23. Kebenaran Yang Menyakitkan

Romance Completed 1120

Apa jatuh cinta sesakit ini? Jika iya, kenapa semua orang menikmatinya? Dimana titik kebahagiaan dari kalimat itu. Apakah dirinya pengecualian? Jika iya. Kenapa Angel di anak tirikan? Tidak bolehkah ia merasakan kebahagiaan dari rasa yang baru pertama kali datang dalam kehidupannya?

Tubuh mungil itu meringkuk diranjang seperti bayi. Bahunya bergetar dengan air mata yang terus membasahi wajahnya. Angel sakit. Ia ingin sekali menyampaikan rasa sakit pada dokter yang memeriksanya. Angel tidak mengerti bagaimana menjelaskannya. Dimana rasa sakit itu, Angel tidak tahu. Semuanya hanya bisa ia lampiaskan dengan tangisan kecil. Betapa senang dan bahagianya Angel saat membuka mata orang yang pertama kali ia lihat adalah Alex. Angel pikir itu hanya sebuah mimpi dan halusinasinya saja. Orang yang dicarinya. Sedang terbaring dengan selang infus sama seperti dirinya.

Melihat memar disekitar wajahnya. Angel yakin Alex bertengkar. Yang terpenting Angel bisa melihatnya. Angel bisa menyentuhnya dan memeluknya. Pengharapan, pengakuan, permintaan maaf terlalu ia harapkan. Membuatnya jatuh terhempas ke lubang paling dalam. Saat sebuah kalimat melesat bagaikan anak panah. Bukan dikepalanya tapi tepat di detakkan jantungnya. Sebuah pengakuan yang tidak ingin Angel dengar. Kepergian Alex yang tidak ingin Angel lihat.

Apa semuanya harus berhenti disini. Angel terlalu bahagia dengan hidupnya sekarang sampai ia lupa bagaimana sosok Angel dahulu sebelum bertemu dengan Alex. Apa yang dilakukannya setiap hari tanpa Alex. Angel melupakan hal itu.

Langit menjelang sore. Angel masih tetap pada posisinya. Menatap jendela kamar dengan sinar kuning yang menerpa wajahnya. Tidak ada isakan tangis. Bibir itu bungkam seribu bahasa. Matanya terbuka dan tertutup dengan gerakan pelan. Terlihat bengkak karena terlalu lama menangis.

Menghembuskan napasnya pelan. Seorang suster menutup gorden kamar dan mengganti cairan infus miliknya yang habis. "Kok nasi pagi sama siang nggak di makan, Mbak?" Tanya suster melihat dua nampan nasi itu masih setia di meja sebelah tempat tidur. Tidak tersentuh sama sekali. "Gimana mau sehat kalau gini." Angel tidak bergeming. Cairan infus cukup memberinya tenaga. "Saya suapin ya," Suster ber-tag nama Carol itu menarik sesuatu yang mengapit di ujung tempat tidur hingga berubah menjadi sebuah meja. Carol mengambil sebuah remot, menaikkan tempat tidur bagian atas agar Angel bisa duduk dengan nyaman. "Keluarganya mana?" Angel hanya mengulas sebuah senyuman. Carol membuka plastik bening yang menutupi makanan. "Kelihatan banget loh kemarin pacarnya khawatir," Angel mengerutkan keningnya, membuka mulutnya sedikit untuk menerima suapan Carol.

"Pacar?" Angel lupa akan sesuatu. Siapa orang yang membawanya ke rumah sakit. "Yang bawa aku ke rumah sakit siapa?" Tanyanya antusias. Angel ingat terakhir kali ia pingsan di depan apartemen Alex. Apa Alex yang membawanya? Apa Alexnmasih mengkhawatirkannya?

"Cowok kamu, sama Mamanya." Alex tidak punya Mama. Jadi siapa yang dimaksud Carol. "Orangnya seperti apa?"

"Bukan pacar kamu?" Angel menggeleng pelan. Ia tidak begitu yakin. Carol berusaha mengingat. Menggerakkan bola matanya ke atas, samping, bawah dan atas lagi. "Tinggi, ganteng, pokoknya idaman."

"Punya brewok gak?"

"Nggak. Mukanya bersih," Bukan Alex. Kenapa Angel kecewa mendengarnya. "Terus dia siapa kalau bukan pacar kamu," Angel tersenyum, mengambil sendok ditangan Carol. "Aku bisa makan sendiri. Makasih ya, Mbak."

Carol mengangguk. "Sama-sama cantik. Kalau butuh sesuatu tekan aja tombol di samping kamu."

"Iya."

Angel tidak terlalu yakin jika Nando adalah orang yang sudah membawanya ke rumah sakit. Dengan semangat, Angel menghabiskan makanan dihadapannya. Ia harus segera keluar dari rumah sakit dan menanyakan semua hal yang terjadi pada Nando. Jika benar lelaki itu yang sudah menolongnya. Angel sangat berterima kasih dan tidak akan melupakan kebaikan Nando. Sosok Nando selalu datang di saat dirinya membutuhkan pertolongan. Angel sadar jika Nando bukanlah orang jahat seperti yang ia pikirkan selama ini.

"Harus sehat Angel." Ujarnya menyemangati diri sendiri.

-

"Halo, Ma. Sebelum pulang ke rumah, ke apartemen Alex dulu, ya." Bimo mengapitkan benda pipih berwarna hitam di antara bahu dan pipi. Ia menumpahkan air di baskom ke wastafel lalu menggantinya dengan yang baru.

"Kenapa?"

"Kayaknya tipes Alex kambuh, sekalian bawa obat-obatan dan infus di rumah aja." Bimo langsung memberikannya pada Leon yang sudah menunggu di kamar. "Demamnya baru, takutnya tipes kambuh. Dari gejalanya sih, iya."

"Oke,"

Bimo menghempaskan tubuhnya di bibir ranjang. Menghembuskan napasnya menatap Alex dengan gelengan kepala.

"Letoy banget lo. Putus cinta aja sakit. Ah payah, nggak ada guna besarin otot," Alex yang mendengar tanpa membuka mata langsung menendang tubuh Bimo yang ia yakin duduk di bawah kakinya. Tepat sasaran, Bimo langsung memekik. "Eh, tai. Diurusin bukannya terima kasih,"

Alex membuka matanya yang berat. Melempar handuk kecil di atas keningnya. "Pergi. Gue bisa sendiri," Usirnya. Menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, membelakangi Leon dan Bimo.

