. Membiarkan Migel menarik tubuhnya mendekat, memeluknya. "Seberapa besar uang yang Leon kasih, Please tolak dia dan juga. Cowok lainnya."
-
Sebagian penumpang turun dari bus, berhenti di halte dengan nama Trismi bagian atasnya. Angel keluar paling akhir, tangan kanannya menenteng sebuah payung. Ia berjalan dengan santai, senyuman pagi hari yang begitu indah harus menghilang. Langkahnya terhenti melihat sebuah motor yang ia kenal baru saja berhenti di depan kampus. Seorang perempuan baru saja turun dari sana. Semua orang yang melihatnya merasa
biasa saja karena tidak tahu siapa pengendara yang menggunakan helm full face. Berbeda dengan Angel , karena ia mengenalnya.
Orang yang seminggu ini tidak lagi menemuinya, hanya bertukar pesan singkat. Angel selalu pulang diantar Leon ataupun Bimo dengan alasan
Alex sibuk kuliah. Angel percaya dan setelah melihat Lily turun dari motornya juga Angel masih percaya. Memangnya apa hak Angel melarang dan untuk apa ia melarang. Lagi pula Lily adalah teman Luna yang pasti berteman juga dengan Alex. Hak Alex ingin bersama siapa.
Angel memberikan senyuman lebar saat Lily menatapnya tanpa ekspresi yang dibalas dengan senyuman kecil oleh perempuan itu lalu pergi
begitu saja. Angel mengembungkan pipinya dan menggeleng pelan. Melanjutkan perjalanan menuju
Perpustakaan. Mencari beberapa buku untuk
membantunya dalam pelajaran. Angel tidak bisa membeli semua buku yang ia perlukan, uangnya tidak akan cukup. Maka dari itu ia sering menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan.
Sudah ada tiga buku yang ia peluk, Angel hanya
perlu satu buku lagi. Senyuman Angel tercetak begitu buku yang ia cari akhirnya ketemu jika saja tangan lain tidak merebutnya terebih dahulu. Angel mendengus, menatap kepergian lelaki itu begitu saja dengan buku yang seharusnya menjadi milik Angel.
"Hei!" Angel berlari, menepuk pundak kekar lelaki itu . Angel akan meminjamnya sebentar.
"Boleh aku lihat bukunya sebentar? Loh? Kamu?" Tunjuknya dengan kedua mata membulat. Angel
tersenyum lebar. "Ingat sama aku nggak?" Lelaki itu mengerutkan keningnya, menatap Manda dari atas ke bawah-bawah ke atas. "Yang kamu tolongin waktu aku-" Angel menggantungkan kalimatnya.
"Di bully?!" Angel mengangguk semangat. "Oh iya gue inget!" Nando membalas senyuman Angel dan berseru heboh. "Udah lama nggak lihat lo." Angel meletakkan panyungnya di lantai. Ia berjongkok membuka tas, mengeluarkan barang yang selalu ia bawa.
"Jaket kamu."
"Masih ingat aja, thanks,"
"Aku udah cari kamu kemana-mana. Tapi nggak ketemu, maaf baru bisa kembaliin sekarang,"
"Santai aja. By the way nama lo?"
Manda mengulurkan tangannya. "Angelista. Panggil Angel aja."
"Ernando, Nando aja Nando." Manda mengangguk dan menarik tangannya kembali. "Oh ya, tadi kenapa panggil gue?"
"Oh itu," Angel menunjuk buku yang Nando pengang. "Aku boleh pinjam sebentar nggak? Ada yang mau aku lihat soalnya,"
"Boleh, gue juga mau lihat bentar. Nanti lo bawa aja." Angel mengikuti Nando, memilih tempat yang lebih nyaman. Keduanya duduk bersebelahan. "Lo pasti anak kutu buku,"
"Aku taunya kutu rambut," Ujar Angel polos yang mendapat jitakan dari Nando. Angel tertawa kecil.
"Lucu." Nando melipat tangannya di meja. "Lo tau siapa gue?"
Angel mengangguk tanpa menatap Nando, ia mulai membuka buku sebelum Nando membawanya pergi. "Kamu bilang tadi nama kamu Nando."
"Gak ada niatan traktir atau balas kebaikan gue, gitu?"
Angel tertawa pelan. "Em, boleh. Aku kerja di kafe, bukan kafe mewah. Kamu mau aku traktir di sana?"
"Kenapa nggak?."
"Oke, kita ketemuan aja disana nanti malam. Ini alamatnya." Angel merobek ujung buku catatan miliknya, menuliskan sebuah alamat lalu memberikannya pada Nando.