"Diperhatiin tai," Umpat Romeo. "Siniin pala lo!"

"Nggak! Pergi lo berdua."

Leon menghembuskan napasnya pelan. Merasa geram dan ingin menonjok Alex sekarang juga. "Untung Tuhan kasih kesabaran lebih buat gue," Leon menyeka keningnya. Padahal tidak ada keringat sama sekali. "Cepetan elah, cewek banget lo pakek baper segala,"

"Periksa Le, cewek beneran mungkin."

"Anjing!" Alex meninju kepala Bimo yang tiba-tiba masuk ke selimut.

"Gilak. Sakit aja tenanganya masih kuat." Bimo mengusap kepalanya. "Cepetan dah, Lex. Suhu tubuh lo panas banget. Nurut sedikit kenapa, sih. Sama Angel aja kek majikan sama anjing,"

"Migel kan emang anjing," Sahut Leon. Bimo mengangguk menyetujui.

"Sementara kompres dulu sampai nyokap gue dateng. Itung-itung mengurangi waktu kematian lo. Kalau lo masuk neraka. Lo coba main dulu sebentar ke surga, cariin orang dalem buat gue." Leon terbahak.

"Sakit jangan dibawa serius, iya gak Rom?"

"Setuju Bro." Keduanya bertos ala lelaki. Membuat Alex jengah mendengarkan ocehan kedua sahabatnya.

"Btw, si Leon aja fine waktu tau ceweknya kabur," Alex berbalik cepat. "Luna udah tau, dia pergi dari apartemen."

"Terus lo nggak cari dia?" Tanya Alex mengerutkan keningnya.

"Ya di carilah bego. Gue yakin Luna baik-baik aja. Gue akan bawa dia balik, tenang aja." Alex mengangguk sekali. Membiarkan Leon menempelkan handuk ke keningnya dengan menepak keningnya keras. "Angel gimana?" Yang dibalas Alex dengan helaan napas. Jangan tanyakan Angel seperti apa. Menyakitkan untuk Alex jawab.

"Sampai sekarang gue nggak ngerti kenapa lo milih Lily dari pada Angel? Gue nggak tau lo secinta itu sama Lily," Leon menggeleng pelan.

Kedatangan Anes membuat percakapan ketiganya terhenti. Ibu dua anak tersebut membawa sebuah koper kecil untuk perlengkapan medis. Langsung memeriksa keadaan Alex. Dibantu Bimo, mereka memasang infus di tangan lelaki itu.

"Tante udah beliin bubur. Makan buburnya. Tipes kamu tinggi banget ini, istirahat. Jangan main, terus wajahnya kenapa? Berantem?"

"Biasa, cowok," Bimo menjawab.

"Ya udah, Mama pulang. Itu suntikannya
udah Mama tulisin jam berapa." Bimo
mengangguk. Anes mengemasi
barangnya. "Tante pulang, ya,"

"Makasih Tan," Ujar Alex pelan. Lemas
dan tidak seperti biasanya.

Alex memberikan seulas senyum pada
wanita cantik yang menjabat sebagai ibu
kandung Bimo tersebut. Masih sangat
cantik di usianya. Jika orang yang tidak
tahu, ketika melihat Bimo berjalan berdua
bersama Anes. Lebih terlihat sebagai
sepasang kekasih dari pada ibu dan anak.

"Sebelum tidur makan dulu. Ada obat
minumnya juga," Leon membawa
sebuah nampan yang di atasnya berisi
semangkuk bubur dan segelas air putih. Ia
meletakkan gelas di atas nakas,
membiarkan mangkuk tersebut tetap di
atas nampan. "Masa iya mau gue suapin,"

"Nggak," Alex merubah posisinya
menjadi duduk. Bimo sedang mengantar
ibunya. Menelan beberapa sendok bubur.
Rasanya hambar. Pait dan berusaha Alex
telan.

Hanya lima suapan. Alex menyerah. "Nih, obatnya." Leon mengambil alih nampan, meletakkan di pangkuan. Memberi dua macam obat yang langsung Alex minum tanpa banyak komentar. "Lo boleh tidur, tapi jangan kebabalasan ya. Dosa lo banyak, neraka nggak muat," Alex mendesis pelan. Mencari posisi tidur terbaik. Kepalanya sudah sangat berat dan pusing sejak tadi. "Gue mau cari Luna ke rumah orang tuanya. Lo nggak masalah gue tinggal?"

"Em,"

"Bimo bakalan balik bentar lagi," Memastikan semuanya beres. Leon langsung pergi dari apartemen, bertepatan dengan Bimo yang baru saja masuk. "Gue cari Luna dulu,"

Bimo mengangguk. Membuka bingkisan yang di bawa Anes untuknya. Nasi bungkus dan beberapa makanan ringan untuk menemaninya menjaga pasien VIP.

-

Hari ini Angel sudah diperbolehkan pulang. Wajah berseri dan senyuman yang cantik menghiasi wajahnya. Tiga hari di rumah sakit membuatnya bosan. Tidak bisa bergerak dengan leluasa membuat seluruh tubuhnya menjadi tambah sakit. "Ini struk administrasinya, Mbak." Angel mengambil kertas yang disodorkan padanya. Mengucapkan terima kasih sebelum memutuskan pergi dari sana. Rasa penasaran Angel terjawab. Ia sengaja memintanya untuk mengetahui siapa ibu peri di balik semuanya. Dugaannya benar, Kedua sudut bibirnya melengkung ke atas. Semua tagihan biaya rumah sakit dan juga orang yang menjadi wali dirinya adalah Fernando. Semua Nando yang melakukan. Dilipatnya kertas tersebut menjadi lipatan kecil, memasukkan ke saku celana. Selagi menunggu bus ataupun angkutan lainnya datang, Angel mencoba menghubungi Nando yang berakhir sia-sia. Nomornya tidak aktif.

Angel menghembuskan napasnya lemas. Menatap ponsel ditangannya. Berpikir sejenak sebelum menjatuhkan tangannya ke pangkuan. "Kembaliin aja. Oke, kita kembaliin Angel. Kamu bisa beli ponsel baru meski nggak sebagus yang Alex kasih." Gumamnya pada diri sendiri

Sebelum pergi ke apartemen Alex. Angel memasuki sebuah toko. Membeli sebuah kotak kecil, kertas dan juga pena. Peralatan tersebut menjadi satu di dalam kantung plastik. Duduk di bus paling belakang. Angel menuliskan beberapa kalimat di kertas sebelum memasukkannya ke dalam kotak bersama handphone. Menutupnya dan melilitkan sebuah pita merah.

Bus tidak bisa masuk ke kawasan elit. Angel harus berjalan ratusan meter untuk sampai ke gedung mewah tempat tinggal Alex. Sebelum masuk, Angel duduk di bawah pohon yang rimbun, memasok oksigen sebanyak-banyaknya. Menikmati angin sejenak sebelum masuk ke apartemen. Rambut bagian depannya yang tergerai sangat basah karena keringat. Menempel di kening dan wajahnya. Merasakan napasnya sudah kembali menjadi normal. Angel berdiri, merapikan penampilannya sejenak. Dipeluknya kotak kecil yang ia bawa selagi menunggu lift berjalan yang mengantarkannya ke lantai kamar Alex. Menarik napasnya dan menghembusannya pelan. Terakhir kali Angel menginjak koridor tersebut lima hari yang lalu. Mengingat betapa berantakan dirinya saat itu. Jika dibayangkan sekali lagi, Angel tidak pernah mengira semua kalimat itu terucap dari bibirnya. Angel mengulum senyum. Menggeleng pelan, ia tidak ingin mengingatnya, hal itu akan membuatnya sakit sendiri.

Angel sudah berdiri di depan pintu kamar Alex. Kakinya tertutup rapat. Menghembuskan napasnya pelan, tangan kanannya terangkat ke atas untuk mengetuk. Seakan ada yang menahan tangannya, Angel menunduk.

Membiarkan tangannya menggantung di udara. Apa yang harus ia lakukan jika Alex yang membuka pintu? Kalimat apa yang akan keluar dari bibirnya? Tidak. Angel tidak sanggup melihat Alex. Angel berjongkok. Meletakkan kotak itu di depan pintu. Kotak dengan nama pengirim Angelista didepannya. "Makasih ya udah temenin aku beberapa bulan ini. Kamu harus kembali ke majikan yang asli." Angel mengelusnya sebentar, tersenyum sekali lagi pada hal yang tidak akan berarti apa-apa. Menatap sekali lagi pintu yang tertutup rapat. Memberikan seulas senyum yang Angel harapkan Alex bisa melihatnya. Berdiri dihadapannya dan mencegahnya pergi. Nyatanya itu hanya harapan kosong.

Langkah kaki Angel terhenti. Ia memutar kepalanya menatap pintu yang masih setia pada tempatnya. Menarik napasnya. Angel tersenyum getir. la langsung masuk ke dalam lift yang akan mengantarkannya menjauh dan menghilang dari hidup Alex. Kehidupan Alex yang di atas dan Angel di bawah. Itulah seharusnya. Seperti itulah sebelumnya. Semua topeng itu terbuka. Angel terduduk lemas di lift, membungkam mulutnya dengan kedua tangan. Tidak ingin tangisnya terdengar siapapun termasuk telinganya sendiri. Tepat saat pitu lift Angel tertutup. Lift sebelah Angel terbuka. Keluar sosok jangkung dari dalam sana dengan membawa bingkisan hitam di tangan kanannya. Langkah besarnya harus terhenti dengan sebuah benda yang akan menghalanginya masuk.

Ferdy berjongkok. Mengambil kotak kecil itu dengan tangan yang kosong. Ditelitinya sekali lagi. Tidak ada rasa penasaran untuk mengetahui apa isi di dalam kotak tersebut. Ferdy berjalan ke sudut ruangan. Menginjak benda yang terbuat dari plastik hingga tutupnya terbuka ke atas. Dengan rasa jijik, Ferdy membuangnya. Senyuman miring tercetak di bibirnya.

Bimo :
'Ge, Migel lg sakit. Lo bisa gantiin gue jaga dia? Soalnya gue mau ke Rs. Proposal gue buat magang belom gue kasih'

Ferdy :
'Sakit apa Bim? Knp baru kasih tau gue?'

Bimo :
'Udah enakkan sekarang. Pasword apartemennya 0208999.'

Gleen :
'Oke Bim'

Meletakkan semua bingkisan di meja dapur. Tadi pagi Bimo baru saja memberitahu dirinya tentang Alex yang lagi sakit. Ferdy tersenyum, mengambil sebuah pisau dapur, menentengnya ditangan kanan. Sambil bersenandung kecil. Ferdy membuka semua bingkisan yang ia bawa. Mengupas sebuah apel dan menyusunnya rapi di atas piring bersama buah lainnya.

Semangkuk bubur, sepiring buah-buahan, segelas susu coklat dan air putih diletakkan di atas nampan.

Sebelum masuk ke kamar. Ferdy memastikan dirinya rapi dan wangi. Ini bukan seperti dirinya yang ingin memberi kunjungan orang sakit. Matanya menggerling ke seluruh sudut ruangan dengan menggigit bibir bawahnya. Sebuah sensasi yang selalu datang hanya dengan berada disebelah Alex, bukan. Hanya dengan menyebut namanya saja membuat sesuatu di dalam diri Ferdy terbangun.

Dengan langkah pelan dan sangat anggun. la mendorong pintu ke depan. Sosok tubuh dibalik selimut langsung tertangkap kedua bola matanya. Sudut bibir Ferdy melengkung ke atas, membentuk sebuah senyuman manis. Tanpa ingin mengganggu tidur sang pemilik kamar. Ferdy menutup pintunya dengan pelan. Berjalan mendekati ranjang. Aroma maskulin yang begitu Ferdy sukai. Membuatnya nyaman. Ada yang sakit dalam tubuhnya saat melihat jarum infus yang tertancap di punggung tangan lelaki itu. Tetesan pelan infus yang menandakan suasana menjadi sangat lambat sejak kedatangan seorang Ferdy. Penerangan di kamar masih sangat minim. Gorden belum terbuka, Ferdy tidak berniat membukanya, karena sudah pasti akan membangunkan Alex yang begitu nyenyak.