Nando mengangguk. Melipat kertas itu dan meletakkannya di belakang casing ponsel miliknya. "Siapin tempat spesial buat gue,"
"Oke." Angel terkekeh pelan. Handphone miliknya menyala, tertulis Alex is calling...
"Alex?" Angel menoleh. "Alex anak pemilik kampus ini?"
"Kamu kenal?" Tanya Angel mengerutkan keningnya. Senyuman Nando merekah. Dia mendekatkan mulutnya ke telinga Angel. "Angelista, I got you."
-
Hujan kembali turun, pengunjung yang datang tidak terlalu banyak. Bisa di hitung dengan jari. Banyak orang yang berteduh di depan kafe. Rata-rata yang mempunyai kendaraan roda dua. Angel meletakkan
segelas bandrek sebagai minuman yang paling enak dihidangkan saat hujan.
"Bandrek?" Nando mengangkat satu alisnya.
"Lagi hujan, Gratis kok. Manager yang perintahin aku kasih buat kamu. Katanya kamu ganteng." Nando terkekeh pelan.
"Diminum, anget. Aku ke belakang dulu ya, "
"Nggak bisa duduk di sini?"
"Statusnya beda. Kamu tamu, aku pelayan. Mana boleh pelayan duduk sama tamu."
Nande berdiri, sehingga kursi yang ia duduki bergeser ke belakang. Menemui seorang perempuan yang menjabat sebagai manager kafe. Tidak lama Nando memberi dua jempol kepada manager dan kembali ke kursinya.
"Duduk. Gue udah izin sama manager lo."
"Hah?"
Nando menarik kursi di sebelahnya. "Sini."
"Tapi-" Angel menggaruk telinganya yang tidak gatal. Menoleh pada manager yang mengangguk mempersilahkan. Menghembuskan nafasnya sejenak. Angel memilih duduk berhadapan
dengan Nando. "Nggak enak jadinya."
Nando menyesap minumannya. "Nasi goreng kemarin enak. Apalagi di traktir."
Angel tersenyum kecil. "Aku kira kamu nggak mau kesini lagi. Soalnya pas aku lihat, kemarin kamu pergi gitu aja. Jadi aku mikirnya aneh."
"Ada something. Sory nggak bilang sama lo." Angel mengangguk pelan dan melirik jamnya. Lima menit lagi kafe akan tutup.
"Udah mau pulang?"
"Iya."
"Gue antar?"
"Nggak, aku dijemput."
"Oh, Cowok lo?"
"Teman." Jawab Angel mengulas sebuah senyuman. Ia memilin jemarinya di atas nampan yang ia pangku. Matanya menatap dinding kaca yang langsung mengarah ke jalan.
Hujan sangat deras, Angel meringis melihat beberapa pegawai pabrik yang terjebak di depan kafe. Angel menghembuskan nafasnya pelan. Setiap hujan mengingatkannya pada pertemuan pertama bersama Alex. Menjadi awal jungkir balik dunia yang awalnya tenang. Angel tidak menyesal.
Karena sejak ia mengenal Alex, satu-persatu orang mulai menjadi temannya. Sejak Angel duduk di sekolah dasar, Tidak ada satupun orang yang mau
berteman dengannya. Alasannya sederhana, karena Angel hanya seorang anak petani miskin. Mereka hanya berteman untuk memanfaatkannya. Angel sadar. Tapi ia membiarkannya, asal Ibu dan Ayah menganggap Angel mempunyai teman di sekolah. Sepertinya, itu terbawa sampai sekarang.
Sudah dua minggu Angel tidak bertemu Alex. Terakhir kali, saat Alex menemaninya mencari buku. Setelah itu Alex hanya memberinya kabar melalui pesan. Papan kecil di depan pintu berubah menjadi tutup. Ia pamit pada Nando sebelum pergi ke kamar ganti. Angel mengganti bajunya. Membiarkan rambutnya tergerai. Angel memakai tasnya dan keluar lewat pintu belakang. Biasanya Leon sudah menunggunya.
Mungkin hujan sedikit telat. Angel memeluk kedua kakinya. Melihat jam tangannya menunjukkan pukul
setengah dua belas malam. Setengah jam
dan tidak ada tanda kedatangan Leon. Tidak ada pesan masuk. Angel masih menunggu. Mengulurkan tangannya ke depan. Membiarkan air menetes melalui sela jarinya. Angel tersenyum.
"Mau sampai kapan lo nunggu?" Angel mendongak. "Sama gue aja, udah malam. Besok lo harus kuliah."
"Kamu belum pulang?" Angel berdiri. Berhadapan dengan Nando yang membawa payung. "Takutnya nanti dia bingung aku nggak ada."