"Hai, honey." Gumam Ferdy meletakkan nampan di atas nakas. Lelaki itu menatap Alex seolah sarapan pagi. Ferdy duduk di sisi ranjang, ia mengelus tangan Alex dan bersenandung kecil sembari menjalankan aksinya. Mengikat tangan Alex dengan sebuah tali yang sudah ia bawa. Pelan dan sangat hati-hati agar tidak membuat Alex terbangun.

Seperti orang gila. Ferdy tertawa sendiri mengiringi kegiatan anehnya. la menyukai. Suka tali dan suka Alex. Apa perbedaan cinta, obesesi dan nafsu? Semua itu sudah menjadi satu dalam diri Ferdy. Mendarah daging, sulit untuk dihentikan.

Tawa Ferdy yang awalnya pelan menjadi cekikikan seperti hantu. Menekan perutnya yang sakit, terlalu menyenangkan untuk dipandang.

"Siapa yang suruh lo kesini. Bangsat." Alex menggerakkan tangannya. Nihil. Kepalanya berputar, melihat apa yang sudah terjadi pada tubuhnya yang sulit untuk digerakkan. Kepanikan langsung menghampirinya, napasnya menjadi sangat cepat. "Lepasin gue."

"Oh. Hai sayang, udah bangun?" Ferdy tersenyum. Ia berdiri, memutari tempat tidur dan duduk di tepi ranjang. "Gimana keadaan lo?"

Alex meludah, tepat di punggung tangan Ferdy yang terulur ingin menyentuh keningnya. "Pergi." Ferdy menghembuskan napasnya pelan. Bukan merasa jijik, ia malah menjilat punggung tangannya. Alex mual melihatnya.

"Gue bawa sarapan buat lo. Gue suapin, ya."

"Pergi. Dari. Hadapan. Gue."

"I want to take care of you honey," Ujarnya pelan dan memohon. "You alone," Ferdy tersenyum miring. Mendekatkan bibirnya ke telinga Alex. "How about we start the game?"

"Shit!" Alex menarik kepalanya ke belakang dan ia hantamkan keras di kepala Ferdy. "Jauh-jauh. Lo ANJING!."

Ferdy mengusap kepalanya yang tiba-tiba terasa nyeri. Mencoba mengembalikan penglihatannya. Kesabarannya habis, ia sudah mencoba baik menghadapi Alex. Ferdy sudah berusaha semampunya untuk dipandang baik oleh Alex. Sepertinya itu tidak akan pernah berlaku.

"Fuck FERDY!" Pekik Alex, sebuah tangan masuk ke dalam celananya. Ia memberontak dengan kedua kaki terikat. Mencoba meronta berharap tali itu lepas dan ia bisa menghentikan kegilaan Ferdy yang semakin menjadi.

"Gue udah jadi anak baik buat lo. Gue udah turutin semua mau lo. Apa pernah lo pandang gue sekali aja?" Tanya FerdyNdengan nada tersakiti. Tangannya masih setia menyentuh apa yang selalu Alex sembunyikan darinya. "Come on Lex. Gue bisa buat lo jadi milik gue. Sekarang juga, gue bisa bawa lo pergi dari sini." Alex mengepalkan kedua tangannya. Urat leher dan tangannya bermunculan. Dengan napas tersengal ia masih mencoba untuk membuka mata. "Selama ini lo punya orang buat sembuhin dan kembaliin jati diri lo lagi. Orang itu bisa sembuhin lo dan buat lo jauh dari gue. Sekarang nggak akan Lex. Jati diri lo sama GUE! LO MILIK GUE ALEX!"

Ferdy tersenyum puas. "Setelah jati diri lo hilang bersama ingatan siapa lo sebelumnya. Kita pergi, em? Kita tinggalkan negara ini dan hidup berdua selamanya. Gue akan buat ingatan baru, setelah lo bangun. Hanya ada gue." Alex menggeleng cepat. Setengah nyawanya sudah terangkat dari tubuhnya. Melayang di udara.

"Fer, please jangan lagi," Rintih Alex di sisa kesadarannya yang masih ada. Menyentuh, basah dan begitu menjijikan dalam ingatan.

"Thats funny," Ferdy tersenyum miring. Melihat Alex mulai kehilangan akal sehatnya.

"Apa yang lo lakuin?" Bimo berdiri mematung di depan pintu kamar mandi. Ferdy tersentak kaget, mencoba untuk bersikap seperti biasa. "GUE TANYA APA YANG LO LAKUIN SAMAnALEX!?" Nafas Bimo naik turun dengan cepat. Matanya menajam. "SHIT! GET OF MY BACK! FUCKAHEAD! GO TO THE HELL!" Semua umpatan kasar Bimo keluarkan dengan emosi yang membara. "BANGSAT! ANJING FUCK FERDY!" Bimo kesetanan. Tidak peduli lagi siapa Ferdy. Sahabatnya? Tidak. bukan setelah ia menyaksikan semuanya.

Bimo belum pergi. Ia memang berencana pergi setelah panggilan alam yang memintanya untuk lebih lama berada di kamar mandi. Semua percakapan Ferdy membuatnya tidak percaya dan kehabisan kata-kata. Orang yang selama ini ia anggap sebagai saudaranya. Orang yang selalu Bimo bela saat Alex menghujatnya. Tapi apa? Siapa yang Bimo bela selama ini? Saiko? GAY?!

"SHIT!"

"BIM CUKUP! CUKUP BIMO!" Leon datang dan memisahkan keduanya, menarik Ferdy kebelakang tubuhnya. Ferdy bukan lelaki yang bisa berkelahi seperti ketiganya. Jelas kalak telak saat Bimo menghajarnya habis-habisan.

"CUKUP! LO BISA BUNUH DIA!"

"DIA PANTAS MATI!"

"BIM!" Leon mendorong Bimo yang ingin menarik Ferdy kembali. Leon berbalik. "Pergi Fer. Nanti kita bicarain lagi," Leon mendorong bahu Ferdy pelan. Wajah tampan yang begitu sempurna itu hancur karena Bimo. Ferdy mengangguk, menatap Bimo sekali lagi lalu berjalan meninggalkan apartenmen.

"Kenapa, sih?!"

"Kenapa?! Lo lihat!" Bimo menunjuk Alex murka. Kedua mata Leon membulat, ia melepaskan tali yang mengikat seluruh tubuh Alex. "Lo pikir siapa yang ngelakuin ini, hah?" Tanya Bimo emosi.

"Lex? Sadar lo?"

Alex membuka matanya sayup-sayup. Ditengah tubuhnya yang bergetar Alex mencoba membuka suaranya sangat pelan. "Gue butuh dia," Bimo menoleh.
"Lil-ly,"

"Lo nggak butuh dia!" Bimo naik ke ranjang, menarik rambut Alex. Bimo tahu sekarang. Ia tahu sekarang! "LO GAK BUTUH DIA ALEX! BANGUN BANGSAT!"

"Gue butuh dia," Lirihnya.

"Lo apa-apaan sih!" Leon mencoba
melepaskan tangan Bimo yang menarik
kasar rambut Alex. "BIM!"

"BUKA MATA LO ALEX!"

Bimo mengambil benda pipih di saku celananya. Dengan napas yang memburu cepat dan rasa panik menyiram tubuhnya. "Halo Ma! Ma Bimo butuh Psikiater."

-

Yang datang tidak kenal waktu

Kadang datang namun ragu

Untuk kamu yang mungkin menunggu

Atau malah mengabaikanku

Wahai kamu yang dulu datang berkunjung

Tidak lama hanya seumur jagung

Menorehkan luka yang sudah menggunung

Kalimat nakal menghentikan jantung

Siapa kamu dan aku sekarang

Kita sedang terpisah oleh sebuah jurang

Inginku bahagia bersama seseorang

Namun itu hanyalah sepenggal harapan

-Angelista-
-1397515

-

"Tidur adalah bentuk pertahanan seseorang yang tidak sanggup menerima kenyataan ataupun ingatan menyakitkan setelah trauma itu kembali. Banyak pilihan, Alex memilih tidur untuk menghentikan rasa sakit itu. Mereka bisa tidur dalam waktu yang tidak bisa ditentukan." Bimo mengusap wajahnya. Leon yang baru saja mendengar semua kronologi cerita dari Bimo dibuat emosi. "Gue akan mulai terapi setelah dia bangun."

"Nggak bisa kita bangunin?" Tanya Bimo bergerak gelisah.

"Jangan Bim. Gue nggak akan menjamin siapa yang akan bangun."

"Maksud lo?" Bimo dan Leon mengerutkan keningnya tidak mengerti.

"Tunggu dulu," Bimo membasahi bibirnya dengan tangan terangkat satu di depan dada. "Kepribadian lain maksud lo?" Tanyanya pelan. Bimo tidak ingin pertanyaannya ini dibenarkan oleh Willy.

Willy-psikiater yang ditelponnya mengangguk. Bimo menghembuskan napasnya kasar. Ia mengumpat. "Dia selalu lampiasin rasa traumanya sama seorang cewek-"

"Sex, right?" Bimo mengangguk pelan.

Willy adalah teman satu kampus Bimo, Alex dan Leon. Masih satu jurusan dengan Bimo hanya beda bidang. Willy adalah dokter Spesialistik.

"Mereka punya cara tersendiri buat kembaliin jati dirinya." Willy menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Melipat tangannya di dada, menatap Alex yang tertidur pulas di ranjang dari ruang tengah. Membiarkan pintu kamar terbuka. "Dia ngalamin kekerasan seksual. Yakin hanya itu faktornya?"

"Alex lihat sendiri Mamanya bunuh diri. Menurut lo itu bisa jadi salah satu faktor juga?" Willy menoleh, ia mengangguk.

"Lo berdua baru tau kejadiannya?"

"Iya. Dia sembunyiin dari kita berdua,"

"Ada alasan kenapa Alex nggak kasih tau. Setiap kali ingatan itu datang, maka-" Willy menggantungkan kalimatnya. Ia menunjuk Alex tanpa melihat ke dalam kamar. "Itu yang akan terjadi. Lo pernah mancing buat dia cerita?"

"Pernah," Bimo mengingat kembali. Kejadiannya setelah Alex dan Leon bertengkar hebat. Bimo pernah membahas masalah Ferdy, berakhir dengan ia melihat Alex yang keluar terburu-buru dari apartemen. "Lily tau semuanya. Dia tau kalau Alex punya trauma itu,"

"Itu alasan dia lepasin Angel," Bimo menoleh menatap Leon. "Shit," Gumam Leon menundukkan kepalanya. Menarik rambutnya kasar. Belum selesai masalah kaburnya Luna yang sampai sekarang belum berhasil Leon temukan.

Leon sudah mencari ke tempat-tempat yang mungkin akan disinggahi perempuan itu. Semua temannya, sampai ia memutuskan pergi ke luar kota untuk ke rumah orang tua Luna. Hasilnya nihil, dirinya harus membuat alasan yang cukup sulit. Diintrogasi oleh kedua orang tua pacarnya, dan tadi pagi ia baru saja sampai langsung dikejutkan dengan kejadian yang lebih mencengangkan.

"Mungkin sentuhan perempuan."

"Nggak Wil. Gue nggak mau dia ketergantungan dengan sex buat lampiasin rasa trauma." Bimo mengambil kunci mobilnya. Ia berdiri. "Gue yakin Alex akan bangun, tanpa sentuhan tangan perempuan."

Menurut Bimo, cara yang Alex gunakan selama ini salah. Tidak seharusnya Alex mengambil jalan pintas untuk mengubur rasa trauma itu dengan main bersama perempuan. Semuanya bisa teratasi, bisa dilawan tanpa sentuhan. Seharusnya Alex pergi ke psikiater, konsultasi dan pastinya akan dibekali untuk mengatasi rasa trauma.

Tujuan Bimo saat ini adalah Lily. Bimo harus tahu apa saja yang tidak ia ketahui tentang Alex yang mungkin sajandiketahui Lily. Pikirannya kacau. Berapa kali Bimo menghentakkan napasnya kasar. Ugal-ugalan di jalan. Jika saja ia sudah pergi dari apartemen. Semua rahasia antara Alex dan Ferdy tidak akan pernah terbongkar. Persetan dengan proposal rumah sakit. Bimo tidak peduli, meski jika harus menghadap dewan direksi karena terus mengulur waktu magang.