"Lo bisa telpon." Manda lebih banyak diam. Menjawab seadanya jika Nando bertanya.
"Lo gak takut sama gue?" Angel menoleh.
"Bisa lo lihat sendiri." Nando mengangkat bahunya.
"Nggak," Angel tersenyum. Nando menyukai senyuman itu, seperti ada desiran aneh yang menjalar dialiran darahnya. "Tato itu seni. Nggak semua orang bertato jahat."
"Yap, cowok lo juga pake tato. Lebih banyak dari gue."
Kening Angel berkerut. "Maaf?"
"Alex, cowok lo?"
"Bukan," Ujar Angel tersenyum kecil. Sesekali Nando menoleh untuk mencuri senyuman itu. "Alex teman aku, kita nggak pacaran."
"Serius?"
"Tunggu, kamu kenal Alex?"
Nando menggaruk kepalanya yang tidak gatal menjadi gatal berkepanjangan. "Ke-nal.." Nande memperpanjang nada akhirnya. "Akrab. Kita teman."
"Oh ya? Berarti kamu kenal juga sama Kak Eon sama Bimo?" Nande mengangguk.
"Apa yang aku bilang. Orang bertato itu gak jahat. Kalian buktinya."
"Alex jahat, loh."
"Untuk orang yang belum kenal dia aja. Aslinya dia baik."
"Oh ya? Sejauh mana lo kenal sama dia? Ranjang?"
"Hah?"
"Iya, ranjang. Making Love. Alex nggak pernah kenal sama cewek kecuali senang-senang," Angel berusaha tersenyum. "Salah ya omongan gue?"
"Nggak. Kamu orang yang kesekian kalinya bilang itu ke aku."
Mungkin itu yang menjadi alasan Alex berhenti menemuinya. Apa yang dikatakan Nando benar. Alex tidak mungkin bertahan bersama perempuan
yang dipegang tangannya saja tidak mau. Yah.. Mungkin itu alasannya.
-
Perempuan yang menemuinya kurang lebih seminggu yang lalu kembali lagi dengan para komplotannya. Menghampiri Angel yang sedang berada di kamar mandi.
"Masih kurang jelas ya, lo."
"Aku nggak ada hubungan apa-apa sama kak Bimo. Dia emang jemput aku, tapi kami hanya sebatas teman." Angel memberikan penjelasan meski ia yakin tidak akan berpengaruh. Seharusnya ia
menolak saat Alex memperintahkan Bimo menjemputnya. Seharusnya Angel bisa belajar dari pengalaman. Kejadian seperti ini pasti akan terulang.
"Lo jual tubuh lo ini, Hah?! Gak cukup lo main sama Alex?!" Pekiknya. Angel sampai terlonjak kaget. "Dasar jalang." Perempuan itu memukul kepala Angel.
"Aku nggak ada apa-apa sama dia." Angel berusaha menjelaskan dengan suara bergetar. "Kamu boleh tanya sama Bimo."
"Udah gue bilang jangan Bimo! Dia milik gue! Hanya gue! Dan untuk gue, jalang. Telanjangin." Angel mengangkat kepalanya. "Gue nggak mau ada sentuhan Bimo di tubuh lo! Buka baju lo!?" Angel menggeleng kuat.
"Aku nggak tidur sama Bimo , aku berani bersumpah, kak jangan!?" Angel semakin menyudutkan dirinya saat tangan-tangan nakal itu mulai menyentuh tubuhnya. "Kak, aku gak tidur sama Bimo !"
"Nggak ada perempuan yang dekat dengan mereka kecuali lo tidur dengan ketiganya, ngerti!?" Perempuan itu berteriak. Menarik paksa tas yang Angel gunakan dan melemparnya ke sudut toilet.
"Laptop aku!" Angel merangkak mengambil tasnya, namun gagal karena tubuhnya ditarik dengan kasar sehingga punggungnya membentur bentur tebok. Manda menangis. "Aku bersumpah, aku nggak tidur sama Bimo." Angel menggeleng kuat dengan menyatukan kedua tangannya di dada.
"Lepasin."
"Kak, jangan!" Angel memberontak. Mencoba menyingkirkan semua tangan yang akan melepaskan bajunya. "Kak aku mohon jangan! jangan kak-emhhp!"
"Berisik."
Angel memberontak. Ia menangis yang tidak bisa didengar siapapun. Rasa dingin itu mulai menyelimuti tubuhnya. Angel menggeleng kuat berharap siapa saja bisa menolongnya. Mata yang memohon pintu toilet terbuka tidak akan terwujud, pintu sudah dikunci. Merasakan air membasahi
tubuhnya. Angel bergetar hebat. Ia menangis sejadi-jadinya melihat tubuhnya tidak ditutup satu helai benang pun.
Manda merasakan tangan-tangan perempuan itu menyentuhnya sambil tertawa dibalik tangis dan rasa jijik di tubuhnya sendiri. Angel menggeleng
kuat. Kedua tangannya diikat ke belakang. Lantai kotor dan ber-air menjadi temannya saat ini.
"Lesbi lo."
"Lesbi manusia juga, bitch!"
"Gila lo." Teman yang mencekal kaki kiri Angel menggeleng tertawa.
"Masa iya belum disentuh Alex?" Tau dari mana lo?"
Angel merasakan matanya berkunang-kunang. Tubuhnya terkulai lemas. Matanya menjadi rabun dan akhirnya gelap seketika.
"MINGGIR JALANG!" Beberapa detik kemudian pintu itu terbuka dan yang masuk adalah Luna.
"Angel!?"
Luna tersentak kaget melihat kondisi Angel. Ia mengunci pintu toilet dari dalam dengan murka. "Lo apain dia, Bitch!" Tanpa aba-aba Luna langsung
menghajar keempat perempuan itu dengan jurus Taekwondo yang ia pelajari dari SMP.
"Angel?" Luna menghampiri tubuh kecil yang tergeletak tidak sadarkan diri. Bulir bening turun dari kedua mata cantiknya. la membawa Angel ke dalam pelukan dengan penuh rasa bersalah. "Maafin gue,
Nggel. Maafin gue. Maafin gue. Maafin gue," Isak Luna memeluk tubuh Angel dengan erat. Luna memakaikan baju Angel dengan perasaan campur aduk.
Tubuhnya bergetar takut. Bukan ia takut Alex akan murka. Karena itu pasti akan terjadi.
"Siapa yang perintahin kalian keluar?" Luna bersuara. Luna berdiri dengan kedua tangan mengepal. Luna benci kekerasan tanpa alasan.
"Gue nggak mau berantam sama lo."
"Lo apain dia, Mona?" Tanya Luna menahan emosinya. "Lo apain dia sampai Angel nggak sadarkan diri, JALANG!?"
"Lo juga jalang, Lun. jangan sok suci lo." Balasnya sengit. "Gue nggak mau berurusan sama Leon kalau tau gue sentuh ceweknya. Urus urusan lo sendiri. Jangan ikut campur urusan gue. Bitch."
"Dia punya Alex. Lo berani sentuh punya Alex." Monica menghembuskan nafasnya pelan.
"Lo nggak mikir dia main juga sama Leon? Gue lihat beberapa kali Leon jemput dia. Termasuk Bimo."
"Otak lo dimana, hah?!"
"Dia sentuh milik gue, Luna! Dia sentuh Bimo!" Suara Mona naik satu oktaf.
"Bimo bukan milik lo!"
"Bimo milik gue!" Balas Mona tidak bisa diganggu gugat. "Lo melindungi orang yang udah main belakang sama cowok lo. Situ sadar? Nggak salah membela?" Mona tertawa sakartis. "Lo tenang aja,
Elen main-main aja sebentar."
Luna memberikan pukulan bertubi-tubi pada Monica. "ALEX BAHKAN NGGAK PERNAH SENTUH TANGANNYA, BITCH! LO TELANJANGIN DIA DAN BUAT ANGEL MAIN SAMA LESBI?!!"
Tubuh Luna bergetar. "Gue bersumpah nggak akan maafin lo semua!! Gue bun-" Tendangan pintu toilet membuat Luna menghentikan gerakannya. Pintu tersebut bahkan lepas dari tempatnya karna kerasnya.
Luna berdiri cepat saat lelaki yang menimbulkan kekacauan masuk dan membawa Angel. Luna menahan lengan lelaki itu dan nafasnya tercekat.
"N-Nando?" Nando tidak menjawab. Ia menatap tangan Luna yang menahan lengannya. "Mau apa lo? Turunin dia!" Cegahnya.
"Ming-gir." Luna menelan ludahnya yang
tiba-tiba nyangkut di tenggorokan.
Tatapannya dikunci tajam oleh Nando. Kaki Luna perlahan menyingkir dan membiarkan Angel dibawa pergi. Kesadaran Luna kembali setelah kepergian Nando. la kemudian segera menghubungi Leon.
"Leon, Nando balik. Ernando."
Tetap ikuti terus keseruannya. Mohon dukungannya agar saya bisa lebih bersemangat dalam membuat cerita. Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi saya kedepannya. Terima kasih.
Share this novel