-

Langkah besar langsung mengiringi Bimo menuju sebuah kamar kos. Bimo mengetuknya sebanyak tiga kali secara berturut-turut. Tidak ada jawaban. Ketukan itu bertambah keras dan semakin keras.

"Apaan sih?!" Seorang perempuan disebelah kamar Lily merasa terganggu la membuka pintu dengan kesal dengan raut wajah marah, berubah sangat manis saat tahu Bimo pelakunya. "Eh, Bimo? Cari Lily? Kenapa nggak gue aja, kosong nih,"

"Lily mana?" Tanya Bimo cepat, malas
untuk menanggapi perempuan penggoda
yang kini berdiri di hadapannya.

"Lah, Lily nggak pamit sama lo?"

Bimo mengerutkan keningnya. "Pamit?"

Perempuan yang menggunakan tanktop hitam itu mengangguk dengan bibir sengaja dimajukan beberapa cm. "Kapan ya? dua minggu yang lalu kayaknya,"

"Kemana?"
"Nggak tau. Dia bawa dua koper. Kata ibu kos, Lily udah nggak nge-kos disini lagi. E-eh! Eh! Bim!"

"Lepasin gue jalang." Bimo menarik tangannya, berlari kembali ke mobilnya. Bimo berusaha menghubungi Lily, berakhir sia-sia, panggilannya selalu dialihkan. Bimo memutuskan pergi ke sebuah tempat yang pernah ia kunjungi bersama Lily sebelumnya. Kediaman ayah tiri Lily dan kembarannya. Jarak sejauh itu di tempuh Bimo dalam dua jam, berakhir sia-sia. Bukan Lily yang ia temukan, malah cacian yang ia dapatkan dari ayah tiri perempuan itu. Belum lagi saat Bimo sampaikan ingin mencari Lily, kembarannya langsung panik dan khawatir dimana Lily berada.

Bimo menyandarkan kepalanya kebelakang, memejamkan kedua matanya dengan tangan yang memukul stir mobil. Dua minggu yang lalu. Lily datang kerumahnya. Mengajaknya untuk menghadiri pernikahan Kakaknya, menghabiskan waktu seharian bersama Lily. Bimo menegapkan tubuhnya. Matanya terbuka lebar, memeriksa seluruh isi mobilnya.

"Jangan bilang apa yang lo lakuin sama gue adalah bentuk perpisahan." Gumam Bimo panik. Mengacak seluruh isi mobilnya sampai ia menemukan sesuatu yang Bimo yakin bukan miliknya. Bimo memungut sebuah kertas yang dilipat dan dibungkus dengan sebuah pita biru, jatuh bersama dengan barang miliknya yang lain.

Apa yang terjadi. Siapa yang bermain, kenapa harus sebuah perpisahan. Keadaan sudah semakin kacau. Bertambah sangat kacau dengan kepergian seseorang. Bimo menjalankan mobilnya dengan tenang. Pandangannya kosong dan matanya berkilauan. Bukan ia membenci Lily. Bukan juga ia menyukai perempuan itu. Bimo juga tidak mengenal baik bagaimana seorang Lily. Ia memang mengenalnya dua atau tiga tahun yang lalu, namun baru akrab setelah beberapa bulan terakhir.

Menghembuskan napasnya. Bimo mencoba fokus untuk mengemudi dan kembali ke apartemen.

————————————————————————————
Hai Bim..

Kalau lo baca surat ini, tandanya gue udah pergi.

Thanks udah kasih waktu berharga lo buat temenin gue. Itu adalah moment terbaik di hidup gue.

Gue bukan pergi untuk selama-lamanya kok. Gue hanya mencoba apa kata lo waktu itu.

Gue akan mencoba untuk hidup normal seperti orang baru. Lingkungan baru dan teman baru.

Salam untuk Alex, Leon, Luna sama Angel, ya. Sorry, gue nggak sempat pamit. Maaf tulisan gue jelek. Gue takut lo keburu balik dan mergokin gue wkwkwk.

Bim.. Ada yang mau gue sampein sama lo. Mungkin lo udah tau atau lo akan tahu setelah gue tulis ini.

Fersy seorang Gay. Dia suka sama Alex sejak SMP. Alex cerita ke gue, kalo Ferdy nyatain perasaannya waktu malam promnite SMA.

Lo nggak tau kan kenapa gue bisa kenal sama Alex? Berkat dia gue bisa kenal sama lo dan juga Leon termasuk Luna. Ferdy buat trauma di dalam diri Alex.

Bagimana kejadiannya. Setelah malam promnite, Alex cerita dia dikurung sama bokapnya.

Bokapnya minta Alex pergi ke luar negri, untuk kuliah di sana.

Alex nggak mau. Dan Ferdy menawarkan pilihan. Dia akan bantu Alex kabur asal Alex mau 'main' sama dia.

Itu awal trauma dia Bim. Yang buat gue ketemu sama dia dan berusaha kembaliin jati diri dia.

Dan yang kedua. Lo inget mukulin dia di kamar gue? Ferdy ngelakuin hal 'itu' lagi sama dia. Alex bukan kabur ke gue, dia dikurung sama bokapnya buat tunangan sama Diana. Lo salah paham lagi sama dia. Gue udah janji sama Alex untuk tidak menceritakan masalah dia ke siapapun. termasuk Lo sama Leon.

Tapi sekarang gue nggak mau dia terus-terusan hidup dalam ketakutan kalau ingatan dan trauma itu balik.

Sampaikan permintaan maaf gue karnabnggak bisa pegang janji sama Alex. Lo harus tahu, Lo sahabatnya.

Alex bukan pilih gue karna dia cinta sama gue. Gue hanya pemuas nafsu dia. Gue sadar disini gue masalahnya. Gue yang buat Leon dan Alex bertengkar. Gue yang buat Alex tinggalin Angel. Dan mungkin juga nantinya gue yang menjadi penyebab hancurnya hubungan Leon dan Luna.

Jujur gue nggak mau. Luna temen gue. Dia temen pertama yang gue punya di dunia. Gue gak mau rebut Leon, gue gak cinta sama sama Leon ataupun Alex.

Mungkin setelah kepergian gue. Semuanya baik-baik aja. Persahabatan lo. Hubungan Luna dan hubungan Alex.

Gue berharap lo semua bahagia Bim.

Tulus dari hati gue.

Karena gue nggak pantas untuk di cintai ataupun mencintai.

Bim, gue tahu ini gak akan pantas gue tulis dan ucapkan oleh seorang jalang seperti gue.. Tapi mencintai hak semua makhluk hidup kan?

Nggak tahu sejak kapan perasaan ini tumbuh. Gue nggak minta. Gue nggak pernah milih. Dan gue gak minta balasan. Bim.. Lily yang pernah lo panggil jalang ini cinta sama lo. Bukan Alex atau Leon. Tapi Bimo.

Tertanda. Lily.
————————————————————————————

Bimo menginjak rem mendadak. Ianmemeluk stir mobil dengan erat. Menyembunyikan wajahnya disana. "Over all, you're the best. Sorry, Lily."

-

Teriknya matahari tidak mematahkan semangat Angel untuk bekerja di salah satu rumah makan pesan antar. Sudah dua hari ia bekerja di sana. Bukan berarti ia berhenti dari Horison. Sebisa mungkin ia membagi waktunya, mengisi liburan yang tinggal seminggu lagi. Buliran keringat turun dari keningnya. Rambutnya yang dikuncir setengah sudah sangat lepek dan basah.

"Bakmi goreng dan ayam rica-rica!"

"Take!" Angel membawa dua kotak pesanan, masukkan ke dalam box dibelakang motor. Menggunakan jaket dan helm berlogo rumah makan sebelum melaju di jalan raya. Dengan banyaknya aktivitas yang ia jalankan membuat Angel bisa melupakan sosok Alex. Menebar senyum dan kembali menjadi sosok Angel seperti sebelumnya.

Sebelum turun. Angel memastikan sekali lagi alamat rumah yang tertulis di sana. Menyamakan dengan yang tertulis di pagar tinggi. Angel mengangguk. Memasukkan secarik kertas ke saku jaket, menurunkan standar motor miliknya. Angel merapikan penampilannya. Ia harus terlihat segar dihadapan pelanggan. Rapi dan pastinya ramah. Menekan bel.

"Permisi, ini dari pesan antar." Cukup dua kali Angel menekan bel, pemilik rumah sudah keluar. Ia tersenyum ramah, menundukkan sedikit kepalanya. "Pesanannya," Angel mengerjapkan matanya dengan kening berkerut, lengkungan dibibirnya masih ia pertahankan. "Ini pesanannya," Ulang Angel. Wanita dihadapan Angel yang mematung sejak melihat kedatangannya mengerjap, mengambil alih dua kotak di tangan Angel.

Angel menggigit bibir bawahnya. Memastikan tidak ada yang salah dengan penampilannya hingga membuat wanita di hadapannya begitu kaget.

"Kamu udah sehat?" Angel mengangkat wajahnya. Pertanyaan untuk siapa itu. "Perkenalkan, saya Bundanya Nando,"

Bergantian. Sekarang Angel yang kaget dan tidak berkutik. Dengan rasa hormat ia langsung membalas uluran tangan wanita dihadapannya. "Maaf aku nggak tau,"

"Tidak masalah," Wanita itu tersenyum, mengelus pipi Angel sejenak. "Masuk dulu, saya ambil uangnya. Kebetulan Nando sedang ada di rumah." Tanpa Angel tolak ia mengikuti wanita cantik dengan rambut yang digulung ke atas membentuk sebuah sanggul. Mungkin ini kesempatan dirinya untuk mengucapkan terima kasih, Nando tidak pernah menjawab panggilan telpon atau SMS darinya.

Angel takjub dengan halaman rumah Nando begitu melewati pagar. Sangat luas, hijau, rapih dan bersih. Pohon-pohon yang begitu terawat. Belum lagi bentuk rumah yang begitu klasik. Mewah, berkelas dan punya nilai seni tersendiri. Tidak hanya bagian luarnya. Bagian dalam tidak kalah menakjubkan. Sungguh mewah, luas dengan pilar-pilar disepanjang koridor. Banyak lukisan yang terpajang di dinding, Angel perhatikan di ujung lukisan tersebut ada sebuah tanda tangan khusus.

Nando punya rumah yang begitu sayang untuk ditinggalkan. Kenapa lelaki itu memilih menetap di apartemen? Kesibukan Angel meneliti rumah tersebut terpecah dengan suara berisik yang berasal dari sebuah pintu. Perlahan langkah kakinya bergerak, rasa penasarannya cukup untuk menjadi alasan kenapa Angel melangkah. Pintu besar yang terbuka menjadi dua adalah jalan menuju taman belakang. Apa yang Angel lihat sekarang begitu menakjubkan, kedua tangannya terangkat ke atas untuk membungkam mulutnya sendiri, mata yang membulat sempurna.

"Kaggie finish your food!"

"Oh come on honey,"

"Forgive me cause I didn't visit you for a long time."

"Stop and listen!" Nando melambaikan tangannya. "Hello everybody?!"

Perlahan. Keterkejutan Angel meredam, menurunkan tangannya dengan tatapan takjub. Di taman dengan rumput hijau yang luas membentang seorang Nando sedang kewalahan menghadapi sekelompong anjing yang terus berlari di sekitar taman. Ada sekitar tujuh anjing yang Angel tidak yakin itu berjenis apa. Semuanya terlihat sama, seperti serigala dengan bulu halus yang begitu indah. Merasa ada yang mengelus kakinya begitu lembut. Angel menunduk, Ia terpaku di tempatnya begitu sadar seekor anjing yang setinggi pinggangnya itu sedang berjalan mengelilingi tubuhnya, mengusapkan bulu halus itu di kedua kakinya.

"Where is Max?"

Angel tidak pernah berkomunikasi dengan anjing sebelumnya. Anjing yang ia temui di kampung adalah liar, tidak mempunyai tubuh secantik yang ia lihatnsekarang. Tangannya terulur untuk mengelus kepala anjing dengan perpaduan bulu berwarna hitam dan putih. Tanpa Angel duga, anjing tersebut duduk menghadapnya, seakan menikmati sentuhan tangan miliknya.

"In here!"

Angel menoleh. Melihat wanita yang sempat meninggalkannya sendirian sudah kembali. Suaranya menyadarkan Nando jika ada seorang tamu yang datang.

"Saya buatkan minum dulu,"

"Nggak perlu Tan-"Terlambat, Angel ditinggalkan seorang diri lagi. Tepat saat Angel berbalik, anjing yang tadinya duduk tenang tiba-tiba meloncat ke tubuhnya, tidak sanggup menahan bobot tubuh anjing tersebut, Angel jatuh terjerembab kebelakang.

"Stop Max!" Nando berlari mendekat, Max meletakkan kepalanya di atas wajah Angel. Angel yang terlentang dengan tubuh Max di atasnya hanya bisa diam. Nando tertawa kecil. "Kayaknya dia suka sama lo,"

"Dia nggak akan jadiin aku sarapan paginya kan?" Tanya Angel sedikit bergetar. Jujur saja ia kaget, belum lagi saat Max berdiri dengan dua kaki belakang, tingginya sama seperti Angel. "Do? Aku nggak bisa napas,"

Nando berdiri. Ia menarik kalung yang melingkar di leher Max, Angel bisanbernapas lega. "Dia susah suka sama orang, Max yang paling galak di antara yang lainnya. Gue rada bingung juga kenapa dia bisa suka sama lo," Merapikan penampilannya. Angel berdiri. Berjalan ke tengah taman. "Kenapa lo bisa disini?"

"Tadi Bunda kamu pesan makanan di
tempat aku kerja," Jawab Angel tanpa
menatap lawan bicaranya, mulai tertarik
dengan beberapa anjing milik Nando.

Nando tersenyum kecil, mengambil anjing yang berukuran kecil lalu menggendongnya. "Ini jenis anjing husky, mirip serigala. Mereka nggak ganas, tenang aja."

Mengetahui Max berjalan ke arahnya. Angel memilih duduk dan tanpa diminta anjing itu meletakkan setengah badannya di pangkuan Angel. "Kamu punya. Satu, dua, tiga, delapan?" Nando mengangguk. "Tapi yang besar dua,"

Nando ikut duduk di sebelah Angel. "Awalnya dua, terus punya anak jadi bertambah. Max yang pertama, dia cowok. Terus Quin, ibu dari anak-anak."

Angel mengangguk, mengelus Max di pangkuannya. "Oh iya, kamu yang tolongin aku? Makasih ya, nanti aku akan bayar nyicil tagihan rumah sakitnya,"

"Nggak, Ngel. Gue tulus bantu lo,"

"Kamu kok bisa bawa aku ke rumah sakit?"

"Oh, itu." Nando membuang pandangannya ke sekeliling taman. "Gue dari apartemen temen. Jadi nggak sengaja lihat lo yang tergeletak di depan pintu kamar seseorang,"

"Kenapa kamu nggak pernah angkat telpon aku?" Angel menyipitkan matanya, menghalau sinar matahari.

"Seharusnya lo tanya sama Alex,"

"Kenapa Alex?" Angel tidak mengerti. "Alex nggak ada hubungan-" Kalimat Angel terpotong dengan suara yang berhasil mengingatkannya, alasan Nando tidak mengangkat telponnya.

'Setelah ini. Lo akan kembali ke kehidupan awal lo. Nando nggak akan ganggu lo. Nggak ada Bimo, Leon ataupun Luna. Soal cap di belakang leher lo. Selama lo nggak dekat sama gue, lo akan aman.'

Bukan itu maksud Angel . Ia memang pernah mengatakan takut dan tidak ingin dekat ataupun berhubungan dengan Nando. Semua hanya alasan Angel agar Alex tetap di sisinya. "Apa kamu mau jauhin aku juga?" Nando menoleh. "Seperti Alex?"

"Nggak, Ngel." Jawab Nando lemah. Perjanjiannya bersama Alex yang memintanya menjauh. Angel tersenyum, Nando bisa melihat luka di balik senyuman itu. "Lo nggak takut sama gue?"

"Nggak. Udah terlalu banyak yang aku takutkan selama ini." Angel bergerak. Membuat Max berjalan menjauh.

"Kayaknya aku harus kembali kerja, makasih ya,"

"Ngel," Nando menahan tangannya. Ikut berdiri. "Jangan pernah sakit lagi," Angel tersenyum, menepuk lengan Nando dua kali lalu mengangguk.

"Loh mau kemana, ini udah dibuatin minum,"

"Angel harus kerja lagi. Maaf ya ngerepotin," Ujarnya tidak enak dengan kebaikan wanita dihadapannya saat ini yang sudah membawa segelas jus dan buah-buahan di sebuah nampan.

"Ya udah minum dulu,"

Tidak ingin mengecewakan. Angel meneguk habis minuman yang dihidangkan untuknya sampai habis. Ia pamit dengan sopan, kembali ke rumah makan. Ada satu alasan kenapa Angel memutuskan untuk tidak angkat kaki dari Horison. Karena hanya Horison satu-satunya tempat yang biasa didatangi oleh Alex dan teman-teman.

"Ngel? Udah malem, nggak mau pulang?" Seseorang menegurnya. Membuat Angel yang melamun akhirnya menoleh. "Pulang sana, biar gue yang jaga,"

Jika biasanya akan ada yang mengingatkannya untuk pulang. Menjemputnya di depan dan memastikan dirinya pulang dengan selamat. Sekarang terasa hampa dan begitu aneh karena semua itu sudah tidak ada. Berjalan dalam kegelapan dan kesunyian. Membuat Angel sadar. la sendiri sekarang. Semuanya sudah kembali seperti awal yang seharusnya. Angel menghembuskan napasnya. Mendongakkan wajahnya menatap langit gelap yang tampak mendung. Angel menarik kedua sudut bibirnya ke atas.

"Lagi apa. Alex?"

Selamat membaca. Jangan lupa untuk dukung terus agar kami lebih bersemangat dalam membuat cerita. Silahkan beri kritik dan saran untuk bahan evaluasi penulis kedepannya. Thank you!!

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience